ELA
Kepalanya berkunang-kunang dan tubuhnya limbung.
Dengan kepayahan dia berjalan merayap menuju president suite yang disediakan untuknya pada acara pertunangannya dengan Dhanu Anggara Trihadi. Pacarnya sejak dia berkuliah yang kini berpotensi menjadi putra RI 1 karena ayah Dhanu merupakan salah satu kandidat calon presiden pemilu mendatang.
Merupakan sebuah keajaiban dia bisa memencet lift menuju lantai teratas hotel mewah tempat keluarga besarnya mengadakan pesta malam ini.
“Ibu Ela, kamarnya di sini.” Sayup-sayup dia mendengar suara seorang perempuan yang berbaik hati menuntun dirinya.
“Oh, terima kasih. Kepala saya begitu sakit,” ujar Ela dengan lirih.
Mungkin jika tidak ditopang oleh penolongnya ini, bisa-bisa wajahnya terjerembab di lantai hotel bintang lima ini.
“Iya, saya bantu untuk sampai ke kamar,” balas penolongnya.
Pandangannya tak dapat fokus, dan dia tahu ada yang salah dalam dirinya. Namun sayangnya dalam keadaan seperti ini otaknya seperti berhenti bekerja dan dia tak dapat melakukan sesuatu demi keselamatannya. Dia hanya berharap pada kebaikan perempuan ini.
Ela berharap keadaan menyedihkannya tak akan viral esok hari. Papa dan mamanya bisa murka jika melihat Ela kehilangan kendali seperti sekarang.
“Tolong cari Pak Pradipta, dia–dia ajudan saya. Atau Dhanu, tunangan saya,” pintanya dengan nada suara penuh urgensi disela-sela langkah pendeknya menuju kamar.
Untungnya Ela masih bisa berkata dengan jelas, dan dia segera memberikan perintah kepada perempuan tak dikenal yang Ela asumsikan sebagai entah salah satu pegawai hotel, anak buah ayahnya, ataupun orang suruhan Dhanu.
“Tenang saja, semua sudah dipersiapkan dengan baik,” jawab perempuan asing itu yang terdengar aneh di pikiran Ela yang kini semakin kacau.
Dia sudah tak kuat lagi, kakinya begitu berat seperti ada yang menaruh bola besi di mata kakinya yang membuatnya kesulitan berjalan.
“Sebentar lagi, jangan pingsan dulu!” hardik sang perempuan.
Cengkraman tangannya semakin keras dan kini tak ada lagi kelembutan dalam menghadapi Elaina.
Dia ditarik seperti keledai, dan gaun hitam dari Roberto Cavalli tersangkut sepatu high heels 7 sentimeter Christian Louboutin-nya. Ela akhirnya terjerembab dan dia terpekik pelan.
“Ck! Menyusahkan!”
“Cepat angkat princess ini ke kamar sebelum yang lain melihat!” perintah si perempuan asing yang membuat Ela semakin ketakutan.
“Siapa kalian?” Ela mencoba menghindari cengkraman kasar dari seorang laki-laki yang tiba-tiba muncul di belakangnya.
“Hentikan–” Elaina hendak berteriak namun ternyata pria itu sudah selangkah lebih maju dan menghentikan suara teriakan Ela dengan cara membekap mulutnya dengan sapu tangan.
Pintu kamar hotel terbuka dan Ela didorong paksa hingga tubuhnya terjatuh di atas ranjang empuk hotel.
“Obatnya sudah bekerja?” tanya laki-laki kepada perempuan itu.
“Seharusnya sudah mulai. Lihat saja wajahnya sudah mulai memerah!” balas sang perempuan dengan suara licik.
“Seharusnya gue bisa mencicipi bagaimana rasanya bercinta sama princess manja ini!” Suara laki-laki tergelak penuh ejekan.
“Jangan macam-macam, nanti bayaran kita malah tertahan karena lo nggak bisa jaga selangkangan!”
Percakapan seronok tersebut masih terdengar di tengah penurunan kesadaran Ela.
“Mana target satunya? Sudah jalan ke sini? Siapa yang bertugas membawa dia?”
“On the way, badannya besar! Pasti Putu kesulitan membawanya ke sini.”
Bagaimana, sudah siap kameranya?” Perempuan tersebut membalas pertanyaan sang pria sambil menatap sekeliling kamar hotel ini.
Ela masih sekuat tenaga mencoba bangkit dari ranjang. Tubuhnya kini dijalari rasa panas yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Inti tubuhnya berdenyut dan dia merasa begitu menderita.
“Tolong… please…” Ela berujar lirih.
Laki-laki itu berjalan ke atas ranjang dan mengelus lengan Ela yang terbuka karena gaun spaghetti Roberto Cavali-nya.
“Gila, cantik banget emang ini cewek! Siapa aja boleh lah, yang penting kan ada video-nya nanti! Tinggal blur muka gue aja, beres!”
Ucapan brengsek pria itu membuat Ela semakin pusing dan mual.
Menjijikkan!
‘Dhanu? Di mana tunangannya? Dia membutuhkan Dhanu sekarang!’
Ela menangis dan air mata mulai membasahi pipinya.
“Dasar bego! Nggak bisa! Lo sewa lonte aja nanti setelah bayarannya diterima! Lo jangan bikin rencana kita berantakan karena nggak bisa nahan nafsu!” Suara seseorang kembali terdengar masuk ke dalam ruangan.
Semakin banyak orang yang berada di dalam kamar ini. Pintu ditutup dan suara seretan kaki terdengar semakin dekat ke arah ranjang tempat Ela ditahan oleh para penyekapnya.
“Kalian siapa? Kurang ajar!” Suara dalam bariton memaki dengan keras.
Ela tahu suara itu! Itu suara Pak Pradipta. Ajudan yang setia menjaganya.
“Pak… Pak Pradipta?” Ela mencari sumber suara dengan kesulitan.
Dia bisa mencium wangi rempah dan kayu-kayuan khas sang ajudan yang selalu berjalan di belakangnya. Dengan samar, Ela menjulurkan tangannya dan mendapati tubuh panas dan liat yang berada tepat di sampingnya.
“Ibu? Ibu Ela?” Suara dalam yang berubah menjadi serak semakin mendekat dan di tengah pandangan Ela yang mengabur, dia melihat Pak Pradipta di hadapannya.
Ela sontak memeluk tubuh atletis itu dan menumpahkan ketakutannya.
“Bagus, semua sudah sesuai rencana! Ayo kita pergi!” ujar perempuan asing tersebut dengan nada penuh kebencian.
Ela tak tahu apa yang terjadi, tak lama orang yang menyekap dirinya dan sang ajudan pergi dari kamar hotel yang hanya menyisakan dua insan yang terjebak di ranjang dengan keadaan penuh gairah.
“Ah! Bu–tunggu dulu, urgh!”
Ela tak paham mengapa tubuhnya terasa begitu panas. Tak ada yang bisa meredakan gejolak asing yang kini bergumul dalam tubuhnya. Ketika dia menyentuh tubuh ajudannya, ada perasaan berdesir yang sukses mengobati rasa sakitnya.
“Nggak bisa, please… rasanya nggak enak, sakit Pak… tolong, Pradipta, please help me.” Ela memohon sambil menempelkan tubuh panasnya yang masih terbalut gaun hitam indahnya.
“Jangan, oh, God!” Suara penolakan Pradipta mampir meskipun tangannya tak menghentikan serangan Ela yang mulai membabi buta kepadanya.
Ela melepas jas hitam yang membingkai tubuh besar ajudannya, menarik dasi sutra hitam yang membelit lehernya dengan kasar, sebelum akhirnya tak sabaran melepaskan kancing kemeja putih yang melekat indah di tubuh tegapnya.
“Ela! Hentikan, ini nggak benar!” Tangan Pradipta menghentikan jemari Ela yang sudah mulai bergerilya ke bawah perut sixpack ajudannya untuk menanggalkan sabuk kulit dari celana hitam yang menutupi paha keras penuh otot yang terpahat sempurna seperti mahakarya sang maestro.
“Please, aku nggak tahan lagi! Ini terlalu sakit, please…” Ela memohon sambil menggigit bibir bawahnya.
Insting primordial sang gadis itu kini memimpin pergerakan spontan tubuhnya. Otaknya tak lagi berfungsi. Gairah yang butuh penyaluran instan ini mencari-cari sumber pelepas sakitnya.
Pak Pradipta–sang ajudan yang terpaut usia 10 tahun di atasnya adalah sumber sempurna yang bisa meredakan perasaan asing yang menghancurkan logika Ela. Pria itu setengah terduduk di atas ranjang dengan Ela yang secara provokatif membawa tubuh panasnya duduk di atas paha pria tersebut.
Tubuh Ela bergerak secara insting yang sukses membuat Pradipta mengerang penuh hasrat.
“Tolong aku,” ujar Ela yang semakin mendekatkan tubuh indahnya ke dalam pelukan Pradipta.
Pria itu yang juga terserang kabut gairah yang menyebabkan otaknya tak dapat berpikir rasional, pun pada akhirnya tak kuasa menolak sentuhan yang ditujukan kepadanya.
“Ah, sial!” rutuk pria itu seraya mengerang menahan diri.
Tapi serangan yang dilakukan Ela sukses membangkitkan libidonya yang tertahan sedemikian rupa. Kesabarannya dan rasionalitasnya perlahan terkikis oleh erangan manis Ela, wangi memabukkan tubuh Ela, serta panasnya inti tubuh sang gadis yang membuat miliknya meronta untuk menguasai Elaina Gauri Dharmawan seutuhnya.
Pradipta akhirnya kalah.
Dia memagut bibir indah Elaina dan tunduk sepenuhnya dalam pusaran gairah yang tercipta antara dirinya dan gadis terlarang yang seharusnya tak bisa disentuh.
Ela merasakan ciuman panas yang semakin memporak-porandakan jantungnya.
Ini merupakan awal dari kehancuran dirinya, dan juga awal dari kebangkitan seorang Elaina Gauri Dharmawan yang baru.
Semuanya berawal dari malam panas antara dirinya dan Pradipta Bagaskara, sang pengawal yang dipercayakan papanya untuk menjaga putri cantik kebanggaan keluarga Dharmawan.
DIPTA Dipta seketika membuka matanya ketika dia terbangun dari tidurnya. Matanya mengernyit tatkala melihat lampu kamar terang benderang. Napasnya terhenti seketika tatkala dia menyadari di dadanya bersandar seorang perempuan yang tertidur pulas dalam pelukannya. “Ah, sial!” rutuknya pelan. Dia tak ingat kalau dia membawa perempuan ke dalam kamarnya tadi malam. Dalam memorinya yang terpecah dan blur, hal terakhir yang dia ingat adalah dia berkoordinasi dengan tim keamanan hotel dalam acara pertunangan putri bosnya–Elaina Gauri Dharmawan dengan Dhanu Anggara Trihadi. Putra pertama pemilik partai politik Pembangunan Indonesia Raya–Pak Rahmat Trihadi yang sedang mencalonkan diri sebagai calon presiden dalam kontestasi pemilu mendatang. Dipta mengerjapkan matanya sekali lagi, dia benci one night stand saat dia dalam keadaan standby bekerja. Menunjukkan secara gamblang penurunan profesionalitas yang dijunjung tinggi olehnya. Pagi ini seharusnya dia mengecek keadaan Elaina, put
ELA Belum hilang kebingungannya pagi ini ketika dia mendapati dirinya berada di pelukan ajudannya–dengan telanjang pula! Kini dia dikagetkan dengan gedoran pintu serta panggilan marah papanya yang membuatnya semakin khawatir. Elaina tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Otaknya masih buntu. Tubuhnya masih terasa nyeri, dan kepalanya masih begitu berat. Sosok Pradipta yang terlihat tenang setidaknya membuat kepanikannya sedikit berkurang meskipun tangannya masih terasa kebas dan begitu dingin. Pradipta membuka pintunya dan kamar hotel ini langsung diserbu dengan kedatangan papanya beserta tunangannya, Dhanu. “Jelaskan arti semua ini Pradipta!” Suara papa yang begitu menggelegar membuat Elaina berjungkit kaget. Di samping papa, Dhanu hanya membisu dan menatap Ela dengan tatapan tajam yang membuat Ela semakin merasa kecil. Di tubuhnya hanya terbalut bathrobe putih hotel, rambutnya basah sehabis shower. Sedangkan ajudannya yang berada dalam satu kamar bersamanya berdiri denga
DIPTAMobil dinas yang biasa ditumpangi bersama tim pengawal lainnya sudah ditarik oleh Pak Hendra seiring dengan kepulangan keluarga bosnya itu kembali ke kediamannya. Dipta melihat Ela yang menunduk malu saat mereka melewati lobi hotel bintang lima ini tempat semalam Ela menggelar pesta pertunangannya. Dia tak bisa diam saja melihat betapa menyedihkannya sikap Ela sekarang. Menunduk dan membiarkan surai rambut hitamnya yang setengah basah menutupi wajah cantik pucatnya tanpa make-up. Gaun bertali tipis yang melekat sempurna di tubuh indahnya pun siang ini membuat sang empunya merasa tak nyaman. Gelagat dan suasana muram ini tersampaikan kepadanya–seorang pria yang berjalan bersisian di sampingnya. Dengan cekatan Dipta membuka jas hitamnya dan menyampirkan ke bahu Ela. Gadis itu menoleh dan menatapnya dengan nanar. Elaina berusaha menutupi kesedihan di balik senyumnya yang cantik. “Terima kasih,” ujarnya pelan. The ever polite princess. Bahkan di tengah keadaan brutal seperti
ELAEla melepas gaun yang melekat pada tubuhnya sesaat setelah dia tiba di kamarnya. Dia mematut dirinya di depan cermin besar, melihat refleksi wajah dan tubuhnya yang terlihat menyedihkan sembari termenung. Gerakannya mengganti pakaian kemudian menyisir rambutnya terasa seperti autopilot. Rasa sakit hatinya mengalahkan semua pemikiran yang sedang bercokol hebat di dalam otaknya. Ela tak menyangka bagaimana keluarganya menolak mentah-mentah tentang fakta yang dialaminya dan memilih untuk membicarakan kelanjutan nasib keluarga mereka dibandingkan mengecek keadaannya. Belum lagi Dhanu. Pria yang dia anggap sebagai salah satu orang yang akan membelanya justru memilih untuk mencampakkannya dan dengan tegas mengutarakan penolakannya atas pertunangan mereka. Tak lama Ela tertawa sendiri, seperti orang gila. Ya, dia memang jadi gila! Ternyata ini adalah wajah asli keluarga Dharmawan. Ela ternyata hidup dalam keluarga semu dan semua persepsinya tentang kehangatan keluarga hanyalah ilusi
Lihat, betapa terkejutnya wajah kedua orang tuanya serta kakaknya ketika Ela berbicara seperti itu!Mereka semua menganggap Ela gila!Memang benar! Dia sudah gila, dan dia tak akan melepas semua kungkungan yang memenjarakan dirinya dan akan bertindak bebas sesuai keinginan hatinya. “Jangan gila kamu!” Papa mengalihkan pandanganya dari Pradipta kepada dirinya. Ela menyadari jika wajahnya refleks tersenyum. Mungkin ini senyum pertamanya sejak kejadian malam itu. Deshinta sang kakak pun menatapnya seperti Ela seorang pesakitan yang baru saja kabur dari rumah sakit khusus pasien jiwa. “Apa mau pria lain bertanggung jawab dengan ini semua dan membesarkan anakku kelak, Pa? Bukankah itu malah menjadi skandal yang lebih besar?” Ela bertanya langsung kepada papanya. Dia tahu Hendra Dharmawan mementingkan nama baik di atas segalanya. Tentu saja ucapannya tadi langsung mendapatkan perhatian penuh papanya. “Pasti ada pria terhormat lainnya yang bisa menikahimu,” balas sang papa dengan nada
DIPTADipta melihat bagaimana bosnya–atau mantan bosnya, memperlakukan putrinya sendiri terhadap musibah yang menimpa gadis itu.Setelah naik turunnya emosi seperti roller coaster sejak tadi, Dipta menghela napasnya dan menatap Ela sekali lagi. “Mau saya temani?” tanyanya pelan. Gadis itu terlihat rapuh dan wajahnya pias. Apalagi setelah pertengkaran hebat dengan kedua orang tuanya dan tuntutannya agar dia menikah dengan Dipta, jika ada kehidupan baru–Jantung Dipta kembali berpacu kencang. “Uh… kapan kita bisa tahu kalau, kamu mengandung?” tanya Dipta dengan tenang, meskipun kini jantungnya kebat-kebit.Ela mengedikkan bahunya. “Sekitar dua minggu? Tunggu apa aku terlambat datang bulan atau nggak,” jawab Ela pelan. Wajah gadis pun memerah ketika menjelaskan perihal tersebut. Dipta mengangguk. “Saya akan selalu mendukung keputusan Ibu kelak. Mau,uh dilanjutkan atau–” Belum sempat Dipta menjelaskan opsi terakhir yang begitu pahit di mulutnya, Elaina sudah menggelengkan kepalany
“Saya khawatir dengan ucapan buruk orang terhadapmu,” ujarnya jujur. “Saya nggak pernah merasa malu dengan profesi saya sebagai pengawal. Saya mendapatkan nafkah dengan cara halal. Tapi… saya tidak bisa tutup mata tentang dunia kamu.” Dipta menambahkan dengan serius. Dunia Elaina dari sudut pandang Dipta penuh dengan persaingan, intrik, saling sikut dan jegal. Perang opini hingga cara-cara kotor dilakukan demi status, kekayaan, kekuatan dan power merupakan cara lumrah dalam dunia elit milik Elaina. Dia tahu Ela pasti akan menjadi sasaran empuk dan target point blank dari para hyena yang menunggu kejatuhan Ela. Belum lagi musuh politik Pak Hendra Dharmawan yang akan mencari celah menjatuhkan pria itu lewat Elaina. “Maksud kamu duniaku kotor, begitu?” tanya Ela sambil mengernyitkan dahi. Dengan gelagapan Dipta mengoreksi asumsi Ela. “Bukan begitu, Ela!” bantahnya. “Maksud saya, duniamu itu ‘kan begitu keras. Saya khawatir jika kamu bersama dengan saya… nanti kamu akan menjadi tar
ELA Percakapannya dengan Dipta berakhir sebelum petang datang. Setidaknya Ela mendapatkan kepastiannya dan dia mulai berani merajut sendiri masa depannya kelak. Mempunyai anak, atau tidak mempunyai anak. Kini pikirannya tercurah pada masalah baru yang timbul akibat dari satu malam panas itu bersama pengawalnya. Di tengah lamunannya, Ela mendapati Dipta berdiri dari kursinya dan memegang gagang kursi yang menopang kepalanya. Sontak Ela menengadah dan menatap Dipta dengan serius. “Saya akan kembali lagi dan berbicara jika semua sudah lebih tenang.” Dipta mengulas senyum tipis ke arahnya. Aneh sekali, biasanya hanya Dhanu yang mampu membuatnya salah tingkah. Tapi kini senyum
Kemarahan yang tak dapat Dipta tahan akhirnya meledak juga tatkala dirinya mendapati keadaan Ela di dalam ruang meeting bersama Hakim dan Dhanu. Hakim dengan santai memperhatikan Dhanu dan Ela yang bertengkar hebat ketika Dipta dan kedua rekannya menjejakkan kaki di dalam ruangan tersebut. Tanpa basa-basi, Dipta langsung menghambur menghampiri Ela. Prioritas utamanya, untuk memastikan istri tercintanya tak kurang satu apapun. Rambut Ela berantakan, lengannya yang halus berubah menjadi kemerahan. Sontak semuanya membuat Dipta gelap mata dan dia paham siapa yang menyebabkan keadaan Ela seperti sekarang. Dhanu, manusia brengsek yang terguling memegang selangkangannya sambil mencicit kesakitan seperti hama tikus. Tanpa pikir panjang, Dipta menarik kerah baju Dhanu dan mulai menghajarnya. Kegeramannya tak bisa ditahan-tahan lagi, dan Dhanu memang layak mendapatkan bogem mentah setelah semua hal gila yang dia lakukan kepada Ela. Even killing him in one go was still not enough for Dipta
Pagi hari dirinya dan Ela berpisah tujuan, sang istri ke galeri memulai kegiatannya dan Dipta berkumpul bersama Mas Sultan untuk pergi ke basecamp yang disewa Reza demi mengecek hasil buzzing mereka semalam. Turned out it went exceptionally well. Apalagi ketika muncul beberapa bukti tentang betapa bejatnya seorang Dhanu. Pria itu menggunakan kekuasaan ayahnya dengan serampangan, dan betapa mudah mengangkangi hukum. Terutama ketika narasi pria itu pernah mabuk sambil membawa mobil dan menabrak seseorang hingga meninggal dunia. Kasusnya sempat ramai beberapa tahun lalu, sebelum akhirnya hilang terkubur begitu saja tanpa bekas. Tentu karena kekuasaan seorang Rahmat Trihadi yang berhasil membungkam semuanya dan membersihkan informasi tersebut, ditambah lagi Dhanu diungsikan ke luar negeri dengan dalih bersekolah di luar. Ketika berita lama itu kembali muncul ke permukaan, perbincangan dunia maya lambat laun beralih pada kapabilitas Rahmat Trihadi dalam bursa pemilihan presiden. Tagar k
Sejak kemarin malam, Dipta bersama Mas Sultan, Gala dan juga Reza–ketua tim elit Alfa yang dibentuk oleh Nero sibuk mengunjungi satu gedung perkantoran kecil dan tak mencolok yang rupanya dipakai sebagai salah satu basecamp kelompok buzzer yang berafiliasi dengan tim Alfa untuk operasi menjatuhkan reputasi Dhanu Trihadi. Suatu hal baru bagi Dipta berkecimpung di dunia abu-abu seperti ini. Namun, Dipta percaya kepada Mas Sultan dan Nero yang akan membantunya untuk melepaskan ikatan dirinya dengan Rustam serta memastikan keadilan untuk istrinya. Tentu saja buzzer yang dipakai oleh tim Reza adalah tim kualitas terbaik yang dibantu dengan teknologi mutakhir artificial intelligence dengan data set machine learning yang mumpuni. Jadi mereka tak perlu banyak orang dalam menggerakkan buzzer di dunia maya, karena akun-akun ternakan tersebut merupakan bot dengan kemampuan berbahasa yang lebih natural. Sehingga semua cuitan dan serangan online yang dilancarkan oleh tim buzzer ini berkualitas se
Ela ragu bagaimana dia harus bersikap di hadapan Hakim dan Dhanu sekarang untuk membalas ancaman dan juga ucapan mereka yang tak Ela mengerti satu pun. Yang bisa Ela tanggapi hanyalah tentang video privat dirinya dan Dipta yang sialnya… mungkin sudah jatuh ke tangan Hakim dan Dhanu. Badannya seketika menggigil. Ela merasa ditelanjangi dan dipermalukan oleh kedua pria kurang ajar ini. “Kalian cuma bisa mengancam perempuan untuk menyelesaikan masalah seperti ini? You? All of the people?” Ela mengejek dan memprovokasi mereka. Sikapnya yang seperti ini semata dilakukan untuk melindungi diri agar tak diinjak-injak lebih dalam lagi. “Siapa sih konsultan politik kalian? They can’t even navigate and cool down the negative news?” tambalnya dengan nada dingin. Kali ini Hakim yang terlihat jengkel, dan Dhanu geram karena diskak oleh Ela. “How was it, sleeping with Dipta? Better than Dhanu?” Tapi Hakim justru membalas ucapan Ela dengan remark yang merendahkan martabatnya sebagai perempuan.
Baru saja Ela keluar dari galeri, dia sudah dihadang oleh dua orang pria yang tidak Ela kenali. “Ibu Elaina? Pak Hakim sudah menyiapkan mobil,” ujar seorang pria yang kini beralih pindah ke sebelah Ela. Satu orang lagi bergerak di belakang Ela. “Saya bawa mobil sendiri.” Dia mencoba menghindar dan memperlebar jarak dari keduanya. Tapi sayang, mereka sudah mengepungnya dan memaksanya untuk ikut ke dalam mobil. “Pergi atau saya teriak–” ancam Ela dengan sungguh-sungguh. Kedua pria itu saling menatap, berkomunikasi tanpa kata hingga salah seorang pria menganggukkan kepalanya. “Saya ikut dalam mobil Anda. Rekan saya akan mengikuti dari belakang.”Itu bukanlah balasan yang Ela ingin dengar. Tetap saja berbahaya baginya. “Nggak bisa!” tolaknya dengan keras. “Jangan mempersulit, Bu. Kami tidak akan melukai Anda. Kami hanya butuh mengantar Anda sesuai tujuan. Lebih cepat lebih baik. Pak Hakim berkata jangan main-main,” ancamnya yang membuat Ela semakin frustasi dan ketakutan. Mereka
“Ela, semua bahan press udah naik tayang ya di beberapa media? Dari komunitas lelang, charity dan donor sendiri gimana? Apa feedback dari mereka? Dan untuk komunitas dari luar negeri sudah beres di handle? Perwakilan mereka sudah ada LO masing-masing, kan?” Mbak Rengganis memberikan daftar panjang checklist hal-hal yang harus Ela persiapkan menjelang pembukaan art exhibition yang sudah semakin dekat. “Aman, Mbak. Kita udah sebar juga ke komunitas, artists, dan art influencer di beberapa media sosial seperti Tiktok, i*******m, vlogger dan blogger. All good, dan hype di media juga cukup oke kalau saya pantau,” jawab Ela untuk satu pertanyaan Mbak Rengganis. Rengganis mengangguk mendengar penjelasannya. “Lalu untuk badan amal, charity sudah cukup banyak yang RSVP, dan beberapa donor pun sudah RSVP untuk acara pembukaan. Mereka sudah siap dengan bidding lot beberapa karya yang akan dilepas untuk lelang,” lanjutnya sambil mengecek buku agendanya. Mengecek secara detail pertanyaan dari
ELA“Kamu mau sampai kapan tiduran terus, Sayang? Memang nggak pusing?” Suara bariton khas suaminya membuat Ela semakin nyaman bergelung di dalam selimutnya. “Hmm,” protesnya tanpa membuka matanya yang masih terasa berat. “Nanti kamu malam malah nggak bisa tidur, lho. Kacau semua jadwal tidurmu nanti. Terus nanti kamu malah nenggak espresso dan makin jadi itu GERD-nya! Ayo bangun dulu!” Kini Dipta tak hanya memintanya bangun. namun tangan lelaki itu sudah sibuk menjawil pipinya dan menggelitiki perutnya dengan leluasa. “Mas!” Suara protesnya semakin membesar.Susah payah Ela menepis tangan Dipta yang sudah mulai usil mengganggu kesenangan tidurnya pagi ini. Eh, ini masih pagi, bukan? Astaga, Ela masih begitu ngantuk! A little more sleep couldn’t hurt, ‘kan?Acara soiree semalam sukses membuatnya seperti zombie hidup hingga lepas tengah malam. Mereka berdua baru bisa kembali ke rumah hingga jam tiga dini hari. Bahkan Ela tak ingat apa yang dia lakukan setelah melepaskan sepatu yan
“Gue udah dapat lead tentang video itu. Setelah pengembangan investigasi dari informasi Grace Hariman, kita bisa tracing di mana mereka menyimpan file tersebut. Kemungkinan besar ada di kediaman Dhanu.” Nero bergumam. “Gue udah coba trace sisa-sisa file dari device Grace dan komplotannya. Sejauh ini memang tidak ada, tapi memang gue sejujurnya masih khawatir kalau gue melewatkan hal krusial,” ujar Mas Sultan menimpali. “Double confirm. Gue juga udah nyuruh anak buah gue–Reza, untuk mengecek kembali seluruh device Grace dan anak buahnya. Sudah bersih. Gue hampir yakin master file ada di tangan Dhanu.” Nero mengangguk setuju. Dipta menoleh ke arah Nero yang bersedekap. “Kita bagi tugas, gimana?” celetuk Nero tiba-tiba. Mas Sultan menaikkan sebelah alisnya. “Tell us, I am all ears.” “Tugas pertama adalah tarik master file dari Dhanu. By all means necessary. Bahkan sampai harus pakai jalan hacking, bribery, and well, you know–” Dipta mengangguk, mengerti ke mana arah pembicaraan Ner
“Lho? Sudah selesai rapatnya toh?” Dewi Sastrowilogo terperangah ketika melihat gerombolan pria yang berdiri di depan lift dengan beragam ekspresi yang tercipta di wajah mereka masing-masing. Raka yang kepalang kesal, Darius dan Nero yang getol ngecengin Raka, serta dirinya dan Mas Sultan yang kebingungan di tengah internal joke yang saling dilemparkan tiga serangkai ini. Mereka berlima memberikan jalan kepada tiga perempuan itu untuk keluar dari lift, dan menutup kembali pintu lift. Membatalkan rencana untuk turun demi berbincang dengan Bu Dewi dan rombongan kecilnya. “Mau ke mana kalian?” todong Bu Dewi. “Ke bawah, Tante. Mau ngerokok–” Darius menjawab sebelum berhenti ketika melihat istrinya melotot ke arahnya. “Err… cari angin di luar,” ralatnya buru-buru. “Temani kami saja, ini Ibu mau tunjukkan koleksi spesial Ibu kepada Amira dan Prajna, supaya mereka tahu beberapa pusaka dari Sastrowilogo,” tutur Bu Dewi yang membuat para lelaki mati kutu di tempat mereka berdiri. Amira