DIPTA
Dipta seketika membuka matanya ketika dia terbangun dari tidurnya.Matanya mengernyit tatkala melihat lampu kamar terang benderang. Napasnya terhenti seketika tatkala dia menyadari di dadanya bersandar seorang perempuan yang tertidur pulas dalam pelukannya.“Ah, sial!” rutuknya pelan.Dia tak ingat kalau dia membawa perempuan ke dalam kamarnya tadi malam.Dalam memorinya yang terpecah dan blur, hal terakhir yang dia ingat adalah dia berkoordinasi dengan tim keamanan hotel dalam acara pertunangan putri bosnya–Elaina Gauri Dharmawan dengan Dhanu Anggara Trihadi. Putra pertama pemilik partai politik Pembangunan Indonesia Raya–Pak Rahmat Trihadi yang sedang mencalonkan diri sebagai calon presiden dalam kontestasi pemilu mendatang.Dipta mengerjapkan matanya sekali lagi, dia benci one night stand saat dia dalam keadaan standby bekerja. Menunjukkan secara gamblang penurunan profesionalitas yang dijunjung tinggi olehnya.Pagi ini seharusnya dia mengecek keadaan Elaina, putri sang bos yang merupakan pekerjaan utamanya setelah sang bos–Hendra Dharmawan memintanya secara pribadi untuk menjaga Elaina 24 jam 7 hari seminggu selama masa pertunangan hingga menuju hari pernikahan putrinya tersebut.“Hey, bangun! Gue harus cabut–” Ucapannya terhenti ketika Dipta dengan samar dapat mencium sisa parfum sang perempuan yang wajahnya masih tertutupi rambut hitam lebat sang partner one night stand-nya yang menjuntai indah di dada bidangnya.Dadanya bergemuruh kencang.Dipta hafal wangi parfum ini.Wangi khas vanilla hangat yang begitu seksi dan menggoda. Wangi yang selalu mampir ke hidungnya setiap dia berjalan di belakang sosok yang selalu dijaga olehnya.Dengan tangan yang sedikit gemetar, Dipta menyibakkan helaian rambut yang menutupi wajah perempuan di dalam pelukannya, dan ketakutannya kini menjadi kenyataan.Double damn!Di dalam pelukannya, Elaina Gauri Dharmawan tertidur pulas tanpa beban setelah semalaman mereka bercinta dengan liar. Tubuh mereka yang masih polos bersentuhan satu sama lain di balik selimut yang menutupi tubuh mereka berdua dari dinginnya air conditioner.Kepingan-kepingan ingatan kembali menyeruak dari alam bawah sadarnya.Potongan baju yang berserakan.Ciuman dalam, panas penuh gairah yang diberikan olehnya.Bagaimana Ela memekik kesakitan ketika miliknya melesak masuk pertama kali. Pengakuan singkat bahwa ini adalah kali pertama Ela melakukan penyatuan tubuh bersama pria.Desahan, lenguhan nikmat, erangan panjang yang tercipta dari mulut mereka masing-masing saat kenikmatan dari tiap sentuhan dan gerakan intim mereka terjadi detik-demi detik, jam berganti jam, hingga malam berganti fajar.“Sial, sial, sial!”Dipta merutuki kebodohan kolosalnya pagi ini.Tapi kemudian, dia teringat… ada yang salah dari dirinya dan Ela tadi malam.Dipta hampir yakin jika dirinya semalam berada dalam pengaruh obat afrodisiak.Yang perlu dipastikan sekarang adalah keadaan Elaina.Namun bagaimana itu bisa terjadi? Dia tak bisa mengingat secara utuh kecuali ketika mereka berdua mulai bercinta.Ada ingatan yang hilang tatkala dia mengecek sistem keamanan lobi hotel dan penyisiran kamar milik bosnya hingga terjadinya kejadian panas di kamar ini bersama Ela.“Elaina?” Dipta mengguncang bahu perempuan itu dengan lembut.Dia pantas dihukum yang seberat-beratnya karena telah menghancurkan hidup Elaina.“Elaina, tolong bangun.” Suara Dipta semakin berat disela tarikan napasnya.Dia mencoba bangkit untuk duduk, dan membawa Elaina dalam pelukannya.“Hey, wake up sleepyhead.” Sekali lagi Dipta mengguncangkan bahu Elaina sebelum akhirnya memencet hidung bangir Ela agar gadis itu segera terbangun.Benar saja, karena tak bisa bernapas, Ela bangun dan menarik napas dengan sedikit panik.“Hey… hey… Ela, it’s okay. Maaf saya harus membangunkanmu seperti ini,” ujar Dipta dengan suara pelan.Wajah Ela akhirnya terangkat dan dia mengerjapkan mata indahnya saat menatap Dipta. Raut wajah gadis itu menyiratkan kebingungan, sebelum akhirnya berubah menjadi ketakutan.“Pa–Pak Pradipta?” ujar Ela penuh kengerian.“Ya ampun, apa yang terjadi?”Dengan penuh kepanikan, Elaina mencoba melompat dari ranjang menjauhi tubuh Dipta. Tapi selimut tebal yang menutupi tubuh polos mereka menghentikan gerak sembrono Ela dan menyebabkan gadis itu hampir terjerembab jatuh jika Dipta tak menahan tubuh mungilnya di dalam dekapannya.“Hati-hati!” pungkasnya spontan.“Aaargh!”Ela yang membawa selimut untuk menutupi tubuhnya berteriak kaget ketika melihat tubuh Dipta yang polos.Dipta melihat ‘kerusakan’ yang dia ciptakan di sekujur tubuh mulus Ela. Dia menutup matanya sekali lagi dan ingin berteriak marah.“Maafkan saya, Bu. Jika Ibu bisa membalikkan badan sebentar saya akan bergegas memakai–” Dipta bangkit dari ranjang dan menutup bagian paling privatnya dengan bantal persegi panjang saksi percintaan liar mereka semalam.“Saya yang ke kamar mandi, sebentar! Jangan ke mana-mana!” Gadis itu memerintahkan Dipta untuk tetap di tempat sebelum Ela berlari menuju kamar mandi.Pakaian mereka masih berserakan di karpet beludru yang menutupi lantai sekitar ranjang king size mereka.Dengan cekatan Dipta memakai kembali kemeja dan celana panjangnya. Di dalam kamar mandi, Dipta mendengar suara percikan air dan dia menggelengkan kepalanya.Bagaimana caranya dia mengurai semuanya.Di tengah rasa pengar dan disorientasi yang muncul akibat efek obat yang masuk ke dalam tubuhnya, Dipta mengamati keadaan seluruh kamar. Mencari sesuatu yang mencurigakan di sekeliling ruangan. Mulai dari sofa, nakas di samping ranjang hingga akhirnya lemari besar yang terletak di depan ranjang. Dipta hampir menutup lemari pakaian sebelum akhirnya berhenti sejenak.Ada yang aneh, Dipta mendekat dan, ah sial!Kamera tersembunyi!Ada upaya jahat kepada mereka berdua. Dipta yakin akan hal tersebut.Buru-buru Dipta mencabut kamera kecil tersebut dan bergegas mencari ponselnya untuk menghubungi anak buahnya.Ponselnya berada di nakas samping ranjang, dan dia melihat puluhan missed call dari rekan kerjanya.Namun sebelum dia menghubungi salah seorang anak buah kepercayaannya, pintu kamar mandi terbuka dan Ela keluar dari kamar mandi dengan bathrobe membalut tubuhnya.“Pak Pradipta,” ujarnya dengan suara yang lembut.Jantungnya berdesir mendengar suara tersebut. Ingatannya sontak melayang pada malam panas dan dia mendengar bagaimana Ela bersuara ketika dia menikmati–Dipta kembali menggelengkan kepalanya, mencoba menjernihkan pikirannya kembali dan fokus pada seseorang yang berdiri di hadapannya sekarang.Dipta menunjukkan kamera tersembunyi yang berhasil diamankan.“Biarkan saya menyisir ruangan ini sekali lagi. Saya khawatir masih ada beberapa kamera yang tersembunyi di seluruh ruangan,” ujarnya dengan tegas.Tanpa menunggu jawaban Ela, Dipta kembal memutari seluruh ruangan. Kali ini dia menyusuri setiap sudut dengan teliti. Memastikan semua telah dicek secara sempurna.Dari sudut matanya, Dipta melihat Ela menggigit bibir bawahnya seraya memerhatikan gerak Dipta dengan saksama.Di tangannya, total ada 3 kamera tersembunyi dengan sound system yang tertanam di-device tersebut.“Ada yang menyabotase kita, Bu,” ujar Dipta kepada Ela seraya menunjukkan hasil inspeksinya.Dipta melihat Ela masih kebingungan dan gadis itu juga tak tahu bagaimana menanggapi hal yang terjadi di antara mereka.Ela menatap jari manisnya tempat cincin berlian yang disematkan tunangan gadis itu malam tadi.“Aku harus gimana sekarang?” tanya Ela dengan lemah.“Kalau Dhanu sama Papa tahu gimana?” ujarnya menambahkan.Dipta berdeham.“Saya akan bertanggungjawab, dan saya akan bicara kepada Pak Hendra dan Pak Dhanu jika diperlukan.”Dipta Bagaskara siap menanggung konsekuensinya. Konsekuensi tidur bersama putri atasannya.Dipecat adalah hukuman teringan yang akan siap dia terima.“Gimana caranya tanggung jawab?” Ela mengernyitkan dahinya.Dia melihat tangan gadis itu gemetar.“Saya akan menjelaskan semuanya, dan saya ingin meminta maaf semalam–”Permintaan maaf Dipta terinterupsi dengan bel yang berulang kali berbunyi.Ela beranjak ingin mengecek siapa orang di balik pintu tersebut, namun Dipta menahannya dan menggelengkan kepalanya.“Biar saya yang cek,” ujarnya sambil menempelkan telunjuk di bibirnya. Mengisyaratkan agar mereka berdua tak perlu berbicara.Lewat lubang intip, Dipta mengecek siapa yang menggedor pintu kamar ini secara paksa.Dan dari balik lensa terlihat siapa yang tak sabaran memencet bel sekaligus menggerakkan gagang pintu otomatis kamar ini.“Elaina! Keluar sekarang!”Ela terkesiap kaget saat mendengar suara di luar.“Ada Pak Hendra Dharmawan dan Pak Dhanu di depan, Bu Elaina.”“Papa?” Elaina bertanya dengan pelan.Dipta menganggukkan kepalanya.ELA Belum hilang kebingungannya pagi ini ketika dia mendapati dirinya berada di pelukan ajudannya–dengan telanjang pula! Kini dia dikagetkan dengan gedoran pintu serta panggilan marah papanya yang membuatnya semakin khawatir. Elaina tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Otaknya masih buntu. Tubuhnya masih terasa nyeri, dan kepalanya masih begitu berat. Sosok Pradipta yang terlihat tenang setidaknya membuat kepanikannya sedikit berkurang meskipun tangannya masih terasa kebas dan begitu dingin. Pradipta membuka pintunya dan kamar hotel ini langsung diserbu dengan kedatangan papanya beserta tunangannya, Dhanu. “Jelaskan arti semua ini Pradipta!” Suara papa yang begitu menggelegar membuat Elaina berjungkit kaget. Di samping papa, Dhanu hanya membisu dan menatap Ela dengan tatapan tajam yang membuat Ela semakin merasa kecil. Di tubuhnya hanya terbalut bathrobe putih hotel, rambutnya basah sehabis shower. Sedangkan ajudannya yang berada dalam satu kamar bersamanya berdiri denga
DIPTAMobil dinas yang biasa ditumpangi bersama tim pengawal lainnya sudah ditarik oleh Pak Hendra seiring dengan kepulangan keluarga bosnya itu kembali ke kediamannya. Dipta melihat Ela yang menunduk malu saat mereka melewati lobi hotel bintang lima ini tempat semalam Ela menggelar pesta pertunangannya. Dia tak bisa diam saja melihat betapa menyedihkannya sikap Ela sekarang. Menunduk dan membiarkan surai rambut hitamnya yang setengah basah menutupi wajah cantik pucatnya tanpa make-up. Gaun bertali tipis yang melekat sempurna di tubuh indahnya pun siang ini membuat sang empunya merasa tak nyaman. Gelagat dan suasana muram ini tersampaikan kepadanya–seorang pria yang berjalan bersisian di sampingnya. Dengan cekatan Dipta membuka jas hitamnya dan menyampirkan ke bahu Ela. Gadis itu menoleh dan menatapnya dengan nanar. Elaina berusaha menutupi kesedihan di balik senyumnya yang cantik. “Terima kasih,” ujarnya pelan. The ever polite princess. Bahkan di tengah keadaan brutal seperti
ELAEla melepas gaun yang melekat pada tubuhnya sesaat setelah dia tiba di kamarnya. Dia mematut dirinya di depan cermin besar, melihat refleksi wajah dan tubuhnya yang terlihat menyedihkan sembari termenung. Gerakannya mengganti pakaian kemudian menyisir rambutnya terasa seperti autopilot. Rasa sakit hatinya mengalahkan semua pemikiran yang sedang bercokol hebat di dalam otaknya. Ela tak menyangka bagaimana keluarganya menolak mentah-mentah tentang fakta yang dialaminya dan memilih untuk membicarakan kelanjutan nasib keluarga mereka dibandingkan mengecek keadaannya. Belum lagi Dhanu. Pria yang dia anggap sebagai salah satu orang yang akan membelanya justru memilih untuk mencampakkannya dan dengan tegas mengutarakan penolakannya atas pertunangan mereka. Tak lama Ela tertawa sendiri, seperti orang gila. Ya, dia memang jadi gila! Ternyata ini adalah wajah asli keluarga Dharmawan. Ela ternyata hidup dalam keluarga semu dan semua persepsinya tentang kehangatan keluarga hanyalah ilusi
Lihat, betapa terkejutnya wajah kedua orang tuanya serta kakaknya ketika Ela berbicara seperti itu!Mereka semua menganggap Ela gila!Memang benar! Dia sudah gila, dan dia tak akan melepas semua kungkungan yang memenjarakan dirinya dan akan bertindak bebas sesuai keinginan hatinya. “Jangan gila kamu!” Papa mengalihkan pandanganya dari Pradipta kepada dirinya. Ela menyadari jika wajahnya refleks tersenyum. Mungkin ini senyum pertamanya sejak kejadian malam itu. Deshinta sang kakak pun menatapnya seperti Ela seorang pesakitan yang baru saja kabur dari rumah sakit khusus pasien jiwa. “Apa mau pria lain bertanggung jawab dengan ini semua dan membesarkan anakku kelak, Pa? Bukankah itu malah menjadi skandal yang lebih besar?” Ela bertanya langsung kepada papanya. Dia tahu Hendra Dharmawan mementingkan nama baik di atas segalanya. Tentu saja ucapannya tadi langsung mendapatkan perhatian penuh papanya. “Pasti ada pria terhormat lainnya yang bisa menikahimu,” balas sang papa dengan nada
DIPTADipta melihat bagaimana bosnya–atau mantan bosnya, memperlakukan putrinya sendiri terhadap musibah yang menimpa gadis itu.Setelah naik turunnya emosi seperti roller coaster sejak tadi, Dipta menghela napasnya dan menatap Ela sekali lagi. “Mau saya temani?” tanyanya pelan. Gadis itu terlihat rapuh dan wajahnya pias. Apalagi setelah pertengkaran hebat dengan kedua orang tuanya dan tuntutannya agar dia menikah dengan Dipta, jika ada kehidupan baru–Jantung Dipta kembali berpacu kencang. “Uh… kapan kita bisa tahu kalau, kamu mengandung?” tanya Dipta dengan tenang, meskipun kini jantungnya kebat-kebit.Ela mengedikkan bahunya. “Sekitar dua minggu? Tunggu apa aku terlambat datang bulan atau nggak,” jawab Ela pelan. Wajah gadis pun memerah ketika menjelaskan perihal tersebut. Dipta mengangguk. “Saya akan selalu mendukung keputusan Ibu kelak. Mau,uh dilanjutkan atau–” Belum sempat Dipta menjelaskan opsi terakhir yang begitu pahit di mulutnya, Elaina sudah menggelengkan kepalany
“Saya khawatir dengan ucapan buruk orang terhadapmu,” ujarnya jujur. “Saya nggak pernah merasa malu dengan profesi saya sebagai pengawal. Saya mendapatkan nafkah dengan cara halal. Tapi… saya tidak bisa tutup mata tentang dunia kamu.” Dipta menambahkan dengan serius. Dunia Elaina dari sudut pandang Dipta penuh dengan persaingan, intrik, saling sikut dan jegal. Perang opini hingga cara-cara kotor dilakukan demi status, kekayaan, kekuatan dan power merupakan cara lumrah dalam dunia elit milik Elaina. Dia tahu Ela pasti akan menjadi sasaran empuk dan target point blank dari para hyena yang menunggu kejatuhan Ela. Belum lagi musuh politik Pak Hendra Dharmawan yang akan mencari celah menjatuhkan pria itu lewat Elaina. “Maksud kamu duniaku kotor, begitu?” tanya Ela sambil mengernyitkan dahi. Dengan gelagapan Dipta mengoreksi asumsi Ela. “Bukan begitu, Ela!” bantahnya. “Maksud saya, duniamu itu ‘kan begitu keras. Saya khawatir jika kamu bersama dengan saya… nanti kamu akan menjadi tar
ELA Percakapannya dengan Dipta berakhir sebelum petang datang. Setidaknya Ela mendapatkan kepastiannya dan dia mulai berani merajut sendiri masa depannya kelak. Mempunyai anak, atau tidak mempunyai anak. Kini pikirannya tercurah pada masalah baru yang timbul akibat dari satu malam panas itu bersama pengawalnya. Di tengah lamunannya, Ela mendapati Dipta berdiri dari kursinya dan memegang gagang kursi yang menopang kepalanya. Sontak Ela menengadah dan menatap Dipta dengan serius. “Saya akan kembali lagi dan berbicara jika semua sudah lebih tenang.” Dipta mengulas senyum tipis ke arahnya. Aneh sekali, biasanya hanya Dhanu yang mampu membuatnya salah tingkah. Tapi kini senyum
“Bukannya kamu sendiri yang ngotot mau menikah dengan Dipta tadi? Why do you think that you are the victim here?” Sindiran demi sindiran dilontarkan Deshinta tanpa henti kepadanya. Ela mengerjapkan matanya untuk menghilangkan rasa panas yang beresonansi dengan denyut sakit di hatinya. Dia sudah terbiasa beradu pendapat dengan sang kakak. Terutama sejak kejadian Harsya beberapa tahun lalu. Hubungan yang semakin menjauh, ditambah dengan bibit kebencian yang disebar oleh Deshinta secara sadar kini mulai bertumbuh layaknya duri di hati Elaina. “All of the people, the real victims are Dhanu, Papa and Om Rahmat!” desis Deshinta penuh penghakiman. Ela tak terima disudutkan dan selalu dianggap sebagai penjahat di mata kakaknya. “Kamu malah playing victim di sini!” Semakin Ela diam, semakin nyalang kebencian yang kakaknya tunjukkan secara gamblang kepadanya. “Mbak, aku nggak mau berdebat dengan kamu. Semua yang aku katakan pasti selalu saja dicari pembenarannya sama kamu,” ujarnya l
Kemarahan yang tak dapat Dipta tahan akhirnya meledak juga tatkala dirinya mendapati keadaan Ela di dalam ruang meeting bersama Hakim dan Dhanu. Hakim dengan santai memperhatikan Dhanu dan Ela yang bertengkar hebat ketika Dipta dan kedua rekannya menjejakkan kaki di dalam ruangan tersebut. Tanpa basa-basi, Dipta langsung menghambur menghampiri Ela. Prioritas utamanya, untuk memastikan istri tercintanya tak kurang satu apapun. Rambut Ela berantakan, lengannya yang halus berubah menjadi kemerahan. Sontak semuanya membuat Dipta gelap mata dan dia paham siapa yang menyebabkan keadaan Ela seperti sekarang. Dhanu, manusia brengsek yang terguling memegang selangkangannya sambil mencicit kesakitan seperti hama tikus. Tanpa pikir panjang, Dipta menarik kerah baju Dhanu dan mulai menghajarnya. Kegeramannya tak bisa ditahan-tahan lagi, dan Dhanu memang layak mendapatkan bogem mentah setelah semua hal gila yang dia lakukan kepada Ela. Even killing him in one go was still not enough for Dipta
Pagi hari dirinya dan Ela berpisah tujuan, sang istri ke galeri memulai kegiatannya dan Dipta berkumpul bersama Mas Sultan untuk pergi ke basecamp yang disewa Reza demi mengecek hasil buzzing mereka semalam. Turned out it went exceptionally well. Apalagi ketika muncul beberapa bukti tentang betapa bejatnya seorang Dhanu. Pria itu menggunakan kekuasaan ayahnya dengan serampangan, dan betapa mudah mengangkangi hukum. Terutama ketika narasi pria itu pernah mabuk sambil membawa mobil dan menabrak seseorang hingga meninggal dunia. Kasusnya sempat ramai beberapa tahun lalu, sebelum akhirnya hilang terkubur begitu saja tanpa bekas. Tentu karena kekuasaan seorang Rahmat Trihadi yang berhasil membungkam semuanya dan membersihkan informasi tersebut, ditambah lagi Dhanu diungsikan ke luar negeri dengan dalih bersekolah di luar. Ketika berita lama itu kembali muncul ke permukaan, perbincangan dunia maya lambat laun beralih pada kapabilitas Rahmat Trihadi dalam bursa pemilihan presiden. Tagar k
Sejak kemarin malam, Dipta bersama Mas Sultan, Gala dan juga Reza–ketua tim elit Alfa yang dibentuk oleh Nero sibuk mengunjungi satu gedung perkantoran kecil dan tak mencolok yang rupanya dipakai sebagai salah satu basecamp kelompok buzzer yang berafiliasi dengan tim Alfa untuk operasi menjatuhkan reputasi Dhanu Trihadi. Suatu hal baru bagi Dipta berkecimpung di dunia abu-abu seperti ini. Namun, Dipta percaya kepada Mas Sultan dan Nero yang akan membantunya untuk melepaskan ikatan dirinya dengan Rustam serta memastikan keadilan untuk istrinya. Tentu saja buzzer yang dipakai oleh tim Reza adalah tim kualitas terbaik yang dibantu dengan teknologi mutakhir artificial intelligence dengan data set machine learning yang mumpuni. Jadi mereka tak perlu banyak orang dalam menggerakkan buzzer di dunia maya, karena akun-akun ternakan tersebut merupakan bot dengan kemampuan berbahasa yang lebih natural. Sehingga semua cuitan dan serangan online yang dilancarkan oleh tim buzzer ini berkualitas se
Ela ragu bagaimana dia harus bersikap di hadapan Hakim dan Dhanu sekarang untuk membalas ancaman dan juga ucapan mereka yang tak Ela mengerti satu pun. Yang bisa Ela tanggapi hanyalah tentang video privat dirinya dan Dipta yang sialnya… mungkin sudah jatuh ke tangan Hakim dan Dhanu. Badannya seketika menggigil. Ela merasa ditelanjangi dan dipermalukan oleh kedua pria kurang ajar ini. “Kalian cuma bisa mengancam perempuan untuk menyelesaikan masalah seperti ini? You? All of the people?” Ela mengejek dan memprovokasi mereka. Sikapnya yang seperti ini semata dilakukan untuk melindungi diri agar tak diinjak-injak lebih dalam lagi. “Siapa sih konsultan politik kalian? They can’t even navigate and cool down the negative news?” tambalnya dengan nada dingin. Kali ini Hakim yang terlihat jengkel, dan Dhanu geram karena diskak oleh Ela. “How was it, sleeping with Dipta? Better than Dhanu?” Tapi Hakim justru membalas ucapan Ela dengan remark yang merendahkan martabatnya sebagai perempuan.
Baru saja Ela keluar dari galeri, dia sudah dihadang oleh dua orang pria yang tidak Ela kenali. “Ibu Elaina? Pak Hakim sudah menyiapkan mobil,” ujar seorang pria yang kini beralih pindah ke sebelah Ela. Satu orang lagi bergerak di belakang Ela. “Saya bawa mobil sendiri.” Dia mencoba menghindar dan memperlebar jarak dari keduanya. Tapi sayang, mereka sudah mengepungnya dan memaksanya untuk ikut ke dalam mobil. “Pergi atau saya teriak–” ancam Ela dengan sungguh-sungguh. Kedua pria itu saling menatap, berkomunikasi tanpa kata hingga salah seorang pria menganggukkan kepalanya. “Saya ikut dalam mobil Anda. Rekan saya akan mengikuti dari belakang.”Itu bukanlah balasan yang Ela ingin dengar. Tetap saja berbahaya baginya. “Nggak bisa!” tolaknya dengan keras. “Jangan mempersulit, Bu. Kami tidak akan melukai Anda. Kami hanya butuh mengantar Anda sesuai tujuan. Lebih cepat lebih baik. Pak Hakim berkata jangan main-main,” ancamnya yang membuat Ela semakin frustasi dan ketakutan. Mereka
“Ela, semua bahan press udah naik tayang ya di beberapa media? Dari komunitas lelang, charity dan donor sendiri gimana? Apa feedback dari mereka? Dan untuk komunitas dari luar negeri sudah beres di handle? Perwakilan mereka sudah ada LO masing-masing, kan?” Mbak Rengganis memberikan daftar panjang checklist hal-hal yang harus Ela persiapkan menjelang pembukaan art exhibition yang sudah semakin dekat. “Aman, Mbak. Kita udah sebar juga ke komunitas, artists, dan art influencer di beberapa media sosial seperti Tiktok, i*******m, vlogger dan blogger. All good, dan hype di media juga cukup oke kalau saya pantau,” jawab Ela untuk satu pertanyaan Mbak Rengganis. Rengganis mengangguk mendengar penjelasannya. “Lalu untuk badan amal, charity sudah cukup banyak yang RSVP, dan beberapa donor pun sudah RSVP untuk acara pembukaan. Mereka sudah siap dengan bidding lot beberapa karya yang akan dilepas untuk lelang,” lanjutnya sambil mengecek buku agendanya. Mengecek secara detail pertanyaan dari
ELA“Kamu mau sampai kapan tiduran terus, Sayang? Memang nggak pusing?” Suara bariton khas suaminya membuat Ela semakin nyaman bergelung di dalam selimutnya. “Hmm,” protesnya tanpa membuka matanya yang masih terasa berat. “Nanti kamu malam malah nggak bisa tidur, lho. Kacau semua jadwal tidurmu nanti. Terus nanti kamu malah nenggak espresso dan makin jadi itu GERD-nya! Ayo bangun dulu!” Kini Dipta tak hanya memintanya bangun. namun tangan lelaki itu sudah sibuk menjawil pipinya dan menggelitiki perutnya dengan leluasa. “Mas!” Suara protesnya semakin membesar.Susah payah Ela menepis tangan Dipta yang sudah mulai usil mengganggu kesenangan tidurnya pagi ini. Eh, ini masih pagi, bukan? Astaga, Ela masih begitu ngantuk! A little more sleep couldn’t hurt, ‘kan?Acara soiree semalam sukses membuatnya seperti zombie hidup hingga lepas tengah malam. Mereka berdua baru bisa kembali ke rumah hingga jam tiga dini hari. Bahkan Ela tak ingat apa yang dia lakukan setelah melepaskan sepatu yan
“Gue udah dapat lead tentang video itu. Setelah pengembangan investigasi dari informasi Grace Hariman, kita bisa tracing di mana mereka menyimpan file tersebut. Kemungkinan besar ada di kediaman Dhanu.” Nero bergumam. “Gue udah coba trace sisa-sisa file dari device Grace dan komplotannya. Sejauh ini memang tidak ada, tapi memang gue sejujurnya masih khawatir kalau gue melewatkan hal krusial,” ujar Mas Sultan menimpali. “Double confirm. Gue juga udah nyuruh anak buah gue–Reza, untuk mengecek kembali seluruh device Grace dan anak buahnya. Sudah bersih. Gue hampir yakin master file ada di tangan Dhanu.” Nero mengangguk setuju. Dipta menoleh ke arah Nero yang bersedekap. “Kita bagi tugas, gimana?” celetuk Nero tiba-tiba. Mas Sultan menaikkan sebelah alisnya. “Tell us, I am all ears.” “Tugas pertama adalah tarik master file dari Dhanu. By all means necessary. Bahkan sampai harus pakai jalan hacking, bribery, and well, you know–” Dipta mengangguk, mengerti ke mana arah pembicaraan Ner
“Lho? Sudah selesai rapatnya toh?” Dewi Sastrowilogo terperangah ketika melihat gerombolan pria yang berdiri di depan lift dengan beragam ekspresi yang tercipta di wajah mereka masing-masing. Raka yang kepalang kesal, Darius dan Nero yang getol ngecengin Raka, serta dirinya dan Mas Sultan yang kebingungan di tengah internal joke yang saling dilemparkan tiga serangkai ini. Mereka berlima memberikan jalan kepada tiga perempuan itu untuk keluar dari lift, dan menutup kembali pintu lift. Membatalkan rencana untuk turun demi berbincang dengan Bu Dewi dan rombongan kecilnya. “Mau ke mana kalian?” todong Bu Dewi. “Ke bawah, Tante. Mau ngerokok–” Darius menjawab sebelum berhenti ketika melihat istrinya melotot ke arahnya. “Err… cari angin di luar,” ralatnya buru-buru. “Temani kami saja, ini Ibu mau tunjukkan koleksi spesial Ibu kepada Amira dan Prajna, supaya mereka tahu beberapa pusaka dari Sastrowilogo,” tutur Bu Dewi yang membuat para lelaki mati kutu di tempat mereka berdiri. Amira