ELA
Ela melepas gaun yang melekat pada tubuhnya sesaat setelah dia tiba di kamarnya. Dia mematut dirinya di depan cermin besar, melihat refleksi wajah dan tubuhnya yang terlihat menyedihkan sembari termenung. Gerakannya mengganti pakaian kemudian menyisir rambutnya terasa seperti autopilot. Rasa sakit hatinya mengalahkan semua pemikiran yang sedang bercokol hebat di dalam otaknya. Ela tak menyangka bagaimana keluarganya menolak mentah-mentah tentang fakta yang dialaminya dan memilih untuk membicarakan kelanjutan nasib keluarga mereka dibandingkan mengecek keadaannya. Belum lagi Dhanu. Pria yang dia anggap sebagai salah satu orang yang akan membelanya justru memilih untuk mencampakkannya dan dengan tegas mengutarakan penolakannya atas pertunangan mereka. Tak lama Ela tertawa sendiri, seperti orang gila. Ya, dia memang jadi gila! Ternyata ini adalah wajah asli keluarga Dharmawan. Ela ternyata hidup dalam keluarga semu dan semua persepsinya tentang kehangatan keluarga hanyalah ilusi semata. Ilusi yang langsung gugur dan runtuh karena tipu muslihat yang menimpa dirinya dan sang ajudan–Pradipta. Ela beranjak menuju recliner seat di dekat balkon kamarnya yang berada di lantai dua–dengan pemandangan langsung ke taman depan rumah. Biasanya dia membuka ponselnya saat duduk sambil melihat pemandangan di waktu senggang. Namun tidak untuk sore ini. Dia tak ingat di mana ponselnya berada. Mungkin saja hilang atau diamankan orang lain, entahlah. Pikirannya buntu. Ela tak tahu apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan semua masalah ini. “Lebih baik kamu nggak usah keluar dari rumah dulu, Ela.”Ela mendengar kakaknya berbicara. Pintu kamarnya yang biasanya diketuk dahulu tiba-tiba terbuka begitu saja dan kakaknya melenggang tanpa meminta izin darinya dahulu. Dinamika hubungannya dengan Deshinta memang tak terlalu baik sejak beberapa tahun lalu. Semuanya dimulai ketika pacar Deshinta memilih untuk memutuskan kakaknya dan mengejar dirinya. Tentu saja Ela menolak mentah-mentah dan menunjukkan solidaritasnya kepada sang kakak. Namun sepertinya itu adalah titik mula hubungan mereka yang merenggang, dan seberapa kuat Ela mencoba menjalin kembali hubungannya dengan sang kakak, sekuat itu pula Deshinta menolak uluran tangannya. “Kenapa?” tanya Ela dengan tenang, meskipun dia tahu ke mana arah pembicaraan mereka. “Biar aku dan Papa membereskan masalah ini dengan Dhanu dan keluarganya. Setelah beres baru kamu bisa cabut ke UK atau US. You just need to stay low-key for a while,” tandas kakaknya yang bersedekap sambil menatap Ela dengan serius. “Jadi ini balasanmu, Mbak, atas kesalahpahaman tentang Harsya bertahun-tahun lalu?” Ela bangkit dari kursinya dan menatap langsung ke manik mata sang kakak. Deshinta sedikit lebih pendek dibanding dirinya yang memiliki tinggi 175 cm. Kakaknya mungkin 10 cm lebih pendek dibanding dirinya, namun tentu saja–where she was lacked in height, she was extremely gifted in other things. Tubuh Deshinta terlihat proporsional dan begitu seksi, ditambah dengan beberapa kali kunjungan plastic surgeon terkemuka di Korea Selatan–Deshinta terlihat begitu seksi dan menggoda. Berkebalikan dengan Elaina yang cenderung ramping tanpa lekuk tubuh indah seperti sang kakak. Deshinta mengedikkan bahunya santai. “Kamu memang perlu merasakan gimana rasanya kehilangan orang yang dicintai karena saudara sendiri. It sucks, isn’t it?” balas Deshinta dengan tak acuh. Gestur tubuh kakaknya kini membuat Ela emosi. “Tapi aku bahkan nggak suka sama Harsya! Sama seperti kejadian semalam dengan Pak Dipta! Seharusnya Mbak Des bela aku waktu itu! Bukan memperuncing masalah–” Rentetan protesnya segera dibalas dengan gelengan kepala dan seringai mengejek dari kakaknya. “Memperuncing masalah? Aku?” Kini suara Deshinta semakin meninggi. “Nggak ngaca kamu ya? Semua kekacauan ini karena kamu seorang, Ela! Nggak usah mencari pembenaran dan malah menyalahkan aku!” Deshinta membentak Ela. “Tapi aku juga korban, Mbak!” Ela berteriak histeris. Akhirnya dia tak bisa menahan gejolak rasa sedihnya yang sudah terlalu dalam. “Kamu jelas-jelas menikmati malam itu sama Pradipta! Nggak usah bohong! Aku bisa lihat dari matamu saat memandang pengawal rendahan itu!” Deshinta kini mengeskalasi perseteruan mereka dengan mendorong tubuh Ela. Ela terkesiap. Kaget kakaknya bertindak agresif sampai seperti ini. “Mbak Des!” Ela tak terima dengan sikap kakaknya. “Don’t blame me if in the end, I will be the one who marries Dhanu. Kamu yang sudah begitu bodoh melepaskan kesempatan itu!” Selesai mengucapkan hal tersebut, Deshinta keluar dari kamar Ela dan menutup pintu dengan keras. Entah apa yang merasukinya, Ela tak diam saja dan dia mengejar kakaknya. Mungkin untuk bertengkar sebagai penyaluran emosinya, atau dia ingin membela dirinya dari segala bentuk fitnah yang ditujukan kepadanya sejak mereka memergoki dirinya bersama Pradipta tadi pagi. “Mbak Des! Kamu nggak bisa pergi begitu saja! Aku nggak terima dihina seperti ini–”Ela setengah berlari menuruni tangga marmer dan mengejar kakaknya yang berniat untuk keluar rumah. “Pak Ridho, tahan Ela! Jangan biarkan Ela keluar dari rumah ini tanpa perintah Papa atau aku!” Perintah kakaknya seperti petir di tengah hari bolong. “Kamu nggak bisa mengurungku di sini, Mbak!” Ela memberontak marah. Dia akhirnya bisa memapas jarak dan menghampiri kakaknya lalu menahan agar kakaknya tidak pergi sebelum semuanya terselesaikan. Saat Ela memegang bahu Deshinta, Pak Ridho datang di tengah-tengah mereka dan melerai keduanya. “Ibu, tolong jangan memperkeruh keadaan,” pinta Pak Ridho kepadanya. Namun ucapan Pak Ridho seperti memantik kemarahan Ela jadi semakin membesar. “Bukan saya yang memperkeruh keadaan! Kenapa semua orang nggak ada yang percaya sama saya? Kenapa kalian nggak mau berdiri membela saya?” Ela kini melampiaskan kemarahannya kepada Pak Ridho yang tak tahu apa-apa. “For God’s sake, Ela! Jaga perilakumu!” Mama yang mendengar luapan emosi Ela segera menegurnya dari lantai atas. Mama, papa serta Pak Pradipta turun dari lantai dua setelah pintu ruang kerja papa terbuka. Ela menatap pria yang mendapatkan kesialan sepertinya. Wajah Pradipta terlihat tegar dan tak terpuruk seperti dirinya. Mungkin itu sebabnya dia bisa menjadi salah satu ajudan kepercayaan papanya. Pradipta pandai menyembunyikan perasaannya. “Tapi benar kan, Ma! Nggak ada satupun yang berdiri membelaku! Kalian semua malah sibuk mencari cara untuk menyelamatkan nama Dharmawan!”“Papa dan Mama sudah sepakat. Dhanu dan Deshinta akan melanjutkan pertunangan ini. Dan kamu… Papa akan cari orang lain untuk menikahimu secepatnya sebelum rumor berhembus semakin kencang.” Jawaban papa sukses membuatnya berjengit kaget. “Pa?” Ela bertanya dengan lirih. “Keputusan Papa sudah bulat. Dipta berjanji tak akan membuka mulutnya dan dia akan tahu konsekuensi jika berita ini sampai bocor.”Papa seakan tak mendengar rintih pilu darinya. “Aku nggak mau menikah dengan orang lain,” ujarnya. Masih dengan suaranya yang pelan dan serak. Wajah papa memerah. “Lalu bagaimana kamu mau bertanggung jawab, huh?” geram sang papa sambil menunjuk ke arah Ela dengan murka. “Pak Hendra, saya sudah sampaikan sejak awal. Saya yang akan bertanggung jawab atas–”Pak Pradipta menyela ucapan papa. “Halah! Jangan-jangan ini tipu dayamu untuk menjebak putri saya, ya? Kamu mencari orang untuk membantu rencana busukmu supaya bisa memiliki anak saya. Begitu rupanya!” Mata Pak Pradipta membulat sempurna mendengar tuduhan papanya. “Sumpah demi Tuhan saya tak pernah melakukan hal itu, Pak!” bantah Pak Pradipta dengan tegas. “Lalu kenapa kamu ngotot ingin bertanggung jawab?” Di tengah-tengah perdebatan antara ayahnya dan ajudannya, muncul satu ide gila dari Elaina. Dia tak ingin menjadi alat politik ayahnya lagi. Sudah cukup dirinya merasa seperti sampah yang bisa begitu saja dibuang jika dia sudah tak berguna lagi. Seperti sekarang. Dibuang begitu saja oleh mantan tunangannya dan juga keluarganya. “Pa, aku hanya akan menikah dengan Pak Pradipta.” Ucapan Ela tersebut sontak membuat ruangan megah ini senyap. Hidung papa kembang kempis mendengarnya. “Bagaimana kalau Ela hamil?” Satu pertanyaan yang keluar dari mulutnya tadi berhasil membuat ruangan berubah menjadi tegang dan mencekam. “Saya butuh pertanggungjawaban Pak Pradipta.”Lihat, betapa terkejutnya wajah kedua orang tuanya serta kakaknya ketika Ela berbicara seperti itu!Mereka semua menganggap Ela gila!Memang benar! Dia sudah gila, dan dia tak akan melepas semua kungkungan yang memenjarakan dirinya dan akan bertindak bebas sesuai keinginan hatinya. “Jangan gila kamu!” Papa mengalihkan pandanganya dari Pradipta kepada dirinya. Ela menyadari jika wajahnya refleks tersenyum. Mungkin ini senyum pertamanya sejak kejadian malam itu. Deshinta sang kakak pun menatapnya seperti Ela seorang pesakitan yang baru saja kabur dari rumah sakit khusus pasien jiwa. “Apa mau pria lain bertanggung jawab dengan ini semua dan membesarkan anakku kelak, Pa? Bukankah itu malah menjadi skandal yang lebih besar?” Ela bertanya langsung kepada papanya. Dia tahu Hendra Dharmawan mementingkan nama baik di atas segalanya. Tentu saja ucapannya tadi langsung mendapatkan perhatian penuh papanya. “Pasti ada pria terhormat lainnya yang bisa menikahimu,” balas sang papa dengan nada
DIPTADipta melihat bagaimana bosnya–atau mantan bosnya, memperlakukan putrinya sendiri terhadap musibah yang menimpa gadis itu.Setelah naik turunnya emosi seperti roller coaster sejak tadi, Dipta menghela napasnya dan menatap Ela sekali lagi. “Mau saya temani?” tanyanya pelan. Gadis itu terlihat rapuh dan wajahnya pias. Apalagi setelah pertengkaran hebat dengan kedua orang tuanya dan tuntutannya agar dia menikah dengan Dipta, jika ada kehidupan baru–Jantung Dipta kembali berpacu kencang. “Uh… kapan kita bisa tahu kalau, kamu mengandung?” tanya Dipta dengan tenang, meskipun kini jantungnya kebat-kebit.Ela mengedikkan bahunya. “Sekitar dua minggu? Tunggu apa aku terlambat datang bulan atau nggak,” jawab Ela pelan. Wajah gadis pun memerah ketika menjelaskan perihal tersebut. Dipta mengangguk. “Saya akan selalu mendukung keputusan Ibu kelak. Mau,uh dilanjutkan atau–” Belum sempat Dipta menjelaskan opsi terakhir yang begitu pahit di mulutnya, Elaina sudah menggelengkan kepalany
“Saya khawatir dengan ucapan buruk orang terhadapmu,” ujarnya jujur. “Saya nggak pernah merasa malu dengan profesi saya sebagai pengawal. Saya mendapatkan nafkah dengan cara halal. Tapi… saya tidak bisa tutup mata tentang dunia kamu.” Dipta menambahkan dengan serius. Dunia Elaina dari sudut pandang Dipta penuh dengan persaingan, intrik, saling sikut dan jegal. Perang opini hingga cara-cara kotor dilakukan demi status, kekayaan, kekuatan dan power merupakan cara lumrah dalam dunia elit milik Elaina. Dia tahu Ela pasti akan menjadi sasaran empuk dan target point blank dari para hyena yang menunggu kejatuhan Ela. Belum lagi musuh politik Pak Hendra Dharmawan yang akan mencari celah menjatuhkan pria itu lewat Elaina. “Maksud kamu duniaku kotor, begitu?” tanya Ela sambil mengernyitkan dahi. Dengan gelagapan Dipta mengoreksi asumsi Ela. “Bukan begitu, Ela!” bantahnya. “Maksud saya, duniamu itu ‘kan begitu keras. Saya khawatir jika kamu bersama dengan saya… nanti kamu akan menjadi tar
ELA Percakapannya dengan Dipta berakhir sebelum petang datang. Setidaknya Ela mendapatkan kepastiannya dan dia mulai berani merajut sendiri masa depannya kelak. Mempunyai anak, atau tidak mempunyai anak. Kini pikirannya tercurah pada masalah baru yang timbul akibat dari satu malam panas itu bersama pengawalnya. Di tengah lamunannya, Ela mendapati Dipta berdiri dari kursinya dan memegang gagang kursi yang menopang kepalanya. Sontak Ela menengadah dan menatap Dipta dengan serius. “Saya akan kembali lagi dan berbicara jika semua sudah lebih tenang.” Dipta mengulas senyum tipis ke arahnya. Aneh sekali, biasanya hanya Dhanu yang mampu membuatnya salah tingkah. Tapi kini senyum
“Bukannya kamu sendiri yang ngotot mau menikah dengan Dipta tadi? Why do you think that you are the victim here?” Sindiran demi sindiran dilontarkan Deshinta tanpa henti kepadanya. Ela mengerjapkan matanya untuk menghilangkan rasa panas yang beresonansi dengan denyut sakit di hatinya. Dia sudah terbiasa beradu pendapat dengan sang kakak. Terutama sejak kejadian Harsya beberapa tahun lalu. Hubungan yang semakin menjauh, ditambah dengan bibit kebencian yang disebar oleh Deshinta secara sadar kini mulai bertumbuh layaknya duri di hati Elaina. “All of the people, the real victims are Dhanu, Papa and Om Rahmat!” desis Deshinta penuh penghakiman. Ela tak terima disudutkan dan selalu dianggap sebagai penjahat di mata kakaknya. “Kamu malah playing victim di sini!” Semakin Ela diam, semakin nyalang kebencian yang kakaknya tunjukkan secara gamblang kepadanya. “Mbak, aku nggak mau berdebat dengan kamu. Semua yang aku katakan pasti selalu saja dicari pembenarannya sama kamu,” ujarnya l
Rasanya seperti ditampar keras oleh papanya sendiri. Elaina tak menyangka jika ucapan serendah itu diucapkan oleh papanya sendiri kepada dirinya.“Papa ngomong gitu ke aku?” bisik Ela tak percaya. Papanya bisa mengeluarkan statement menyakitkan seperti itu tanpa beban. Justru tatapan matanya menyiratkan kemarahan yang ditujukan kepadanya.“Itu fakta bukan? Kamu sudah tidur dengan pengawal itu semalam. Siapa yang bisa jamin kamu nggak akan hamil setelahnya.” Ela mereguk salivanya.“Ini gila, Pa! Papa tega bicara seperti itu sama anak sendiri?” Pikirannya tiba-tiba blank. Tak tahu harus bagaimana bersikap setelah papanya sukses menyakiti hatinya bertubi-tubi sejak semalam.
DIPTA “Maaf Pak, tapi kami tidak bisa membuka data CCTV sembarangan. Apalagi kepada pihak yang tidak berwenang dan berkepentingan.” Penolakan dari resepsionis hotel tempat mereka semalam dijebak menjawab dengan nada simpatik penuh profesionalitas. “Tapi kemarin di lantai dua puluh terjadi tindak kriminal! Ada penyekapan dan–” Dipta berkata menunjukkan nada frustrasi. “Mohon maaf Bapak Pradipta. Tak ada yang bisa kami lakukan untuk itu.” Kali ini rekan resepsionis pria yang menanggapi permintaannya. “Tapi saya menjadi korbannya!” ujar Dipta setengah mati menahan emosinya. “Kami sarankan Anda berkoordinasi dahulu dari pihak kepolisian,” tambal sang resepsionis yang masih bersikukuh dibalik senyumnya. “Tidak mungkin kalian tidak bisa membuka kalau ada tindak kriminal yang terjadi di hotel kalian.” Dipta berkilah. “Bapak Pradipta, kami tetap berpegang teguh pada SOP kami. Silakan koordinasikan dahulu dari pihak yang berwajib agar kami memiliki basis yang kuat membuka CCTV.” “Privac
“Bukan begitu, Mas. Kami dijebak,” sanggah Dipta dengan cepat. Menepis prasangka yang dilontarkan oleh sang bos. “Dijebak? Please tell me about it,” balas Mas Sultan, nadanya serius. Pria itu menaruh gelas martininya yang kosong di atas meja, menjaga kontak mata dengan bartender dan meminta seorang pelayan untuk datang ke booth semi privat mereka. “Tunggu dulu, kita pindah tempat aja. Jangan bicarakan masalah ini di ruang terbuka seperti ini.” Mas Sultan menahannya sejenak. Ketika Mas Sultan mengutarakan maksudnya, sang pelayan membantu menuntun mereka menuju sebuah ruang privat dan mengatakan kalau dia standby di dekat pintu jika dirinya dan Mas Sultan membutuhkan sesuatu sebelum akhirnya menutup kembali pintunya. Setelah keadaan kondusif dan sepi, barulah Dipta mengeluarkan tiga buah kamera dari dalam slingbag dan menyerahkan kepada atasannya. Alis kiri Mas Sultan naik sebelah, pertanda meminta penjelasan lebih dalam darinya. “Gue sama Elaina dicekoki obat perangsang, M
Kemarahan yang tak dapat Dipta tahan akhirnya meledak juga tatkala dirinya mendapati keadaan Ela di dalam ruang meeting bersama Hakim dan Dhanu. Hakim dengan santai memperhatikan Dhanu dan Ela yang bertengkar hebat ketika Dipta dan kedua rekannya menjejakkan kaki di dalam ruangan tersebut. Tanpa basa-basi, Dipta langsung menghambur menghampiri Ela. Prioritas utamanya, untuk memastikan istri tercintanya tak kurang satu apapun. Rambut Ela berantakan, lengannya yang halus berubah menjadi kemerahan. Sontak semuanya membuat Dipta gelap mata dan dia paham siapa yang menyebabkan keadaan Ela seperti sekarang. Dhanu, manusia brengsek yang terguling memegang selangkangannya sambil mencicit kesakitan seperti hama tikus. Tanpa pikir panjang, Dipta menarik kerah baju Dhanu dan mulai menghajarnya. Kegeramannya tak bisa ditahan-tahan lagi, dan Dhanu memang layak mendapatkan bogem mentah setelah semua hal gila yang dia lakukan kepada Ela. Even killing him in one go was still not enough for Dipta
Pagi hari dirinya dan Ela berpisah tujuan, sang istri ke galeri memulai kegiatannya dan Dipta berkumpul bersama Mas Sultan untuk pergi ke basecamp yang disewa Reza demi mengecek hasil buzzing mereka semalam. Turned out it went exceptionally well. Apalagi ketika muncul beberapa bukti tentang betapa bejatnya seorang Dhanu. Pria itu menggunakan kekuasaan ayahnya dengan serampangan, dan betapa mudah mengangkangi hukum. Terutama ketika narasi pria itu pernah mabuk sambil membawa mobil dan menabrak seseorang hingga meninggal dunia. Kasusnya sempat ramai beberapa tahun lalu, sebelum akhirnya hilang terkubur begitu saja tanpa bekas. Tentu karena kekuasaan seorang Rahmat Trihadi yang berhasil membungkam semuanya dan membersihkan informasi tersebut, ditambah lagi Dhanu diungsikan ke luar negeri dengan dalih bersekolah di luar. Ketika berita lama itu kembali muncul ke permukaan, perbincangan dunia maya lambat laun beralih pada kapabilitas Rahmat Trihadi dalam bursa pemilihan presiden. Tagar k
Sejak kemarin malam, Dipta bersama Mas Sultan, Gala dan juga Reza–ketua tim elit Alfa yang dibentuk oleh Nero sibuk mengunjungi satu gedung perkantoran kecil dan tak mencolok yang rupanya dipakai sebagai salah satu basecamp kelompok buzzer yang berafiliasi dengan tim Alfa untuk operasi menjatuhkan reputasi Dhanu Trihadi. Suatu hal baru bagi Dipta berkecimpung di dunia abu-abu seperti ini. Namun, Dipta percaya kepada Mas Sultan dan Nero yang akan membantunya untuk melepaskan ikatan dirinya dengan Rustam serta memastikan keadilan untuk istrinya. Tentu saja buzzer yang dipakai oleh tim Reza adalah tim kualitas terbaik yang dibantu dengan teknologi mutakhir artificial intelligence dengan data set machine learning yang mumpuni. Jadi mereka tak perlu banyak orang dalam menggerakkan buzzer di dunia maya, karena akun-akun ternakan tersebut merupakan bot dengan kemampuan berbahasa yang lebih natural. Sehingga semua cuitan dan serangan online yang dilancarkan oleh tim buzzer ini berkualitas se
Ela ragu bagaimana dia harus bersikap di hadapan Hakim dan Dhanu sekarang untuk membalas ancaman dan juga ucapan mereka yang tak Ela mengerti satu pun. Yang bisa Ela tanggapi hanyalah tentang video privat dirinya dan Dipta yang sialnya… mungkin sudah jatuh ke tangan Hakim dan Dhanu. Badannya seketika menggigil. Ela merasa ditelanjangi dan dipermalukan oleh kedua pria kurang ajar ini. “Kalian cuma bisa mengancam perempuan untuk menyelesaikan masalah seperti ini? You? All of the people?” Ela mengejek dan memprovokasi mereka. Sikapnya yang seperti ini semata dilakukan untuk melindungi diri agar tak diinjak-injak lebih dalam lagi. “Siapa sih konsultan politik kalian? They can’t even navigate and cool down the negative news?” tambalnya dengan nada dingin. Kali ini Hakim yang terlihat jengkel, dan Dhanu geram karena diskak oleh Ela. “How was it, sleeping with Dipta? Better than Dhanu?” Tapi Hakim justru membalas ucapan Ela dengan remark yang merendahkan martabatnya sebagai perempuan.
Baru saja Ela keluar dari galeri, dia sudah dihadang oleh dua orang pria yang tidak Ela kenali. “Ibu Elaina? Pak Hakim sudah menyiapkan mobil,” ujar seorang pria yang kini beralih pindah ke sebelah Ela. Satu orang lagi bergerak di belakang Ela. “Saya bawa mobil sendiri.” Dia mencoba menghindar dan memperlebar jarak dari keduanya. Tapi sayang, mereka sudah mengepungnya dan memaksanya untuk ikut ke dalam mobil. “Pergi atau saya teriak–” ancam Ela dengan sungguh-sungguh. Kedua pria itu saling menatap, berkomunikasi tanpa kata hingga salah seorang pria menganggukkan kepalanya. “Saya ikut dalam mobil Anda. Rekan saya akan mengikuti dari belakang.”Itu bukanlah balasan yang Ela ingin dengar. Tetap saja berbahaya baginya. “Nggak bisa!” tolaknya dengan keras. “Jangan mempersulit, Bu. Kami tidak akan melukai Anda. Kami hanya butuh mengantar Anda sesuai tujuan. Lebih cepat lebih baik. Pak Hakim berkata jangan main-main,” ancamnya yang membuat Ela semakin frustasi dan ketakutan. Mereka
“Ela, semua bahan press udah naik tayang ya di beberapa media? Dari komunitas lelang, charity dan donor sendiri gimana? Apa feedback dari mereka? Dan untuk komunitas dari luar negeri sudah beres di handle? Perwakilan mereka sudah ada LO masing-masing, kan?” Mbak Rengganis memberikan daftar panjang checklist hal-hal yang harus Ela persiapkan menjelang pembukaan art exhibition yang sudah semakin dekat. “Aman, Mbak. Kita udah sebar juga ke komunitas, artists, dan art influencer di beberapa media sosial seperti Tiktok, i*******m, vlogger dan blogger. All good, dan hype di media juga cukup oke kalau saya pantau,” jawab Ela untuk satu pertanyaan Mbak Rengganis. Rengganis mengangguk mendengar penjelasannya. “Lalu untuk badan amal, charity sudah cukup banyak yang RSVP, dan beberapa donor pun sudah RSVP untuk acara pembukaan. Mereka sudah siap dengan bidding lot beberapa karya yang akan dilepas untuk lelang,” lanjutnya sambil mengecek buku agendanya. Mengecek secara detail pertanyaan dari
ELA“Kamu mau sampai kapan tiduran terus, Sayang? Memang nggak pusing?” Suara bariton khas suaminya membuat Ela semakin nyaman bergelung di dalam selimutnya. “Hmm,” protesnya tanpa membuka matanya yang masih terasa berat. “Nanti kamu malam malah nggak bisa tidur, lho. Kacau semua jadwal tidurmu nanti. Terus nanti kamu malah nenggak espresso dan makin jadi itu GERD-nya! Ayo bangun dulu!” Kini Dipta tak hanya memintanya bangun. namun tangan lelaki itu sudah sibuk menjawil pipinya dan menggelitiki perutnya dengan leluasa. “Mas!” Suara protesnya semakin membesar.Susah payah Ela menepis tangan Dipta yang sudah mulai usil mengganggu kesenangan tidurnya pagi ini. Eh, ini masih pagi, bukan? Astaga, Ela masih begitu ngantuk! A little more sleep couldn’t hurt, ‘kan?Acara soiree semalam sukses membuatnya seperti zombie hidup hingga lepas tengah malam. Mereka berdua baru bisa kembali ke rumah hingga jam tiga dini hari. Bahkan Ela tak ingat apa yang dia lakukan setelah melepaskan sepatu yan
“Gue udah dapat lead tentang video itu. Setelah pengembangan investigasi dari informasi Grace Hariman, kita bisa tracing di mana mereka menyimpan file tersebut. Kemungkinan besar ada di kediaman Dhanu.” Nero bergumam. “Gue udah coba trace sisa-sisa file dari device Grace dan komplotannya. Sejauh ini memang tidak ada, tapi memang gue sejujurnya masih khawatir kalau gue melewatkan hal krusial,” ujar Mas Sultan menimpali. “Double confirm. Gue juga udah nyuruh anak buah gue–Reza, untuk mengecek kembali seluruh device Grace dan anak buahnya. Sudah bersih. Gue hampir yakin master file ada di tangan Dhanu.” Nero mengangguk setuju. Dipta menoleh ke arah Nero yang bersedekap. “Kita bagi tugas, gimana?” celetuk Nero tiba-tiba. Mas Sultan menaikkan sebelah alisnya. “Tell us, I am all ears.” “Tugas pertama adalah tarik master file dari Dhanu. By all means necessary. Bahkan sampai harus pakai jalan hacking, bribery, and well, you know–” Dipta mengangguk, mengerti ke mana arah pembicaraan Ner
“Lho? Sudah selesai rapatnya toh?” Dewi Sastrowilogo terperangah ketika melihat gerombolan pria yang berdiri di depan lift dengan beragam ekspresi yang tercipta di wajah mereka masing-masing. Raka yang kepalang kesal, Darius dan Nero yang getol ngecengin Raka, serta dirinya dan Mas Sultan yang kebingungan di tengah internal joke yang saling dilemparkan tiga serangkai ini. Mereka berlima memberikan jalan kepada tiga perempuan itu untuk keluar dari lift, dan menutup kembali pintu lift. Membatalkan rencana untuk turun demi berbincang dengan Bu Dewi dan rombongan kecilnya. “Mau ke mana kalian?” todong Bu Dewi. “Ke bawah, Tante. Mau ngerokok–” Darius menjawab sebelum berhenti ketika melihat istrinya melotot ke arahnya. “Err… cari angin di luar,” ralatnya buru-buru. “Temani kami saja, ini Ibu mau tunjukkan koleksi spesial Ibu kepada Amira dan Prajna, supaya mereka tahu beberapa pusaka dari Sastrowilogo,” tutur Bu Dewi yang membuat para lelaki mati kutu di tempat mereka berdiri. Amira