Ketika Bram akhirnya beranjak keluar dari vila, Adrian segera mendekati tempat itu. Langkah Bram tampak berat, penuh beban, namun Adrian tidak terganggu. Ia hanya ingin memastikan Ayla dalam keadaan baik-baik saja.
Dengan langkah cepat, Adrian memasuki vila dan mendapati Ayla terduduk lesu di sofa, wajahnya basah oleh air mata yang mengalir tanpa henti. Ia berlutut di depannya, tangan Ayla digenggamnya dengan penuh kelembutan.
"Aku dengar semuanya," bisik Adrian dengan suara yang penuh pengertian. "Kamu tidak perlu menghadapi semua ini sendirian lagi, Ay."
Ayla menatap Adrian, matanya tampak lelah namun terlihat ada kelegaan di sana. "Rasanya aku baru bisa bernapas lega, Adrian. Tapi, ada ketakutan yang masih menggelayuti pikiranku," ucapnya, suara bergetar.
Adrian mengangguk pengertian, menggenggam tangan Ayla lebih erat lagi. "Aku ada di sini, Ay. Apapun yang terjadi, aku tidak akan meninggalkan kamu," janji Adrian dengan nada yang menenangkan.
Ketika Bram akhirnya meninggalkan vila, Ayla masih berdiri tegak di depan pintu, matanya terpaku pada mobil yang perlahan menjauh. Walaupun tubuhnya terasa ringan, bebas dari kehadiran Bram, hatinya masih terasa luka dan belum sepenuhnya sembuh.Dari belakang, Adrian mendekat dengan langkah yang hati-hati, seolah menghormati ruang dan waktu yang Ayla butuhkan. Ia tidak berkata apa-apa, hanya berdiri di sampingnya, memberikan kehadiran yang tenang dan menenangkan."Dia sudah pergi," ujar Ayla dengan suara yang pelan, hampir tidak terdengar dihempas angin yang sepoi-sepoi.Adrian hanya mengangguk, matanya penuh empati tidak beranjak dari wajah Ayla. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan lembut.Ayla berpaling, menatap Adrian dengan senyuman yang lelah namun tulus. "Aku tidak tahu. Namun, rasanya seperti ini adalah awal dari sesuatu yang baru," katanya, mencoba mencari sinar harapan di tengah kekacauan emosinya.Adrian mengangguk lagi, tangannya menc
Namun, di tempat lain, suasana yang berbeda terasa di ruang tamu rumah Bram. Sendirian, dia duduk menatap foto pernikahannya dengan Ayla yang masih terpajang di rak. Gelisah, tangannya menggenggam gelas minuman dengan kuat, dan matanya memancarkan campuran amarah serta penyesalan yang dalam.Suara ponsel yang berdering memecah keheningan. Dengan gerakan yang tegas, Bram meraihnya dan melihat nama yang terpampang di layar. “Halo?” suaranya bergema rendah.“Pak Bram, kami sudah menemukan sesuatu,” kata suara di seberang telepon, serius dan penuh urgensi.Bram terdiam, mendengarkan dengan cermat. Setiap kata yang diucapkan semakin membuat rahangnya mengeras, dan matanya memerah. “Terus awasi mereka,” perintahnya akhirnya dengan suara yang tegas sebelum menutup telepon.Dengan gerakan kasar, Bram melemparkan ponselnya ke sofa dan berdiri dengan tatapan yang penuh tekad. “Kita lihat sampai sejauh mana kamu akan lari, A
Malam itu semakin dingin menyelimuti danau, namun mereka tetap bertahan di sana, tenggelam dalam percakapan yang dalam—mengenang masa lalu, meresapi perasaan yang semakin sulit diabaikan, dan bertanya-tanya tentang langkah apa yang akan mereka ambil selanjutnya.Tiba-tiba, Adrian memecah keheningan dengan pertanyaan yang penuh kehati-hatian, "Apa kamu pernah berpikir untuk kembali ke Bram?" Suaranya tenang, tetapi terasa berat dengan kecemasan.Ayla terdiam sejenak, matanya tertuju pada refleksi cahaya bulan di atas permukaan danau yang tenang, seolah mencari jawaban dalam kilauannya."Aku pernah berpikir tentang itu," jawabnya akhirnya, suaranya lembut. "Tapi setelah segala yang terjadi... aku sadar itu bukan pilihan yang benar. Bukan untukku, dan bukan untuknya."Adrian mengangguk pelan, merasa lega mendengar jawaban itu tapi hatinya masih berdesir khawatir. "Kalau begitu, apa yang kamu inginkan sekarang, Ay?"Ayla berpaling, matanya bertem
Malam itu, Adrian tiba di vila seperti biasa, mengetuk pintu dengan senyum kecil yang terukir di wajahnya. Namun, senyum itu segera memudar saat ia melihat ekspresi Ayla yang tampak murung."Ada apa?" tanya Adrian, langkahnya terus mengarah ke dalam tanpa menunggu Ayla mengundangnya masuk.Ayla menunduk, menghindari tatapan Adrian yang penuh kekhawatiran. "Kita harus bicara, Adrian," suaranya lembut, tapi sarat dengan keseriusan.Adrian menatap Ayla dengan cermat, rahangnya mengencang. "Ini tentang Bram, kan? Apa lagi yang dia lakukan kali ini?"Ayla menggeleng pelan, matanya mulai berkaca-kaca. "Ini bukan tentang apa yang dia lakukan. Ini tentang kita, Adrian. Tentang apa yang seharusnya tidak pernah terjadi."Adrian terdiam sejenak, namun kemudian langkahnya mendekat, berdiri tepat di hadapan Ayla. "Ayla, aku tahu ini sulit. Tapi aku mencintaimu. Dan aku tahu kamu juga mencintaiku."Ayla menatap Adrian, air mata mulai mengalir di pipinya.
Di sudut yang lain dari kehidupan yang sederhana, Adrian menetapkan dirinya di sebuah kursi kayu yang berada di teras rumahnya yang nyaman. Jari-jarinya yang gugup menggenggam selembar kertas yang telah lusuh—pesan dari Ayla yang ia temukan di vila tempat mereka pernah berbagi kenangan.Pesan itu sudah dibaca berkali-kali, namun kata-kata di dalamnya tetap menusuk relung hatinya, seolah baru saja ditulis.“Aku harus pergi. Bukan karena aku ingin menjauh darimu, tapi karena aku perlu menemukan siapa diriku sebenarnya.”Napas panjang Adrian terhembus, matanya mengarah lurus ke hamparan pepohonan yang berdiri tegak di depannya, saksi bisu atas rasa rindu yang menggebu.Di dalam hatinya, dia mengerti bahwa Ayla sedang berjuang dengan pencariannya atas kedamaian, tapi pemahaman itu tak cukup untuk mengurangi bobot kerinduannya.“Kenapa harus sejauh ini, Ay?” bisiknya lembut, seakan-akan berbicara kepada angin yang lembut me
Hujan gerimis turun perlahan, membasahi jalanan yang tampak dari depan rumah besar keluarga Adityo. Udara dingin merayap masuk melalui celah-celah jendela, memaksa Ayla untuk menggosok-gosok tangannya demi tetap merasa hangat.Dengan langkah yang berat, ia berdiri di depan pintu, menarik napas dalam-dalam untuk mengumpulkan keberanian sebelum mengetuk.Sudah berminggu-minggu sejak terakhir kali ia menginjakkan kaki di tempat ini—suatu tempat yang dulu terasa seperti rumah, namun kini lebih mirip penjara penuh kenangan yang menghantuinya.Ia belum mengerti apa yang mendorong Bram memintanya datang ke sini, hanya suara dingin dan memerintah Bram di telepon yang terus terngiang di kepalanya.Sebelum Ayla sempat mengetuk, pintu tiba-tiba terbuka. Bram berdiri tepat di ambang pintu, dengan setelan jasnya yang rapi dan ekspresi wajah yang datar bagaikan patung marmer—mengagumkan namun tampak hampa.“Akhirnya kamu datang,” ucap Bra
Setelah beberapa saat berat, Ayla mulai berbicara dengan suara yang lebih tenang, namun penuh tekad. “Aku akan pergi, Bram. Aku tidak ingin ini menjadi lebih buruk untuk kita semua.” Bram hanya mendengus, raut wajahnya tidak menunjukkan perubahan apa pun, tetapi dia tidak menghalanginya.“Lakukan apa yang kamu mau, Ayla. Tapi ingat, kamu tidak akan pernah benar-benar bebas dariku,” katanya dengan nada mengancam.Kata-kata Bram itu menggema di kepala Ayla saat ia melangkah keluar dari rumah, dengan langkah yang terasa semakin berat, diikuti oleh Adrian yang setia. Di depan pintu, Adrian meraih tangan Ayla, menahannya sejenak. “Ayla, aku—”“Jangan, Adrian,” potong Ayla cepat, matanya berkaca-kaca. “Aku tidak bisa membiarkanmu terjebak dalam semua ini.”Adrian menggenggam tangannya lebih erat, tatapannya penuh rasa sakit. “Tapi aku ingin ada untukmu, Ay.”Ayla menatapnya lam
Di rumahnya yang sunyi, Bram duduk dalam kesendirian di ruang kerjanya, wajahnya memancarkan aura ketenangan yang menyesatkan. Di atas mejanya, terpajang sebuah foto Ayla dan Adrian yang didapatkannya dari seseorang yang dia percaya.Jemarinya menggenggam erat, tapi sebuah senyum tipis tersungging, menggambarkan rencana yang sudah matang di benaknya.“Kalau kamu pikir bisa lari dariku, Ayla, kamu salah,” gumamnya penuh keyakinan. “Aku akan memastikan semuanya berjalan sesuai keinginanku.” Tak lama, ia meraih teleponnya dan menghubungi seseorang dengan pesan yang jelas, “Aku ingin kamu menyiapkan segalanya. Kita selesaikan ini secepat mungkin.”Ketika malam mulai merangkak masuk, Adrian menerima sebuah pesan singkat dari Ayla yang singkat namun penuh arti: “Aku baik-baik saja, Adrian. Jangan khawatir. Tapi tolong, jangan cari aku.”Adrian memandangi layar ponselnya, rasa hancur menggelayuti hatinya, namun ia
“Ini bukan hanya tentang keluarga, Bram. Ini lebih kepada kamu yang tidak mau mengakui kesalahanmu sendiri,” ujar Adrian dengan suara yang bergetar penuh emosi. Cahaya lampu ruangan itu menciptakan bayangan pada wajahnya yang tegang. “Aku tahu kamu sudah mengkhianati Ayla sejak lama.”Bram terdiam, wajahnya berubah seketika menjadi pucat, namun dia tidak membantah kata-kata Adrian. Sebaliknya, ia mendekati adiknya dengan langkah yang berat dan terukur, menatap tajam ke dalam mata Adrian yang penuh dengan kekecewaan.“Mungkin aku tidak sempurna sebagai suami,” ucap Bram dengan suara rendah namun tegas, “tapi Ayla adalah istriku. Dan kamu tidak punya hak untuk merebutnya dari saya.”“Ayla bukan barang yang bisa dimiliki, Bram,” Adrian membalas dengan nada yang sama tajamnya. “Dia berhak untuk memilih kebahagiaannya sendiri.”Pada saat itu, Farida, ibu mereka, bangkit dari kursinya. Raut
Sore itu, ketika Ayla melangkah pulang, hembusan angin sejuk menerpa wajahnya, memberikan kesegaran yang tak terduga. Langkahnya terasa sedikit lebih ringan dibanding biasanya.Meski beban rasa bersalah masih menggelayut di hatinya, dukungan yang diberikan Rita telah menumbuhkan kekuatan baru dalam dirinya, sebuah kekuatan yang sebelumnya tak pernah ia sadari.Sesampainya di rumah, kesunyian menyambut kedatangannya. Bram tidak ada di rumah—mungkin masih lembur di kantor atau mungkin juga sedang menghindari pertemuan dengan dirinya. Ayla melepaskan mantelnya dengan gerakan lembut dan melangkah ke dapur untuk membuat secangkir teh.Ketika ia menyalakan teko, aroma teh melati mulai memenuhi ruangan, mengingatkannya pada percakapan hangat yang ia lalui bersama Adrian di sebuah kafe yang nyaman.Ponselnya bergetar lembut di atas meja dapur. Layar menampilkan nama Adrian. Dengan napas yang sedikit tertahan, ia menjawab, "Halo?" Suaranya keluar lebih lembu
Pagi itu, suasana apartemen Rita sedikit berbeda. Ayla berdiri ragu di depan pintu, menggigil bukan hanya karena udara pagi yang dingin, tapi juga karena beban yang ia pikul. Ia merapatkan mantel cokelat tua yang sudah lusuh, berusaha menahan dingin yang menyeruak ke tulang.Dengan tangan yang bergetar, ia mengetuk pintu dengan pelan, hati-hatinya dipenuhi kecemasan.Sejurus kemudian, terdengar suara langkah kaki dari dalam apartemen. Pintu perlahan terbuka, dan muncullah wajah Rita yang tampak terkejut dan rambutnya yang tergerai dengan bebas. Ekspresi terkejut terpahat di wajahnya saat ia melihat Ayla berdiri di ambang pintu.“Ayla?” Rita berkata dengan nada penuh tanya. “Apa kamu baik-baik saja?”Dengan kepala mengangguk perlahan, Ayla mencoba tersenyum, meski dari raut wajahnya jelas bahwa ia jauh dari kata baik-baik saja. “Rita, aku… boleh masuk?”“Tentu, masuklah,” jawab Rita sambil membu
Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut kota, tempat yang menawarkan ketenangan jauh dari keramaian. Di sana, Ayla memilih tempat duduk di pojok, sibuk memandangi secangkir kopi hitam yang menguap perlahan di depannya.Tak lama kemudian, Adrian datang, membawa aura kehangatan yang seketika membuat suasana hati Ayla sedikit lebih ringan.Adrian segera mengambil tempat duduk di hadapan Ayla, matanya menelusuri wajahnya dengan tatapan penuh kekhawatiran. "Ada apa, Ayla?" tanyanya dengan suara yang langsung ke inti, tanpa membuang waktu.Dengan bahu terangkat pelan, Ayla mencoba tersenyum, namun bibirnya bergetar menahan sesuatu. "Hanya...gosip," jawabnya dengan suara yang nyaris tak terdengar. "Gosip yang terasa terlalu nyata untuk bisa diabaikan begitu saja."Adrian mengerutkan kening, rasa penasarannya terpicu. "Gosip apa? Apa yang mereka bicarakan?"Mata Ayla tertunduk, berusaha menghindari tatapan tajam Adrian. "Tentang aku..
Suara ketukan pintu tiba-tiba memecah keheningan. Adrian dan Ayla saling pandang, terkejut tergambar jelas di wajah mereka. Adrian bergerak cepat, menuju pintu dengan langkah mantap. Dia melemparkan pandangan singkat kepada Ayla, memberi isyarat agar tetap di tempat.Ketika pintu terbuka, seorang wanita muda berdiri di ambang. Wajahnya basah oleh hujan, rambut panjang menempel di pipinya, dan matanya tajam menatap Ayla di dalam ruangan.“Rita?” Adrian bertanya, terdengar ragu.Rita tidak menjawab. Dengan mantap, dia melangkah masuk tanpa permisi, berdiri di depan Ayla. Ekspresi aneh menghiasi wajahnya—campuran antara kecewa, marah, dan prihatin.“Aku tahu aku akan menemukanmu di sini,” katanya dengan suara lembut namun penuh dengan tekanan.Ayla berdiri perlahan, bibirnya bergetar. “Rita… aku bisa menjelaskan.”Rita mengangkat tangan, memotong Ayla sebelum ia bisa melanjutkan. &l
Lampu meja di sudut ruangan bersinar temaram, memancarkan cahaya hangat yang membelai dinding ruang tamu kecil di apartemen Adrian. Di sudut lain, alunan musik instrumental mengisi udara dengan nada lembut, melarutkan keheningan namun menyisakan atmosfer yang penuh tanda tanya.Ayla duduk di sofa abu-abu gelap, tangannya menggenggam cangkir teh hangat seolah mencari kenyamanan dari uap chamomile yang perlahan membubung. Tatapannya terpaku pada jendela besar di hadapannya, memperlihatkan kota yang terbenam dalam kilauan lampu-lampu malam.Adrian berdiri di dekat dapur, bersandar pada dinding dengan sikap santai yang tampak dipaksakan. Kedua lengannya terlipat di dada, tetapi matanya yang tak tenang mengkhianati ketenangan palsu itu.Ia memandangi Ayla dari jauh, seolah membaca tiap gerakan perempuan itu, yang selalu memancarkan kelembutan bahkan saat pikirannya mungkin sedang dihantui badai kekhawatiran.“Ayla…” Adrian akhirnya memecah k
Malam itu, mereka kembali ke apartemen Adrian. Sebuah keheningan menggantung di udara, seolah waktu berhenti untuk memberi ruang pada pikiran-pikiran yang berlarian di kepala mereka. Ayla duduk di sofa berlapis kain lembut, menggenggam secangkir teh yang sudah lama kehilangan kehangatannya.Tatapannya kosong, tenggelam dalam bayang-bayang cahaya kota yang memantul dari jendela. Sementara itu, Adrian berdiri di dekat jendela, memandangi lautan lampu di kejauhan, seperti mencari jawaban di antara k
Hari-hari berikutnya terasa seperti perjuangan tanpa akhir bagi Ayla dan Adrian. Gosip terus meluas, berhembus dari mulut ke mulut dan tersebar liar di media sosial.Komentar pedas—beberapa tersampaikan langsung, sebagian lagi bersembunyi di balik layar anonim—menghantam mereka tanpa ampun.Suatu malam, Ayla menerima sebuah pesan anonim di ponselnya:"Kau perusak keluarga. Kau tidak layak bahagia."Ia menatap layar ponselnya lama, seolah kata-kata itu menancap di benaknya seperti duri yang tak terlihat. Dengan tangan gemetar, ia meletakkan ponsel itu di atas meja. Adrian, yang tengah duduk di sofa di seberangnya, menangkap perubahan ekspresi di wajah Ayla.Tanpa berkata-kata, ia mendekat dan mengambil ponsel tersebut. Saat membaca pesan itu, rahangnya mengeras.“Kau tidak perlu membaca ini,” ujarnya tegas, mematikan layar ponsel dan menjauhkannya dari jangkauan Ayla. Suaranya terdengar seperti benteng kokoh,
Malam itu di apartemen Adrian, Ayla duduk di sofa, matanya terpaku pada layar ponsel yang terus bergetar. Pesan-pesan berdatangan tanpa henti—beberapa dari teman lama, sebagian besar dari kerabat Bram. Semua mengandung kata-kata tajam, tuduhan, dan penghinaan yang membakar.“Kenapa kau tidak memblokir saja mereka?” tanya Adrian. Ia duduk di lantai dekat meja kecil, sibuk memperbaiki sesuatu, tapi jelas perhatiannya tidak teralihkan dari Ayla.Ayla menggeleng pelan, pandangannya tetap tertuju pada layar. “Aku tidak tahu. Mungkin aku berharap ada seseorang yang akhirnya mau mengerti. Tapi... sepertinya itu hanya angan-angan.”Adrian meletakkan alat di tangannya, menatap Ayla dengan serius. Ia bangkit, lalu duduk di sampingnya. “Ayla, kau tidak perlu pembuktian dari mereka. Kau hanya perlu percaya pada dirimu sendiri. Kau sudah cukup kuat untuk melewati semua ini.”Ayla menoleh, menatap mata Adrian yang penuh ketulus