Di tengah belaian mentari pagi yang baru bangkit, Adrian kembali melangkah ringan menuju vila, tangannya penuh dengan bungkusan sarapan sederhana—roti bakar yang masih hangat dan selai buah ceri yang selalu menjadi kegemaran Ayla.
Saat pintu perlahan terbuka, Ayla menyambut dengan senyuman lelah, matahari baru saja memantul lembut di wajahnya yang pucat.
“Kamu lagi?” ujar Ayla dengan nada bersahaja, yang segera dibalas oleh Adrian dengan senyum hangat.
“Iya, tahu kamu belum makan. Pikir mungkin ini bisa manjakan pagimu,” kata Adrian, langkahnya ringan memasuki dapur.
Ayla tertawa kecil, suaranya menari di udara pagi itu. Ia duduk di meja dapur, mengamati Adrian yang cekatan menyiapkan sarapan. “Kamu ini, selalu tahu bagaimana membuat hari-hariku terasa lebih cerah.”
Adrian menghentikan gerak tangannya, matanya beradu dengan tatapan Ayla. “Itu karena aku peduli, Ay,” ucapnya, suara penuh ketulusa
Malam yang dingin di desa kecil itu membalut setiap sudut ruangan dengan kesunyian. Namun, suasana hati Ayla berkecamuk, serupa badai musim dingin yang merayap masuk ke dalam hatinya. Dalam kegelapan kamarnya, cahaya lampu meja yang redup menyinari wajahnya yang murung.Duduk di tepi ranjang, tangannya yang gugup terlipat di pangkuannya, seolah mencari kehangatan dan kekuatan untuk menghadapi hari esok yang membawa janji akan pertemuan yang mungkin mengubah hidupnya.Rumah tangga Ayla dan Bram telah lama kehilangan kehangatan yang dulu menjadi fondasinya. Bram, suaminya, kini lebih sering menghabiskan waktu jauh dari rumah, meninggalkan Ayla merenungkan masa depan mereka yang kian suram.Ingatannya pada Bram—seorang pria yang pernah penuh kasih dan perhatian—kini hanya tinggal bayang-bayang yang memudar. Ayla masih terikat pada janji suci mereka, meski hatinya terbelah antara kesetiaan dan keinginan untuk menemukan kebahagiaan yang sebenarnya.
Ketika langit malam semakin gelap dan bintang-bintang menghiasi pekatnya, Adrian akhirnya memutuskan untuk meninggalkan vila, memberikan kesendirian yang mungkin dibutuhkan Ayla untuk berpikir.Namun, jauh dari ketenangan vila itu, Bram menetapkan dirinya dalam keheningan mobilnya yang terparkir. Wajahnya yang biasanya ceria, kini terlihat dingin dan serius. Matanya tak lepas dari layar ponsel, menelaah pesan dari seseorang yang telah berhasil melacak keberadaan Ayla.Dengan suara rendah namun penuh kepastian, ia bergumam, "Aku sudah tahu di mana kamu, Ayla. Kamu tidak akan bisa bersembunyi lagi dariku."Di pagi yang cerah, Ayla berusaha menyibukkan diri dengan merapikan ruang tamu di vila kecilnya yang dikelilingi udara pegunungan yang sejuk dan segar. Setiap gerakannya mencoba mengalihkan pikiran dari kekhawatiran akan pertemuan yang tak terelakkan dengan Bram.Meski jendela terbuka lebar membiarkan hawa dingin masuk, hatinya terasa hangat karena kenang
Di sudut yang berbeda, Bram duduk termenung di ruang tamu rumahnya, tangannya gemetar saat memegang bingkai foto pernikahannya dengan Ayla. Getaran di tangannya bukanlah pertanda kesedihan, melainkan api kemarahan yang berkobar dalam dada.Lama ia menatap foto itu, kemudian dengan gerakan tiba-tiba, meletakkannya dengan kasar di atas meja. Pikirannya hanya terfokus pada satu tujuan yang menggebu: membawa Ayla kembali, dan menghancurkan siapapun yang berani menghalanginya.Dengan tegas, Bram meraih teleponnya sekali lagi, kali ini menghubungi seseorang yang sangat ia percayai untuk melancarkan rencananya dengan cepat. "Aku ingin tahu segalanya sebelum aku sampai di sana besok," ucapnya dengan nada yang dingin."Dan pastikan dia tahu dia nggak punya tempat untuk lari." Setelah panggilan berakhir, Bram kembali duduk, matanya menatap tajam ke depan, penuh dengan niat yang tak tergoyahkan. "Ayla, kamu milikku. Dan aku akan pastikan kamu tahu itu."Keheningan p
Ketika Bram akhirnya beranjak keluar dari vila, Adrian segera mendekati tempat itu. Langkah Bram tampak berat, penuh beban, namun Adrian tidak terganggu. Ia hanya ingin memastikan Ayla dalam keadaan baik-baik saja.Dengan langkah cepat, Adrian memasuki vila dan mendapati Ayla terduduk lesu di sofa, wajahnya basah oleh air mata yang mengalir tanpa henti. Ia berlutut di depannya, tangan Ayla digenggamnya dengan penuh kelembutan."Aku dengar semuanya," bisik Adrian dengan suara yang penuh pengertian. "Kamu tidak perlu menghadapi semua ini sendirian lagi, Ay."Ayla menatap Adrian, matanya tampak lelah namun terlihat ada kelegaan di sana. "Rasanya aku baru bisa bernapas lega, Adrian. Tapi, ada ketakutan yang masih menggelayuti pikiranku," ucapnya, suara bergetar.Adrian mengangguk pengertian, menggenggam tangan Ayla lebih erat lagi. "Aku ada di sini, Ay. Apapun yang terjadi, aku tidak akan meninggalkan kamu," janji Adrian dengan nada yang menenangkan.
Ketika Bram akhirnya meninggalkan vila, Ayla masih berdiri tegak di depan pintu, matanya terpaku pada mobil yang perlahan menjauh. Walaupun tubuhnya terasa ringan, bebas dari kehadiran Bram, hatinya masih terasa luka dan belum sepenuhnya sembuh.Dari belakang, Adrian mendekat dengan langkah yang hati-hati, seolah menghormati ruang dan waktu yang Ayla butuhkan. Ia tidak berkata apa-apa, hanya berdiri di sampingnya, memberikan kehadiran yang tenang dan menenangkan."Dia sudah pergi," ujar Ayla dengan suara yang pelan, hampir tidak terdengar dihempas angin yang sepoi-sepoi.Adrian hanya mengangguk, matanya penuh empati tidak beranjak dari wajah Ayla. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya dengan lembut.Ayla berpaling, menatap Adrian dengan senyuman yang lelah namun tulus. "Aku tidak tahu. Namun, rasanya seperti ini adalah awal dari sesuatu yang baru," katanya, mencoba mencari sinar harapan di tengah kekacauan emosinya.Adrian mengangguk lagi, tangannya menc
Namun, di tempat lain, suasana yang berbeda terasa di ruang tamu rumah Bram. Sendirian, dia duduk menatap foto pernikahannya dengan Ayla yang masih terpajang di rak. Gelisah, tangannya menggenggam gelas minuman dengan kuat, dan matanya memancarkan campuran amarah serta penyesalan yang dalam.Suara ponsel yang berdering memecah keheningan. Dengan gerakan yang tegas, Bram meraihnya dan melihat nama yang terpampang di layar. “Halo?” suaranya bergema rendah.“Pak Bram, kami sudah menemukan sesuatu,” kata suara di seberang telepon, serius dan penuh urgensi.Bram terdiam, mendengarkan dengan cermat. Setiap kata yang diucapkan semakin membuat rahangnya mengeras, dan matanya memerah. “Terus awasi mereka,” perintahnya akhirnya dengan suara yang tegas sebelum menutup telepon.Dengan gerakan kasar, Bram melemparkan ponselnya ke sofa dan berdiri dengan tatapan yang penuh tekad. “Kita lihat sampai sejauh mana kamu akan lari, A
Malam itu semakin dingin menyelimuti danau, namun mereka tetap bertahan di sana, tenggelam dalam percakapan yang dalam—mengenang masa lalu, meresapi perasaan yang semakin sulit diabaikan, dan bertanya-tanya tentang langkah apa yang akan mereka ambil selanjutnya.Tiba-tiba, Adrian memecah keheningan dengan pertanyaan yang penuh kehati-hatian, "Apa kamu pernah berpikir untuk kembali ke Bram?" Suaranya tenang, tetapi terasa berat dengan kecemasan.Ayla terdiam sejenak, matanya tertuju pada refleksi cahaya bulan di atas permukaan danau yang tenang, seolah mencari jawaban dalam kilauannya."Aku pernah berpikir tentang itu," jawabnya akhirnya, suaranya lembut. "Tapi setelah segala yang terjadi... aku sadar itu bukan pilihan yang benar. Bukan untukku, dan bukan untuknya."Adrian mengangguk pelan, merasa lega mendengar jawaban itu tapi hatinya masih berdesir khawatir. "Kalau begitu, apa yang kamu inginkan sekarang, Ay?"Ayla berpaling, matanya bertem
Malam itu, Adrian tiba di vila seperti biasa, mengetuk pintu dengan senyum kecil yang terukir di wajahnya. Namun, senyum itu segera memudar saat ia melihat ekspresi Ayla yang tampak murung."Ada apa?" tanya Adrian, langkahnya terus mengarah ke dalam tanpa menunggu Ayla mengundangnya masuk.Ayla menunduk, menghindari tatapan Adrian yang penuh kekhawatiran. "Kita harus bicara, Adrian," suaranya lembut, tapi sarat dengan keseriusan.Adrian menatap Ayla dengan cermat, rahangnya mengencang. "Ini tentang Bram, kan? Apa lagi yang dia lakukan kali ini?"Ayla menggeleng pelan, matanya mulai berkaca-kaca. "Ini bukan tentang apa yang dia lakukan. Ini tentang kita, Adrian. Tentang apa yang seharusnya tidak pernah terjadi."Adrian terdiam sejenak, namun kemudian langkahnya mendekat, berdiri tepat di hadapan Ayla. "Ayla, aku tahu ini sulit. Tapi aku mencintaimu. Dan aku tahu kamu juga mencintaiku."Ayla menatap Adrian, air mata mulai mengalir di pipinya.
Siang itu, di antara kehangatan matahari yang lembut, Adrian dan Aruna melangkah memasuki toko bunga. Mereka sepakat untuk menambahkan tanaman baru ke taman kecil di rumah, sebuah tempat yang selalu terasa seperti ruang istimewa untuk keluarga mereka.Rak-rak yang dipenuhi bunga warna-warni menyapa mereka dengan aroma segar dan pemandangan yang memanjakan mata.Saat melewati deretan bunga mawar, langkah Aruna terhenti di depan mawar putih yang tersusun rapi dalam keranjang rotan. Jemarinya dengan hati-hati menyentuh kelopak salah satu bunga, seolah takut merusaknya."Mama suka mawar putih, kan, Pa?" tanyanya sambil menoleh ke arah Adrian, matanya penuh kenangan.Adrian tersenyum kecil, lalu mengangguk pelan. "Iya. Dia bilang mawar putih itu lambang cinta yang murni. Meja makan kita hampir selalu dihiasi bunga ini."Aruna tersenyum, seolah menemukan jawaban atas kerinduan yang samar. Ia mengambil beberapa tangkai mawar, memeluknya dengan lembut sepe
Sore itu, Adrian dan Aruna duduk di ruang kerja Ayla, sebuah sudut kecil yang seakan menyimpan jiwa pemiliknya. Rak-rak penuh buku berjajar rapi, dihiasi benda-benda kecil yang seolah berbicara tentang kenangan masa lalu.Cahaya matahari sore masuk melalui jendela, memantulkan rona keemasan di dinding ruangan.Aruna, yang sedang menelusuri rak buku, tiba-tiba menemukan sebuah jurnal tua dengan nama Ayla tertulis di sampulnya. Tulisan tangan itu sederhana, tetapi penuh makna.“Ini jurnal Mama?” tanya Aruna dengan nada ingin tahu sambil membuka halaman pertama.Adrian yang duduk di sofa dekat jendela mengangguk perlahan. “Iya. Mama kamu selalu suka menulis. Baginya, itu cara terbaik untuk menyampaikan apa yang tidak sempat diungkapkan dengan kata-kata.”Dengan hati-hati, Aruna mulai membaca halaman demi halaman. Tulisan Ayla mencatat berbagai momen penting dalam hidupnya—dari pertemuan pertamanya dengan Adrian hingga keb
Malam itu, setelah Aruna kembali ke rumahnya sendiri, Adrian duduk sendirian di ruang keluarga. Di hadapannya tergeletak sebuah album foto yang penuh dengan jejak-jejak masa lalu.Jari-jarinya perlahan membuka halaman demi halaman, menghidupkan kembali senyum Ayla yang terbingkai dalam setiap gambar. Setiap potret adalah pengingat akan cinta dan kebahagiaan yang pernah memenuhi hidupnya.Tangannya terhenti pada sebuah foto pernikahan. Ayla tampak memukau dalam balutan gaun putih yang anggun, sementara Adrian di sampingnya terlihat muda, penuh semangat, dan percaya diri. Ia memandang gambar itu lama, seolah ingin menangkap kembali momen kebahagiaan yang tak tergantikan.“Ayla,” bisiknya dengan suara yang serak oleh emosi. “Aku harap kamu tahu... aku selalu mencintai kamu. Setiap hari. Setiap detik.”Ia memejamkan mata, membiarkan arus kenangan membanjiri pikirannya. Meski dadanya terasa sesak oleh rasa rindu yang menusuk, ada kehang
Hari-hari setelah kepergian Ayla adalah masa yang sulit bagi Adrian. Kesedihan seperti bayangan yang selalu mengikutinya, tetapi ia tahu, Ayla tidak pernah benar-benar pergi. Setiap sudut rumah mereka menyimpan kenangan; dindingnya seolah berbisik tentang tawa dan percakapan mereka.Setiap bunga yang mekar di taman menjadi peringatan akan cinta yang mereka bangun dengan penuh kasih sayang.Di malam-malam sunyi, Adrian sering duduk di kursi goyang di teras belakang, memandang bintang-bintang yang berkelip di langit gelap. Ada rasa damai sekaligus rindu yang melingkupi hatinya."Aku nggak akan lupa janji kita, Ay," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam di antara desir angin. "Aku akan terus hidup dengan bahagia, untukmu."Cinta mereka tidak berhenti di situ. Cinta itu tetap hidup, bersemayam dalam setiap kenangan yang mereka ciptakan, dalam napas Aruna—putri kecil mereka yang menjadi buah hati dari kisah cinta yang tak tergantikan.
Hujan turun perlahan, butirannya meliuk-liuk di kaca jendela kamar Ayla dan Adrian, seakan menari dalam kesunyian malam.Udara dingin menembus hingga ke tulang, namun di dalam kamar itu, kehangatan terasa begitu nyata—kehangatan yang berasal dari cinta yang telah mereka rawat bersama selama bertahun-tahun. Ayla terbaring di tempat tidur, tubuh mungilnya dibalut selimut tebal.Wajahnya tampak pucat, tapi sorot matanya tetap memancarkan kelembutan yang menjadi ciri khasnya, kelembutan yang selalu membuat Adrian jatuh cinta.Adrian duduk di kursi kecil di samping tempat tidur, sebuah buku terbuka di tangannya. Suaranya lembut saat ia membacakan cerita, setiap kata meluncur seperti irama yang menenangkan. Ia seolah ingin menjadikan kata-kata itu jubah hangat yang membungkus hati Ayla.“...dan akhirnya, sang putri menemukan kebahagiaan di tempat yang tak pernah ia duga sebelumnya. Sebuah akhir yang mungkin tak sempurna, tapi cukup untuk membuatnya
Di meja makan, aroma kopi yang baru diseduh dan roti panggang yang masih hangat memenuhi udara pagi itu. Adrian duduk di seberang Ayla, mengaduk kopinya dengan gerakan pelan, sesekali melirik istrinya yang tengah menikmati sarapannya.Keheningan di antara mereka terasa nyaman, seolah tak perlu ada kata-kata untuk mengisi ruang. Namun tiba-tiba, Adrian membuka suara, suaranya lembut namun cukup jelas memecah kesunyian."Aku ingat," katanya, senyuman tipis menghiasi wajahnya.Ayla mengangkat alis, meletakkan sendoknya dengan hati-hati. Tatapannya penuh rasa ingin tahu. "Ingat apa?" tanyanya lembut.Adrian tersenyum kecil, matanya menatap Ayla dengan sorot yang sulit diartikan. "Waktu pertama kali aku sadar kalau aku jatuh cinta sama kamu," ucapnya pelan, seperti berbicara langsung dari hatinya.Kata-kata itu membuat Ayla tertegun. Dia tidak menduga Adrian akan mengungkit kenangan itu. Sudut bibirnya melengkung membentuk senyuman, tapi s
Adrian terdiam. Tatapannya mengabur, diselimuti emosi yang terus ia tahan agar tak tumpah. "Ay, aku nggak mau membicarakan itu sekarang," ucapnya pelan, nyaris berbisik."Tapi aku perlu kamu dengar, Din," balas Ayla, suaranya tegas namun tetap lembut, seperti angin sore yang menyentuh kulit tanpa melukai. "Aku tahu kamu mencintaiku. Aku tahu kamu rela melakukan apa saja untukku. Tapi, Din, aku juga ingin kamu tahu… kebahagiaanmu penting buatku. Sama pentingnya."Adrian menatap Ayla lama, seolah-olah sedang mencari sesuatu di dalam matanya—sebuah harapan, mungkin. Matanya, yang biasa penuh dengan ketenangan, kini berkilat, dihiasi air mata yang menunggu untuk jatuh."Aku nggak bisa bayangkan hidup tanpa kamu, Ay," gumamnya akhirnya, suaranya nyaris pecah.Ayla tersenyum, walaupun air mata mulai menitik di pipinya. "Aku nggak akan pernah benar-benar pergi, Din. Aku akan selalu ada di sini." Jemarinya perlahan menyent
Sesampainya di rumah, Adrian langsung mengantar Ayla ke kamar. Dengan penuh perhatian, ia merapikan bantal dan menyelimuti tubuh istrinya yang tampak kelelahan. Ayla hanya bisa tertawa kecil, senyumnya menghangatkan suasana."Din, aku bukan anak kecil," ucap Ayla lembut, tangannya menyentuh pipi Adrian dengan kehangatan yang membuatnya sejenak terhenti.Adrian mendekat dan duduk di tepi tempat tidur. Tatapannya penuh kasih. "Aku tahu kamu bukan anak kecil. Tapi kamu istriku, Ay, dan aku akan selalu memastikan kamu baik-baik saja."Nada suaranya—tenang namun tegas—membuat Ayla terdiam. Ia meraih tangan Adrian, menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Kamu tahu, Din? Aku nggak pernah merasa seaman ini sebelumnya. Terima kasih karena selalu ada untukku."Adrian tersenyum lembut. Ia membawa tangan Ayla ke bibirnya, mengecupnya dengan perlahan. "Aku nggak akan pernah pergi, Ay. Kita sudah melewati banyak hal bersama. Nggak ada yang bisa mem
Hari itu berlalu dalam kehangatan yang sederhana, namun begitu membekas di hati. Setelah sarapan bersama—ritual pagi yang selalu mereka nikmati dengan tawa kecil dan obrolan ringan—Ayla mengusulkan ide untuk mencoba resep baru yang ia temukan di buku masak lamanya.Adrian, yang awalnya ragu, akhirnya setuju untuk ikut terjun ke dapur.“Duh, ini kayaknya kebanyakan gula, deh,” keluh Adrian sambil mengaduk adonan kue dengan raut penuh keraguan.Ayla tertawa kecil, melirik suaminya dengan tatapan geli sembari tangannya cekatan memotong cokelat hitam. “Nggak apa-apa, kalau terlalu manis, kita kasih aja ke anak-anak tetangga. Mereka pasti suka.”Adrian mengangguk pelan, meski garis ragu di keningnya belum juga sirna. Ia mencuri pandang ke arah Ayla, yang tengah sibuk bekerja dengan senyum tipis menghiasi wajahnya. "Kamu tahu nggak, Ay? Ada satu hal lagi yang bikin aku bangga selain Aruna."Ayla berhenti sejenak, alisn