Apa yang terjadi sebenarnya???
Semenjak menikah dengan Bayu, Aluna tidak pernah merasakan bahagia. Suaminya tersebut hanya bekerja dengan gaji yang sangat kecil. Wanita itu tidak bisa untuk hanya sekedar shopping di mini market terdekat. Aluna pun hanya bisa makan seadanya. Apalagi setelah kepergian Rafka, ia tidak pernah mendapatkan uang tambahan lagi. “Pokoknya aku mau kerja!” ucap Aluna sewot. Suami pulang kerja bukannya disediakan minuman atau cemilan, tetapi justru diajak berdebat. “Terus gimana nasib Nabila, Lun? Apa kamu tidak kasihan sama dia?” tanya Bayu dengan nada rendah. Ia tidak mau sang istri tersinggung akan ucapannya. “Besok kamu libur ‘kan? Anterin aku ke rumah Bapak. Nabila aku titipkan saja sama Bapak. Biar sekolah di sana. Lumayan gratis.” “Kamu yakin? Nggak bakalan nyesel?” Bayu merasa tak tega dengan Nabila meskipun gadis kecil itu bukanlah anak kandungnya. Aluna terdiam. Ia kemudian pergi ke belakang. Membuatkan teh hangat untuk Bayu karena tenggorokannya terasa kering. “Sama Bapak akan
Beberapa menit telah berlalu. Alsha sudah tertidur dengan lelap. Rania mencium keningnya sejenak kemudian kembali ke kamarnya sendiri. Wanita itu segera mengecek ponselnya kembali. Apakah pesannya sudah dibalas oleh Nina atau belum. Rupanya Rania suda tidak bisa melihat profil milik Nina lagi. Ia sudah diblokir oleh sahabat suaminya itu. “Apa yang terjadi? Kenapa Nina memblokir akun milikku?” Rania semakin tak tenang. Ia pikir akan mendapatkan sebuah informasi dari wanita itu. Namun sekarang ia justru bertambah rasa penasaran yang ia miliki. Lagi-lagi kepala Rania terasa pusing saat memikirkan banyak hal. “Lebih baik aku tidur saja sekarang. Aku tidak boleh jatuh sakit. Jangan sampai membuat Alsha dan Alma jadi khawatir.” Keesokan harinya Rania bangun kesiangan. Matanya masih terasa berat. Ia baru saja menyingkap selimutnya dan mendapati putri kembarnya berlarian menghampirinya. Ternyata Alsha dan Alma sudah rapi dengan seragam sekolahnya. “Mama ... kenapa belum bangun?” Alsha te
Alsha berdiri di dekat dedaunan. Dadanya bergerak naik turun karena kelelahan. Namun tiba-tiba ada yang menarik tangannya dan mengajaknya sembunyi dibalik dedaunan itu. Hampir saja Alsha menjerit. Namun seorang anak lelaki yang sepertinya lebih tua dari Alsha menempelkan jari telunjuk di bibirnya. “Ssstt ... biarkan lelaki jahat itu pergi dulu. Kita aman di sini.” Alsha mengangguk paham. Ia bisa melihat jika seseorang di dekatnya itu tulus menolongnya. Beberapa waktu kemudian, lelaki dewasa tadi telah pergi. Alsha pun keluar dari tempat persembunyiannya. “Minum ini. Pasti kamu sangat haus.” Seseorang di dekatnya itu mengulurkan botol minuman yang dikeluarkan dari dalam tasnya. “Terima kasih.” Alsha terlihat sangat senang. Kedua sudut bibirnya terangkat hingga menampilkan senyumannya yang begitu manis. “Rumah kamu di mana? Aku antar pulang ya?” Anak lelaki itu mengulurkan tangannya. “Perkenalkan nama aku Dito.” Alsha meraih uluran tangan Dito. Ia hendak menyebutkan naman
Rania melihat nama yang tertera pada layar notifikasi di handpone-nya. Ternyata pesan dari Aluna. Sudah lama Rania tidak berkunjung ke rumah adiknya. Ia bahkan tidak sempat meneleponnya karena sibuk bekerja demi menghilangkan kesedihan yang masih sering hinggap di hatinya. [Mbak gimana kabarnya sekarang? Kapan pulang kampung? Bapak kangen dijengukkin sama Mbak Rania.] “Jadi kamu sekarang sedang bersama Bapak, Lun? Mbak juga kangen sama Bapak. Sampaikan maaf Mbak karena belum bisa menjenguk Bapak di kampung. Nanti kalau si kembar sudah liburan, Mbak usahakan pulang kampung.” Beberapa detik kemudian ponsel Rania berdering kembali. Namun kali ini berganti dengan sebuah panggilan telepon dari Aluna. Baru saja Rania mengangkat telepon tersebut, Aluna langsung berbicara pada intinya. “Mbak, Aluna mau ngomong serius nih.” “Ada apa sih, Lun? Mbak pikir Bapak yang mau bicara.” Rania menghela nafas berat. Ia tahu jika Aluna selalu butuh uang lebih. Berapapun nominal yang dimiliki oleh adi
“Kita makan dulu yuk Sayang,” ajak Rania kepada Alsha dan Alma. “Tanggung ini, Ma.” Jawaban dari Alma membuat Rania tak bersemangat. Ia segera menghirup udara kuat-kuat. Mereka benar-bener membutuhkan sosok seorang ayah. Tetapi hati wanita itu belum bisa menerima Dave sebagai pengganti Rafka. Apalagi ia telah dipertemukan dengan sosok lelaki yang begitu mirip dengan wajah suaminya. “Dave ... ajak anak-anak makan malam dulu, ya?” lirih Rania berbisik kepada Dave. Hanya itu yang bisa Rania ucapkan kepada dokter tersebut. Lelaki itu tampak tersenyum senang. Dave menganggukkan kepalanya. Kali ini ia merasa dibutuhkan oleh Rania kembali. “Alsha dan Alma ... sekarang waktunya kita makan dulu. Nanti dilanjut lagi ya, anak-anak?” Dave mengusap kepala mereka satu persatu dengan lembut. “Siap, Pak Dokter!” “Siap, Om Dave!” Alsha dan Alma berucap bersamaan. Kemudian mereka saling berpandangan karena cara memanggil nama yang berbeda. Alma tidak suka jika Alsha memanggil seperti itu. “Suda
Rania melihat Alsha masih mengerjakan tugas sekolah seorang diri. “Sayang, belum selesai ngerjain PR-nya? Kakakmu mana?” tanya Rania lembut seraya ikut duduk di samping Alsha dan mengecek pekerjaannya. “Katanya Kak Alma sudah ngantuk, Ma. Makanya istirahat duluan.” Rania manggut-manggut. Ia bangga melihat tulisan Alsha yang sangat rajin. Semua jawaban atas pertanyaan dari tugas-tugas sekolah itu juga disampaikan dengan baik. Hingga wanita itu menyadari jika Alsha juga mengerjakan tugas milik Alma. Mungkin itu yang membuatnya belum selesai mengerjakannya. “Lain kali jangan mau kalau disuruh mengerjakan tugas milik kakak kamu. Nanti jadi kebiasaan dan pasti Alma akan malas mengerjakan semua tugas sekolah. Dia akan bergantung juga memanfaatkan kamu Alsha. Itu yang membuatnya tidak mau berpikir lebih dan tertinggal.” “Tapi, Ma. Alsha tidak bisa untuk menolak. Nanti kalau Kak Alma marah bagaimana?” Alsha berucap dengan sedih. Tangan kanan Rania segera mengusap pelan kepala putrinya be
Beberapa hari telah berlalu. Rania masih sibuk membuat menu baru di restorannya. Dalam sekejap saja restoran tersebut sangat ramai karena wanita itu memberikan diskon besar-besaran untuk menu-menu terbaru yang sudah siap. Rania tersenyum lega. Tidak salah ia mendatangkan koki handal dari sebuah kota yang cukup terkenal. Wanita itu juga bahagia melihat anak buahnya bekerja dengan lebih semangat. Namun di saat Rania sedang memeriksa bahan-bahan yang mulai tipis stoknya, ia dikejutkan dengan bunyi ponsel yang berdering terus-menerus. Awalnya wanita itu sempat mengabaikannya, lama kelamaan ia penasaran juga dengan siapa yang sedang telepon. Tertera nama ibu guru yang menjadi pendamping dalam lomba kemah yang diikuti oleh Alsha dan Alma di sekolahnya. Kening Rania tampak berkerut. Ia penasaran mengapa ibu guru tersebut menghubunginya. Rania pun cepat-cepat mengangkat telepon itu. “Mama, lama sekali angkat teleponnya?” “Alma? Ada apa?” Sepertinya Rania merasakan kekhawatiran pada Alma
“Tentu saja, boleh.” Lelaki itu tersenyum tulus seraya merentangkan kedua tangannya. Alsha segera mendekap erat lelaki yang telah menolongnya sambil memejamkan kedua matanya. Entah mengapa perasaan kini sangat bahagia. Sementara Rania yang menyaksikan kehangatan mereka berdua ikut terharu. Tetapi ia tidak mau Alsha terlalu berharap kepada lelaki itu. “Alsha ....!” teriak Rania kemudian. Saking semangatnya ia berlari hingga tidak memperhatikan keadaan sekitarnya. Rania tak sadar ada sebuah lubang di dekatnya. “Augh ... sakit!” Rania berteriak kesakitan. Kaki kanannya terperosok ke dalam lubang itu. Rasanya sangat perih. Ia merasakan ada sesuatu yang menusuk mengenai kakinya tersebut. “Mama!” Alsha pun ikut cemas. “Om, itu Mama saya. Sepertinya Mama sedang terluka.” “Baiklah, anak manis. Kamu tunggu di sini sebentar. Om akan menolong mama kamu.” Lelaki mengusap kepala Alsha sebelum benar-benar pergi. Setelah itu ia segera berlari untuk menolong Rania. Rania masih terlihat kesaki
Malam itu langit di atas rumah megah Rania dan Rafka penuh dengan bintang-bintang. Udara segar musim semi membawa aroma bunga yang mekar di taman mereka. Di dalam rumah suasana begitu tenang. Setelah anak bungsu mereka—Rafael berangkat kuliah ke luar negeri, rumah terasa lebih sepi. Namun kebersamaan mereka tetap hangat. Rania duduk di ruang keluarga. Ia sedang membaca buku favoritnya di bawah cahaya lampu yang lembut. Rafka yang baru saja pulang dari kantor, berjalan masuk dengan senyum lelah namun penuh cinta di wajahnya. Melihat istrinya yang tenang ia merasa bahagia meski suasana rumah kini lebih sunyi. “Rania, aku sudah pulang,” ucap Rafka lembut sambil meletakkan tas kerjanya di meja. Rania mengangkat wajahnya dari buku dan tersenyum hangat. “Selamat datang, Sayang. Bagaimana hari ini?” tanya Rania sambil menutup bukunya dan berdiri untuk menyambut suaminya. Rafka merangkul Rania dengan lembut. Lalu mencium keningnya dengan penuh kasih. “Hari yang panjang, tapi semua
Di pagi yang cerah. Sinar matahari menyusup lembut melalui jendela rumah sakit, menciptakan nuansa hangat dan damai di ruangan bersalin. Di luar burung-burung berkicau riang menyambut datangnya hari baru. Namun di dalam ruangan itu, suasana penuh dengan ketegangan dan harapan. Alsha dengan wajah yang berpeluh tengah berjuang melahirkan buah hati yang dinantikan. Dito berdiri di samping Alsha. Ia menggenggam erat tangan sang istri. Lelaki tampan itu memberikan dukungan tanpa henti. Wajah Dito tampak cemas. Namun ia merasakan kebahagiaan yang tak bisa terlukiskan. “Kamu bisa, Alsha. Aku ada di sini bersamamu,” bisiknya dengan suara lembut dan penuh kasih. Dengan napas yang terengah-engah, Alsha menguatkan diri. Setiap kontraksi membawa rasa sakit yang luar biasa, namun juga mendekatkannya pada momen yang paling dinantikan dalam hidupnya. Wajahnya menegang, tetapi ada kilauan tekad di matanya. “Sedikit lagi, Bu Alsha. Sedikit lagi,” ucap dokter dengan nada tenang dan men
Pagi itu matahari baru saja terbit dan sinarnya yang lembut menembus jendela kamar Alma dan Marco. Suara burung berkicau di luar rumah memberikan kesan damai dan menenangkan. Namun pagi itu terasa berbeda bagi Alma. Dia terbangun dengan perasaan yang aneh. Sesuatu yang tidak biasa. Alma mencoba mengabaikannya, tapi gejala-gejala yang dia rasakan semakin nyata. Alma duduk di tepi ranjang, memegang perutnya yang terasa aneh. Pusing, mual, dan perasaan lelah yang luar biasa menyelimuti dirinya. Ia mengingat kembali beberapa hari terakhir, mencoba mencari penjelasan. “Mungkinkah?” pikir Alma, hatinya berdebar-debar dengan harapan sekaligus kecemasan. Marco yang berada di dapur, sedang menyiapkan sarapan. Dia memperhatikan Alma yang keluar dari kamar dengan wajah pucat. “Kamu baik-baik saja, Alma?” tanya Marco dengan nada khawatir. Alma mencoba tersenyum. “Aku merasa sedikit tidak enak badan. Mungkin aku butuh istirahat lebih,” jawabnya sambil mencoba menyembunyikan kekhawati
Beberapa hari telah berlalu. Alsha memilih menyendiri di sebuah hotel kecil yang tersembunyi dari hiruk-pikuk kota. Ia membutuhkan waktu untuk merenung dan menenangkan hatinya yang kacau. Kamar hotel itu sederhana, tapi cukup nyaman untuk menjadi tempat perlindungan sementara. Cahaya matahari pagi yang masuk melalui jendela memberikan sedikit kehangatan di dalam ruangan yang sunyi itu. Di tepi ranjang Alsha duduk dengan tatapan kosong. Ia merenungkan semua yang telah terjadi. Di dalam hatinya ada campuran antara rasa sakit, kebingungan, dan ketidakpastian. Gadis itu mengelus perutnya yang masih rata. Membayangkan bayi yang sedang tumbuh di dalamnya. Bayangan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian membuatnya merasa sendirian. Ketukan lembut di pintu mengagetkannya dari lamunan. Dengan perlahan dan hati-hati Alsha bangkit lalu membuka pintu. Di sana berdiri seorang lelaki suruhan papanya yang akhirnya berhasil menemukan tempat persembunyian Alsha setelah berhari
Hari pernikahan yang dinanti-nanti pun tiba. Karena sebuah kesepakatan akhirnya pernikahan dilaksanakan di rumah Rania dan Rafka. Taman rumah yang luas telah disulap menjadi tempat pernikahan yang megah, dipenuhi dengan hiasan bunga-bunga berwarna pastel dan lilin-lilin yang memberikan cahaya hangat. Sebuah tenda besar dihiasi kain putih dan pita emas menjulang di tengah-tengah taman. Menambah kesan elegan dan mewah. Marco, Alma, dan Dito sudah berkumpul bersama keluarga dan tamu undangan. Semuanya terlihat anggun dalam balutan busana pernikahan yang memukau. Pak penghulu telah datang dan bersiap untuk memulai prosesi ijab kabul. Namun di antara keramaian dan kegembiraan itu ada satu hal yang mengganjal. “Ke mana Alsha?” tanya Rania dengan cemas. Ia memandang sekeliling mencari putrinya. “Tadi katanya ke toilet sebentar,” jawab Alma dengan sedikit gugup. Gadis itu mencoba menenangkan ibunya. Marco mulai merasa cemas. “Aku akan mencarinya,” ucapnya seraya bergegas menuju
Tanpa terasa hari pernikahan semakin dekat. Segala persiapan sudah selesai. Malam sebelum pernikahan, Alsha duduk sendirian di balkon apartemen. Ia merenung tentang semua yang telah terjadi. Angin malam yang sejuk mengusap wajahnya, membawa kedamaian yang sementara. Tiba-tiba pintu balkon terbuka dan Alma ke luar. “Hei!” Alma menyapa sambil mendekati Alsha. “Kenapa kamu di sini sendirian?” “Alsha hanya merenung, Kak. Besok adalah hari besar kita,” jawab Alsha dengan senyum tipis. “Iya, besok kita akan memulai babak baru dalam hidup kita. Kamu sudah siap?” tanya Alma dengan lembut. “Sejujurnya, Alsha sedikit gugup. Tapi Alsha yakin ini adalah langkah yang benar,” jawab Alsha kemudian. “Semua akan baik-baik saja, Alsha!” Alma berbicara dengan yakin sambil merangkul kembarannya itu. Mereka duduk bersama dalam keheningan sejenak. Menikmati kebersamaan yang tenang di malam yang penuh bintang. Suara kota yang jauh terdengar seperti bisikan lembut, memberikan latar belakang yang m
“Ngapain di sini sendirian, Alsha?” Suara itu milik Marco yang tampak khawatir melihatnya. Alsha menghela napas lega meskipun masih ada sedikit rasa takut yang tertinggal. “Kok kamu tahu aku di sini, Marco?” tanyanya dengan suara yang masih bergetar. Marco tersenyum tipis. Ia mencoba menenangkan Alsha. “Aku khawatir padamu. Saat aku ke apartemen dan tidak menemukanmu, aku memutuskan untuk mencarimu. Aku ingat kamu pernah bercerita tentang tempat ini, jadi aku datang ke sini.” Alsha mengangguk, merasa sedikit tenang dengan kehadiran Marco. “Aku hanya butuh waktu sendirian untuk berpikir. Tapi aku takut Marco. Aku merasa tadi ada yang mengikutiku.” “Apakah kamu yakin?” Marco segera membawa tubuh Alsha ke dalam dekapannya. “Kamu tidak perlu takut. Ada aku di sini untukmu.” Alsha tak menolak meski ia tidak membalas pelukan Marco. Hatinya masih belum bisa sepenuhnya menerima Marco. “Terima kasih, Marco. Aku hanya merasa gugup menjelang pernikahan kita.” Marco mengangguk mengerti. “
“Tidak. Aku tidak peduli.” Alsha berusaha untuk mengabaikan pesan tersebut. Ia juga memblokir nomor baru yang masuk. Berapapun banyaknya nomor itu Alsha tidak akan peduli. Setelah merasa cukup tenang, Alsha segera memejamkan kedua matanya. Pagi harinya Alsha menjalani kehidupan seperti biasanya. Ia mencoba menghilangkan segala kegelisahan hati dengan rajin memasak. Gadis itu juga memilih untuk bekerja online dari ponselnya. Sebenarnya Marco tidak melarang jika setelah menikah nanti Alsha akan bekerja, tetapi lelaki itu akan sangat bahagia jika Alsha lebih fokus melayani sang suami saja. Tanpa terasa hari-hari berlalu dengan cepat. Persiapan pernikahan berjalan lancar. Namun, sebuah pertemuan tak terduga terjadi beberapa hari sebelum pernikahan. Alsha sedang berada di kafe dekat apartemen, menunggu Alma yang sedang membeli beberapa keperluan. Ketika ia sedang menikmati kopi, seseorang mendekatinya. “Alsha?” Suara yang familiar itu membuatnya mendongak. Di hadapannya berdiri Dito
Pagi itu Alsha bangun lebih awal dari biasanya. Ia merasa lega bisa berkumpul kembali bersama orang tuanya setelah sekian lama. Aroma harum dari dapur menyambutnya saat dia keluar dari kamar. Saat memasuki ruang makan, dia melihat Rania, Rafka, dan adik laki-lakinya—Rafael sudah duduk di meja. “Selamat pagi Sayang,” sapa Rania sambil tersenyum hangat. “Sarapan sudah siap. Duduklah, kita sarapan bersama.” Alsha duduk di kursinya dan merasa nostalgia yang mendalam. Sudah lama sejak terakhir kali mereka semua berkumpul untuk sarapan seperti ini. Meja penuh dengan makanan favoritnya. Nasi goreng, telur dadar, dan berbagai macam lauk pauk. “Selamat pagi, Kak Alsha,” sapa Rafael yang duduk di sebelahnya. “Akhirnya kita bisa sarapan bareng.” Alsha tersenyum dan merangkul adik laki-lakinya. “Selamat pagi, Rafa. Bagaimana sekolahmu?” “Baik, Kak. Sedikit sibuk dengan tugas-tugas, tapi semuanya lancar,” balas Rafael sambil mengambil sepotong roti. Rafka tersenyum bangga. “Rafa i