Tessa memeluk istri pertama suaminya yang masih gemetar. "Mbak, tenang, ya?" "Aku takut, Tes ...." Wanda merasa aneh, kenapa jadi begini? Harusnya Wanda senang karena sudah berhasil menabrak Kresna dan dokter juga mengatakan kalau bayi istri suaminya itu sudah tiada. Tetapi, Wanda malah menjadi sangat ketakutan membayangkan dia akan membui di penjara setelah ini. Kresna sudah berada di ruang operasi sekarang. Lalu, Rendra laki-laki itu sudah on the way ke rumah sakit. Hal ini juga menambah rasa takut Wanda. Dia takut sekali sang suami akan marah. Enggak sanggup Wanda merasakan panasnya tamparan Rendra juga dinginkan tembok penjara. Tubuh Wanda serasa mengigil, membayangkan saja dia tidak sanggup, apalagi harus menjalani hari-hari di penjara. Tidak! Wanda pasti akan merindukan hari-harinya bersama Rendra, pekerjaan juga semua yang sudah ia dapat sekarang. Mata yang sudah melelehkan bulir bening itu menatap Tessa sendu. "Tes ... bagaimana ini? Aku enggak mau di penjara ...." "Eng
"Kamu cari cadangan aja!" saran Kanti. Tessa menaikan satu alis. "Siapa yang mau sama janda anak satu?" Suara Tessa diiringi dengan tatapannya yang tiba-tiba jadi kosong. "Sebenernya aku males sih muji kamu. Tapi ya, Tes, kamu tuh cantik masih muda, pasti ada lah cowok yang mau sama kamu." Kanti bukan mau membuat Tessa hengkang dari pernikahan ini, seperti kelicikan yang dilakukan Wanda. Hanya saja, dia juga kasihan pada Tessa. Ya, sebagai perempuan, dia juga merasakan apa yang dipikirkan madunya ini. "Mbak, yakin?" Tessa malah tampak tidak percaya. "Iya, jadi wanti-wanti aja kalau semisal Mas Rendra ninggalin kita, kita itu udah punya cadangan, enggak sakit-sakit amatlah istilahnya." Sesaat Tessa diam. Pikirannya justru berkelana pada kata-kata Kresna dulu saat ngobrol dengannya. "Tapi, Mbak, nanti kalau gitu kita mengkhianati Mas Rendra dong." Polosnya Tessa, dia memang begitu. Hatinya juga masih mencintai Rendra sih, jadi agak susah kalau semisal ditinggalkan. Mewek palingan
"Kamu yakin, Ta?" Tessa mengamati baju merah terang nan seksi yang sedang ia kenakan. Dirinya sedang bercermin sekarang. "Yakinlah." Tata santai saja sambil ngemil keripik singkong. Dia juga mengamati penampilan Tessa. "Cantik lo, body lo makin bohay. Cocoklah!" Tessa menoleh ke belakang, melihat Tata yang berdiri dari sofa. Dia lalu menghampiri Tessa dan menarik baju Tessa agar naik ke bahu, tali dress maksudnya. "Cocok!" puji Tata, "lo emang cantik dari lahir, jadi cocok pake apa pun juga." "Bisa aja. Makasih." Tessa menatap Tata. "Tapi, kita mau ngapain sih ini?" "Ya, dinner gitulah. Masa lo enggak pernah tahu gimana kencan. Ah, jangan-jangan karena lama jadi ibu-ibu lo lupa lagi cara hidup anak muda." Tata menatap selidik pada Tessa. Dia merasa tidak ada yang salah dengan temannya ini. Tessa tampak cantik, tubuhnya subur. Heran saja kenapa mau bertemu duda? "Oh, iya-iya tahulah, cuma aku gugup aja. Ini aku enggak mengkhianati suami aku, kan?" Suara tawa Tata mengisi apart
"Aku ...." Tessa tidak tahu harus jawab apa. Laki-laki di depannya kini tentunya sangat dia kenal. "Mbak yang mau ketemu sama saya?" Oni terus bertanya membuat Tessa semakin kebingungan. "Kamu sendiri, ngapain di sini, On?" Tessa balik bertanya. Entahlah, dia tidak mau menjawab pertanyaan Oni, takut nanti dilaporkan kepada Rendra. "Oh ...." Oni lalu duduk di depan Tessa. "Saya disuruh temen saya, ketemu perempuan, katanya dia mau ngasih saya hadiah. Ya, buat hiburan malam-malam." "Oh, udah ketemu perempuannya?" "Udah." Oni menjawab dengan senyum kecil. Lucu memang, majikannya ini tampak tidak tahu kalau Oni sudah membuka kejujuran keberadaan Tessa di sini. "Oh, cantik?" Konyolnya pertanyaan Tessa, tapi hanya itu yang melintas di pikirannya. "Sangat, dan saya udah suka sama dia dari dulu." "Oh, beruntung ya, kamu?" Tessa melukis senyum menambah keindahan wanita itu di mata Oni. "Enggak kok, Mbak, malah saya masuk kategori laki-laki yang kurang beruntung." "Lho, kenapa? Bukan
Satu minggu, dan dalam waktu selama itu Rendra menunggu Alando sadarkan diri. Laki-laki itu sedikit banyaknya telah menjadi penolong bagi Kresna. Rendra juga merasa bimbang sekarang, istrinya kini begitu dekat dengan Alando. Alasan menjenguk laki-laki itu membuat Kresna sering datang ke ruang perawatan Alando. Untuk Kresna sendiri, dia memang sudah sadarkan diri sejak tiga hari lalu. Meski masih menggunakan kursi roda, Kresna yang masih lemah sering meminta untuk menemui Alando. "Aku merasa bersalah, Mas. Aku udah membuat segalanya hancur, harapan Mas, juga merenggut kehidupan Alando," lirih Kresna beberapa jam setelah dia sadarkan diri dan dokter memberitahu kondisinya. "Kamu enggak bunuh dia." Rendra berkata tegas kala itu. Kresna tidak menjawab, air mata membasahi pipinya. Rendra menatap perempuan yang terbaring di ranjang itu. Dia tidak tahu harus bilang apa. Itu sudah untuk yang ke sekian kali, Rendra bilang semua bukan kesalahan Kresna. Kini, Rendra menatap perempuan yang
Hanya karena keegoisan, kemudian tanpa sadar kita meninggalkan seseorang yang tulus. Begitulah terkadang yang dilakukan orang ketika emosi melanda diri. Begitu pun Kresna, dulu matanya sudah melihat sesuatu yang baginya salah. Kemudian tetap salah, tanpa mau mendengarkan penjelasan Alando. "Maaf, apa ibu wali dari pasien?" Dokter tiba-tiba mengejutkan Kresna yang sedang termangu melihat kepergian Lala. "Iya!" sahutnya agak kaget. "Pasien sudah sadar, silahkan jika ingin melihatnya," jelas dokter sambil tersenyum. "Terima kasih, Dok." Suara Kresna begitu riang. Tidak bisa dipungkiri, hatinya memang bahagia mengetahui Alando sudah sadar. "Baik, kalau begitu saya permisi, Bu." Dokter kemudian melangkah pergi. Kresna tanpa sadar sudah mengukir senyum. Kebahagiaan menyapa hatinya. Akhirnya, dirinya tidak perlu merasa bersalah karena kepergian Alando. Perlahan Kresna memutar kursi roda. Kondisi yang memang sedang tidak baik-baik saja sekarang, tidak memudarkan semangatnya untuk me
Kresna terdiam, tidak ada sedikitpun keinginan hatinya untuk menarik tangan sang suami dan berkata, "aku enggak mau bercerai." Justru, Kresna merasa aneh dengan perasaannya sekarang. Seperti tidak masalah jika harus berpisah dengan Rendra. Toh, Kresna tidak pernah merasa cemburu pada laki-laki itu, yang artinya Kresna enggak cinta, kan? Bagi Kresna, Rendra adalah suami yang harus dihormati, dilayani, tapi untuk mencintainya Kresna rasa tidak. Bukan karena Rendra tidak baik, hanya saja Kresna juga bimbang tentang perasaannya saat ini. "Assalamu'alaikum." Suara manis, membuat Kresna yang menunduk beralih menatap ke depan. Dilihatnya seorang perempuan perempuan melangkah masuk. Tessa tampak melukis senyum, perempuan berbaju cerah itu juga mengangkat kresek putih yang entah apa isinya. Warna kuning apa dia membawa .... "Tada!" seru Tessa, "aku bawa kesukaan Kakak yang kuning-kuning, ayo tebak apa?" Madu Kresna itu berjalan perlahan mendekati. "Apa, celana dalam renda?" jawab Kresna
"On!" tegas Tessa mulai jengah dengan perjalanan yang entah kenapa tidak ada hentinya. "Iya, Mbak." Tessa menepuk bahu Oni yang sedang menyetir. "Sebenarnya, kamu tahu club di kota ini atau enggak, sih? Perasaan kita kok malah muter-muter?" Oni tidak menyahut. Ada rasa khawatir mengingat permintaan majikannya untuk ke club. Oni merasa itu bukan hal yang tak baik. "Kalau boleh tahu, kenapa Mbak ingin ke club?" "Mau minum, menenangkan diri sendiri," sungut Tessa sekenanya, karena kini yang ada di pikiran Tessa nyaris hanya seputar ingatan tentang bagaimana Kresna berbicara tadi. Sangat menyakitkan karena seperti sebuah hinaan. Sekali lagi, Tessa tidak percaya, Kresna bisa bicara begitu. "Kalau Mbak ingin menenangkan diri, sebaiknya Mbak pergi ke tempat yang tenang. Mungkin taman atau tempat-tempat yang sejuk," usul Oni dengan nada santai. Tidak ada satu kata pun yang terucap dari mulut Tessa. Seolah enggan untuk menjawab. Tidak ada tempat yang menenangkan bagi Tessa, dari dulu ha