"Kamu cari cadangan aja!" saran Kanti. Tessa menaikan satu alis. "Siapa yang mau sama janda anak satu?" Suara Tessa diiringi dengan tatapannya yang tiba-tiba jadi kosong. "Sebenernya aku males sih muji kamu. Tapi ya, Tes, kamu tuh cantik masih muda, pasti ada lah cowok yang mau sama kamu." Kanti bukan mau membuat Tessa hengkang dari pernikahan ini, seperti kelicikan yang dilakukan Wanda. Hanya saja, dia juga kasihan pada Tessa. Ya, sebagai perempuan, dia juga merasakan apa yang dipikirkan madunya ini. "Mbak, yakin?" Tessa malah tampak tidak percaya. "Iya, jadi wanti-wanti aja kalau semisal Mas Rendra ninggalin kita, kita itu udah punya cadangan, enggak sakit-sakit amatlah istilahnya." Sesaat Tessa diam. Pikirannya justru berkelana pada kata-kata Kresna dulu saat ngobrol dengannya. "Tapi, Mbak, nanti kalau gitu kita mengkhianati Mas Rendra dong." Polosnya Tessa, dia memang begitu. Hatinya juga masih mencintai Rendra sih, jadi agak susah kalau semisal ditinggalkan. Mewek palingan
"Kamu yakin, Ta?" Tessa mengamati baju merah terang nan seksi yang sedang ia kenakan. Dirinya sedang bercermin sekarang. "Yakinlah." Tata santai saja sambil ngemil keripik singkong. Dia juga mengamati penampilan Tessa. "Cantik lo, body lo makin bohay. Cocoklah!" Tessa menoleh ke belakang, melihat Tata yang berdiri dari sofa. Dia lalu menghampiri Tessa dan menarik baju Tessa agar naik ke bahu, tali dress maksudnya. "Cocok!" puji Tata, "lo emang cantik dari lahir, jadi cocok pake apa pun juga." "Bisa aja. Makasih." Tessa menatap Tata. "Tapi, kita mau ngapain sih ini?" "Ya, dinner gitulah. Masa lo enggak pernah tahu gimana kencan. Ah, jangan-jangan karena lama jadi ibu-ibu lo lupa lagi cara hidup anak muda." Tata menatap selidik pada Tessa. Dia merasa tidak ada yang salah dengan temannya ini. Tessa tampak cantik, tubuhnya subur. Heran saja kenapa mau bertemu duda? "Oh, iya-iya tahulah, cuma aku gugup aja. Ini aku enggak mengkhianati suami aku, kan?" Suara tawa Tata mengisi apart
"Aku ...." Tessa tidak tahu harus jawab apa. Laki-laki di depannya kini tentunya sangat dia kenal. "Mbak yang mau ketemu sama saya?" Oni terus bertanya membuat Tessa semakin kebingungan. "Kamu sendiri, ngapain di sini, On?" Tessa balik bertanya. Entahlah, dia tidak mau menjawab pertanyaan Oni, takut nanti dilaporkan kepada Rendra. "Oh ...." Oni lalu duduk di depan Tessa. "Saya disuruh temen saya, ketemu perempuan, katanya dia mau ngasih saya hadiah. Ya, buat hiburan malam-malam." "Oh, udah ketemu perempuannya?" "Udah." Oni menjawab dengan senyum kecil. Lucu memang, majikannya ini tampak tidak tahu kalau Oni sudah membuka kejujuran keberadaan Tessa di sini. "Oh, cantik?" Konyolnya pertanyaan Tessa, tapi hanya itu yang melintas di pikirannya. "Sangat, dan saya udah suka sama dia dari dulu." "Oh, beruntung ya, kamu?" Tessa melukis senyum menambah keindahan wanita itu di mata Oni. "Enggak kok, Mbak, malah saya masuk kategori laki-laki yang kurang beruntung." "Lho, kenapa? Bukan
Satu minggu, dan dalam waktu selama itu Rendra menunggu Alando sadarkan diri. Laki-laki itu sedikit banyaknya telah menjadi penolong bagi Kresna. Rendra juga merasa bimbang sekarang, istrinya kini begitu dekat dengan Alando. Alasan menjenguk laki-laki itu membuat Kresna sering datang ke ruang perawatan Alando. Untuk Kresna sendiri, dia memang sudah sadarkan diri sejak tiga hari lalu. Meski masih menggunakan kursi roda, Kresna yang masih lemah sering meminta untuk menemui Alando. "Aku merasa bersalah, Mas. Aku udah membuat segalanya hancur, harapan Mas, juga merenggut kehidupan Alando," lirih Kresna beberapa jam setelah dia sadarkan diri dan dokter memberitahu kondisinya. "Kamu enggak bunuh dia." Rendra berkata tegas kala itu. Kresna tidak menjawab, air mata membasahi pipinya. Rendra menatap perempuan yang terbaring di ranjang itu. Dia tidak tahu harus bilang apa. Itu sudah untuk yang ke sekian kali, Rendra bilang semua bukan kesalahan Kresna. Kini, Rendra menatap perempuan yang
Hanya karena keegoisan, kemudian tanpa sadar kita meninggalkan seseorang yang tulus. Begitulah terkadang yang dilakukan orang ketika emosi melanda diri. Begitu pun Kresna, dulu matanya sudah melihat sesuatu yang baginya salah. Kemudian tetap salah, tanpa mau mendengarkan penjelasan Alando. "Maaf, apa ibu wali dari pasien?" Dokter tiba-tiba mengejutkan Kresna yang sedang termangu melihat kepergian Lala. "Iya!" sahutnya agak kaget. "Pasien sudah sadar, silahkan jika ingin melihatnya," jelas dokter sambil tersenyum. "Terima kasih, Dok." Suara Kresna begitu riang. Tidak bisa dipungkiri, hatinya memang bahagia mengetahui Alando sudah sadar. "Baik, kalau begitu saya permisi, Bu." Dokter kemudian melangkah pergi. Kresna tanpa sadar sudah mengukir senyum. Kebahagiaan menyapa hatinya. Akhirnya, dirinya tidak perlu merasa bersalah karena kepergian Alando. Perlahan Kresna memutar kursi roda. Kondisi yang memang sedang tidak baik-baik saja sekarang, tidak memudarkan semangatnya untuk me
Kresna terdiam, tidak ada sedikitpun keinginan hatinya untuk menarik tangan sang suami dan berkata, "aku enggak mau bercerai." Justru, Kresna merasa aneh dengan perasaannya sekarang. Seperti tidak masalah jika harus berpisah dengan Rendra. Toh, Kresna tidak pernah merasa cemburu pada laki-laki itu, yang artinya Kresna enggak cinta, kan? Bagi Kresna, Rendra adalah suami yang harus dihormati, dilayani, tapi untuk mencintainya Kresna rasa tidak. Bukan karena Rendra tidak baik, hanya saja Kresna juga bimbang tentang perasaannya saat ini. "Assalamu'alaikum." Suara manis, membuat Kresna yang menunduk beralih menatap ke depan. Dilihatnya seorang perempuan perempuan melangkah masuk. Tessa tampak melukis senyum, perempuan berbaju cerah itu juga mengangkat kresek putih yang entah apa isinya. Warna kuning apa dia membawa .... "Tada!" seru Tessa, "aku bawa kesukaan Kakak yang kuning-kuning, ayo tebak apa?" Madu Kresna itu berjalan perlahan mendekati. "Apa, celana dalam renda?" jawab Kresna
"On!" tegas Tessa mulai jengah dengan perjalanan yang entah kenapa tidak ada hentinya. "Iya, Mbak." Tessa menepuk bahu Oni yang sedang menyetir. "Sebenarnya, kamu tahu club di kota ini atau enggak, sih? Perasaan kita kok malah muter-muter?" Oni tidak menyahut. Ada rasa khawatir mengingat permintaan majikannya untuk ke club. Oni merasa itu bukan hal yang tak baik. "Kalau boleh tahu, kenapa Mbak ingin ke club?" "Mau minum, menenangkan diri sendiri," sungut Tessa sekenanya, karena kini yang ada di pikiran Tessa nyaris hanya seputar ingatan tentang bagaimana Kresna berbicara tadi. Sangat menyakitkan karena seperti sebuah hinaan. Sekali lagi, Tessa tidak percaya, Kresna bisa bicara begitu. "Kalau Mbak ingin menenangkan diri, sebaiknya Mbak pergi ke tempat yang tenang. Mungkin taman atau tempat-tempat yang sejuk," usul Oni dengan nada santai. Tidak ada satu kata pun yang terucap dari mulut Tessa. Seolah enggan untuk menjawab. Tidak ada tempat yang menenangkan bagi Tessa, dari dulu ha
"Mas?" Tessa menatap heran melihat sang suami yang sudah berada di rumah. Laki-laki itu tampak menunduk, sambil memegangi kepala. Rendra mendongkak. "Tessa?" "Mas kenapa?" Tessa menghampiri lalu duduk di samping Rendra. "Kamu dari mana?" tanya Rendra. "Aku ... aku jalan-jalan sebentar sama Oni," jawab Tessa jujur. "Mas kenapa?" Tessa bertanya sambil mengelus bahu Rendra. Tanpa mengatakan apa-apa, Rendra menyodorkan sebuah kertas berisi tulisan tangan. Tessa yang merasa bingung mengalihkan tangan untuk meraih surat itu lalu membacanya. Isi tulisan itu: Untuk Mas Rendra,Aku sangat menyesal sudah berbohong selama ini. Aku sudah berusaha untuk mencintaimu, Mas. Tapi, ternyata aku enggak bisa. Aku masih mencintai Alando. Aku melakukan kesalahan karena berpura-pura selama ini. Sekarang, aku paham, kenapa aku tidak cemburu dengan pernikahan poligami ini. Aku minta maaf, dan aku meminta untuk bercerai. Pernikahan ini tidak sehat, karena kalau terus dilanjutkan aku takut menyakiti pe
"Mas, aku capek kayak gini terus!" Tessa mengeluhkan perasaannya yang sudah lama dipendam. Sejak kejadian Rendra yang mencurigakan, semakin banyak kejadian-kejadian aneh yang menurut Tessa tidak wajar. Lelaki itu sering pulang telat, kalau pulang kadang marah-marah. Sering pergi dengan alasan keluar kota. Dua tahun berlalu sejak Rendra mengumumkan istrinya sekarang hanya satu, yaitu Tessa. Namun, bagi Tessa lelaki itu tetap seperti memiliki lebih dari satu istri. Dia tidak punya banyak waktu untuk Tessa. "Mas!" Tessa menghentakkan kaki, menghampiri suaminya yang sedang memakai dasi. "Mas dengerin aku enggak sih?!" "Hm." Rendra tetap fokus memakai dasi. "Mas kenapa sih enggak mau dengerin aku?! Aku bilang ini itu, Mas cuma jawab iya-iya aja, tapi kok Mas enggak melakukan yang aku bilang." "Mas harus apa?" Rendra tampak sedikit geram. Entahlah, suaminya itu kini lebih sering tampak masam, tidak seperti dulu. "Mas ke mana aja? Kenapa sekarang baru pulang? Satu bulan lebih lho, Ma
"Selamat pagi, Mbak." Senyum manis terbit dari laki-laki berparas tampan. Bukan membalas senyuman Oni, Tessa malah memutar bola mata, menunjukkan sikap yang benar-benar berbeda dari biasanya. "Bapak menyuruh saya untuk mengantar Mbak, katanya Mbak mau ke pasar pagi ini," tutur Oni lembut tanpa sedikitpun curiga dengan sikap Tessa. Belum Tessa menjawab, Rendra yang tiba-tiba keluar dari rumah langsung menimpali. "Iya, Sayang. Mas khawatir kalau kamu belanja sendirian. Biar Oni yang mengantar kamu." Rendra menyentuh bahu Tessa. Perempuan itu menoleh dengan alis bertaut. "Kenapa harus Oni? Kan ada sopir lain?" "Kang Dodi lagi cuti, biar Mas nyetir sendiri, yang penting kamu ada yang nemenin." Tessa diam, dan raut wajahnya yang diamati Rendra, membuat laki-laki itu kebingungan. "Kamu kenapa, Sayang? Lagi berantem sama Oni?" tanya Rendra lembut. "Enggak." Tessa menghela napas. Rasanya gagal untuk dia bisa menjauhi asisten pribadi suaminya itu. "Ya udah." Rendra mengalihkan tatap
Tessa terus tertawa merasakan geli di pinggang karena sang suami yang terus menyentuh area tersebut dengan gelitikan. Sementara Rendra terus melakukan itu tanpa mempedulikan Tessa yang meminta berhenti. Untuk malam pertama mereka, keduanya menginap di hotel tempat mereka mengadakan resepsi. "Mas, udah stop!" pinta Tessa yang tidak diindahkan oleh Rendra. "Enggak," sahut Rendra manja lalu memeluk Tessa, kembali mencubit pinggang sang istri. "Ih, Mas geli." Tessa mau beranjak dari ranjang kalau saja Rendra tidak kembali memeluknya. "Mas ih," seru Tessa kemudian kembali merasakan kegelian karena tingkah Rendra. Dia kembali tertawa kecil. "Kayak belut deh kamu, enggak mau diem," kata Rendra menjawil pipi Tessa. "Abis Masnya enggak mau diem, kan geli." Tessa jadi waspada dengan tangan Rendra yang sudah bersiap mencubitnya lalu. "Hayo-hayo, mau ke mana?" "Mas!" Tessa berusaha mengeluarkan tubuhnya dari kukungan Rendra. "Apa, Sayang?" Rendra melukis senyum lalu mengecup lembut dahi T
Oni masih terdiam di balik kemudi. Dia mendapatkan kepercayaan Rendra untuk menjaga sesuatu yang hatinya tidak ingin melakukan itu. Ini tentang perempuan yang dia cintai, namun tidak bisa dia jaga. Laki-laki bermata kecil itu menghembuskan napas lelah. Kenapa bisa seperti ini? Tessa yang seharusnya terluka bukan Oni. "Ayo kita berangkat!" Rendra masuk mobil. "Baik, Pak." Oni manut dan sampai beberapa menit mobil melaju, hatinya masih tidak nyaman mengingat rahasia yang sedang dia simpan bersama dengan sang majikan. "Iya-iya, Sayang. Ini Mas lagi di perjalanan kok." "Iya, Mas langsung ke butiknya." Suara majikannya membuat Oni kembali menghembuskan napas lelah. Bagaimana ini? Rasanya Oni tidak mungkin mengatakan semua rahasia ini pada Tessa. Bisa hilang perkerjaannya. Laki-laki itu ingin mengutuk diri sendiri. Ini masalah majikannya, kenapa harus Oni yang merasakan pusing? Tessa? Siapa Tessa? Perempuan itu adalah istri majikannya. Oni tidak berhak mencampuri urusan rumah tangga
Pelukan hangat sang istri membuat Rendra mengusap sudut mata yang perlahan terasa basah. Dia mengelus lembut kepala perempuan yang lemah itu. "Mas," panggilnya lirih. Rendra lalu menurunkan pandang, melihat perempuan yang mendongkak itu kini jadi bermata sayu. Dia mengulas senyum, lalu kembali memeluk erat. "Mas, jangan pernah tinggalkan aku, ya?" Suaranya lirih dan serak. Rendra tahu kalau perempuan itu menangis. Dengan sigap Rendra kembali memeluknya. "Iya, Sayang. Mas akan selalu ada buat kamu, jangan sedih, ya?" Getaran tubuh perempuan dalam pelukannya semakin menambah perih di hati Rendra. Bagaimana ini? *** Sebelas tahun lalu, jalanan Amerika yang sudah sepi membuat seorang perempuan terpaksa berjalan sendiri malam itu. Di salah satu kota di negara tersebut malam-malam memang tidak seramai dalam film-film Hollywood. Rendra yang saat itu sedang mengendarai mobil menuju apartemen, dia melihat perempuan tersebut. Merasa khawatir karena melihatnya sendirian, Rendra sengaja me
Kresna menyusut air mata yang keluar dari sudut matanya. Perempuan itu baru saja tertawa melihat tingkah si Andi, wartawan menyebalkan itu pergi karena malu. Semuanya pertanyaan berhasil dijawab Oni. Bahkan, saat Aski bangun, bayi itu entah kenapa memanggil Oni papa.Wah, memang betul-betul suatu keajaiban. Kresna senang bisa melihat Tessa kembali tersenyum lagi. Keduanya juga memang merasa lega.Rendra mengambil pisang goreng. "Acting kamu bagus, On," ucapnya lalu memakan pisang goreng."Iya, apalagi pas kamu bilang mau bergaya pas difoto si Andi waktu di supermarket. Aku pengen buang air lho lihat kamu cium Tessa. Tessa kamu kaget, ya, dicium pipi sama Oni, itu mata kayak mau keluar. On, kamu mesum juga ternyata?" Kresna menimpali sambil kembali terkekeh kecil.Oni hanya mengulas senyum malu-malu. Dia bukan sengaja melakukan itu, tapi memang perintah Rendra. Ya, kalau pun Rendra tidak menyuruh, mungkin Oni akan sukarela melakukan
Tessa sedikit menerka-nerka orang yang sedang membelakangi Tessa tersebut. Sepertinya kenal, tapi Tessa kenal di mana?"Kakak tunggu di sini aja," pinta Tessa sambil melirik Kresna, "biar aku yang nyamperin dia.""Nanti kalau kamu diapa-apain, gimana?" Kresna tentu merasa khawatir, meski jarak laki-laki itu tidak sampai sepuluh meter dari mereka."Tenang aja, Kak. Deket kok. Kakak bisa teriak kalau aku di apa-apain. Lagian ini masih di depan rumah." Tessa menepuk pelan bahu Kresna.Perempuan di sampingnya pun membentuk bulat jari telunjuk dan jempolnya. "Oke," sahut Kresna pelan.Dari jarak yang sekitar satu meter Kresna mengawasi Tessa yang mendekati laki-laki berkemeja itu."Maaf," kata Tessa membuat laki-laki itu menoleh."Oh, Hallo, Mbak Tessa. Perkenalkan saya Andi wartawan dari televisi GEATv." Laki-laki itu langsung mengulurkan tangan.Dengan canggung Tessa meraihnya, denga
"Maaf, Pak Rendra, apa betul anda sudah menceraikan dua istri anda sekaligus?" Di acara konferensi pers yang di selenggarakan pihak Purnama Grup. Rendra betul-betul langsung dicecar masalah pribadinya.Rendra menahan Oni dengan tangannya saat laki-laki itu hendak berbicara. Rendra tahu, pertanyaan ini terlalu sensitif, karena sebetulnya konferensi pers diselenggarakan untuk peluncuran produk baru dari Purnama Grup."Baik, setelah tadi saya menjelaskan tentang produk baru yang kami luncurkan. Saya berharap produk baru ini bisa laris di pasaran. Pun bisa memberi manfaat terutama untuk konsumen dan perusahaan kami. Untuk pertanyaan yang sodara tanyakan kepada saya, saya akan jawab ...."Suara jepretan kamera terdengar, para wartawan bahkan ada yang saling berbisik, seolah gosip-gosip seperti ini memang nikmat untuk diperbincangkan."Saya dan istri-istri saya, hubungan kami baik-baik saja, dan perpisahan yang kami lakukan pun dil
"Mbak ...." Tessa berujar lirih sambil melihat istri pertama suaminya sedang terbaring lemas di ranjang rumah sakit.Perempuan itu bisa ada di sini karena telah melakukan percobaan bunuh diri. Wanda mencoba menyilet pergelangan tangannya. Untung saja Rendra keburu datang dan melihat sang istri tergolek lemah dengan pergelangan tangan yang mengeluarkan darah.Sementara, di sudut ruangan itu Rendra sedang mengamati pemandangan halaman rumah sakit di balik jendela. Entah apa yang dipikirkan laki-laki itu. Tessa sendiri hanya menoleh sekilas lalu kembali menatap Wanda. Pucat dan kurus, berbeda sekali dengan Wanda yang sering dia lihat selama ini."Mbak, Mbak harus sehat, ya? Aku kangen lho, kangen lihat Mbak yang selalu cantik." Tessa tidak kuasa menahan tangis melihat perempuan yang terbaring itu hanya bisa menatap kosong.Wanda sudah siuman sejak satu hari dia dirawat di rumah sakit. Baru saja perempuan itu keluar rumah sakit sekaran