“Zunai mana?” Awan mengedarkan pandangan mencari keberadaan putrinya.“Belum pulang, Mas.”“Belum pulang? Ini udah jam delapan loh. Anak gadis keluyuran jam segini nggak baik!”“Dia tadi sore udah telpon aku katanya mau kerja kelompok di rumah Chika.”Awan sangat protektif pada Zunaira yang tahun ini menginjak usia tujuh belas tahun. Zunaira persis seperti Welly, mulai dari wajah dan juga sikapnya, ia tidak menuruni bar-bar sang ayah. Anak itu begitu kalem bahkan terkesan pendiam bahkan temannya saja bisa dihitung menggunakan jari. Chika salah satu teman dekatnya yang juga sering main ke rumah jadi Awan dan Welly tahu dan mengenalnya.“Udah di telepon lagi belum?”“Udah, tapi nggak aktif.”“Biar aku jemput aja. Di rumah Chika 'kan?”“Iya.”Baru saja di ambang pintu rumah, di luar gerbang Awan melihat Zunaira turun dari motor. Awan langsung menghampiri berniat ingin marah namun tertahan saat melihat sudut bibir putrinya itu terluka dengan pipi merah tanda bekas tamparan. Amarahnya mala
Awan masih memperhatikan pemuda itu yang kini sedang mengobrol dengan seseorang lewat telepon.“Iya, sekarang aku kesana. Bunda tunggu aja.” Sambungan telepon terputus, ia memasukan benda pipih itu ke dalam saku celana dan beralih pada Awan. “Om, saya duluan ya.”Tidak menunggu Awan menjawab, pemuda yang tidak diketahui namanya itu melenggang pergi.“Ayah, es krim. Ayah.” Sebria menepuk pipi Awan membuat lelaki itu langsung tersadar dari lamunannya.“Apa?”“Es krim.”“Iya, iya.” Awan mengambil es krim tergeletak itu dan membuangnya ke tempat sampah sebelum masuk lagi ke kedai es krim.Wajah pemuda itu benar-benar mengganggu ketenangan Awan. Ia merasa penasaran dan ingin mencari tahu. Masalahnya wajahnya persis seperti Awan saat remaja. Mungkin jika orang yang mengenal Awan saat remaja pasti akan mengatakan hal yang sama.Saat di rumah nanti akan ditanyakan pada Zunaira soal pemuda itu, pikir Awan. Ia tidak akan bisa tidur nyenyak sebelum tahu sola pemuda itu. Ia sadar di luaran sana p
“Samudra.” Lelaki itu mengulurkan tangan untuk berjabatan.“Awan.” Ia menyambutnya.Awan tidak tahu jika Jingga masih bersama dengan Dipta. Terlihat dari anak lelaki di depannya itu, sudah pasti bukan anak kandung Jingga karena perkiraan Awan usianya di atas dua puluhan.“Anaknya Bang Dipta?” Tanpa bisa dikontrol Awan langsung menanyakan hal itu.“Om kenal juga Papa saya ternyata.” Samudra menyahut.Awan hanya tersenyum.“Langit mana?”Mendengar satu nama itu membuat Awan teringat pada teman Zunaira bernama Langit yang memiliki wajah mirip seperti dirinya.“Di mobil. Dia bilang katanya jangan lama-lama.” Samudra sedikit berbisik namun masih bisa didengar oleh Awan.“Ya udah. Kita pulang aja sekarang. Bunda juga udah ketemu temen-temen Bunda.”“Kenapa buru-buru, Ji?”Jingga mengedikkan bahunya. “Beginilah ibu rumah tangga. Nggak tenang kalo ninggalin rumah kelamaan. Duluan ya.”Jingga memang berada di sana sudah lebih lama daripada Awan jadi Jingga sudah mengobrol dengan teman-temannya
“Aduh, hp gue malah ketinggalan lagi.” Langit yang belum terlalu jauh masuk kini berbalik berjalan keluar gerbang berharap jika ibunya masih ada di sana.Tangan lelaki itu mengepal, berlari mendekat dan menarik tubuh Awan menjauh dari Jingga. Emosi, ia langsung menghantam wajah Awan. Anak itu tidak akan membiarkan ibunya disakiti, meskipun nakal tapi Langit itu sangat menyayangi sang ibu.Emosinya meluap karena dari kejauhan ia melihat ibunya menangis dengan kedua pergelangan tangan dicengkram kuat oleh Awan.“Bunda. Bunda nggak papa?”Jingga tidak bicara, tubuhnya gemetar karena ketakutan. Nafasnya memburu dengan jantung yang berdegup dengan kencang. Langit membawa ibunya masuk ke dalam mobil.“Om, urusan kita belum selesai ya. Berani nyakitin ibu saya, Om berarti punya urusan sama saya.” Langit menatap Awan dengan tajam sebelum ikut masuk ke dalam mobil dan meninggalkan Awan yang masih terdiam.Sebelah sudut bibir lelaki itu terangkat. “Dia … bener-bener anak gue.” Melihat seperti a
Senyum merekah di bibir Awan saat ia berhadapan dengan Langit, tapi ekspresi berbeda ditunjukan oleh anak sulung Jingga itu. Rahangnya mengeras dengan sorot mata tajam. Ia masih belum menerima perlakuan Awan pada Jingga tadi.Anak manapun tidak akan terima jika melihat ibunya disakiti sekecil apapun.“Langit-”“Saya nggak tahu ada masalah apa antara Om dan Ibu saya tapi saya peringatkan jangan sampai saya lihat Om menyakiti Ibu saya lagi. Saya nggak akan biarkan itu terjadi!” Langit bicara dengan penuh penekanan tapi tidak melupakan sopan santun kepada orang yang lebih tua.“Ini Ayah, Nak.” Awan tak sanggup lagi jika harus banyak berkata, ia hanya ingin Langit tahu jika ia adalah ayahnya.Alis Langit tampak berkerut. Ia menolehkan ke belakang tubuhnya berpikir ada orang lain di sana dan ternyata tidak ada. Hanya ada Awan dan Langit saja di tempat itu, Zunaira bahkan sengaja Awan suruh untuk menunggu di mobil.“Om ngomong apa sih?”“Ayah ini Ayah kandung kamu. Bang Dipta itu hanya ayah
“Mas, itu kenapa bisa luka? Kamu berantem sama siapa?” Welly langsung memberondong Awan dengan pertanyaan.“Nggak papa, cuman salah paham aja kok.” Awan melirik Zunaira.Tadi ia sudah mewanti-wanti pada Zunaira untuk tidak mengatakan apapun pada Welly termasuk soal ia yang mengikuti Langit. Tanpa banyak bertanya Zunaira hanya menurut saja, ia juga bukan orang yang suka ikut campur apalagi dalam urusan orang tuanya.“Sini, aku obatin dulu.” Welly menarik tangan suaminya menuju kamar.“Nggak papa, sayang.”“Udah diem.” Welly mendorong tubuh Awan sampai terduduk di tepi ranjang lalu beranjak mengambil kotak obat.Awan harus mempersiapkan semuanya. Memberitahu Welly soal kehadiran Langit, kehadiran anak itu pasti akan menyakiti semua orang. Langit pun belum tentu bersedia untuk mengakui Awan apalagi kesan pada Awan sudah tidak baik karena melihat lelaki itu menyakiti Jingga.“Mas, besok jadwal USG. Kalau perempuan lagi gimana?” Welly mulai membuka obrolan.“Nggak masalah, sayang. Anak itu
“Mas Awan ada masalah apa ya, dia kelihatan khawatir banget.” Welly jadi ikut tidak tenang karena melihat suaminya yang tadi buru-buru mengantar pulang setelah dari rumah sakit.Meski penasaran, Welly tidak akan menelpon Awan untuk bertanya ia lebih memilih menunggu suaminya pulang agar bisa menjelaskan lebih detail soal apa yang terjadi.Sampai anak-anak pulang, Awan masih belum menghubungi dan tidak ada tanda-tanda kepulangan lelaki itu.“Ibu kenapa? Kok kayak gelisah gitu?” Zunaira menyadari raut wajah sang ibu yang tak biasa.“Eh, nggak kok. Mandi gih, atau mau makan dulu. Ibu udah masak.”“Beneran Ibu nggak kenapa-napa.”Welly tersenyum. “Iya, Kak. Ibu nggak papa kok.”Hati seorang istri memang paling peka, ada sesuatu dengan suaminya ia akan merasakan meski tidak diberitahu.Mendengar deru suara mobil, Welly bergegas untuk membukakan pintu. Namun yang datang bukan Awan melainkan ibu mertuanya.“Awan belum pulang kerja?”“Mas Awan hari ini nggak ke kantor, Ma.”“Loh, kenapa? Dia
“Loh, kok pulang, Mas?” Jingga melirik Dipta yang menoleh sambil tersenyum lalu keluar dari mobil.Lelaki itu membukakan pintu mobil untuk Jingga.“Mas, katanya mau jemput Langit?” Jingga masih bertahan dalam posisinya, ia ingin segera menemui putranya dan membawa pulang. Perasaannya tidak akan tenang jika Langit tidak ada di rumah, semalam saja ia tidak bisa tidur.“Yuk. Turun dulu.” Tangan Dipta terulur, meski heran Jingga tetap meraih tangan lelaki itu dan turun dari mobil.“Abang cerita dulu.”“Minggir nggak! Gue jitak juga pala lo!” Langit melotot pada Embun.“Nggak. Bilang dulu kenapa wajah Abang kayak gini?” Embun berkacak pinggang seperti seorang ibu yang tengah menginterogasi anaknya.Tidak jauh dari tempat mereka berdiri, Jingga terperangah. Tidak percaya jika Langit ternyata pulang sendiri ke rumah, padahal Jingga sudah begitu takut jika anaknya itu akan pergi lagi dan berakhir seperti hari ini.“Dia nggak akan tega lihat Bundanya nangis gara-gara dia, meskipun di sini dia
“Gue tahu lo kecewa sama Mama. Lo beneran nggak mau nemuin Mama?” tanya Bisma.“Daripada gue marah-marah ke Mama mending nggak dulu.” Bian masih merasakan kekecewaan yang mendalam.“Sekarang Mama nggak pura-pura lagi, gue sendiri yang nemuin dokternya. Mama bener-bener kena stroke.”Bukan Bian yang kaget tapi Aini yang membuka mulutnya dengan lebar saking kagetnya mendengar kabar soal ibu mertuanya. Kemarin mereka menganggap Bu Liana itu pura-pura tapi nyatanya memang terkena serangan jantung hingga membuatnya terkena stroke.Bukan hanya tidak bisa berjalan, Bu Liana juga tidak bisa bicara sama sekali.“Mas, kita lihat Mama ya,” pinta Aini, ia masih memiliki hati.“Sayang ....”“Mas, aku nggak mau kamu terus menjauhi Mama. Mungkin dengan kejadian ini Mama menyadari apa yang pernah diperbuatnya itu sebuah kesalahan. Aku nggak mau kamu jadi anak durhaka, Mas.” Aini menatap sang suami dengan mata berkaca-kaca.Aini sudah menganggap Bu Liana sebagai ibunya meski perlakuan Bu Liana jauh da
“Mama kok bisa di sini?” Aini langsung berdiri menghampiri ibu mertuanya yang ada di ambang pintu, duduk di kursi roda.“Mama sudah keluar dari rumah sakit dan mau melihat Lyla,” ujar Bu Liana tapi pandangan matanya menghunus pada Nella yang tidak kalah tajam menatap Bu Liana.“Bukannya dokter bilang kalau Mama-”“Mama nggak tenang kalau ada di rumah sakit takutnya kamu didatangi orang bermuka dua ini,” potong Bu Liana tanpa mengalihkan pandangan dari Nella.Nella menyeringai, ia tahu Bu Liana kini mulai melakukan permainannya. Nella tidak akan langsung masuk tapi mengambil ancang-ancang.“Mbak Ai, kalau begitu aku permisi dulu ya. Lain kali aku main lagi,” pamit Nella.“Loh, kenapa?”“Bawaannya panas di sini. Ada yang terbakar tapi bukan api,” ucap Nella dengan senyum penuh arti, ia beralih pada Lyla yang sibuk dengan mainannya, “Lyla, Tante pulang dulu ya. Nanti main lagi ke sini.”“Tante, Lyla masih mau main
"Mas, ayo kita lihat Mama.""Kamu di sini aja, biar Mas yang kesana." Bian menahan Aini untuk tidak ikut."Tapi, Mas-""Nurut ya. Besok baru kamu boleh nengokin Mama. Aku juga sekalian ke pasar habis dari rumah sakit jadi kami mending nggak usah ikut.""Ya udah, semoga Mama nggak kenapa-kenapa."Aini merasa khawatir pada ibu mertuanya. Meskipun Bu Liana sering berbuat jahat tapi Aini tidak sampai hati jika harus senang atas berita yang didengarnya. Ia tetap menghormati Bu Liana sebagai ibu mertua."Mas berangkat ya." Bian langsung pergi setelah taksi online yang dipesannya datang.Alamat rumah sakit sudah dikirimkan oleh art Bu Liana. Bian mengubah tujuan langsung ke rumah sakit, terpaksa ia harus memesan mobil itu sampai nanti pulang lagi karena tidak ingin ribet apalagi harus menunggu lagi. Bian pun tidak akan lama di rumah sakit, hanya melihat kondisi ibunya setelah itu pulang."Nyonya di dalam, dari tadi men
POV Author“Aish! Kenapa juga aku harus memohon kayak gini, macam nggak ada cowok lain.” Nella melemparkan ponselnya sembarang arah lalu menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Ia baru saja membaca ulang pesan yang kemarin malam dikirim pada Bian.Menjatuhkan harga diri, pikir Nella.Nella bukan wanita yang haus akan cinta, ia memang marah dan kecewa saat tahu ternyata ibu mertuanya itu menipunya metah-mentah. Mengatakan jika Bian tidak pernah menikah padahal nyatanya sudah menikah bahkan memiliki anak dari Aini.Tidak hanya marah pada Bu Liana tapi pada Bian dan juga Aini karena merasa dibohongi, ia merasa seperti orang bodoh karena hanya ia sendiri yang tidak tahu soal fakta besar ini.Setelah tahu fakta, Nella menurunkan orang kepercayaannya untuk mencari tahu soal apa yang terjadi sebenarnya, apakah memang kesengajaan. Nella tidak mau salah membenci orang.Tidak bisa dipungkiri jika ia merasa nyaman bersama dengan Bian tapi bicara
“Tadi pas aku lewat denger suara orang nangis, aku kira Lyla yang nyariin Mbak Ai ternyata aku salah,” jawab Mas Bian sambil tertawa.Aku pikir dia akan membongkar semuanya.“Salahnya apa?”“Ternyata Mbak Ai yang nangis.”Ya ampun, kenapa Mas Bian malah mengatakan itu.“Terus kamu nyelonong saja begitu? Ih, nggak sopan banget sih. Mbak Ai pasti marah.”“Tadi saja aku langsung diusir, aku hanya khawatir Lyla kenapa-napa.”“Syukurlah kalau Lyla nggak apa-apa. Tapi kamu itu bikin malu, Mas. Main masuk ke kamar orang saja.”Sekarang bisa bernapas lega saat mendengar suara langkah kaki mereka menjauh. Salahku memang karena lupa mengunci pintu kamar, besok malam aku harus mengunci pintu agar Mas Bian tidak main masuk ke dalam kamar dan kepergok seperti tadi, untung saja Bu Nella percaya kalau tidak akan semakin bahaya.Aku bangun lebih pagi berniat membersihkan halaman belakang setelah selesai memasukkan semu
“Sayang.”aku berjengit mendengar suara Mas Bian. Menoleh menatapnya menyembulkan kepala di celah pintu kamar mandi.“Kenapa, Mas?”“Kalau mau pesan makan sekalian kopi ya.”“Ya ampun, kamu cuman mau bilang itu doang keluar kamar mandi?” Aku geleng-geleng kepala dengan tingkah Mas Bian.“Iya.” Dia menjawab sambil tersenyum lebar lalu masuk lagi ke dalam kamar mandi.Dia tidak menyadari raut wajahku jadi tidak khawatir. Biarkan nanti Mas Bian membaca sendiri pesan dari Bu Nella. Aku jadi penasaran bagaimana reaksi Mas Bian nanti. Apa dia akan mengikuti keinginan Bu Nella atau tetap dengan pendiriannya untuk tidak ikut campur lagi dengan urusan ibu mertua.Tapi mendengar sampai membawa-bawa hukum, ngeri juga sebenarnya. Tapi jika memang Bu Nella dan keluarganya merasa tertipu itu hal wajar, aku saja marah saat Mas Bian diberitahu kalau aku sudah meningga
POV AiniTangisku pecah saat Mas Bian menarikku ke dalam pelukannya.Mas Bian percaya ini aku, istrinya. Buku nikah dan kalung ini yang memperkuat. Meski tanpa dua hal itu Mas Bian seharusnya merasakan kehadiranku, aku saja masih bisa mengingat suaranya meski bertahun-tahun tidak berjumpa seharusnya ia pun sama.“Aini ... Aini ....” Dia terus memanggil namaku dengan suara yang bergetar.“Iya, Mas. Ini Aini, istri Mas Bian.” Tanganku melingkar dengan erat di punggungnya. Menyalurkan kerinduan yang bertahun-tahun ditahan.“Maafin Mas, Aini. Dalam kondisi Mas yang seperti ini Mas susah sekali percaya pada orang.”Mas Bian menceritakan soal kenapa dia menganggapku sudah meninggal. Sudah pasti ibu mertuaku dalangnya, tega sekali beliau melakukan itu. Menghancurkan kehidupan anaknya sendiri hanya karena ego.Dengan kondisi Mas Bian seperti ini wajar Mas Bian mudah percaya apalagi bagi dia pasti tidak mungkin ibunya berbohong apalagi soal hal sebesar ini tapi siapa yang menyangka jika ibu me
POV Bian“Aini meninggal, Bi.”Deg!Jantungku seperti berhenti berdetak, hatiku remuk, dunia seolah runtuh di atas kepala. Belum selesai masalahku dengan penyakit ini sekarang malah mendengar kabar yang begitu menyayat hati.“Nggak mungkin, Ma. Aini baik-baik saja, dia nunggu aku pulang pasti.”“Tolong jangan gini, Bi. Kamu harus terima, Mama tahu semua ini berat buat kamu. Ikhlaskan biar Aini tenang di sana.”Dadaku sesak, air mata tak sanggup kutahan. Ditinggalkan orang yang dicintai itu begitu menyakitkan, saat aku berjuang untuk sembuh di sini. Aini malah pergi meninggalkan luka yang begitu dalam. Aku belum sempat membahagiakannya.Mama mengatakan Aini meninggal saat aku masih koma, meninggal bersama dengan anak yang sedang dikandungnya. Sakitnya berkali lipat, anak yang belum sempat kulihat rupanya juga pergi dibawa oleh Aini.Tuhan. Kenapa seberat ini cobaan yang Engkau berikan?Kepergian Aini membuatku tak ada lagi semangat untuk bisa sembuh, tidak ada lagi wajah cantiknya yang
“Bu Nella, seb-”“Argh!” Ibu mertuaku langsung menjerit sambil memegangi dadanya.“Mama kenapa?” Mas Bian dan Bu Nella langsung panik sedangkan aku sendiri masih berdiri mematung.“Sa-kit, mungkin penyakit jantung Mama kambuh,” ujarnya dengan suara lirih.Keningku berkerut. Sejak kapan ibu mertuaku memiliki penyakit jantung, setahuku tidak punya. Beliau bahkan tidak memiliki riwayat penyakit apapun.“Mungkin asam lambung Mama naik.” Mas Bian langsung buka suara.“Sakit sekali, ayo bawa Mama ke dokter.”“Mbak Ai, ambilkan kunci mobil di nakas kamar,” pinta Bu Nella.Aku pun bergegas mengambilkannya. Tidak tahu ibu mertuaku ini pura-pura atau memang sakit, takutnya jika memang sakit nanti aku yang disalahkan jika menahan dan berniat membongkar semuanya sekarang.Mereka pergi ke rumah sakit, tinggal aku dan Lyla berdua di rumah.Sekarang aku makin yakin jika ibu mertuaku memang takut aku membongkar semuanya pada Bu Nella. Lucu juga membuat ibu mertuaku ketakutan seperti ini, kalau memang