“Loh, kok pulang, Mas?” Jingga melirik Dipta yang menoleh sambil tersenyum lalu keluar dari mobil.Lelaki itu membukakan pintu mobil untuk Jingga.“Mas, katanya mau jemput Langit?” Jingga masih bertahan dalam posisinya, ia ingin segera menemui putranya dan membawa pulang. Perasaannya tidak akan tenang jika Langit tidak ada di rumah, semalam saja ia tidak bisa tidur.“Yuk. Turun dulu.” Tangan Dipta terulur, meski heran Jingga tetap meraih tangan lelaki itu dan turun dari mobil.“Abang cerita dulu.”“Minggir nggak! Gue jitak juga pala lo!” Langit melotot pada Embun.“Nggak. Bilang dulu kenapa wajah Abang kayak gini?” Embun berkacak pinggang seperti seorang ibu yang tengah menginterogasi anaknya.Tidak jauh dari tempat mereka berdiri, Jingga terperangah. Tidak percaya jika Langit ternyata pulang sendiri ke rumah, padahal Jingga sudah begitu takut jika anaknya itu akan pergi lagi dan berakhir seperti hari ini.“Dia nggak akan tega lihat Bundanya nangis gara-gara dia, meskipun di sini dia
Di pertemuan pertama, Bu Neva sudah meninggalkan kesan buruk dan membuat Langit akan berpikir berkali-kali jika harus bertemu lagi dengan wanita paruh baya itu. Meski kelakuannya bar-bar dan sebelas dua belas dengan Awan, Langit tetap tidak suka pada orang seperti Bu Neva.Setelah Dipta selesai memeriksa kondisi Welly, Langit bahkan sudah menunggu di dalam mobil karena ingin pulang. Ia tidak ingin menjadi sumber keributan di rumah orang lain.Bu Neva tidak bisa melarang dan memaksa, ia bisa membaca sikap Langit yang mirip dengan Awan. Semakin dipaksa akan semakin keras kepala. Jadi memang baiknya dibiarkan saja dulu.“Welly pake pingsan segala lagi. Dia itu kenapa sih?”“Ma, jangan kayak gitu. Welly pasti kaget karena tahu aku punya anak.” Awan kesal juga melihat sang ibu yang malah terlihat seperti dulu yang tidak peduli pada Welly.Siapa yang tidak akan kaget jika tahu suaminya memiliki anak dari wanita lain dan usia anaknya bahkan sama dengan anak pertamanya. Welly kembali ditampar
“Zunai ….”“Langit bener-bener anak ayah?” Zunaira terus bertanya karena belum mendapat jawaban dari pertanyaanya.Awan menarik nafas dalam-dalam. “Iya, dia saudara kamu.”Saudara satu ayah tapi beda ibu. Kaget, jangan ditanyakan lagi.Zunaira padahal sudah diminta untuk tetap tinggal di sana tapi karena ia kebetulan ingin mengambil hadiah untuk sang kakek yang ketinggalan di rumah, ia harus kembali dan malah mendengar hal yang sama sekali tidak pernah diduga olehnya.Sekalian Awan menceritakan semuanya selagi putri sulungnya ada, disembunyikan juga percuma karena Zunaira sudah mendengar semuanya.Beberapa hari berlalu setelah kejadian itu, sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Welly. Ia sudah memaafkan Awan tadi semuanya tidak akan sama. Di depan anak-anak Welly terlihat biasa tapi tidak saat berdua bersama dengan Awan. Saking kecewanya ia sampai tidak bisa berkata-kata.Jingga juga sempat menghubungi Welly dan ikut menjelaskan semuanya tapi itu sama sekali tidak bisa merubah apapun
“Sayang, tolong jangan bicara begitu. Aku mengakui semua kesalahan aku, hukum aku sesukamu asal jangan tinggalin aku.” Awan semakin erat menggenggam tangan Welly.Bukan hanya Awan yang akan sengsara tapi anak-anak juga akan terkena getahnya jika orang tua berpisah. Tidak semua masalah akan selesai dengan sebuah perpisahan bahkan bisa jadi timbul masalah baru dan Welly tahu itu, ia termasuk orang yang berpikir panjang.“Emang siapa yang mau ninggalin kamu?”Awan mengangkat wajahnya yang tertunduk. Ia masih diam tidak mengerti. “Ja-di.”“Aku cuman mau tinggal dulu di rumah Bapak. Jadi kamu nggak keberatan 'kan urus rumah dan anak-anak tanpa aku?”“Tapi nanti balik 'kan?”Welly mengedikkan pundaknya. “Tergantung.”“Kok tergantung sih.”“Tergantung kamu.”Awan mengarahkan telunjuk pada dirinya sendiri. “Tergantung aku? Kalau gitu kamu di rumah Bapak sehari aja, udah itu pulang.”“Bukan itu maksudnya. Kalau kamu bisa urus anak-anak tanpa aku, baru aku bakalan pulang. Kalau nggak ya, nunggu
“Nggak kebayang pusingnya Welly, tapi kok dia nggak pernah ngeluh ya?” Awan bermonolog.Selama ini Welly tidak pernah mengeluh dengan tugas rumahnya, meski raut wajah lelahnya tidak pernah bisa berbohong tapi wanita itu tidak mengeluh pada Awan saat suaminya lelah setelah seharian bekerja. Padahal kebanyakan wanita akan mengomel jika merasa pekerjaan rumahnya melelahkan. Meski tidak semua ibu rumah tangga seperti itu.Orang baik tidak pernah ingin diakui dirinya baik, ia tidak pernah mengumbarnya dengan mengatakan dengan mulutnya sendiri karena orang di sekitarnya pun akan menyadari tanpa diberitahu.“Ayah!” Sebria sudah berdiri di depan Awan.Awan menunduk. “Apa?”“Habis.” Ia mengangkat toples selai yang sudah habis itu. “Lagi ya?”“Nggak. Nanti aja, sekarang Bia cuci tangan. Katanya mau lihat dedek bayi.”“Sekarang, Yah?”“Tahun depan. Ya sekarang dong anak Ayah yang cantik. Ayo cuci tangan.”Sebria bersorak gembira, melempar begitu saja toples di tangan dan berlari ke kamar mandi.
“Bengong terus ….” Samudra meledek Langit yang memang sekarang sering melamun.Pemuda itu seperti memiliki banyak beban pikiran. seharusnya di usianya ini, ia lebih fokus pada pendidikan bukannya malah memikirkan masalah keluar. Sebenarnya wajar karena kisah hidup keluarga Langit berbeda, ia merasa sedang berperan dalam sebuah drama. Bahkan masih tidak percaya ia memiliki ayah selain Dirga.Meski tahu akar permasalahannya, Samudra tidak ada niat untuk membahas itu lagi karena sebelumnya ia sudah membahasnya. Langit juga bukan orang yang mau mendengarkan hal-hal itu yang dibahas berulang.“Jangan bilang lo masih berat di sini karena ninggalin cewek lo.” Samudra kembali bersuara lalu menjatuhkan tubuhnya di samping Langit.“Cewek gue yang mana?” sahutnya dengan santai.Samudra mencibir. “Begini nih kalau ceweknya nggak cuman satu.”“Santai, masih pacaran ini. Kalau udah punya bini baru nggak boleh lebih dari satu.”Niat hanya bercanda tapi jatuhnya Langit malah seperti meledek ayahnya y
“Nyonya Neva yang terhormat, lebih baik anda pergi dari sini!”Bukan. Bukan Dipta yang bicara tapi sosok yang berdiri di dekat pagar sambil menenteng tasnya. Ia melihat dengan langsung Bu Neva yang menampar Dipta, bahkan Langit juga mendengar jelas tuduhan tak berdasar wanita paruh baya itu.Tangannya mengepal dengan rahang yang berkedut.“Langit.” Bu Neva tampak antusias, ia menghampiri Langit. “Oma kangen banget sama kamu, kamu kemana aja? Kenapa nggak bisa dihubungi?”Pemuda itu malah menghindar. “Anda sudah bicara yang tidak pantas pada Papa saya, menuduh sesuatu yang bahkan tidak pernah Papa saya lakukan.”“Kenapa kamu malah belain dia sih? Dia itu cuman orang lain, Langit.” Bu Neva langsung tersulut, tidak terima Langit malah membela Dipta yang di mata Bu Neva tidak memiliki hubungan apapun dengan Langit.“Mari, Bu. Kita bicara di dalam.” Dipta tidak ingin nantinya malah menjadi bahan tontonan tetangga.“Nggak usah basa-basi. Saya kesini mau bawa cucu saya pulang!”“Anda tidak a
“Kenapa kamu ngomong kayak gitu?” Jingga tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan putranya.Langit menaruh ponsel sang ibu di meja. “Bunda nggak tahu aja apa yang tadi dibilang Ibunya Om Awan ke Papa. Kalau Bunda tahu pasti sama marahnya kayak aku.”“Emang Bu Neva bilang apa?”Langit mengedikkan bahunya lalu beranjak, niatnya ke dapur untuk mengambil minum tapi mendengar percakapan ibunya dengan Awan membuat rasa harus Langit langsung hilang. Ia merasa benar-benar tidak suka dalam situasi seperti ini. Bahkan jika bisa memilih ia lebih memilih tidak tahu siapa ayah kandungnya daripada harus ada konflik seperti ini yang membuat ia dan keluarganya menjadi tidak tenang.“Langit, Bunda belum beres ngomong.” Jingga menyusul putranya itu tapi saat melewati ruang keluarga Dipta mencegah istrinya itu untuk bicara pada Langit.“Sayang, udah biarin dulu.”“Oke tapi kamu jelasin ke aku apa yang dibilang Bu Neva ke kamu tadi?” Jingga sudah tidak bisa lagi jika disuruh bersabar. “Jangan bi
“Gue tahu lo kecewa sama Mama. Lo beneran nggak mau nemuin Mama?” tanya Bisma.“Daripada gue marah-marah ke Mama mending nggak dulu.” Bian masih merasakan kekecewaan yang mendalam.“Sekarang Mama nggak pura-pura lagi, gue sendiri yang nemuin dokternya. Mama bener-bener kena stroke.”Bukan Bian yang kaget tapi Aini yang membuka mulutnya dengan lebar saking kagetnya mendengar kabar soal ibu mertuanya. Kemarin mereka menganggap Bu Liana itu pura-pura tapi nyatanya memang terkena serangan jantung hingga membuatnya terkena stroke.Bukan hanya tidak bisa berjalan, Bu Liana juga tidak bisa bicara sama sekali.“Mas, kita lihat Mama ya,” pinta Aini, ia masih memiliki hati.“Sayang ....”“Mas, aku nggak mau kamu terus menjauhi Mama. Mungkin dengan kejadian ini Mama menyadari apa yang pernah diperbuatnya itu sebuah kesalahan. Aku nggak mau kamu jadi anak durhaka, Mas.” Aini menatap sang suami dengan mata berkaca-kaca.Aini sudah menganggap Bu Liana sebagai ibunya meski perlakuan Bu Liana jauh da
“Mama kok bisa di sini?” Aini langsung berdiri menghampiri ibu mertuanya yang ada di ambang pintu, duduk di kursi roda.“Mama sudah keluar dari rumah sakit dan mau melihat Lyla,” ujar Bu Liana tapi pandangan matanya menghunus pada Nella yang tidak kalah tajam menatap Bu Liana.“Bukannya dokter bilang kalau Mama-”“Mama nggak tenang kalau ada di rumah sakit takutnya kamu didatangi orang bermuka dua ini,” potong Bu Liana tanpa mengalihkan pandangan dari Nella.Nella menyeringai, ia tahu Bu Liana kini mulai melakukan permainannya. Nella tidak akan langsung masuk tapi mengambil ancang-ancang.“Mbak Ai, kalau begitu aku permisi dulu ya. Lain kali aku main lagi,” pamit Nella.“Loh, kenapa?”“Bawaannya panas di sini. Ada yang terbakar tapi bukan api,” ucap Nella dengan senyum penuh arti, ia beralih pada Lyla yang sibuk dengan mainannya, “Lyla, Tante pulang dulu ya. Nanti main lagi ke sini.”“Tante, Lyla masih mau main
"Mas, ayo kita lihat Mama.""Kamu di sini aja, biar Mas yang kesana." Bian menahan Aini untuk tidak ikut."Tapi, Mas-""Nurut ya. Besok baru kamu boleh nengokin Mama. Aku juga sekalian ke pasar habis dari rumah sakit jadi kami mending nggak usah ikut.""Ya udah, semoga Mama nggak kenapa-kenapa."Aini merasa khawatir pada ibu mertuanya. Meskipun Bu Liana sering berbuat jahat tapi Aini tidak sampai hati jika harus senang atas berita yang didengarnya. Ia tetap menghormati Bu Liana sebagai ibu mertua."Mas berangkat ya." Bian langsung pergi setelah taksi online yang dipesannya datang.Alamat rumah sakit sudah dikirimkan oleh art Bu Liana. Bian mengubah tujuan langsung ke rumah sakit, terpaksa ia harus memesan mobil itu sampai nanti pulang lagi karena tidak ingin ribet apalagi harus menunggu lagi. Bian pun tidak akan lama di rumah sakit, hanya melihat kondisi ibunya setelah itu pulang."Nyonya di dalam, dari tadi men
POV Author“Aish! Kenapa juga aku harus memohon kayak gini, macam nggak ada cowok lain.” Nella melemparkan ponselnya sembarang arah lalu menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Ia baru saja membaca ulang pesan yang kemarin malam dikirim pada Bian.Menjatuhkan harga diri, pikir Nella.Nella bukan wanita yang haus akan cinta, ia memang marah dan kecewa saat tahu ternyata ibu mertuanya itu menipunya metah-mentah. Mengatakan jika Bian tidak pernah menikah padahal nyatanya sudah menikah bahkan memiliki anak dari Aini.Tidak hanya marah pada Bu Liana tapi pada Bian dan juga Aini karena merasa dibohongi, ia merasa seperti orang bodoh karena hanya ia sendiri yang tidak tahu soal fakta besar ini.Setelah tahu fakta, Nella menurunkan orang kepercayaannya untuk mencari tahu soal apa yang terjadi sebenarnya, apakah memang kesengajaan. Nella tidak mau salah membenci orang.Tidak bisa dipungkiri jika ia merasa nyaman bersama dengan Bian tapi bicara
“Tadi pas aku lewat denger suara orang nangis, aku kira Lyla yang nyariin Mbak Ai ternyata aku salah,” jawab Mas Bian sambil tertawa.Aku pikir dia akan membongkar semuanya.“Salahnya apa?”“Ternyata Mbak Ai yang nangis.”Ya ampun, kenapa Mas Bian malah mengatakan itu.“Terus kamu nyelonong saja begitu? Ih, nggak sopan banget sih. Mbak Ai pasti marah.”“Tadi saja aku langsung diusir, aku hanya khawatir Lyla kenapa-napa.”“Syukurlah kalau Lyla nggak apa-apa. Tapi kamu itu bikin malu, Mas. Main masuk ke kamar orang saja.”Sekarang bisa bernapas lega saat mendengar suara langkah kaki mereka menjauh. Salahku memang karena lupa mengunci pintu kamar, besok malam aku harus mengunci pintu agar Mas Bian tidak main masuk ke dalam kamar dan kepergok seperti tadi, untung saja Bu Nella percaya kalau tidak akan semakin bahaya.Aku bangun lebih pagi berniat membersihkan halaman belakang setelah selesai memasukkan semu
“Sayang.”aku berjengit mendengar suara Mas Bian. Menoleh menatapnya menyembulkan kepala di celah pintu kamar mandi.“Kenapa, Mas?”“Kalau mau pesan makan sekalian kopi ya.”“Ya ampun, kamu cuman mau bilang itu doang keluar kamar mandi?” Aku geleng-geleng kepala dengan tingkah Mas Bian.“Iya.” Dia menjawab sambil tersenyum lebar lalu masuk lagi ke dalam kamar mandi.Dia tidak menyadari raut wajahku jadi tidak khawatir. Biarkan nanti Mas Bian membaca sendiri pesan dari Bu Nella. Aku jadi penasaran bagaimana reaksi Mas Bian nanti. Apa dia akan mengikuti keinginan Bu Nella atau tetap dengan pendiriannya untuk tidak ikut campur lagi dengan urusan ibu mertua.Tapi mendengar sampai membawa-bawa hukum, ngeri juga sebenarnya. Tapi jika memang Bu Nella dan keluarganya merasa tertipu itu hal wajar, aku saja marah saat Mas Bian diberitahu kalau aku sudah meningga
POV AiniTangisku pecah saat Mas Bian menarikku ke dalam pelukannya.Mas Bian percaya ini aku, istrinya. Buku nikah dan kalung ini yang memperkuat. Meski tanpa dua hal itu Mas Bian seharusnya merasakan kehadiranku, aku saja masih bisa mengingat suaranya meski bertahun-tahun tidak berjumpa seharusnya ia pun sama.“Aini ... Aini ....” Dia terus memanggil namaku dengan suara yang bergetar.“Iya, Mas. Ini Aini, istri Mas Bian.” Tanganku melingkar dengan erat di punggungnya. Menyalurkan kerinduan yang bertahun-tahun ditahan.“Maafin Mas, Aini. Dalam kondisi Mas yang seperti ini Mas susah sekali percaya pada orang.”Mas Bian menceritakan soal kenapa dia menganggapku sudah meninggal. Sudah pasti ibu mertuaku dalangnya, tega sekali beliau melakukan itu. Menghancurkan kehidupan anaknya sendiri hanya karena ego.Dengan kondisi Mas Bian seperti ini wajar Mas Bian mudah percaya apalagi bagi dia pasti tidak mungkin ibunya berbohong apalagi soal hal sebesar ini tapi siapa yang menyangka jika ibu me
POV Bian“Aini meninggal, Bi.”Deg!Jantungku seperti berhenti berdetak, hatiku remuk, dunia seolah runtuh di atas kepala. Belum selesai masalahku dengan penyakit ini sekarang malah mendengar kabar yang begitu menyayat hati.“Nggak mungkin, Ma. Aini baik-baik saja, dia nunggu aku pulang pasti.”“Tolong jangan gini, Bi. Kamu harus terima, Mama tahu semua ini berat buat kamu. Ikhlaskan biar Aini tenang di sana.”Dadaku sesak, air mata tak sanggup kutahan. Ditinggalkan orang yang dicintai itu begitu menyakitkan, saat aku berjuang untuk sembuh di sini. Aini malah pergi meninggalkan luka yang begitu dalam. Aku belum sempat membahagiakannya.Mama mengatakan Aini meninggal saat aku masih koma, meninggal bersama dengan anak yang sedang dikandungnya. Sakitnya berkali lipat, anak yang belum sempat kulihat rupanya juga pergi dibawa oleh Aini.Tuhan. Kenapa seberat ini cobaan yang Engkau berikan?Kepergian Aini membuatku tak ada lagi semangat untuk bisa sembuh, tidak ada lagi wajah cantiknya yang
“Bu Nella, seb-”“Argh!” Ibu mertuaku langsung menjerit sambil memegangi dadanya.“Mama kenapa?” Mas Bian dan Bu Nella langsung panik sedangkan aku sendiri masih berdiri mematung.“Sa-kit, mungkin penyakit jantung Mama kambuh,” ujarnya dengan suara lirih.Keningku berkerut. Sejak kapan ibu mertuaku memiliki penyakit jantung, setahuku tidak punya. Beliau bahkan tidak memiliki riwayat penyakit apapun.“Mungkin asam lambung Mama naik.” Mas Bian langsung buka suara.“Sakit sekali, ayo bawa Mama ke dokter.”“Mbak Ai, ambilkan kunci mobil di nakas kamar,” pinta Bu Nella.Aku pun bergegas mengambilkannya. Tidak tahu ibu mertuaku ini pura-pura atau memang sakit, takutnya jika memang sakit nanti aku yang disalahkan jika menahan dan berniat membongkar semuanya sekarang.Mereka pergi ke rumah sakit, tinggal aku dan Lyla berdua di rumah.Sekarang aku makin yakin jika ibu mertuaku memang takut aku membongkar semuanya pada Bu Nella. Lucu juga membuat ibu mertuaku ketakutan seperti ini, kalau memang