"Soal Mama lah, sayang. Soal apa lagi, tapi aku janji aku bakalan lebih tegas lagi. Aku nggak mau dianggap kepala keluarga yang lembek karena kalah terus dari Mama.""Ini bukan soal kalah atau menangnya, Mas. Tapi kamu juga harus tetap bicara baik-baik ke Mama, semakin berumur tingkahnya seperti anak kecil 'kan? Jadi wajar kalau masih keras kepala dan mau menang sendiri. Sabar aja, nanti juga Mama luluh kok. Aku yakin.""Udahan ngobrolnya, katanya kamu mau tidur." Awan mengeratkan dekapannya, mencium berkali-kali puncak kepala sang istri dengan sayang."Ya udah kamu juga tidur, jangan gerak-gerak."Kembali Awan mendaratkan kecupan di kening Welly sebelum sama-sama terlelap.Di kamar lain, sang anak tampak masih terjaga. Zunaira sudah membaca pesan di grup dan juga pesan yang dikirimkan oleh Langit. Baginya hal seperti itu tentu tidak penting sama sekali. Zunaira tidak suka mengurus sesuatu yang tidak penting apalagi dari dulu geng Gea memang tidak pernah suka pada Zunaira maka menjela
"Bunda pindah profesi ya dari ibu rumah tangga jadi tukang salon?" celetuk Langit."Berisik!" Jingga melotot.Diam-diam Awan mengulum senyum, akhirnya ia bisa melihat sosok Langit yang sebenarnya. Tidak jaim seperti biasanya tapi tetap saja hal yang ditunggu Awan itu Langit memanggilnya dengan sebutan ayah. Ingin sekali Awan mendengar itu tapi ia tidak ingin membuat Langit menjadi tidak nyaman. Tapi yakin nanti juga Langit akan memanggil Awan sebagaimana mestinya.Tidak dipaksa saja Langit datang sendiri jadi nanti juga tanpa dipaksa Langit akan memanggil Awan dengan sebagaimana mestinya. Awan hanya harus bersabar, Awan bukan orang yang sabaran makanya diuji untuk bisa bersabar agar bisa lebih dekat dengan anaknya. Mendekati anak remaja seperti Langit dan anak kecil pasti berbeda dan juga tidak sama triknya, Langit sudah bisa berpikir dan tahu kondisis sedangkan anak-anak tahu apa. Diberi mainan juga akan luluh sedangkan Langit disodorkan perusahaan tetap keras kepala. Langit tidak me
"Gue kira ada ukhti yang pengen ta'aruf gitu, ternyata kang paket," gumam Langit lalu melempar paket itu sembarangan.Embun bicara seolah-olah ada seseorang penting yang mencari sang kakak, nyatanya hanya kurir yang mengantarkan paket."Mana ada ukhti yang mau sama Abang, paling kunti yang mau," celetuk Embun yang mendengar suara Langit.Gadis itu buru-buru masuk ke dalam kamarnya saat mendapat tatapan maut sang kakak. Mewek kalau dijahili tapi hobi sekali menggoda kakaknya.Langit kembali ke belakang.Kumpul keluarga kali ini jelas terasa sangat berbeda dan lebih membahagiakan apalagi jika ada formasi lengkap. Setidaknya tidak ada lagi rahasia yang memberatkan apalagi bagi Jingga.Waktu terasa begitu cepat hingga sore pun tiba dan sang tamu pamit untuk pulang meski masih betah di sana.Persahabatan Awan dan Jingga yang pernah terputus kini kembali terjalin dan sudah kembali seperti dulu meski diantara mereka ada Langit."Sayang, kamu beneran hamil?"Jingga mengernyit mendengar pertany
Bab 1 "Iya, papa pulang minggu depan. Maaf ya, banyak sekali pekerjaan soalnya." Aku mencoba melepaskan tangan mas Dirga. Dia menelpon istrinya di hadapanku, sepertinya dia tidak takut jika tiba-tiba aku merebut ponsel dan bicara pada istrinya. "Lepas!" Mulutku bergerak tanpa suara. Bukannya melepaskan, mas Dirga malah menarikku ke dalam pelukannya. "Iya, Ma. Selesai semuanya papa langsung pulang, papa juga sudah rindu rumah dan juga Mika." Aku menekan dada yang terasa sesak mendengar percakapan mesra mas Dirga dan istrinya. “Sudah pasti papa juga merindukan mama.” Tidak kuat lagi dengan ini aku mendorong tubuh mas Dirga dan masuk ke dalam kamar. Masih bisa kudengar dia yang bicara pada istrinya dan sesaat kemudian memanggilku. “Sayang, jangan cemburu begitu. A–” “Sudahlah, Mas. Kamu pulang sana, kamu sudah tiga hari di sini,” usirku tanpa sedikitpun menoleh padanya. Sebisa mungkin menahan desakan air mata yang berlomba untuk keluar. Bisa kurasakan tangannya kini melingkar
Bab 2 Sudut mataku bisa menangkap bayangan istrinya mas Dirga dengan senyum tersungging di bibirnya, tidak bisa kuartikan apa arti senyumnya itu. Apa dia sudah tahu soal hubunganku dengan suaminya? “Mbak, ini ada warna birunya tidak?” Suara pelanggan membuatku kembali fokus, “Iya, tunggu sebentar, Mbak.” Aku mencoba untuk mengabaikan tatapan istri mas Dirga yang seolah-olah ingin menguliti aku. Keringat dingin sampai membasahi pelipis, satu hal yang aku takutkan adalah wanita itu membuat keributan dan mempermalukan aku di depan semua orang. Selain kehilangan pekerjaan, aku akan kehilangan harga diri juga. Ponselku bergetar, dengan cepat aku masuk ke dalam gudang. Nama mas Dirga terpampang di layar ponsel, dia pasti beralasan hingga tadi tidak melihatnya bersama istrinya. “Sayang, maafkan aku. Sungguh, aku tidak tahu istriku akan masuk ke dalam tokomu.” Aku menghela nafas berat, “Bawa dia pergi, Mas. Aku merasa tidak tenang, aku tidak bisa bekerja dengan baik.” “Iya. Aku akan
Bab sebelumnya direvisi, baca ulang ya teman-teman.Bab 3"Jangan main-main kamu, Mas!" ucapku sambil melirik ke arah mobil takut jika Nina tiba-tiba keluar.Aku sengaja meminta berhenti sejenak untuk mengangkat telepon, tidak mengatakan jika ini dari mas Dirga. Tanpa aku bicara pun Nina sudah pasti mengerti."Aku serius makanya aku datang menemui orang tuamu.""Tapi aku tidak mau, Mas. Aku ingin mengakhiri semuanya!""Dimana kamu sekarang? Aku akan kesana!""Mas ….""Atau kamu mau aku bicara sekarang pada orang tuamu?"Kuhela nafas panjang. "Kita bertemu di tempat biasa."Aku memijat pangkal hidung yang terasa berdenyut, baru saja akan melepaskan belenggu yang menyesakkan dada. Malah mas Dirga menghadang, dia malah mengambil langkah yang sama sekali tidak kuduga.Ini yang terakhir aku bertemu dengannya, itu harapanku. Setelah ini aku ingin bebas, bod*h memang karena menyiksa diri sendiri selama empat tahun untuk bertahan dengan laki-laki yang bahkan tidak memiliki pendirian.Dia meng
Bab 4"Kau yakin masuk kerja?" tanya Nina saat melihatku sudah rapi.Aku tertawa penuh kepalsuan. "Bukan karena patah hati aku jadi mogok bekerja. Aku masih butuh makan, Nin," gurauku.Setelah kejadian tadi malam yang menguras air mata, aku sudah memutuskan untuk mengubur semua kisah masa lalu yang menyakitkan itu.Kontak mas Dirga sudah kublokir termasuk sosial medianya. Tapi tidak bisa dipungkiri jika dia pasti akan datang ke toko untuk menemuiku.Untuk menghindarinya memang tidak bisa, jadi pilihannya hanya menghadapi dia dan bersikap seolah-olah tidak saling mengenal. Mungkin terdengar mudah tapi entah bisa atau tidak aku melakukannya.Bisa, tidak bisa aku tetap harus memaksakan diri. Membiasakan dengan semua ini. Sudah cukup kebod*han yang aku lakukan. Aku tidak ingin membuat orang tuaku kecewa jika tahu anak mereka menjadi duri dalam rumah tangga orang lain."Hari ini jatah libur kita beda. Padahal kalau sama aku ingin mengajakmu ke puncak.""Yah … kalau begitu nanti coba ajukan
Antara Setia dan DustaBab 5"I–ni, Ma. Aku bilang kalau kamu tidak mau baju kuning, kamu 'kan tidak suka warnanya." Mas Dirga gelagapan, sudah jelas dia asal bicara.Nyalinya ciut tidak seperti perkataannya tadi yang bicara seolah-olah ingin membongkar semuanya pada Mbak Shanum."Kata siapa mama tidak suka warna kuning?" Mbak Shanum berjalan mendekat, dia sudah memakai dress yang tadi diambilnya.Dia mengambil dress santai di atas lutut berwarna kuning dengan motif bunga."Kamu sendiri yang bilang. Dari dulu 'kan tidak suka warna kuning.""Selera orang itu bisa berubah, Pa. Apalagi kalau lihat barang bagus sedikit, pertahanannya bisa saja goyah. Benar tidak, Mbak?" Mbak Shanum melirik ke arahku dengan senyum yang tak mampu kuartikan.Deg!Perkataan mbak Shanum seperti mengandung makna di dalamnya. Aku berpikir jika memang dia benar-benar sudah tahu hubunganku dan mas Dirga. Tapi sekarang antara aku dan mas Dirga sudah tidak ada apapun. Tidak seharusnya aku takut, meski dulu memang me
“Gue tahu lo kecewa sama Mama. Lo beneran nggak mau nemuin Mama?” tanya Bisma.“Daripada gue marah-marah ke Mama mending nggak dulu.” Bian masih merasakan kekecewaan yang mendalam.“Sekarang Mama nggak pura-pura lagi, gue sendiri yang nemuin dokternya. Mama bener-bener kena stroke.”Bukan Bian yang kaget tapi Aini yang membuka mulutnya dengan lebar saking kagetnya mendengar kabar soal ibu mertuanya. Kemarin mereka menganggap Bu Liana itu pura-pura tapi nyatanya memang terkena serangan jantung hingga membuatnya terkena stroke.Bukan hanya tidak bisa berjalan, Bu Liana juga tidak bisa bicara sama sekali.“Mas, kita lihat Mama ya,” pinta Aini, ia masih memiliki hati.“Sayang ....”“Mas, aku nggak mau kamu terus menjauhi Mama. Mungkin dengan kejadian ini Mama menyadari apa yang pernah diperbuatnya itu sebuah kesalahan. Aku nggak mau kamu jadi anak durhaka, Mas.” Aini menatap sang suami dengan mata berkaca-kaca.Aini sudah menganggap Bu Liana sebagai ibunya meski perlakuan Bu Liana jauh da
“Mama kok bisa di sini?” Aini langsung berdiri menghampiri ibu mertuanya yang ada di ambang pintu, duduk di kursi roda.“Mama sudah keluar dari rumah sakit dan mau melihat Lyla,” ujar Bu Liana tapi pandangan matanya menghunus pada Nella yang tidak kalah tajam menatap Bu Liana.“Bukannya dokter bilang kalau Mama-”“Mama nggak tenang kalau ada di rumah sakit takutnya kamu didatangi orang bermuka dua ini,” potong Bu Liana tanpa mengalihkan pandangan dari Nella.Nella menyeringai, ia tahu Bu Liana kini mulai melakukan permainannya. Nella tidak akan langsung masuk tapi mengambil ancang-ancang.“Mbak Ai, kalau begitu aku permisi dulu ya. Lain kali aku main lagi,” pamit Nella.“Loh, kenapa?”“Bawaannya panas di sini. Ada yang terbakar tapi bukan api,” ucap Nella dengan senyum penuh arti, ia beralih pada Lyla yang sibuk dengan mainannya, “Lyla, Tante pulang dulu ya. Nanti main lagi ke sini.”“Tante, Lyla masih mau main
"Mas, ayo kita lihat Mama.""Kamu di sini aja, biar Mas yang kesana." Bian menahan Aini untuk tidak ikut."Tapi, Mas-""Nurut ya. Besok baru kamu boleh nengokin Mama. Aku juga sekalian ke pasar habis dari rumah sakit jadi kami mending nggak usah ikut.""Ya udah, semoga Mama nggak kenapa-kenapa."Aini merasa khawatir pada ibu mertuanya. Meskipun Bu Liana sering berbuat jahat tapi Aini tidak sampai hati jika harus senang atas berita yang didengarnya. Ia tetap menghormati Bu Liana sebagai ibu mertua."Mas berangkat ya." Bian langsung pergi setelah taksi online yang dipesannya datang.Alamat rumah sakit sudah dikirimkan oleh art Bu Liana. Bian mengubah tujuan langsung ke rumah sakit, terpaksa ia harus memesan mobil itu sampai nanti pulang lagi karena tidak ingin ribet apalagi harus menunggu lagi. Bian pun tidak akan lama di rumah sakit, hanya melihat kondisi ibunya setelah itu pulang."Nyonya di dalam, dari tadi men
POV Author“Aish! Kenapa juga aku harus memohon kayak gini, macam nggak ada cowok lain.” Nella melemparkan ponselnya sembarang arah lalu menghempaskan tubuhnya ke ranjang. Ia baru saja membaca ulang pesan yang kemarin malam dikirim pada Bian.Menjatuhkan harga diri, pikir Nella.Nella bukan wanita yang haus akan cinta, ia memang marah dan kecewa saat tahu ternyata ibu mertuanya itu menipunya metah-mentah. Mengatakan jika Bian tidak pernah menikah padahal nyatanya sudah menikah bahkan memiliki anak dari Aini.Tidak hanya marah pada Bu Liana tapi pada Bian dan juga Aini karena merasa dibohongi, ia merasa seperti orang bodoh karena hanya ia sendiri yang tidak tahu soal fakta besar ini.Setelah tahu fakta, Nella menurunkan orang kepercayaannya untuk mencari tahu soal apa yang terjadi sebenarnya, apakah memang kesengajaan. Nella tidak mau salah membenci orang.Tidak bisa dipungkiri jika ia merasa nyaman bersama dengan Bian tapi bicara
“Tadi pas aku lewat denger suara orang nangis, aku kira Lyla yang nyariin Mbak Ai ternyata aku salah,” jawab Mas Bian sambil tertawa.Aku pikir dia akan membongkar semuanya.“Salahnya apa?”“Ternyata Mbak Ai yang nangis.”Ya ampun, kenapa Mas Bian malah mengatakan itu.“Terus kamu nyelonong saja begitu? Ih, nggak sopan banget sih. Mbak Ai pasti marah.”“Tadi saja aku langsung diusir, aku hanya khawatir Lyla kenapa-napa.”“Syukurlah kalau Lyla nggak apa-apa. Tapi kamu itu bikin malu, Mas. Main masuk ke kamar orang saja.”Sekarang bisa bernapas lega saat mendengar suara langkah kaki mereka menjauh. Salahku memang karena lupa mengunci pintu kamar, besok malam aku harus mengunci pintu agar Mas Bian tidak main masuk ke dalam kamar dan kepergok seperti tadi, untung saja Bu Nella percaya kalau tidak akan semakin bahaya.Aku bangun lebih pagi berniat membersihkan halaman belakang setelah selesai memasukkan semu
“Sayang.”aku berjengit mendengar suara Mas Bian. Menoleh menatapnya menyembulkan kepala di celah pintu kamar mandi.“Kenapa, Mas?”“Kalau mau pesan makan sekalian kopi ya.”“Ya ampun, kamu cuman mau bilang itu doang keluar kamar mandi?” Aku geleng-geleng kepala dengan tingkah Mas Bian.“Iya.” Dia menjawab sambil tersenyum lebar lalu masuk lagi ke dalam kamar mandi.Dia tidak menyadari raut wajahku jadi tidak khawatir. Biarkan nanti Mas Bian membaca sendiri pesan dari Bu Nella. Aku jadi penasaran bagaimana reaksi Mas Bian nanti. Apa dia akan mengikuti keinginan Bu Nella atau tetap dengan pendiriannya untuk tidak ikut campur lagi dengan urusan ibu mertua.Tapi mendengar sampai membawa-bawa hukum, ngeri juga sebenarnya. Tapi jika memang Bu Nella dan keluarganya merasa tertipu itu hal wajar, aku saja marah saat Mas Bian diberitahu kalau aku sudah meningga
POV AiniTangisku pecah saat Mas Bian menarikku ke dalam pelukannya.Mas Bian percaya ini aku, istrinya. Buku nikah dan kalung ini yang memperkuat. Meski tanpa dua hal itu Mas Bian seharusnya merasakan kehadiranku, aku saja masih bisa mengingat suaranya meski bertahun-tahun tidak berjumpa seharusnya ia pun sama.“Aini ... Aini ....” Dia terus memanggil namaku dengan suara yang bergetar.“Iya, Mas. Ini Aini, istri Mas Bian.” Tanganku melingkar dengan erat di punggungnya. Menyalurkan kerinduan yang bertahun-tahun ditahan.“Maafin Mas, Aini. Dalam kondisi Mas yang seperti ini Mas susah sekali percaya pada orang.”Mas Bian menceritakan soal kenapa dia menganggapku sudah meninggal. Sudah pasti ibu mertuaku dalangnya, tega sekali beliau melakukan itu. Menghancurkan kehidupan anaknya sendiri hanya karena ego.Dengan kondisi Mas Bian seperti ini wajar Mas Bian mudah percaya apalagi bagi dia pasti tidak mungkin ibunya berbohong apalagi soal hal sebesar ini tapi siapa yang menyangka jika ibu me
POV Bian“Aini meninggal, Bi.”Deg!Jantungku seperti berhenti berdetak, hatiku remuk, dunia seolah runtuh di atas kepala. Belum selesai masalahku dengan penyakit ini sekarang malah mendengar kabar yang begitu menyayat hati.“Nggak mungkin, Ma. Aini baik-baik saja, dia nunggu aku pulang pasti.”“Tolong jangan gini, Bi. Kamu harus terima, Mama tahu semua ini berat buat kamu. Ikhlaskan biar Aini tenang di sana.”Dadaku sesak, air mata tak sanggup kutahan. Ditinggalkan orang yang dicintai itu begitu menyakitkan, saat aku berjuang untuk sembuh di sini. Aini malah pergi meninggalkan luka yang begitu dalam. Aku belum sempat membahagiakannya.Mama mengatakan Aini meninggal saat aku masih koma, meninggal bersama dengan anak yang sedang dikandungnya. Sakitnya berkali lipat, anak yang belum sempat kulihat rupanya juga pergi dibawa oleh Aini.Tuhan. Kenapa seberat ini cobaan yang Engkau berikan?Kepergian Aini membuatku tak ada lagi semangat untuk bisa sembuh, tidak ada lagi wajah cantiknya yang
“Bu Nella, seb-”“Argh!” Ibu mertuaku langsung menjerit sambil memegangi dadanya.“Mama kenapa?” Mas Bian dan Bu Nella langsung panik sedangkan aku sendiri masih berdiri mematung.“Sa-kit, mungkin penyakit jantung Mama kambuh,” ujarnya dengan suara lirih.Keningku berkerut. Sejak kapan ibu mertuaku memiliki penyakit jantung, setahuku tidak punya. Beliau bahkan tidak memiliki riwayat penyakit apapun.“Mungkin asam lambung Mama naik.” Mas Bian langsung buka suara.“Sakit sekali, ayo bawa Mama ke dokter.”“Mbak Ai, ambilkan kunci mobil di nakas kamar,” pinta Bu Nella.Aku pun bergegas mengambilkannya. Tidak tahu ibu mertuaku ini pura-pura atau memang sakit, takutnya jika memang sakit nanti aku yang disalahkan jika menahan dan berniat membongkar semuanya sekarang.Mereka pergi ke rumah sakit, tinggal aku dan Lyla berdua di rumah.Sekarang aku makin yakin jika ibu mertuaku memang takut aku membongkar semuanya pada Bu Nella. Lucu juga membuat ibu mertuaku ketakutan seperti ini, kalau memang