Share

Bab 2

Author: Ina Qirana
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

 

 

Ayah menghampiri lalu membantuku berdiri, sedangkan Tiara terlihat ketakutan melihat emosi ayah.

 

"Zara yang mulai duluan, Yah," ucap Tante Miranda membela anaknya.

 

Tiara mangut-mangut kaya orang b3g0. "Iya iya bener, Kak Zara tadi ngusir aku dari kamar, dia nyeret tangan aku keras-keras, sakit tahu," sahut Tiara dengan gaya manja.

 

Ayah nampak diam melirik kami bergantian.

 

"Ayah ga suka ya lihat kamu kasar sama Kak Zara, Ayah minta kamu hormati Kak Zara karena dia sudah jadi kakakmu." Ayah menatap anak tirinya penuh emosi.

 

"Gimana mau hormat, Yah, Zara nya aja kasar begitu," sahut Tante Miranda.

 

Ternyata mereka ular yang berbisa, pantas saja bisa merebut ayah dengan mudah, berbanding terbalik dengan bunda yang kalem dan polos.

 

"Mama ini apa-apaan sih, barusan Ayah lihat sendiri loh Tiara yang kasar sama Zara, Mama ga boleh gitu kalau anak salah harus ditegur jangan dibela," balas ayah.

 

Aku menyeringai melihat tampang Tante Miranda yang kesal, lihat saja akan kubuat hari-harinya menjadi kelam karena pertengkaran.

 

"Ya tapi 'kan Zara duluan yang mulai, Yah, Tiara cuma bela diri aja." Siluman ular betina itu belum menyerah juga membela anak kesayangannya.

 

"Ya tapi ga gitu juga kali, masa iya anakku diperlakukan begitu di rumahnya sendiri, ingat Zara itu anak kandungku." Ayah membusungkan dada.

 

"Dan kamu Tiara, Ayah harap kamu bisa menghormati Zara sebagai kakak." Ayah menunjuk wajah anak tengil itu.

 

"Aduh sakit." Aku pura-pura meringis.

 

Ayah melirikku dengan cepat dan khawatir.

 

"Apanya yang sakit, Ra?"

 

"Ini pipi, Yah, soalnya kuku Tiara tajam-tajam, pantat aku juga sakit karena kebanting keras, didorong tadi sama dia." Aku menunjuk wajah Tiara yang kini menganga.

 

Ayah nampak menghirup napas lalu memandangi anak tirinya dengan tajam.

 

"Ga tahu diri kamu ya! Dia itu anak kandung saya! Lah kamu siapa hah?! Kalau kamu ga mau pindah kamar, sana ikut bapak kandungmu!" teriak ayah sambil berkacak pinggang 

 

Dari belakang ayah aku menyeringai licik, sementara wajah si anak tengil itu memerah, matanya juga mulai berembun.

 

"Yah!" Si gundik berteriak, mungkin tak terima anaknya digituin, aku benar-benar menikmati pertunjukan sirkus ini.

 

"Ayah ngmongnya kok gitu banget sih? kalau Ayah mau sama Mama ya harus nganggap Tiara kaya anak sendiri, harus adil dong." Si gundik bicara lagi.

 

"Ayah tuh lagi bersikap adil, Ma. Bersikap adil buat Zara, anakku sendiri, ajarin tuh anakmu biar punya sopan santun, sudah untung juga kubiayai sekolahnya." Ayah mendengus lalu mengajakku pergi.

 

Sayang sekali padahal aku belum puas melihat mereka bertengkar, sepertinya di lain kesempatan aku harus membuat konflik yang lebih panas lagi.

 

Ayah mengajakku ke taman depan teras di mana bunga-bunga milik bunda masih bermekaran, melihat bunga-bunga itu hatiku sedikit nyelekit.

 

Dahulu aku sering melihat bunda merawat tanaman-tanaman itu dengan baik, menyiraminya sore dan pagi, sekarang bunga-bunga itu tak terawat, daun-daunnya kotor terkena percikan air hujan.

 

"Sini coba lihat pipimu, Ra." Ucap ayah sambil memegang pipiku.

 

"Ga apa-apa, sakitnya pipiku ini ga sebanding sama sakitnya hati Bunda saat ayah memilih gundik itu." Aku berkata dengan geram.

 

Ayah diam tak bisa berkata, begitulah lelaki yang diperbudak nafsu, mending kalau perempuan itu lebih cantik dan berpendidikan seperti bunda.

 

"Kenapa sih Tiara harus tidur di kamar aku?" Aku menatap wajah ayah.

 

"Mereka udah rebut ayah dari bunda, sekarang mau rebut kamar aku juga." Kutatap wajah ayah kecewa.

 

"Mulai sekarang kamar itu jadi milikmu lagi ya." Ayah mengusap jilbabku.

 

Aku pura-pura tersenyum sambil menatapnya.

 

"Aku boleh minta sesuatu lagi ga, Yah?" tanyaku dengan gaya manja.

 

"Boleh dong."

 

"Aku mau mobil baru, abisnya kalau ke kampus naik motor suka kehujanan, boleh ga?" Aku memasang tampang imut-imut.

 

Ayah terlihat diam sambil mikir.

 

"Emm, boleh. Tapi mobilnya Ayah yang pilihin ya."

 

Aku tersenyum penuh kemenangan.

 

'Lihat saja nanti gundik, aku akan membuat dadamu terbakar kepanasan' gumamku dalam hati.

 

***

 

Satu Minggu kemudian 

 

Sore ini aku baru pulang dari kampus, di balik jendela bibirku menganga saat melihat mobil Toyota rush putih terparkir di carport rumah yang baru datang diantar pihak dealer.

 

"Hah, mobil. Mama! Ayah beli mobil baru." Si anak tengil itu berteriak.

 

"Apa! Mobil baru." Kuntilanak itu pun berlari kecil menghampiri, lalu mereka berlari ke luar dengan wajah semringah

 

Aku pun ikutan keluar lalu berdiri di depan pintu, terlihat ayah keluar dari mobilnya, menghampiri kami dengan senyum mengembang.

 

"Ya ampun, Ayah, terima kasih ya udah beliin Mama mobil baru, tahu aja apa yang Mama mau," ucap si gundik sambil nyamperin ayah lalu bergelayut di tangannya.

 

Ingin sekali aku terbahak-bahak. Namun, kutahan karena bukan saatnya, ayah pun terlihat risih dengan sikap Tante Miranda yang terkesan nora.

 

"Zara, sini, Nak." Ayah melambaikan tangan padaku.

 

Aku maju beberapa langkah sambil melihat Tante Miranda dan Tiara yang keheranan.

 

"Iya, Yah."

 

"Ini mobilnya, Ayah ga bohong 'kan?" Ayah tersenyum sambil memberikan kunci mobil padaku.

 

"Ja-jadi, mobil ini buat ... Zara." Tante Miranda menganga, begitu pula dengan Tiara ia melongo saat ayah menyerahkan kunci mobil itu ke tanganku.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
tu baru cerdas zara. jgn kasih kendor pelakor itu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 3

    "Iya buat Zara, Ma, kasihan dia kalau ke kampus suka kehujanan," ucap ayah dengan enteng lalu ia berlalu begitu saja menghampiri pegawai dealer.Aku tersenyum penuh kemenangan sambil mengangkat kunci mobil itu setinggi wajah."Aku jadi makin sayang sama Ayah." Ngomong sendirian sambil memandang kunci mobil itu.Dari sudut mata terlihat Tiara dan Tante Miranda saling lirik dengan wajah kesal, aku jadi ingin cepat-cepat malam, tak sabar melihat ayah dan gundiknya bertengkar."Kenapa sih lihat aku melotot gitu?" tanyaku acuh tak acuh.Karena tak ada yang menjawab aku pun masuk ke dalam lalu duduk di sofa ruang tamu, rasanya tak sabar ingin ajak bunda jalan-jalan.Dahulu saat ayah belum sukses seperti sekarang, bunda selalu bilang ingin punya mobil, katanya supaya tak ribet jika sedang berkendara lalu turun hujan.Dan di saat itu pun ayah menjanjikan akan membelikan bunda mobil setelah ayah sukses, nyatanya setelah sukses memiliki supermarket dengan banyak cabang, ayah malah selingkuh den

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 4

    (Pov Tante Miranda)Aku kesal pada Mas Damar, berasa di prank oleh suami sendiri, kukira mobil itu hadiah untukku, nyatanya malah untuk Zara."Maa, aku juga pengen mobil kaya si Zara," rengek Tiara membuatku makin pusing saja."Berisik, Tiara." Aku memijat kening.Emangnya dia saja yang mau dikasih mobil, kukira menikah dengan seorang pengusaha akan mudah meminta apa saja, nyatanya Mas Damar tak semudah itu.Padahal dahulu saat kami berpacaran diam-diam ia selalu membelikan apa yang kumau, tapi setelah menikah maka semuanya berubah, kalau aku meminta sesuatu maka ia pasti banyak mikir dulu."Pokoknya Mama harus minta mobil baru sama Ayah buat aku." Tiara menghentakkan kaki sambil cemberut.Aku mendelik ke arahnya, dipikir minta mobil pada ayah tirinya itu semudah membalikan telapak tangan, apalagi Zara anak kesayangannya ada di sini sudah pasti aku dan Tiara makin tersisih."Pengen mobil baru." Tiara merengek lagi."Gini aja, kamu 'kan masih SMA nyetir juga belum bisa mending pakai mo

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 5

    Tak kuasa menahan tawa saat melihat Tante Miranda marah-marah pada ayah lewat telpon, dari balik pintu kamarnya aku menguping kalau dia sedang membujuk ayah untuk memberikan anaknya uang jajan dan motor baru.Sebenarnya motor lamaku itu sudah dijual ke Farah--teman terbaikku-- sedangkan uangnya aku berikan pada bunda, enak saja mau dikasih ke Tiara, emang dia siapa?Teringat malam tadi habis-habisan aku menghasut ayah.***"Tiara itu anak orang, ngapain Ayah bela-belain segalanya buat dia, suatu saat Ayah bakal rugi," ucapku saat kami ngobrol di luar."Rugi?" Ayah merenungDalam hati aku bersorak melihat Ayah mulai terhasut omonganku."Iya rugi, coba bayangin Ayah sekolahkan dia tinggi-tinggi, kasih uang bulanan gede, mau ini itu diturutin, eh giliran dia berhasil dan sukses malah pulang ke bapak kandungnya, Ayah pasti ngenes nanti."Ayah merenung menatap ke depan sana, melihat kendaraan roda empat lewat berlalu lalang."Aku tuh kasihan aja sama Ayah makanya ngomong gini, bukan ngajar

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 6

    "Ngapain Tante di sini?" tanyaku sambil menyeringai "Lucu ya, ada pelakor yang ngelabrak istri sah." Aku melipat tangan di dada.Kulirik wajah bunda masih terlihat tenang seolah tak terusik, lain lagi dengan wajah Tante Miranda yang tampak menegang."Kebetulan anaknya ada, silakan Mbak nasihati dia agar jangan merusak kenyamanan orang." Tante Miranda menatapku penuh amarah."Apa apa? aku merusak kenyamanan orang? bukannya situ yang ngerusak rumah tangga orang," balasku dengan tatapan jijik.Tante Miranda menghirup udara dengan susah payah, rahang yang tirus itu pun menengang, kalau begini aku jadi tambah semangat membuat emosinya makin meradang."Kamu 'kan yang hasut Ayah supaya ga ngasih uang bulanan ke Tiara?!" Tante Miranda menunjuk wajahku."Dan kamu juga yang ngelarang ayah beliin motor buat Tiara 'kan!""Jangan sembarangan kalau nuduh, situ punya bukti ga," balasku makin ngotot."Ayah juga punya otak kali, ngapain repot-repot biayain anak orang, Tiara masih punya bapak kandung

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 7

    (POV MIRANDA)"Gue ga takut!" tegas Zara dengan suara pelan.Ingin sekali aku menerkam anak songong itu, jika ia tak bicara sudah pasti mobil baru berhasil kudapatkan, memang anak menyebalkan.Usai puas membuat moodku hancur berantakan, anak itu langsung melangkah ke kamarnya dengan santai, andai ini di hutan sudah pasti aku berikan ia pada hewan buas.Sambil mengurai napas aku berjalan menuju kamar, akan kubujuk Mas Damar sebisa mungkin."Mas, kamu ga sayang ya sama aku?" tanyaku dengan suara lemah, kalau dengan kekerasan yang ada ia malah makin keras.Mas Damar yang sedang duduk membelakangiku menoleh."Bukan ga sayang, tapi aku mau Mama jangan sombong, apalagi labrak-labrak Naima."Lagi-lagi wanita itu, aku jadi curiga jangan-jangan suamiku ini masih mencintai mantannya? oh tidak! Jangan sampai itu terjadi."Iya iya maaf, Mama ga labrak kok, Zara aja yang ceritanya dilebih-lebihkan." Aku duduk di dekatnya lalu menyenderkan kepala di pundak Mas Damar."Tapi kamu ga boleh ganggu Naim

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 8

    Aku pura-pura menelpon seseorang sambil tertawa cekikikan, sengaja agar gelagatku ini tak terlalu dicurigai Tante Miranda.Ya, akulah yang menghasut ayah agar membelikan si gundik itu mobil bekas, kebetulan ibunya Farah akan menjual mobilnya, kukatakan saja pada ayah, dan senangnya ia setuju dengan usulku."Tante Miranda itu bakal sombong kalau dikasih mobil baru, gini aja coba kasih dulu dia mobil bekas, kalau dia bersyukur dan berterima kasih berarti Tante Miranda sudah menghilangkan sifat sombongnya," ucapku pada suatu malam.Ayah terlihat merenung, aku tahu betul ia tak suka punya istri yang sombong dan tinggi hati, tak hanya itu ayah juga seseorang yang sangat hemat, kalau ingin membeli apapun pasti harus dipertimbangkan."Betul juga ya, kalau Mamamu ga protes nanti Ayah beliin yang baru," jawabnya sambil manggut-manggut.Aku menyeringai tipis ternyata mudah juga menghasut ayah, tapi yang lebih menyebalkan ia juga mudah ditaklukkan wanita perusak itu."Iya gitu aja, Yah, bunda ju

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 9

    (POV BUNDA NAIMA)Mataku seolah enggan berpaling saat melihat sosok lelaki sedang duduk di dalam mobilnya, ia menatapku, aku pun menatapnya, seketika waktu terasa berhenti hingga kekacauan terjadi.Miranda, wanita yang sudah merusak keluarga kami datang marah-marah pada suaminya, memang tak tahu malu, ia selalu curiga padaku seolah aku akan merebut Mas Damar lagi.Begitulah jika dapat suami hasil merebut, sepanjang waktu kita akan dihantui ketakutan."Bagus kamu ya, di rumah ada masalah malah datang ke sini?!" teriak Miranda"Apa-apaan sih, ayo pulang! Bikin malu aja!" Mas Damar pun melawan sambil menarik tangan Miranda masuk ke mobil di belakangnya.Aku ingin masuk karena malas melihat pertengkaran mereka . Namun, niat itu diurungkan saat melihat mobil Zara parkir di sebrang sana, aku melambaikan tangan padanya agar kemari menghampiri.Zara memarkirkan mobilnya di sebrang sana lalu ia dan temannya menyebrang menghampiriku."Ayah ngapain di sini?""Kamu! Kamu senang 'kan kita bertengk

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 10

    (POV ZARA)"Miranda ... Miranda harus mati, dia jahat! Gara-gara dia Dina meninggal, Miranda wanita luknut!" ucapnya lagi dengan mata membeliak dan napas ngos-ngosan.Aku tercenung menatap Om Burhan menyebut-nyebut Tante Miranda, apakah yang ia maksud itu Miranda gundik ayah? atau Miranda yang lain?"Naima, panggil suster," titah Nenek, bunda pun mengangguk lalu keluar "Miranda ... semua gara-gara Miranda!" Om Burhan menangis sambil menjambak rambutnya yang mulai gondrong."Burhan, tenanglah, Nak," ucap Nenek sambil mengelus punggungnya, tapi Om Burhan masih meracau menyebut nama Miranda.Aku dan Jessica disuruh keluar, sementara bunda dan nenek masih di dalam ngobrol dengan dokter berkerudung itu.Di sampingku Jessica duduk sambil melamun, kasihan juga dengan gadis menginjak remaja ini, sejak dua tahun lalu ia sudah kehilangan ibunya, lalu disusul ayahnya yang menderita depresi."Kamu laper ga, Jes? jajan yuk," ajakku."Ga ah, Kak, kita nunggu Nenek aja di sini," jawab Jessica denga

Latest chapter

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   TAMAT

    Pak Zainal hanya memiliki seorang adik yang berbeda kota, bunda mengabari adiknya Pak Zainal itu melalui telepon yang ia dapatkan dari teman-teman Pak Zainal.Cukup sulit menghubungi anggota keluarganya, setelah adik perempuannya datang ke rumah sakit akhirnya semua urusan pemakaman diserahkan pada wanita itu yang datang bersama satu orang lelaki."Apa yang terjadi pada Bang Zainal?" tanya perempuan itu pada bunda."Dia berkelahi dengan beberapa orang preman, kudengar sih begitu."Ini lebih baik dari pada bunda menceritakan kejadian sebenarnya pada perempuan itu, mending kalau dia mengerti kalau dia tidak terima tentu urusannya akan semakin runyam"Oh Tuhan, malang sekali nasibmu, Bang, sudah lama kita ga bertemu lalu sekarang inilah pertemuan terakhir kita."Wanita itu terisak lalu lelaki di dekatnya mencoba menenangkan."Aku hanya punya saudara kamu, Bang, kenapa ninggalin aku secara tiba-tiba kaya gini."Aku tak tertarik lagi melihat pembicaraan bunda dan wanita itu, lantas masuk k

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   46.B

    Oh Tuhan, tolong bangunkan aku dari mimpi buruk ini, tetapi ini nyata bahkan tanganku terasa sakit ketika dicubit."Gue tuh canggung banget, Rah, menurut loh gue harus kayak gimana sih?"Susah payah aku menahan air mata yang hendak mengalir deras, napasku terasa sesak bahkan untuk bicara pun suaraku tersendat."Farah hey!"Aku terlonjak terpaksa menatap wajahnya yang penuh harap, ia menatapku tetapi tidak bisa melihat cinta di mataku, bahkan ia tak peduli ketika tetesan embun mulai membasahi mataku."Iya, Vin, emm menurut gue gitu juga bagus kok, ga usah canggung sih biasa aja. Gua balik duluan ya udah di SMS nyokap.""Ya ga asyik loh."Aku berjalan setengah berlari lalu melajukan motor sambil menangis.Sakit kala itu tak seberapa dibandingkan melihat surat undangan yang bertumpuk di kamar Zara, hatiku benar-benar hancur seperti abu.Padahal sebelum rencana pernikahan mereka diadakan aku telah sengaja mengaku pada Zara jika aku mencintai Arvin sejak dulu, dengan harap ia akan peka dan

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 46.A

    (POV Farah)Aku dan Arvin sudah berteman sejak kecil, dahulu rumah kami bertetangga, kami bermain bersama, berangkat dan pulang sekolah bersama, kadang juga selalu makan bersama.Kami berpisah setelah kedua orang tua Arvin bercerai, karena Tante Rena membawa anak satu-satunya itu pergi jauh dari rumah Om Zaenal.Dahulu aku sangat kehilangan lelaki itu, kerap kali aku merengek pada mama untuk menelpon Tante Rena, tetapi wanita itu mengganti nomor barunya.Sejak sekolah menengah pertama aku dan Arvin kembali bertemu, ternyata kami satu sekolah lagi, tetapi ada yang berubah dari pria itu, ia tak lagi memperlakukanku spesial ketika kami waktu kecil.Interaksi kami seperti seorang yang baru saling mengenal, tetapi aku selalu berusaha untuk akrab dan dekat dengannya walau dengan cara apapun itu.Ketika sekolah menengah atas aku merengek pada mama agar satu sekolah dengan Arvin meski jarak sekolah tersebut sangat jauh dari rumahku, awalnya mama tak setuju tetapi setelah kuancam tak ingin mel

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 45

    (POV ZARA)Tubuhku yang masih lemah ini bergetar melihat Arvin terbaring dengan alat-alat medis yang menempel di sekujur tubuhnya.Banyak lebam dan luka berdarah di tangan juga kakinya, mata yang selalu menatapku penuh cinta itu tertutup rapat.Aku menangis sambil membekap mulut melihat pemandangan memprihatinkan ini, harusnya saat ini kami sudah bahagia dalam ikatan pernikahan. Namun, ternyata kenyataan berkata lain.Kita dihadapkan dengan orang-orang bertopeng dan bermuka dua, yang diam-diam menghancurkan kebahagiaan kita."Menurut saksi yang ada di tempat Pak Zainal dan Arvin sempat bertengkar dan adu fisik, Pak," ujar lelaki suruhan ayah itu.Aku menatap lelaki itu dengan dahi mengerenyit, mungkin semua orang pun sama keheranan sepertiku, mengapa Arvin dan Pak Zainal bisa bertengkar hingga sehebat ini?"Tunggu dulu, kok mereka bisa bertengkar? " tanya ayah."Kita akan tahu kejadian sebenarnya setelah Arvin sadar," ucap bunda.Tiba-tiba saja mamanya Arvin datang dengan panik dan na

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 44

    (POV ARVIN)Dahiku mengkerut kala Zara mengirimkan sebuah lokasi melalui aplikasi hijau, sudah tiga kali menelpon Zara tapi calon istriku itu tak kunjung mengangkatnya.Mulai panik segera aku mengklik link google maps itu, ternyata letaknya di kawasan kabupaten dan aku tahu betul desa ini tempat tinggal Farah sewaktu kecil.Terus menerus otakku berpikir, untuk apa Zara datang ke desa itu? Gegas aku menelpon Bunda Naima."Ada apa, Vin?" Seperti biasa calon ibu mertuaku itu selalu bertutur lembut."Tante, aku mau tanya Zara pergi ke mana ya?""Oh, Zara. Tadi pergi sama Farah katanya mau jalan-jalan sambil jajan untuk terakhir kalinya sebelum Zara melepas masa lajang."Jantungku berdegup kencang dengan hati gelisah tak menentu. Berarti betul Farah membawa Zara ke rumah lamanya, ah semoga saja gadis itu tak berniat buruk pada kekasihku."Kapan mereka pulang, Tan?""Mungkin sebentar lagi, barang-barang Zara udah Tante bawa semua ke mobil, nanti dia langsung ke hotel kok.""Oh syukurlah, ya

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 43

    "Tenanglah, Nak, kamu bisa pakai ini untuk menelpon keluarga besarmu," ucap ibu itu sambil menyodorkan ponsel.Aku memejamkan mata mengingat nomor ayah tapi hanya hafal empat deretan angka di depannya saja.Apalagi nomor Arvin aku tak mengingatnya sama sekali, terakhir aku terus mengingat nomor bunda dan berhasil."Baiklah, saya pinjam ponselnya ya, Bu," ujarku dan ibu itu mengangguk.Cukup lama panggilanku tak diangkat, hingga akhirnya setelah kelima kali menelpon barulah bunda mau mengangkat panggilanku."Halo, siapa ini?"Mataku mendadak berair mendengar suara yang begitu lembut itu."Halo.""Bunda, ini Zara.""Hah, Zara, benarkah?" Suara bunda terdengar panik, setelah itu dapat kudengar suara di sekitar sana terdengar gaduh."Mas, ini Zara.""Halo, Zara, kamu di mana, Sayang?" Itu suara ayah.Tenggorokan ini terasa tercekat saat akan memulai bicara, aku tak kuasa menahan isakan."Bunda, Farah jahat dia ternyata bukan ajak aku jalan-jalan, tapi dia malah membawaku sangat jauh, aku

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 42

    "Mau ngapain lo, Rah?" tanyaku dengan suara bergetar."Menurut Lo," jawabnya dengan mata membeliak yang mengerikan.Farah mengayunkan tongkat besi itu dengan tinggi lalu memukulkan ke arahku. Namun, aku menggeser posisi tubuh dengan cepat, sehingga pukulan itu tak mengenai tubuhku.Dengan napas terengah-engah kami saling menatap, ia bukan lagi sahabat baikku tetapi sudah berubah menjadi monster yang mengerikan.Rasanya aku tak percaya Farah yang selalu ada dikala senang dan susah itu kini berambisi ingin memb*nuhku hanya demi lelaki, ini seperti mimpi.Farah dan Tiara mendekat, dalam sekejap Tiara berusaha meringkus kedua tanganku, tenaga anak itu benar-benar kuat, ia memelintir lenganku ke belakang.Tetapi aku menginjak kakinya dengan kuat hingga ia menjerit, setelah itu aku melepas sebelah tangan dari tangannya lalu menyiku leher Tiara hingga ia terhuyung ke belakang."S*alan!" umpatnya.Kini aku sudah berdiri tegak dan siap melawan serangan mereka yang bringas, apapun yang terjadi

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 41

    Enam bulan kemudian rencana pernikahanku dan Arvin tinggal menunggu satu hari lagi, semua sudah siap, bahkan susunan acara resepsi nanti pun sudah tersusun rapi.Acara pernikahan akan diadakan di sebuah hotel, mama Arvin yang menyewa lobi hotel ini untuk akad sekaligus resepsi pada malam harinya."Apa kamu sudah siap, Zara?" tanya bunda."Iya, sebentar lagi ya, Bun, tunggu aja di bawah."Setelah semua persiapan kumasukkan ke dalam tas besar, aku menghampiri bunda yang sedang bercengkrama dengan ayah, tumben sekali."Aku sudah siap."Bunda tersenyum begitu pula dengan ayah."Zara, ini Farah katanya mau jalan-jalan dulu sebentar sebelum kamu melepas masa lajang, jadi Bunda sama Ayah berangkat duluan dan kamu nanti nyusul sama Farah ya," ujar Bunda.Aku melirik Farah yang tersenyum penuh permohonan."Please, Ra, gue pengen jalan-jalan sama lu yang terakhir kalinya sebelum melepas masa lajang," rengeknya seperti anak kecil."Hem, baiklah kita jalan sekarang, tapi jangan lama-lama ya, gue

  • Satu Atap Dengan Gundik Ayahku   Bab 40

    Jam makan siang aku dan Arvin bertemu lalu kuperlihatkan pesan ancaman semalam padanya."Menurut kamu dia siapa, Vin?" Entah kenapa aku berpikir jika ini perbuatan Om Zainal, apalagi semalam hanya dia yang tak menyukai acara lamaran kami.Tapi, aku tak ingin mengatakannya pada Arvin sekarang sebelum mendapatkan bukti karena takut dirinya tersinggung."Aku catet nomornya ya, Ra, kamu tenang aja aku akan selidiki orang ini siapa."Aku mengangguk mengiyakan, setelah selesai makan siang kami berpisah kembali, aku ke kantor sementara Arvin ke cafenya."Hai, Ra, selamat ya atas pertunangannya," sapa Mbak Rosa sambil tersenyum."Iya, Mbak, terima kasih." Lalu aku masuk ke ruanganku.Sejauh ini aku tak ingin mendekatkan diri pada perempuan yang sedang dekat dengan ayah itu, biarlah jika ia bersungguh-sungguh ingin bersama ayah maka ia harus berusaha mengambil hatiku."Ra, malam ini Mbak mau ajak kamu makan malam di rumah, papamu juga akan datang nanti, kamu datang ya," ucap Mbak Rosa saat ak

DMCA.com Protection Status