Malam semakin larut. Angin dingin berdesir di balik jendela kamar Arga. Dia duduk di tepi ranjang dengan ponsel di tangan, menatap layar yang menampilkan pesan dari Dino.[Pak Arga, saya sudah mulai mengikuti Bu Rasti sejak tadi sore. Ada sesuatu yang aneh. Dia tidak langsung pulang ke rumah setelah dari salon. Dia justru menuju sebuah kafe di daerah Menteng dan bertemu seorang pria. Saya akan coba mendekat dan mengambil gambar.]Arga menggertakkan giginya. Tangannya mengepal kuat. "Jadi benar, Rasti... Apa yang kamu lakukan di belakangku?"Dia menarik napas panjang. Belum sempat membalas pesan Dino, tiba-tiba listrik di rumahnya berkedip-kedip. Televisi yang menyala mendadak mati sendiri. Suasana berubah senyap. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar.Arga merasakan bulu kuduknya meremang. Dadanya mulai sesak oleh firasat buruk. Dia melirik sekeliling kamar, mencari sesuatu yang terasa ganjil.Tok! Tok! Tok!Tiga ketukan pelan terdengar dari jendela kamarnya. Padahal, kamar Arg
Lampu di kamar hotel terus berkedip-kedip, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di dinding. Suhu ruangan mendadak turun drastis, seolah udara tersedot oleh kekuatan yang tak kasat mata.Arga berdiri membeku di ambang pintu, jantungnya berdetak kencang seperti genderang perang. Dino di sampingnya, menelan ludah, tangan meraba-raba pinggangnya, mencari pistol yang selalu dibawanya untuk jaga-jaga.Di tengah kamar, Rasti berdiri dengan tubuh kaku. Mata hitam pekatnya menatap Arga tanpa berkedip, bibirnya bergerak pelan, menggumam sesuatu yang tidak bisa dimengerti.Sementara itu, pria paruh baya di belakangnya menyeringai, wajahnya samar tertutup bayangan yang seolah bergerak sendiri."Siapa kau? Apa yang kau lakukan pada istriku?!" suara Arga bergetar, tetapi ada kemarahan yang tertahan di dalamnya.Pria itu melangkah mendekat. Setiap langkah yang diambilnya terasa berat, seperti ada kekuatan yang menarik lantai di bawahnya."Aku?" Pria itu tertawa pelan. "Aku hanyalah perantara...
Rasti terjatuh ke lantai, tubuhnya bergetar hebat. Suara tawaan Kania yang menggema di dalam kamar membuat bulu kuduknya berdiri.Lampu kamar berkelap-kelip liar, bayangan di dinding bergerak sendiri, melesat dari satu sudut ke sudut lain seperti makhluk tak kasatmata yang mengepungnya."Berhenti! BERHENTI!!" teriak Rasti sambil menutup telinganya.Namun, suara itu semakin keras, menggetarkan udara di sekitarnya.Tiba-tiba, sesuatu yang dingin menyentuh lehernya. Rasti terperanjat, napasnya tersengal. Tangannya gemetar saat mencoba menyentuh area itu—dan matanya membelalak ketakutan.Ada bekas jari hitam yang mencekik kulitnya.Lalu, dari cermin yang retak, sesuatu mulai keluar.Sebuah tangan—pucat, kurus, dengan kuku panjang yang menghitam—merangkak keluar dari permukaan kaca yang kini tampak seperti genangan air berwarna pekat.Rasti berusaha bangkit, tetapi tubuhnya terasa lumpuh.Dari balik cermin, sesosok wanita muncul. Rambutnya panjang berantakan, gaun putihnya kotor dengan noda
Langkah-langkah berat menggema di lorong rumah sakit yang sunyi. Arga menatap lurus ke depan, napasnya masih tersengal setelah berlari menembus hujan deras.Di ujung koridor, Rasti terbaring lemah, wajahnya pucat, bibirnya membiru. Kilatan petir dari jendela membingkai tubuhnya yang nyaris tak bergerak, seakan membekukan waktu.Darah masih menodai ujung jari Arga. Bukan darahnya, tapi darah yang hampir merenggut nyawa Rasti. Ia menggenggam erat jemari istrinya, merasakan denyut nadi yang lemah namun tetap bertahan."Aku tidak akan membiarkanmu pergi," bisik Arga, suaranya serak.Lilian berdiri di sudut ruangan, matanya berkaca-kaca. Di dekat pintu, dalam diam sosok Kania menyaksikan pemandangan itu dengan tatapan kosong.Dendam yang ia pupuk bertahun-tahun kini berhadapan dengan sesuatu yang lebih kuat—sebuah pengorbanan.Di luar, hujan terus mengguyur, membawa bisikan dari dunia yang tak terlihat. Sesuatu telah berubah.Malam i
Hujan masih mengguyur deras ketika mereka berlari menembus lorong rumah sakit yang gelap. Arga menggendong Rasti erat dalam pelukannya, sementara Lilian dan Kania bergegas mengikuti di belakang. Darma melangkah cepat di depan mereka, seolah mengetahui setiap sudut tempat ini dengan baik."Ke mana kita pergi?" Arga bertanya, suaranya nyaris tenggelam oleh gemuruh petir di luar.Darma tidak menjawab. Dia hanya terus melangkah dengan tegas, membawa mereka melewati pintu darurat menuju tangga darurat yang remang-remang. Begitu mereka sampai di lantai bawah, Darma berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum menatap mereka satu per satu."Kita tidak bisa bertahan lama di sini," katanya pelan. "Makhluk itu belum menunjukkan wujud aslinya. Jika kita tidak segera pergi, kita tidak akan punya kesempatan kedua."Kania menggigit bibirnya. "Apa yang sebenarnya kau tahu tentang semua ini?"
Keheningan di dalam ruangan kecil itu hanya bertahan sesaat sebelum suara napas mereka yang tersengal memenuhi udara. Lampu minyak di tengah ruangan berkedip pelan, menciptakan bayangan goyah di dinding yang seolah bergerak sendiri.Arga menatap Rasti yang masih terkulai di pelukannya. Dingin tubuhnya tak kunjung membaik. Ia menyentuh wajah Rasti, merasa ngeri melihat betapa pucatnya gadis itu.“Apa dia akan baik-baik saja?” tanya Lilian pelan.Darma mendekat, mengamati Rasti dengan sorot mata tajam. “Dia masih bernapas. Tapi… sesuatu telah mencengkeramnya.”Kania menegakkan tubuhnya, kedua tangannya mengepal. “Maksudmu makhluk itu?”Darma mengangguk, lalu menatap ke arah pintu yang baru saja ia tutup rapat. “Itu bukan roh biasa. Ia sesuatu yang lebih tua… dan lebih kuat.”Arga menghela napas berat, mencoba menenangkan dirinya. “Kalau begitu, apa yang harus kita lakukan? Kita tidak bisa terus bersembunyi di sini.”Darma mengeluarkan sebuah kantong kain dari balik jasnya, membukanya, l
Lorong itu bergetar, seolah merespons kehadiran mereka. Suara bisikan yang sebelumnya berlapis kini berubah menjadi jeritan melengking, memaksa mereka menutup telinga.Arga merapatkan genggamannya pada Rasti yang masih berdiri di ambang batas garam hitam. Kania bergerak ke samping, tubuhnya menegang, matanya tak lepas dari sosok yang kini menguasai tubuh Rasti.Darma menarik napas dalam, lalu menekan batu hitam di telapak tangannya. "Siapa sebenarnya kau?"Rasti, atau entitas di dalamnya, menundukkan kepala, lalu tertawa pelan. "Aku adalah penjaga. Aku adalah yang mereka panggil dengan berbagai nama. Tapi bagimu... aku adalah akhir."Tiba-tiba, tubuh Rasti mencelat ke depan, hampir menembus garis garam. Arga mundur dengan reflek, matanya melebar saat melihat bagaimana wajah Rasti berubah sesaat—matanya berputar putih, bibirnya merekah hingga menampilkan senyuman yang terlalu lebar untuk ukuran manusia.Lilian menjerit, tangannya mencengkeram erat lengan Darma. "Kita harus lakukan sesu
Lorong itu telah lenyap. Yang tersisa hanyalah kegelapan yang seolah bernapas, berdenyut, menelan segala yang ada di dalamnya. Di tengah kehampaan itu, dua sosok berdiri berhadapan—Kania dan Rasti. Atau lebih tepatnya, dua entitas yang kini mengendalikan mereka. Arga, Lilian, dan Darma tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tersekap dalam ruang gelap yang seakan membekukan waktu. Nafas mereka tersengal, tubuh mereka terasa berat seolah ada ribuan tangan tak kasatmata yang menahan mereka tetap diam. Sementara itu, dua entitas yang menguasai Kania dan Rasti mulai bergerak. Rasti tersenyum tipis, atau lebih tepatnya makhluk di dalam dirinya. “Seharusnya kau tahu… tak ada tempat untuk dua penguasa dalam satu dunia.” Kania, dengan tatapan yang kini lebih tajam dan penuh keangkuhan, tersenyum sinis. “Dan seharusnya kau tahu… aku tidak pernah suka berbagi.” Udara di antara mereka bergetar. Kemudian, semuanya terjadi dalam sekejap. Bayangan pertama melesat.Sosok-sosok hitam men
“Lalu dia apa?” Arga menatap curiga. “Dia adalah Wangsa Jagal,” jawab Barda. “Makhluk yang lahir dari rasa dendam, kemarahan, dan rasa kehilangan yang mendalam."Arga menelan ludah. “Jadi... makhluk itu muncul karena…?”“Karena jiwa Rasti yang belum tenang,” Barda menatap mereka penuh makna. “Dan jika kalian tidak cepat bertindak… arwah Rasti yang asli akan terseret… menjadi bagian dari kegelapan itu.”Di balik bayang-bayang malam, sosok menyerupai Rasti berjongkok di tanah, mencakar-cakar bumi dengan jari-jarinya yang kurus dan hitam. “Aku akan kembali…” suaranya bergetar, penuh kebencian. “Aku akan membuat mereka merasakan rasa sakit yang sama…” Sosok itu menengadah, matanya bersinar merah membara. “Aku akan membuat mereka membayar… dengan nyawa mereka."Malam kembali turun, menyelimuti desa dengan keheningan yang mencekam. Kania dan Arga duduk di beranda rumah Barda, menunggu sang paranormal menyelesaikan persiapannya. Cahaya lampu minyak berkelip samar, menambah kesan mura
Sosok yang menyerupai Rasti melesat ke arah mereka dengan kecepatan yang tidak wajar. Nafas Rahayu terhenti, tubuhnya menegang dalam pelukan Roy. “Minggir!” bentak Kania. Dengan cepat, Kania mendorong Roy dan Rahayu ke samping. Bayangan mengerikan itu melesat melewati mereka, nyaris mencengkeram bahu Rahayu. Namun Kania lebih sigap. Dengan sejumput garam yang selama ini ia simpan di sakunya, ia menebarkannya ke arah bayangan itu. SRAAKK!Sosok yang menyerupai Rasti berteriak nyaring. Tubuhnya mengerut, kulit pucatnya mengelupas, memperlihatkan lapisan hitam berlendir di bawahnya. Matanya, yang tadinya bersinar merah, kini mendidih seperti darah mendidih. “Kau akan membayar ini…” desisnya sebelum menghilang dalam kabut kelam yang menyesakkan. Suasana mendadak senyap. Hanya suara napas Rahayu yang terdengar, tersengal-sengal seperti orang yang baru keluar dari mimpi buruk. Roy membantu Rahayu duduk di sofa. Tubuh istrinya gemetar hebat. “Sayang… tenang… tenang…” Roy
Malam semakin larut, tetapi tidak ada seorang pun yang benar-benar bisa tidur. Rahayu masih duduk di sofa, sesekali menggigil meskipun Roy sudah menyelimutinya. Tatapannya kosong, pikirannya penuh dengan suara yang tadi ia dengar—suara yang seharusnya tidak mungkin ada. Roy sendiri berusaha menenangkan dirinya. Sebagai seorang pria yang selalu berpikir logis, semua ini sulit ia terima. Tetapi ia tidak bisa menyangkal kenyataan. Mereka melihat sesuatu. Mereka mendengar sesuatu. Dan sekarang… mereka tidak tahu apakah itu akan kembali atau tidak. Di sudut ruangan, Kania berdiri sambil menatap langit malam di luar jendela. Ia tidak mengatakan apa-apa, tetapi ia bisa merasakan sesuatu di luar sana. Sesuatu yang belum pergi. Arga, yang sejak tadi diam, akhirnya bangkit dari duduknya. “Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.” Roy mengerutkan kening. “Maksudmu?” Arga menatap mereka semua. “Apa yang kita hadapi ini bukan sekadar arwah penasaran. Kalau memang Rasti masih
Keheningan yang mencekam menggantung di udara.Ruangan yang tadinya dipenuhi bisikan dan suara tawa menyeramkan kini terasa sunyi. Namun, hawa dingin yang menyelimuti mereka belum sepenuhnya pergi.Arga masih terduduk di lantai, merasakan sisa-sisa nyeri akibat hantaman keras tadi. Napasnya masih berat, pikirannya kacau. Ia mengalihkan pandangannya ke Kania, yang masih berdiri tegap dengan belati di tangannya.Kania tetap waspada, matanya mengitari ruangan, seakan mencari tanda-tanda keberadaan sosok tadi.Rahayu masih terisak di sudut ruangan, sementara Roy berdiri kaku di sampingnya. Wajahnya pucat, tangannya bergetar.Ia tidak pernah percaya pada hal-hal seperti ini sebelumnya. Tapi kini?**Ia baru saja melihat putrinya yang telah mati… atau sesuatu yang menyerupainya.**
Cahaya lilin kembali berkedip-kedip, menciptakan bayangan menari di dinding yang seakan hidup. Sosok itu masih berdiri di sana—diam, tetapi keberadaannya memenuhi ruangan dengan hawa dingin yang menyesakkan. Rahayu semakin erat mencengkeram lengan Roy, tubuhnya gemetar. “T-tidak… Ini tidak mungkin…” suaranya nyaris tak terdengar. Roy menelan ludah, otot-ototnya menegang. Ia ingin melindungi istrinya, tetapi tubuhnya terasa berat, seakan sesuatu menahannya. Arga masih terpaku di tempatnya. Matanya tidak bisa lepas dari sosok itu. Wujud itu memang terlihat seperti Rasti… tapi ada sesuatu yang sangat salah. Wajah itu. Saat masih hidup, Rasti memiliki tatapan tajam penuh emosi. Tapi yang berdiri di hadapan mereka sekarang hanya memiliki mata kosong, merah membara, seakan dipenuhi api neraka yang berpendar dalam kegelapan. "Kau pikir ini sudah berakhir, Arga?" Suara itu menggema, lebih berat, lebih dalam. Lalu… ia mulai melangkah. Bukan dengan cara manusia berjalan. Tetap
Suasana di dalam rumah duka semakin terasa berat. Waktu seolah berhenti, meninggalkan hanya isak tangis yang menggema di antara dinding.Rahayu masih terisak, wajahnya basah oleh air mata, sementara Roy tetap duduk diam, menatap lantai dengan pandangan kosong.Arga tak mengatakan apa-apa lagi. Semua yang perlu ia sampaikan sudah keluar. Namun, di dalam dirinya, perasaan bersalah tetap menyelubungi.Kania masih berdiri di sudut ruangan, diam-diam memperhatikan ekspresi Arga. Ada sesuatu dalam tatapannya—sebuah kehampaan yang begitu dalam, seolah ia telah kehilangan lebih dari sekadar istri.Namun, ketegangan belum sepenuhnya reda.Sebuah suara lirih akhirnya keluar dari mulut Rahayu.“Jika Rasti memang sudah... pergi, kenapa aku masih bisa merasakannya?”Arga menoleh,
Langit kelabu seolah berduka, menurunkan gerimis yang tipis namun dingin. Angin membawa aroma tanah basah, menyelimuti pemakaman dengan kesunyian yang berat.Sejumlah orang berpakaian hitam berdiri di sekitar pusara yang masih merah, menundukkan kepala. Payung-payung terbuka, melindungi mereka dari hujan, tapi tidak bisa melindungi hati mereka dari luka yang menganga.Kania berdiri di antara mereka, tanpa payung, membiarkan hujan membasahi wajahnya yang sudah dipenuhi air mata.Di depannya, Arga berdiri kaku, tatapannya kosong. Ia tak berkedip saat tanah perlahan menutupi peti Lilian. Di sampingnya, Darma hanya terdiam, wajahnya mengeras seperti batu, tapi tangan yang mengepal menunjukkan emosi yang ia tahan mati-matian.Kania tidak bisa menatap mereka lama-lama. Terutama Darma.Ia tahu, di mata Darma, dirinya adalah penyebab semua ini.Ketika doa terakhir selesai dibacakan, satu per satu orang mulai beranjak pergi. Beberapa menyentuh bahu Arga dengan lembut, memberi dukungan dalam di
Darah membanjiri tanah.Tubuh Kania gemetar. Nafasnya tersengal. Luka di perutnya menganga, mengalirkan cairan merah yang tak henti-hentinya.Matanya kabur, kepalanya pening.Dia seharusnya mati.Seharusnya…Tapi, di depan matanya—Darma yang kini telah berubah menjadi makhluk kegelapan tengah menatapnya dengan senyum menyeramkan.Di sampingnya, Rasti berdiri penuh kemenangan.“Kau sudah selesai, Kania,” ujar Rasti dengan nada penuh kepuasan. “Terimalah takdirmu. Tak ada lagi yang bisa menolongmu.”Kania mengatupkan giginya.Tidak.Aku belum kalah.&nb
Lorong itu menjadi saksi keheningan yang mencekik.Sisa energi dari tubuh Lilian masih berpendar di udara, bercampur dengan bayangan yang kini berputar liar, seperti haus akan korban baru. Darma masih membeku, tangannya gemetar di atas lantai yang dingin."Lilian..." Namanya meluncur dari bibirnya seperti doa yang tertunda—sebuah panggilan yang tak akan pernah dijawab lagi. Arga mengepalkan tangan, rahangnya mengeras. "Brengsek!"Matanya menatap Rasti—atau makhluk yang kini bersemayam dalam tubuh Rasti—dengan api amarah yang menyala-nyala.Tapi sebelum Arga bisa bergerak, Kania sudah lebih dulu maju.Wajahnya berubah. Bukan lagi ketakutan. Bukan lagi keraguan.Hanya dendam.Dan sesuatu yang lebih gelap dari itu. "Aku akan menghabisimu." Suara Kania lirih, tetapi menggetarkan udara di sekitar mereka. Makhluk dalam tubuh Rasti hanya menyeringai."Oh? Apa kau benar-benar yakin, Kania? Aku sudah mengambil satu. Kau mau jadi yang berikutnya?"DUARRR!!Kania tidak menjawab dengan