Renata begitu kesal karena Danas mulai berani untuk menentangnya. Apalagi sampai mengancamnya. “Siapa dia, berani-beraninya mengancamku? Sialan.”Perempuan itu mengumpat. Wajahnya terlihat merah padam. Matanya menyimpan dendam yang luar biasa. Dia tak akan pernah membiarkan orang lain melawannya.Renata pulang ke apartemennya. Dibukanya pintu dengan kasar lalu dibantingnya. Suaranya berdebam membuat kaget yang mendengarnya. Renata tak peduli.Dilemparkannya tas yang berada di tangannya dengan sembarangan dan mendarat di atas ranjang. Renata lalu berjalan ke arah wastafel dan mencuci wajahnya.Berulangkali dia mencuci wajah dan membasahi rambutnya, berharap kekesalannya pada Danas hilang. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Bayangan Danas mengancam dirinya berseliweran di kepalanya tanpa jeda.“Aaaarrghh. Sial!”Renata kembali berseru keras. Satu tangannya tak sadar memukul kaca yang tergantung di depan wastafel. Retak. Pecah. Tangan Renata berdarah.Namun, Renata tak memperdulikann
Danas hanya bisa tegar dengan apa yang tengah dihadapinya. Bohong kalau Danas hidupnya baik-baik saja. Nyatanya dia seperti terjepit keadaan. Kini seolah ada dua kubu yang terus menyerangnya dari dua arah.“Seandainya aku bisa memilih, ingin rasanya aku pergi ke tempat yang jauh agar tak bertemu dengan orang-orang yang terus menekanku ini,” ucap Danas dalam hati.Saat itu, dia sedang masuk di kampus dan membayangkan akan bertemu dengan Renata. Memikirkannya saja sudah membuat kepalanya pusing dan langkah kakinya terasa berat.Gerbang kampus tampak menjulang tinggi dan angkuh. Mahasiswa berseliweran keluar masuk sambil bercanda dengan teman-temannya. Danas merasa iri. Mereka terlihat tak memiliki beban kehidupan yang berat seperti dirinya.“Seandainya aku bisa seperti mereka, hidup bebas tanpa beban. Ugh!”Danas mengeluh tapi cepat-cepat dia menarik nafas dan berusaha untuk menegarkan dirinya. Tak ada gunanya pula terus meratapi nasib.Mengikuti jadwal perkuliahan yang padat membuat Da
Sepulang dari kantor, Langit tidak langsung pulang ke rumah tetapi dia memilih untuk pergi ke apartement Renata. Malam belum terlalu larut ketika mobil yang dikendarai Langit sampai di basement parkiran.Malik memarkir mobilnya di tempat yang agak tersembunyi. Dia memilih lokasi di ujung dan terlindung oleh tiang-tiang basement. Tentu ada maksudnya Langit melakukannya. Dia tak ingin diketahui sedang berada di tempat itu.Apartement yang menjadi tempat tinggal Renata dikenal sebagai apartement yang kurang bersih namanya. Banyak transaksi prostitusi terselubung yang sering digerebek di sana. Meski begitu, para penghuni sama sekali tak jera.Langit ke luar dari dalam mobil setelah dia mematikan mesin dan memasang kunci stang. Pengamanan berlapis dia lakukan, karena takut mobilnya jadi korban jarahan tangan-tangan jahil. Tingkat kriminalitas lain di tempat itu juga terkenal cukup tinggi.“Ah, Renata, kenapa pula kau pilih tempat jelek begini? Sebenarnya malas setiap kali aku ke sini,” kel
Lewat tengah malam Langit keluar dari apartemen Renata. Kekasihnya itu sebenarnya memintanya untuk menginap sampai pagi, tetapi Langit beralasan besok pagi-pagi sekali dia harus kembali bekerja.“Sayang, aku kan masih kangen. Kanapa buru-bur banget sih?” tanya Renata cemberut. Tubuhnya yang hanya berbalut handuk tipis menggelayut manja memeluk Langit dari belakang. Kedua tangannya melingkar di pinggang Langit seolah tak ingin melepaskannya.“Don’t worry, babe. Besok aku ke sini lagi. Aku nggak mau buru-buru aja, besok pagi aku ada meeting pagi-pagi. Kalau aku menginap di sini besok aku bisa telat.”Alasan Langit bisa diteriman oleh Renata. Kalau sudah alasan pekerjaan, sudah pasti dia tak bisa melawannya. Pekerjaan dan juga kekayaan yang dimiliki oleh Langit tentu saja menjadi alasan utama Renata ingin mendapatkan lelaki itu.“Janji ya, besok ke sini lagi. Aku selalu kangen dan rasanya kesepian kalau kamu tidak ada di sini,” ucap Renata sembari mengendurkan pelukannya. Langit berbalik
Pagi hari, di hari senin.Danas lebih awal bangun dari hari-hari berikutnya karena ini adalah hari di mana dia pergi ke pasar untuk berbelanja. Sebelum pergi ke pasar, Danas membuat list daftar belanjaan terlebih dahulu.Dengan telatennya, wanita itu memeriksa lemari pendingin penyimpan makanan untuk mencatat barang-barang yang sudah habis dan perlu di beli lagi. Langit termasuk cerewet urusan makanan. Dia membuat aturan agar makanan atau minuman kesukaannya selalu tersedia di dalam kulkas.“Stock buah untuk membuat jus sudah menipis, aku harus membelinya lagi,” ucap Danas sambil menuliskannya di dalam note handphonenya.Setelah itu, dia juga memeriksa lemari penyimpan snack kering. Beberapa toples terlihat tinggal separuh. Stock camilan seperti kacang almond panggang juga sudah habis. Danas kembali mencatatnya.Seorang maid mendekati Danas saat melihatnya sibuk. Dia menawarkan diri untuk membantunya. “Pagi, Nyonya. Apakah ada yang bisa dibantu?”“Eh, iya Bi Surti. Aku sedang membuat
“Cepat, serahkan uangmu!”Seorang preman membentak sambil mencoba menarik tas tangan yang dibawa oleh Danas. Tentu saja Danas tak mau menyerahkannya. Terjadilah tarik-tarikan tas di antara mereka.Dua temannya ikut mendekat, bermaksud membantu temannya. Namun, saat mereka mendekati Danas dan mengamati wajahnya yang jelita terbitlah niat buruk. Keadaan di sekitar tempat itu sangat sepi, tidak ada orang yang berlalu lalang dan tak jauh dari sana ada gerumbul semak.Seorang preman mencoba mendekat Danas dan mulai memegang-megang bagian tubunya. “Duh, sayang sekali kalau secantik ini hanya dibiarkan lewat saja,” ucapnya dengan pandangan yang menakutkan.Dua preman yang lain mengerti apa yang ada di pikiran temannya itu. Mereka seolah sepakat untuk menggarap mangsanya. Ketiganya mulai memepet Danas dan berusaha memojokkannya. “Sudah cantik, harum lagi. Ayo sini mendekat padaku, kita bermain dulu!”Ketiga preman mulai
Langit sedang sibuk di meja kerjanya. Setumpuk berkas belum diperiksa dan harus segera di tandatanganinya. Sementara pada saat yang sama dia juga harus melakukan meeeting online dengan para koleganya terkait proyek terbaru mereka.Pintu ruangan Langit tiba-tiba diketuk. Lelaki itu mendongakkan kepalanya dan melihat siapa yang datang. Ada Marvin di depan pintu. Sepertinya dia datang untuk berita yang penting. Langit menyuruhnya untuk segera masuk.“Ada, Marvin? Laporkan saja, singkat padat dan jelas. Aku sedang sibuk banget.” Begitu titah Langit tanpa mengalihkan pandangannya dari pekerjaannya.Marvin menarik kursi di seberang meja Langit dan duduk di sana. Dia segera membuka ponselnya dan menunjukkan foto-foto Danas yang sedang berada di rumah sakit.“Ada sedikit masalah di rumah, Pak.” Marvin melaporkan dengan mimik muka yang santai. Baginya itu juga bukan kasus yang luar biasa, karena terjadi pada Danas.“Hmm, ada apa?” Langit menanggapi masih dengan acuh tak acuh. Dia sendiri jika
Sepulangnya dari kampus, Danas diberitahu oleh Bi Surti jika Langit tadi datang ke rumah. Dia menanyakan mengenai mereka dihadang oleh preman saat pulang dari pasar. Danas baru masuk dan bermaksud mengambil air minum ketika maid itu menghampirinya.“Nyonya, tadi Tuan Langit pulang ke rumah. Dia cari, Nyonya.”Ucapan Bi Surti membuat Danas yang sedang meminum air tersedak. Dia buru-buru batuk dan mengatur nafasnya. “Apa? Tuan pulang. Cari aku?”“Ya, Nyonya. Tuan tahu kalau tadi kita ketemu dengan preman dan nyaris celaka.”“Aduh, kok bisa tahu sih?” Kini Danas yang merasa kurang suka karena segala informasi tentangnya akan sampai di telinga Danas. Lelaki itu selalu mengawasinya di mana saja.“Sepertinya Tuan tahu dari Marvin.” Bi Surti mengatakan itu karena dia lihat Langit datang ke rumah bersama dengan Marvin.Danas lantas menghela nafas dan duduk dengan lesu. Hari ini rasanya sangat melelahkan. Jiwa dan raga, ada saja kejadian tak terduga yang dialaminya. Saat mendengar kalau Langi
"Kau pasti bercanda dia bertemu dengan Langit," desis Jagad, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa cerita tersebut hanya sebuah kesalahpahaman belaka.Jagad merasakan detak jantungnya cepat saat mendengar cerita Davina. Matanya terbelalak, dan kepalanya seakan dipenuhi oleh bisingan yang mengaburkan pikirannya. Zanetra, cahaya dalam hidupnya, saat ini Jagad mungkin tengah terancam oleh sosok Langit. Wajahnya pucat dan dadanya sesak saat memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.“Aku tidak bohong Kak. Untung apa aku berbohong soal ini, huh?”“Ini yang aku takutkan jika aku tidak bersamanya,” keluh Jagad, wajahnya terlihat khawatir.“Kakak cepatlah ke Indonesia, kalian harus segera menikah. Kau harus segera menikah agar pria itu tidak memiliki kesempatan untuk mendekati Danas.”“Jangan pernah menyebutnya dengan nama itu lagi, Davina. Namanya bukan Danas, dia Zanetra, apa kau lupa?”
Mata Zanetra terbelalak saat seorang pria yang tidak dikenalinya memeluknya dengan hangat. Tidak pernah ada perasaan hangat seperti yang saat ini dirasakan. Dia merasa ada getaran aneh di antara mereka, sesuatu yang sulit dijelaskan.“Danas, aku merindukanmu.” Langit semakin mempererat pelukannya seakan tidak ingin melepaskan pelukannya.Langit ingin waktu berhenti sesaat, dia tidak ingin melepaskan pelukannya. Kerinduannya hampir tidak bisa dibendung, saat melihat wanita yang mirip istri, langkah kakinya tidak bisa dihentikan, akal sehatnya tidak terpakai hanya ada satu yang terpikirkan saat itu juga. Memeluk.Marvin terkejut dengan tindakan Langit, dia juga terpaku melihat sang nyonya, bukan wanita yang mirip tapi benar-benar sang nyonya-Nyonya Danas.Bagi Zanetra, ini adalah paling gila karena ada yang menganggapnya sebagai Danas bahkan sampai memeluk. Kenyamanan itu membuatnya hampir lupa diri jika pria yang memeluknya adalah pria asing.
"Kamu sudah siap, Zane?" tanya Davina sambil tersenyum hangat.Zanetra tersenyum, meskipun ada keraguan di matanya, dia hanya menganggukan kepala."Tentu saja Nona Davina. Ayo kita mulai petualangan kita!" Lisa terlalu bersemangat melebihi dua orang lainnya, seakan tidak merasakan kelelahan.Mereka berjalan melalui jalan-jalan kecil di sekitar perumahan, mencicipi makanan lezat yang dijajakan oleh pedagang kaki lima. Davina membimbing mereka dari satu tempat ke tempat lain, menjelaskan dengan penuh semangat tentang makanan-makanan khas Jakarta."Jakarta itu keren banget!" ujar Lisa. "Aku suka suasananya yang ramai dan penuh energi.""Iya. Jakarta memang kota yang tak ada habisnya untuk dijelajahi." Timpal Davina.Mereka berhenti di sebuah gerobak jajanan kaki lima. Davina memesan nasi goreng, Zanetra memesan bakso, dan Lisa memesan martabak. Mereka duduk di pinggir jalan sambil menikmati makanan mereka."Aku suka nasi gorengnya," kata
“Wanita kemarin mirip Danas,” gumamnya. “Tapi tidak mungkin itu Danas. Huh!”Langit duduk di ujung meja panjang yang terbuat dari kayu, ruangan rapat yang terasa semakin sempit dengan setiap helaan napasnya. Wajah-wajah yang mengelilinginya tampak cemas, semua orang tahu betapa pentingnya rapat ini bagi perusahaan mereka. Dan di tengah-tengah kesibukan itu, Langit merasa sepertinya ada yang tidak beres.Dia merenung dalam-dalam, pikirannya terusik oleh seorang wanita yang baru saja ia lihat di bandara beberapa hari yang lalu. Wanita itu sangat mirip dengan istrinya. Meskipun dia tahu bahwa itu hanya kebetulan, namun hatinya terasa begitu berat.“Pak!” Maarvin berbisik, dia bahkan lupa jika dirinya saat ini tengah berada di ruang rapat. Terlihatsemua orang di dalam ruangan menegang, takut membuat kesalahan dan menjadi pelampiasan kemarahan Langit."Lanjutkan saja," kata Langit, berusaha menenangkan diri. "Saya hanya sedi
Langit menghela nafas panjang saat menarik pegangan pintu rumahnya. Harinya telah berlari begitu cepat, meninggalkan jejak kelelahan yang merambat di setiap serat ototnya. Seiring langkahnya merangkak masuk ke dalam ruangan yang tenang, seberkas senyum kecil menghampirinya dengan langkah-langkah gemulai."Papa!" seru Cahaya dengan riang.Langit tersenyum dan memeluk Cahaya dengan erat. Rasa lelahnya seketika hilang ketika melihat senyum putri kecilnya."Cahaya!" serunya, merasakan hatinya menghangat hanya dengan melihat putri kecilnya itu. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini sendirian?"Cahaya, dengan balutan gaun merah muda yang menggemaskan, merengkuh lehernya dengan gembira. Langit merasakan segala kekhawatiran dan kecemasan yang menjeratnya sepanjang hari itu, mulai mencair seketika. Dia menggendong Cahaya dan berjalan menuju ruang keluarga, tempat kemudian ia duduk di sofa dan menaruh Cahaya di pangkuannya."Daddy pulang, ya?" tanya Cahaya, mata cokelatnya yang lucu menatap taj
Suara dentingan pisau terdengar beradu, aroma rempah-rempah dan daging yang dipanggang menyebarkan keharuman yang menggugah selera. Zanetra, dengan wajah penuh konsentrasi, berdiri di depan kompor sambil mengaduk adonan yang sedang dimasak.Saat sedang asik memasak, Zanetra merasa sentuhan lembut di pinggangnya. Langkah Jagad yang pelan membuatnya mendekati Zanetra tanpa terdengar. Dengan lembut, dia melingkarkan tangannya di pinggang Zanetra, membuatnya melompat kaget.Tubuhnya mendadak bergetar, dan ia hampir saja berteriak histeris. Tapi, saat ia melihat wajah lelaki yang memeluknya dengan erat, rasa terkejutnya berubah menjadi senyuman hangat.“Kak Jagad, kau membuatku kaget!” serunya, sambil melepas spatula yang dipegang.Jagad mengendus apa yang sedang dimasak, dagunya diletakan di atas bahu wanita itu, sambil mempererat pelukan, Jagad tidak lupa mengambil kesempatan mencium lembut leher Zanetra."Kau kembali lebih awal!" seru Zanetra. "Aku pikir kau akan pulang terlambat malam
Mobil berhenti tepat di studio Zanetra, senyuman pria yang mengantarnya terlihat tulus. “Masuklah,” ucap Jagad. Saat Zanetra melangkahkan kaki masuk, “Zane …” Panggilan itu mampu membuat Zanetra menghentikan langkahnya. “Tidak. Masuklah. Hari ini aku pulang telat, kalian tidak perlu menungguku malam malam.”Zanetra menganggukan kepala, ia segera masuk ke ruang pribadi miliknya.“Menikah, ya,” gumamnya sambil merebahkan tubuhnya di sofa. Ada perasaan yang tidak bisa dia katakan pada orang lain. Dia mengangkat tangan ke atas, melihat cincin yang tersemat di jarinya.Kenapa dia begitu gelisah? Bukankah Jagad selalu ada untuknya? Bahkan studio fashionnya dibuat oleh Jagad sebagai hadiah telah berjuang sembuh. Apa hanya karena dia berada di titik karir sampai dia belum ingin menikah? Kata
Danas duduk di sebuah studio desain di Zurich, Swiss, fokus pada potongan kain sutra yang terbentang di depannya. Rasa gembira meluap dalam dirinya karena karyanya yang indah. Dalam tiga tahun terakhir, dia telah berhasil membangun nama Zanetra sebagai desainer terkenal. Meskipun dia tidak ingat lagi namanya yang sebenarnya, dia menikmati hidupnya sebagai Zanetra.Studio miliknya dipenuhi dengan karya seni yang indah, dari gaun pengantin mewah hingga pakaian haute couture yang memukau. Ia dikelilingi oleh sekelompok asisten dan penjahit yang setia, yang membantu mewujudkan kreasi-kreasinya yang brilian.Kehidupan Zanetra bukan hanya tentang karirnya yang gemilang. Cinta pun telah memasuki hatinya dengan indah. Jagad, pria yang dulu dia tidak ingat selain dari nama yang diucapkannya, telah menjadi bagian integral dari hidupnya. Mereka telah menjalin hubungan yang erat selama dua tahun terakhir, dan akhirnya, Jagad telah melamar Zanetra. Mereka akan segera menjadi suami
S2-8 PertemuanLangit duduk di ruang kerjanya yang terletak di ujung mansion yang masih dalam proses renovasi. Dia memeriksa beberapa rencana terbaru untuk proyek renovasi yang telah memakan banyak waktunya dalam beberapa bulan terakhir. Mansion tua itu begitu besar dan penuh potensi, dan Langit merasa bahwa ini adalah cara terbaik untuk menghormati kenangan istrinya, Danas.“Bagaimana renovasi taman?” tanya Langit pada Marvin. “Jangan sampai bunga-bunga yang dirawatnya rusak.”“Semuanya dikerjakan sesuai dengan keinginan Anda, Tuan. Ah, karya-karya Nyonya sudah saya beli dari beberapa orang.”“Kau tidak melewatkan sketsa pakaian ‘kan?”“Tidak.”“Dia sangat ingin jadi desainer.”“Seluruh karya Nyonya ada di ruangan itu