“Cepat, serahkan uangmu!”Seorang preman membentak sambil mencoba menarik tas tangan yang dibawa oleh Danas. Tentu saja Danas tak mau menyerahkannya. Terjadilah tarik-tarikan tas di antara mereka.Dua temannya ikut mendekat, bermaksud membantu temannya. Namun, saat mereka mendekati Danas dan mengamati wajahnya yang jelita terbitlah niat buruk. Keadaan di sekitar tempat itu sangat sepi, tidak ada orang yang berlalu lalang dan tak jauh dari sana ada gerumbul semak.Seorang preman mencoba mendekat Danas dan mulai memegang-megang bagian tubunya. “Duh, sayang sekali kalau secantik ini hanya dibiarkan lewat saja,” ucapnya dengan pandangan yang menakutkan.Dua preman yang lain mengerti apa yang ada di pikiran temannya itu. Mereka seolah sepakat untuk menggarap mangsanya. Ketiganya mulai memepet Danas dan berusaha memojokkannya. “Sudah cantik, harum lagi. Ayo sini mendekat padaku, kita bermain dulu!”Ketiga preman mulai
Langit sedang sibuk di meja kerjanya. Setumpuk berkas belum diperiksa dan harus segera di tandatanganinya. Sementara pada saat yang sama dia juga harus melakukan meeeting online dengan para koleganya terkait proyek terbaru mereka.Pintu ruangan Langit tiba-tiba diketuk. Lelaki itu mendongakkan kepalanya dan melihat siapa yang datang. Ada Marvin di depan pintu. Sepertinya dia datang untuk berita yang penting. Langit menyuruhnya untuk segera masuk.“Ada, Marvin? Laporkan saja, singkat padat dan jelas. Aku sedang sibuk banget.” Begitu titah Langit tanpa mengalihkan pandangannya dari pekerjaannya.Marvin menarik kursi di seberang meja Langit dan duduk di sana. Dia segera membuka ponselnya dan menunjukkan foto-foto Danas yang sedang berada di rumah sakit.“Ada sedikit masalah di rumah, Pak.” Marvin melaporkan dengan mimik muka yang santai. Baginya itu juga bukan kasus yang luar biasa, karena terjadi pada Danas.“Hmm, ada apa?” Langit menanggapi masih dengan acuh tak acuh. Dia sendiri jika
Sepulangnya dari kampus, Danas diberitahu oleh Bi Surti jika Langit tadi datang ke rumah. Dia menanyakan mengenai mereka dihadang oleh preman saat pulang dari pasar. Danas baru masuk dan bermaksud mengambil air minum ketika maid itu menghampirinya.“Nyonya, tadi Tuan Langit pulang ke rumah. Dia cari, Nyonya.”Ucapan Bi Surti membuat Danas yang sedang meminum air tersedak. Dia buru-buru batuk dan mengatur nafasnya. “Apa? Tuan pulang. Cari aku?”“Ya, Nyonya. Tuan tahu kalau tadi kita ketemu dengan preman dan nyaris celaka.”“Aduh, kok bisa tahu sih?” Kini Danas yang merasa kurang suka karena segala informasi tentangnya akan sampai di telinga Danas. Lelaki itu selalu mengawasinya di mana saja.“Sepertinya Tuan tahu dari Marvin.” Bi Surti mengatakan itu karena dia lihat Langit datang ke rumah bersama dengan Marvin.Danas lantas menghela nafas dan duduk dengan lesu. Hari ini rasanya sangat melelahkan. Jiwa dan raga, ada saja kejadian tak terduga yang dialaminya. Saat mendengar kalau Langi
“Kenapa kamu tidak mengatakan padaku jika kamu disergap preman kampung itu?” tanya Danas seraya mendekat ke arah Danas. Tatapan matanya dalam dan menakutkan. Danas buru-buru bangkit dari tempat duduknya dan menunduk. Dia tak berani membalas mata Langit. Dia menoleh ke arah Bi Surti tapi perempuan itu sudah menghilang di balik pintu dapur. Langit berjalan semakin dekat hingga berdiri persih di depan Danas. Tubuhnya yang lebih tinggi dari Danas seolah bersiap mengancam dan membuat wanita itu tak berkutik. Danas merasa nyalinya semakin menciut. “Hei, aku tanya. Kau punya telinga tidak? Jawab!” Danas mulai membentak, suaranya kerasa hingga membuat Danas terperanjat kaget. Namun, mulut Danas masih terkunci rapat. Dia tak mau menjawab pertanyaan dari Langit. Dia bahkan membuang muka, tak sudi kontak mata. Melihat kelakuan Danas yang hanya bisa diam membuat amarah Langit mulai tersulut. Dengan kasar, dipegangnya dagu Danas lalu ditengadahkan. “Kamu nggak dengar aku bicara hah?!” Danas
Siksaan Langit baru berhenti ketika dia sudah puas melihat Danas diam tertunduk sambil berurai air mata. Dia mendorong tubuh Danas dengan kasar ke atas kasur. “Tidurlah. Kamu harus istirahat biar kamu punya kekuatan lagi untuk melawanku lagi.”Danas tak habis pikir dengan lelaki itu. Sebentar menyiksanya seperti malaikat maut, di lain waktu seolah sengaja mengulur hidupnya agar bisa dijadikan bahan mainannya lebih lama. Psikopatkah dia? Tanpa mempedulikan Danas yang masih menangis tergugu di atas ranjang, Langit meninggalkan Danas tanpa berkata sepatah kata pun. Ditutupnya pintu dengan kasar. Danas dapat mendengar langkah kaki Langit meninggalkan kamarnya. Tak ingin berpikir lagi, Danas memejamkam matanya. Dia ingin tidur, melupakan semua kesedihan dan penderitaan yang dialaminya. Namun, tentu saja, bukan tidur nyenyak yang datang menghampiri Danas. Tetap saja, dalam mimpi pun dia ketakutan dikejar-kejar Langit. Sungguh lelah jiwa dan raganya. Namun, bukan Danas jika esok harinya d
Deg. Mata Jagad maupun Renata membulat mendengar apa yang dikatakan oleh Danas. Tajam dan tepat sekali.Langit menganggap Danas sebagai pembunuh adiknya, sementara pelaku yang sebenarnya adalah … Renata!“Apa ini alasan yang membuat Langit membencinya?” Jagad membatin. Saking terkejutnya dengan fakta yang baru didengarnya itu, Jagad sampai menahan nafasnya untuk beberapa saat. Dia mencerna apa yang sesungguhnya terjadi.Jika memang itu yang benar terjadi, alangkah salah dan bodohnya Langit. Dia sudah menjatuhkan hukuman pada orang yang tak bersalah sekaligus membiarkan dirinya masuk ke dalam dekapan sang pembunuh yang asli.Jagad mengusap wajahnya, mencoba menyadarkan dirinya kalau telinganya benar mendengar dan matanya tak salah melihat. Dia menjadi saksi mata atas kebenaran yang terungkap.Bermacam perasaan dan prasangka kini campur aduk di hati dan pikiran Jagad. Semuanya itu membuat tubuhnya menegang, kaku dan tak tahu harus berbuat apa. Untuk sementara, Jagad hanya bisa diam di t
Danas terkejut dengan kehadiran Jagad yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya. Sudah pasti dia juga khawatir kalau apa yang dibicarakannya dengan Renata didengar oleh lelaki itu.Jagad justru menatap Danas lebih lama sebelum dia menjawab. Jagad ingin mengukur kira-kira bagaimana reaksi Danas kala tahu dia memang mendengarkan semuanya.“Ya, maaf. Aku tak sengaja mendengar pembicaraan kalian,” ucapnya lunak.Mata Danas seketika kembali membulat mendengar pengakuan dari Jagad. Apa yang dibicarakannya dengan Renata bukanlah gurauan tetapi sebuah rahasia besar.“Danas, kamu tak bisa hanya diam dan pasrah begitu. Kau harus ungkapkan kebenaran itu. Aku akan katakan pada Langit kalau kamu tidak bersalah!”Sengit suara Jagad seraya kembali mengeluarkan ponselnya. Jagad ingin mengatakan pada Langit apa yang dengar olehnya. Jemari Jagad bergerak membuka layar ponselnya tapi buru-buru ditahan oleh Danas.“Jangan! Aku harap kau tak melakukannya.” Danas melarangnya. Tatapan matanya nanar seteng
Jagad duduk di ruang tamu setelah kembali setelah selesai pulang dari rumah sakit. Dia masih belum menghilangkan pikiran mengenai kenyataan yang baru saja diketahuinya. Siapa yang tidak shock mengetahui sebuah rahasia besar? Apalagi ini menyangkut nyawa orang. “Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Aku nggak mungin cuma diam saja,” gumam Jagad. Dia sangat gelisah. Membuka sebuah kebenaran terkadang sama sulitnya dengan menutupi kebohongan. Jagad kembali teringat pada Danas. Wanita seperti dia harus mengalami kejadian pahit dan menanggung hukuman yang bukan salahnya. Jagad sampai mempertanyakan takdir yang diranya tak adil. “Tidak. Aku tak bisa hanya tinggal diam begini. Aku harus melakukan sesuatu untuk menolongnya,” ujar Jagad seraya meraih kembali ponselnya. Dia melihat layar ponselnya beberapa kali, bahkan mengetik pesan untuk Langit tetapi dihapusnya kembali. “Aku harus memberi tahu Langit. Bodoh sekali dia jika tak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Alangkah berdosanya aku jika
"Kau pasti bercanda dia bertemu dengan Langit," desis Jagad, berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa cerita tersebut hanya sebuah kesalahpahaman belaka.Jagad merasakan detak jantungnya cepat saat mendengar cerita Davina. Matanya terbelalak, dan kepalanya seakan dipenuhi oleh bisingan yang mengaburkan pikirannya. Zanetra, cahaya dalam hidupnya, saat ini Jagad mungkin tengah terancam oleh sosok Langit. Wajahnya pucat dan dadanya sesak saat memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa saja terjadi.“Aku tidak bohong Kak. Untung apa aku berbohong soal ini, huh?”“Ini yang aku takutkan jika aku tidak bersamanya,” keluh Jagad, wajahnya terlihat khawatir.“Kakak cepatlah ke Indonesia, kalian harus segera menikah. Kau harus segera menikah agar pria itu tidak memiliki kesempatan untuk mendekati Danas.”“Jangan pernah menyebutnya dengan nama itu lagi, Davina. Namanya bukan Danas, dia Zanetra, apa kau lupa?”
Mata Zanetra terbelalak saat seorang pria yang tidak dikenalinya memeluknya dengan hangat. Tidak pernah ada perasaan hangat seperti yang saat ini dirasakan. Dia merasa ada getaran aneh di antara mereka, sesuatu yang sulit dijelaskan.“Danas, aku merindukanmu.” Langit semakin mempererat pelukannya seakan tidak ingin melepaskan pelukannya.Langit ingin waktu berhenti sesaat, dia tidak ingin melepaskan pelukannya. Kerinduannya hampir tidak bisa dibendung, saat melihat wanita yang mirip istri, langkah kakinya tidak bisa dihentikan, akal sehatnya tidak terpakai hanya ada satu yang terpikirkan saat itu juga. Memeluk.Marvin terkejut dengan tindakan Langit, dia juga terpaku melihat sang nyonya, bukan wanita yang mirip tapi benar-benar sang nyonya-Nyonya Danas.Bagi Zanetra, ini adalah paling gila karena ada yang menganggapnya sebagai Danas bahkan sampai memeluk. Kenyamanan itu membuatnya hampir lupa diri jika pria yang memeluknya adalah pria asing.
"Kamu sudah siap, Zane?" tanya Davina sambil tersenyum hangat.Zanetra tersenyum, meskipun ada keraguan di matanya, dia hanya menganggukan kepala."Tentu saja Nona Davina. Ayo kita mulai petualangan kita!" Lisa terlalu bersemangat melebihi dua orang lainnya, seakan tidak merasakan kelelahan.Mereka berjalan melalui jalan-jalan kecil di sekitar perumahan, mencicipi makanan lezat yang dijajakan oleh pedagang kaki lima. Davina membimbing mereka dari satu tempat ke tempat lain, menjelaskan dengan penuh semangat tentang makanan-makanan khas Jakarta."Jakarta itu keren banget!" ujar Lisa. "Aku suka suasananya yang ramai dan penuh energi.""Iya. Jakarta memang kota yang tak ada habisnya untuk dijelajahi." Timpal Davina.Mereka berhenti di sebuah gerobak jajanan kaki lima. Davina memesan nasi goreng, Zanetra memesan bakso, dan Lisa memesan martabak. Mereka duduk di pinggir jalan sambil menikmati makanan mereka."Aku suka nasi gorengnya," kata
“Wanita kemarin mirip Danas,” gumamnya. “Tapi tidak mungkin itu Danas. Huh!”Langit duduk di ujung meja panjang yang terbuat dari kayu, ruangan rapat yang terasa semakin sempit dengan setiap helaan napasnya. Wajah-wajah yang mengelilinginya tampak cemas, semua orang tahu betapa pentingnya rapat ini bagi perusahaan mereka. Dan di tengah-tengah kesibukan itu, Langit merasa sepertinya ada yang tidak beres.Dia merenung dalam-dalam, pikirannya terusik oleh seorang wanita yang baru saja ia lihat di bandara beberapa hari yang lalu. Wanita itu sangat mirip dengan istrinya. Meskipun dia tahu bahwa itu hanya kebetulan, namun hatinya terasa begitu berat.“Pak!” Maarvin berbisik, dia bahkan lupa jika dirinya saat ini tengah berada di ruang rapat. Terlihatsemua orang di dalam ruangan menegang, takut membuat kesalahan dan menjadi pelampiasan kemarahan Langit."Lanjutkan saja," kata Langit, berusaha menenangkan diri. "Saya hanya sedi
Langit menghela nafas panjang saat menarik pegangan pintu rumahnya. Harinya telah berlari begitu cepat, meninggalkan jejak kelelahan yang merambat di setiap serat ototnya. Seiring langkahnya merangkak masuk ke dalam ruangan yang tenang, seberkas senyum kecil menghampirinya dengan langkah-langkah gemulai."Papa!" seru Cahaya dengan riang.Langit tersenyum dan memeluk Cahaya dengan erat. Rasa lelahnya seketika hilang ketika melihat senyum putri kecilnya."Cahaya!" serunya, merasakan hatinya menghangat hanya dengan melihat putri kecilnya itu. "Apa yang sedang kamu lakukan di sini sendirian?"Cahaya, dengan balutan gaun merah muda yang menggemaskan, merengkuh lehernya dengan gembira. Langit merasakan segala kekhawatiran dan kecemasan yang menjeratnya sepanjang hari itu, mulai mencair seketika. Dia menggendong Cahaya dan berjalan menuju ruang keluarga, tempat kemudian ia duduk di sofa dan menaruh Cahaya di pangkuannya."Daddy pulang, ya?" tanya Cahaya, mata cokelatnya yang lucu menatap taj
Suara dentingan pisau terdengar beradu, aroma rempah-rempah dan daging yang dipanggang menyebarkan keharuman yang menggugah selera. Zanetra, dengan wajah penuh konsentrasi, berdiri di depan kompor sambil mengaduk adonan yang sedang dimasak.Saat sedang asik memasak, Zanetra merasa sentuhan lembut di pinggangnya. Langkah Jagad yang pelan membuatnya mendekati Zanetra tanpa terdengar. Dengan lembut, dia melingkarkan tangannya di pinggang Zanetra, membuatnya melompat kaget.Tubuhnya mendadak bergetar, dan ia hampir saja berteriak histeris. Tapi, saat ia melihat wajah lelaki yang memeluknya dengan erat, rasa terkejutnya berubah menjadi senyuman hangat.“Kak Jagad, kau membuatku kaget!” serunya, sambil melepas spatula yang dipegang.Jagad mengendus apa yang sedang dimasak, dagunya diletakan di atas bahu wanita itu, sambil mempererat pelukan, Jagad tidak lupa mengambil kesempatan mencium lembut leher Zanetra."Kau kembali lebih awal!" seru Zanetra. "Aku pikir kau akan pulang terlambat malam
Mobil berhenti tepat di studio Zanetra, senyuman pria yang mengantarnya terlihat tulus. “Masuklah,” ucap Jagad. Saat Zanetra melangkahkan kaki masuk, “Zane …” Panggilan itu mampu membuat Zanetra menghentikan langkahnya. “Tidak. Masuklah. Hari ini aku pulang telat, kalian tidak perlu menungguku malam malam.”Zanetra menganggukan kepala, ia segera masuk ke ruang pribadi miliknya.“Menikah, ya,” gumamnya sambil merebahkan tubuhnya di sofa. Ada perasaan yang tidak bisa dia katakan pada orang lain. Dia mengangkat tangan ke atas, melihat cincin yang tersemat di jarinya.Kenapa dia begitu gelisah? Bukankah Jagad selalu ada untuknya? Bahkan studio fashionnya dibuat oleh Jagad sebagai hadiah telah berjuang sembuh. Apa hanya karena dia berada di titik karir sampai dia belum ingin menikah? Kata
Danas duduk di sebuah studio desain di Zurich, Swiss, fokus pada potongan kain sutra yang terbentang di depannya. Rasa gembira meluap dalam dirinya karena karyanya yang indah. Dalam tiga tahun terakhir, dia telah berhasil membangun nama Zanetra sebagai desainer terkenal. Meskipun dia tidak ingat lagi namanya yang sebenarnya, dia menikmati hidupnya sebagai Zanetra.Studio miliknya dipenuhi dengan karya seni yang indah, dari gaun pengantin mewah hingga pakaian haute couture yang memukau. Ia dikelilingi oleh sekelompok asisten dan penjahit yang setia, yang membantu mewujudkan kreasi-kreasinya yang brilian.Kehidupan Zanetra bukan hanya tentang karirnya yang gemilang. Cinta pun telah memasuki hatinya dengan indah. Jagad, pria yang dulu dia tidak ingat selain dari nama yang diucapkannya, telah menjadi bagian integral dari hidupnya. Mereka telah menjalin hubungan yang erat selama dua tahun terakhir, dan akhirnya, Jagad telah melamar Zanetra. Mereka akan segera menjadi suami
S2-8 PertemuanLangit duduk di ruang kerjanya yang terletak di ujung mansion yang masih dalam proses renovasi. Dia memeriksa beberapa rencana terbaru untuk proyek renovasi yang telah memakan banyak waktunya dalam beberapa bulan terakhir. Mansion tua itu begitu besar dan penuh potensi, dan Langit merasa bahwa ini adalah cara terbaik untuk menghormati kenangan istrinya, Danas.“Bagaimana renovasi taman?” tanya Langit pada Marvin. “Jangan sampai bunga-bunga yang dirawatnya rusak.”“Semuanya dikerjakan sesuai dengan keinginan Anda, Tuan. Ah, karya-karya Nyonya sudah saya beli dari beberapa orang.”“Kau tidak melewatkan sketsa pakaian ‘kan?”“Tidak.”“Dia sangat ingin jadi desainer.”“Seluruh karya Nyonya ada di ruangan itu