Pernikahan tak seharusnya berjalan secepat ini.Seharusnya tidak.Elizabeth setidaknya harus menikmati bagaimana dia mengenakan gaun pengantinnya, mengagumi bebungaan yang ada di buketnya, dan mungkin menelusuri bagaimana rintik-rintik cahaya yang ada di rambutnya.Tapi tidak. Elizabeth tak ingat kapan dia berjalan bersama ayahnya menuju altar. Dia tak ingat bagaimana dia melihat Orvil di depan untuk menunggunya.Mungkin dia samar-samar mengingat wajahnya ketika mengucapkan sumpahnya, atau bagaimana tangannya merasa hangat bahkan ketika dia mengenakan sarung tangannya, atau dingin cincin yang terselip di jemarinya.Atau fakta bahwa Orvil tak menciumnya.Elizabeth dapat merasakan bagaimana bibir laki-laki itu mendarat beberapa detik di pipinya, menangkupkan wajahnya di antara kedua telapak tangannya hingga tak ada satupun yang melihat ilusi itu.Dan satu-satunya yang Elizabeth ingat dari pernikahannya adalah bagaimana suaminya, suaminya, merundukkan pandangan hingga menatapnya. Dan ora
Elizabeth tak mengharapkan bahwa mereka akan kembali ke kediaman para Gellert, mengira bahwa mereka akan menuju tempat lain.Namun mungkin Orvil tak memiliki tempat yang dia pikir dapat mereka kunjungi, dan mungkin privasi mereka akan menjadi lebih baik ketika mereka berada di balik dinding mereka sendiri.Laki-laki itu mengalihkan pandangan padanya, dan Elizabeth dapat menyadari bagaimana dia mengawasinya ketika dia tengah menatap ke arah luar jendela.“Aku akan berada di ruanganku,” ucapnya, membuatnya menoleh. “Kami merapikan ruanganmu sebelumnya, kau bisa memilikinya.”Wanita itu menatapnya. “Kau takkan bersamaku?”“Kau takkan menginginkan itu,” dia membalas, meyakinkan. “Dan aku akan lebih menghargai jika kau berada di sampingku ketika kau menginginkannya.”“Or–”Dia menarik nafas ketika suaminya telah berbalik, meninggalkannya sendirian dengan gaun putihnya, seolah dia bukanlah pengantinnya melainkan hantu wanita yang tengah berada bersamanya.Jika dia menginginkan rencana itu u
Elizabeth tak pernah mengharapkan bahwa dia terbangun dengan lengan Orvil yang masih melingkar di sekelilingnya.Dia telah berbalik di dalam tidurnya, membuat dada laki-laki itu menempel di punggungnya, sementara kedua lengan suaminya mengelilingi torso dan dadanya, tangan Elizabeth sendiri mendekap masing-masing punggung tangan laki-laki itu.Dan dia dapat merasakan bagaimana Orvil telah membenamkan wajah pada lehernya, kaki mereka bersilangan satu sama lain.Ini terlalu–Elizabeth harus mengatakan bahwa ini terlalu dekat baginya. Dia bahkan tak merasa bahwa posisi mereka sebelum tidur sedekat ini. Namun dengkuran Orvil begitu mengundang rasa kantuknya kembali hingga dia merasa bahwa dia dapat menunda pelarian dirinya.Lebih lagi, ini sangat, sangat, sangat, memalukan.Namun ketika dia bergerak, wanita itu dapat merasakan bagaimana suaminya mengerang, geraman terdengar seolah dia menyadari bahwa dia tengah ingin melarikan diri — melarang dengan mendekapnya lebih erat.Jadi Elizabeth
Elizabeth sedikit berharap bahwa akan ada yang mengganggu mereka. Mungkin itu adalah seorang pelayan yang datang untuk menyambut tuannya di pagi hari. Atau hanya sekedar ketukan burung-burung yang bertengger di jendela mereka.Namun tidak.Dia dapat merasakan bagaimana nafas laki-laki itu begitu hangat sementara dia semakin mendekat, atau bagaimana kepalan tangannya begitu tak dapat dia kendalikan hingga dia menduga bahwa dia mungkin akan mengeluarkan darah dari sana.Dan Elizabeth merasakannya.Bagaimana bibir itu menyentuh miliknya, dan dia tak pernah menduga bahwa Orvil memiliki bibir yang begitu lembut ketika berada di atasnya. Dia benar-benar tak menduga soal itu.Akan sangat memalukan jika dia mengakui itu — dia tak membutuhkan ego Orvil yang meledak ketika dia mengatakan itu tepat di depannya.Dan dia mungkin akan bisa mengabaikan bagaimana laki-laki itu tak bergerak sama sekali, bibir menempel di sana seolah menunggu apa yang akan dia lakukan.Dan Elizabeth sungguh-sungguh ber
“Orvil,” Elizabeth menegurnya, menoleh ke arah pintu yang masih terbuka, walaupun sulung Gellert tak lagi berada disana. “Kakakmu–”“Aku tak peduli dengannya.”Dan wanita itu membulatkan mata ketika mendengarnya. Ucapan itu terlalu tepat sasaran bahkan ketika dia melihat bagaimana mata laki-laki itu dipenuhi kabut nafsu.Haruskah mereka melanjutkan ini?Dia masih dapat merasakan keinginannya di antara kakinya, dan Elizabeth harus mengakui bahwa pakaian dalam yang dia kenakan telah kacau sekarang.Bahkan ketika ini bukan untuk rencananya sekali pun, Elizabeth merasa bahwa dia juga tak ingin menghentikan ini. Dia telah hampir tiba tadi, dan mungkin mereka memang harus melanjutkan ini.Jadi dia melakukan hal paling normal yang dilakukan seseorang ketika berada dalam kabut nafsu bersama pasangannya. Elizabeth menarik Orvil ke dalam sebuah ciuman.Dan dia dapat merasakan bagaimana suaminya membalasnya, menaikkan sudut bibirnya sementara dia mendekapnya erat, menariknya hingga berada di at
Elizabeth memperhatikannya bangkit dari duduknya, meletakkan gelasnya dan berpindah dari meja makan, sama sekali tak menghiraukannya.Dia mengikuti suaminya, dimana dia melihatnya menuju ruang tamu, mungkin dia akan pergi ke kantornya untuk hari ini, tak terlalu mengindahkan bagaimana mereka seharusnya berada pada masa tenang setelah pernikahan mereka.Wanita itu menahannya di lengan, memaksanya untuk menatapnya. Sementara dia dapat mendengar Orvil menghela nafas, beralih padanya untuk menunggu tentang apa yang akan dia katakan.“Semudah itu?”Laki-laki tersebut menaikkan alis, masih menatapnya. “Aku tak tahu apa yang tengah kau bicarakan.”“Kau tahu jelas apa yang kukatakan,” dia bersikeras. “Kau benar-benar akan menyiapkan bulan madu kita?”Orvil menatapnya, dengan pandangan yang sekali lagi tak dapat dia pahami. Mungkin dia harus benar-benar mempertanyakan jika dia dapat memahaminya. Takkan menjadi hal yang bagus baginya untuk selalu mempertanyakan apa yang sebenarnya laki-laki itu
Sejujurnya, Orvil tak tahu menahu tentang apa yang harus dia persiapkan untuk bulan madunya. Dia terpikir bahwa dia semestinya menganggap ini sebagai perjalanan liburan biasa, dimana dia akan menghabiskan waktu bersama seseorang yang disebut sebagai istrinya.Mungkin dia harus menyiapkan akomodasi dimana mereka akan beristirahat, lalu tempat yang bisa saja mereka kunjungi. Namun Orvil kembali mengalami krisis ketika menyadari bahwa dia tak pernah bertanya apa yang disukai Elizabeth.Atau bagaimana dia ingin menghabiskan harinya.Sekarang bukanlah saat dimana dia terlalu bangga untuk menanyakan hal itu padanya, namun dia telah berjanji untuk menyiapkan segalanya — mungkinkah Elizabeth akan meremehkannya jika dia tak menepati apa yang dia katakan?Mungkin dia akan membutuhkan bantuan kakaknya.Dia terduduk di depan mejanya, berkas-berkas yang telah dia selesaikan teronggok di depan sementara dia menghela nafas, menyentuh bagian tengah hidungnya di antara jemarinya.Pintu berderit terbuk
Orvil menatap kakaknya.Ada sedikit rasa tak terima yang dia rasakan ketika mendengarnya. Namun dia takkan mengatakan bahwa dia memahami setidaknya kenapa dia mengatakan semua hal itu pada Pentious.Aneh rasanya ketika dia mengatakan bahwa dia membebaskan Elizabeth untuk menemui siapapun yang dia inginkan, namun justru melarang satu-satunya orang yang sangat ingin dia ingin temui agar mereka tak bertemu.Aneh.Aneh sekali.Namun akan lebih aneh baginya untuk mengatakan bawa dia memiliki perasaan untuknya.Dia dan Elizabeth belum lama saling mengenal, bahkan dengan status mereka saat ini, keduanya sadar bahwa mereka berada dalam keterpaksaan.Laki-laki itu mengalihkan pandangan, enggan untuk melihat kakaknya yang menaikkan alis padanya, memberikan sebuah senyuman yang dia tahu tengah mengejeknya.“Apa kau meninggalkan istriku di rumah sendirian?”“Dia mengurung diri di ruangannya seharian,” ucap kakaknya. “Kau ingin aku memaksa masuk ke dalam sana. Aku yakin dia sedang bekerja.”“Aku t