Elizabeth mengedipkan kedua mata pada ayahnya, yang jelas sekali tengah menunggu jawabannya. Namun dia meraih gelasnya, mengangkat mereka ke samping kepalanya sehingga salah satu dari pelayan yang berada dia ujung ruangan datang dan mengisinya.
Noah menoleh padanya, mungkin menimbang kenapa dia menunda jawabannya ketika gadis itu telah mendatangi rumah tunangannya secara langsung tadi malam.
Yang termuda meneguk minumannya, menghela nafas. “Aku tak mengingat bahwa Ayah mengatakan permintaan itu padaku,” ucapnya. “Semestinya aku perlu diberitahu siapa tunanganku nantinya.”
Dia dapat melihat mata ayah mereka berkilat, dan sedikit lagi — tidak. Mungkin dia telah mencapai batas. Mungkin ayah mereka akan m
Sejujurnya, Orvil tak tahu apa yang dapat dia lakukan agar Jennifer tidak mengganggunya. Bukankah sudah cukup baginya untuk memiliki satu orang yang akan mengganggunya hingga dia menua nanti?Kenapa kakaknya harus ikut mengganggunya?Dia mengawasi Jennifer yang berkeliaran di ruang kerjanya, melihat-lihat arsipnya sambil sesekali menganggukkan kepala, seolah dia adalah seorang guru yang tengah menilai muridnya.Laki-laki itu memutar mata. “Kau benar-benar tak bisa berhenti ya?”Wanita itu menoleh, menutup arsip tersebut dan mengembalikannya ke dalam rak. “Tidak,” sahutnya. “Aku hanya ingin tahu tentang orang-orang ini.”“Kau bisa melihat stasiun televisi, ada banyak yang berasal dari
“Elizabeth,” panggilnya, dan Orvil merasakan sedikit kering di tenggorokannya secara tiba-tiba.Dia mendengar sebuah suara berdecit, lalu sedikit menebak bahwa gadis itu tengah duduk di atas ranjangnya. Itu membuatnya sedikit merasa tak enak. Namun terdengar sebuah helaan nafas dan decit itu berganti, lalu sebuah gemeretak yang mungkin ponselnya tengah diletakkan di tempat lain.“Ada apa?” tanyanya. “Kakakmu memberikan nomormu padaku. Aku tahu ini kau. Jadi ada apa, Orvil?”Orvil berdeham. Dia merubah pikirannya lagi. Jennifer terkadang sedikit menyebalkan. Laki-laki itu masih menyandarkan tubuh di kursinya, memutarnya sedikit sebelum menimbang apa yang harus dia katakan.
“Jadi,” mulai kakaknya.Orvil menghela nafas, meletakkan pisau dan garpunya. Dia tak begitu tertarik tentang ketertarikan Jennifer soal apapun di pagi ini. Atau bagaimana senyum wanita itu mengatakan bahwa dia akan mengatakan sesuatu yang menyebalkan. Lagi.“Aku takkan menjawab apapun,” dia membalas. “Simpan ucapanmu untuk dirinya sendiri.”Jennifer tertawa, meminum tehnya sebelum menghela nafas. “Aku tak merasa bahwa kau bisa membaca pikiranku,” ucapnya. “Bagaimana caramu tahu bahwa aku akan mengintip urusanmu.”“Kau selalu mengintip urusanku,” dia memutar mata. “Aku tak akan menjawab apa yang kau tany
Elizabeth memainkan ponselnya, berbaring di ranjang dengan gitar di sampingnya, kertas-kertas berserakan. Sedikit hari dimana dia bekerja dan membuat berantakan ruangannya.Selain hari-hari dimana dia bersama Pentious, dia akan menghabiskan waktu di studio-nya. Namun gadis itu merasa bahwa dia tak memiliki tujuan apapun kesana, tidak ketika pikirannya tak membantu untuk memikirkan nada apapun.Satu-satunya notifikasi hari ini adalah dari sisa semalam bersama Orvil — yang bahkan hanya samar-samar dia ingat. Mereka akan bertemu lagi nanti. Secepat itu.Gadis itu memutar mata, berbalik hingga merebahkan kepalanya pada ranjang. Pesta pertunangan sialan ini.Seharusnya dia lari saja.Elizabeth kembali menghela nafasnya. Jika
Mereka pasti menjebaknya.Jelas sekali.Ketika Elizabeth turun dari tangga yang membatasi ruangannya dan ruang bawah menuju ruang tamu, dia dapat melihat siluet seseorang disana, berdiri di depan jendela, jas hitamnya tersetrika rapi dan ketika dia berbalik, gadis itu dapat melihat kacamata bertengger di atas hidungnya.Orvil memiliki kacamata tanpa bingkai yang menunjukkan mata berkelopak satunya, tajam seperti seekor kucing. Dan kucing itu tengah berderap turun mengikutinya dari tangga.“Tilly!”Laki-laki itu menoleh ke arah bawahnya, dimana si kucing hitam telah menghampirinya dan berputar di kakinya, mengeong dan mengusapkan tubuh kesana.Dia menoleh pada Elizabeth
Orvil mengulurkan tangan padanya, dan Elizabeth mendongak untuk menatapnya. Laki-laki itu menampakkan senyumnya, seolah dia tengah mengelabui para wartawan yang berdiri di sekitar mereka.Gadis itu memperhatikannya, ada sedikit rasa enggan ketika dia menyadari kenapa kakak dan ayahnya membuat laki-laki itu menjemputnya.Ini akan menjadi pernyataan publik — publik seutuhnya bahwa mereka akan melaksanakan pernikahan mereka. Takkan ada yang diizinkan berbalik dari ini semua setelah dia menerima tangannya dan menjejakkan kaki keluar.Dan Elizabeth harus meneguhkan diri bahwa ini adalah untuk dirinya sendiri — bukan demi ayah, kakak, dan labelnya, melainkan sebuah jaminan dimana dia akan dapat berdiri sendiri.Dan dia akan berpegang teguh tentang itu.
Elizabeth dapat melihat keluarganya — ayah dan kakaknya, berdiri mengawasi dengan minuman di tangan. Dia dapat menyadari pandangan mereka, seolah penuh pengharapan bahwa dia telah mendekatkan diri pada laki-laki itu.Sayang sekali bahwa mereka harus terus berharap seperti itu, karena bahkan lengan Orvil di genggamannya terasa begitu dingin — tanpa tanda-tanda bahwa dia akan memberikan reaksi yang berbeda disana.Keduanya mendekat, lengan masih bertautan. Dan barulah Elizabeth melepasnya ketika mereka telah berada di depan satu sama lain, gadis itu berpindah untuk mendekat pada kakaknya.Noah mengeluarkan tawa, menggelengkan kepala ketika dia membisikkan kata-kata umpatan ke telinganya. Sementara Orvil dan ayahnya saling berjabat tangan, yang lebih tua menyeretnya pergi, membiarkannya berada di dekat meja minuman.“Bagaimana tadi?”“Apa?” tuntutnya, mata tajam walaupun tangan tetap menerima serahan gelas darinya. “Aku tak tahu apa yang kau bicarakan.”“Bagaimana tadi bersama tunanganmu
Jennifer tersenyum ketika dia melangkah ke arahnya. Wanita itu pasti begitu menyukai rambut merahnya, karena dia mengurainya begitu saja di atas punggungnya, sebagian terjepit di tengah.“Jadi,” mulainya. “Aku menduga bahwa adikku menjemputmu di rumahmu.”Elizabeth mengeluarkan tawanya. “Kau harus berterima kasih pada kakak dan ayahku untuk itu,” ucapnya. “Mereka membuat adikmu menjemputku — dan kau harus memberikan adikmu kredit untuk menurut saja.”“Aku pernah mengatakannya padamu, bukankah begitu?” sahutnya, mendekat padanya dengan senyuman yang masih terpatri disana. “Orvil sejujurnya adalah pribadi yang baik.”“Aku tak terlalu berpikir soal itu,” dia mengakui, menghela nafasnya. “Sedikit sulit untuk mempercayai itu, kau tahu.”“Aku tahu,” ucapnya, ikut menghela nafas. “Aku tahu itu dengan sangat jelas. Sulit sekali baginya untuk membuka diri.”Namun ketika Elizabeth menoleh padanya kembali, wanita itu memiliki binar dengan senyum yang lain, seolah dia mengetahui sesuatu yang tak
Ketika Elizabeth menjejakkan kaki untuk kembali ke kediaman para Gellert, dia dapat merasakan sesuatu yang jauh melebihi rasa mencekam — sesuatu yang sama sekali tak pernah dia rasakan ketika dia pertama kali datang kesana. Namun dia memahami itu, karena bahkan bagaimana pun, dia begitu menyadari bahwa kediaman ini takkan pernah menjadi rumahnya.Tak ada satupun yang berada disana, bahkan Jennifer, yang terkadang datang untuk menghampiri mereka. Hanya ada Orvil, dengan punggung menghadapnya sementara dia menatap ke luar jendela, sebuah gelas di genggamannya.Laki-laki itu menoleh padanya.Dan Elizabeth tak tahu apa yang harus dia lakukan atau bahkan katakan padanya. Tidak untuk sekarang ini. Tidak ketika dia menyadari betapa salahnya dia. Mungkin akan lebih baik baginya untuk menutup mulut dan diam, menerima apapun yang akan dia berikan padanya.Baik itu surat perceraian, atau bahkan jika Orvil kembali mengulurkan tangan untuk kembali berdansa dengannya dalam setiap tipu muslihat yang
Elizabeth dapat merasakan pandangan Noah, tatapan itu begitu tajam hingga dia yakin bahwa kakaknya dapat membunuhnya dengan itu. Dan ketika dia dapat mendengar langkahnya, sebuah bayangan menghadang.Veronica berada di depannya. “Kau tak bisa melakukan apapun padanya.”Wanita itu dapat melihat bagaimana mata kakaknya berkedut. “Minggir, Veronica,” ucapnya. “Ini adalah urusan para Leigh.”Elizabeth merasakan genggaman gadis itu padanya. “Kau tak bisa melakukan apapun padanya,” ucapnya lagi, seolah itu adalah hal yang mutlak. “Dia adalah Gellert sekarang.”Gellert.Nama itu menancapkan duri yang lain ke dalam hatinya. Karena Elizabeth dapat merasakan bahwa dia telah mengkhianati keluarga yang seharusnya menjadi miliknya sekarang.Dia telah berbohong pada Orvil.Dia telah berbohong pada Jennifer.Semua itu karena dia tak melihat mereka sebagai seseorang yang seharusnya dia hargai. Namun ketika dia memikirkannya lagi — bukankah itu berarti ayah dan kakaknya tak menganggapnya sebagai seora
Elizabeth tak tahu apa yang harus dia lakukan ketika dia terduduk di ruangan tamu para Martin.Pulang ke rumah adalah sesuatu yang akan sulit dia lakukan sekarang — terutama dengan apa yang terjadi padanya dan Orvil pagi tadi.Dia dapat melihat rasa terluka yang begitu kentara di wajahnya, dan itu membuat Elizabeth tak sanggup untuk menjelaskan apapun — apapun yang akan dia katakan akan berujung untuk semakin menyakitinya. Dia tahu akan itu.Dan ketika suaminya itu tak mengatakan apapun dan melangkah pergi menjauh darinya, Elizabeth menyadari bahwa dia takkan pernah bisa memperbaiki itu.Apapun itu, bahkan ketika dia telah memutuskan untuk melepaskan segalanya dan tetap bersamanya.Elizabeth takkan pernah memiliki rasa percaya dari Orvil kembali. Tidak setelah ini.Dia menangkupkan wajah ke kedua telapak tangannya, menghembuskan nafas ketika merasakan bahwa dia akan segera menangis.Dia tak pantas untuk itu.Walaupun dia ingin kembali untuk memohon padanya, Elizabeth tahu kapan untuk
Ketika Elizabeth terbangun di atas ranjangnya — ranjang Orvil, dia dapat merasakan dirinya tersenyum, memainkan dada yang ada di bawah telapak tangannya, jemari menelusuri kulit disana.Dengkuran laki-laki itu terdengar, nafas di atas rambutnya dan dia dapat merasakan betapa nyaman dirinya ketika pagi hari begitu lamban.Dia menoleh ke arah bantal yang mereka tinggalkan tadi malam di ruangan mereka, meninggalkan beberapa di setiap ruangan untuk berjaga jika Tilly mengantuk dan masih tak familiar dengan rumah barunya.Bantal tersebut kosong, dan Elizabeth harus menyimpulkan bahwa kucing tersebut berada di suatu bantal di ruangan lain.Ketika dia menoleh ke arah jam, Elizabeth dapat melihat angka enam tertunjuk di jarum pendeknya, membuatnya tergoda untuk menutup mata dan menyandarkan kepala kembali pada suaminya.Wanita itu tersenyum kecil.Mungkinkah ayah dan kakaknya akan menyadari bagaimana dia hendak melarikan diri?Mungkinkah mereka bertanya-tanya ketika dia tak dapat lagi dihubun
Orvil masih menatapnya, mengusapkan tangan pada wajahnya sementara mata melekat padanya. Laki-laki itu menaikkan alis.“Kau yakin?” dia bertanya. “Aku akan mengatakan bahwa entah kau terlalu naif atau kau menyembunyikan sesuatu. Dan mengenal dirimu, kita berdua tahu bahwa kau tak polos sama sekali.”Wanita itu terdiam, membalas tatapannya.Akan sangat lucu sekali jika dia tak menjawab apapun padanya, memastikan bahwa apa yang Orvil duga memiliki sedikit kebenaran di atasnya. Akan sangat lucu jika kedoknya diketahui dengan segera.Dia harus kembali ke rumahnya.Dia harus mengemban perjanjian yang tak dapat dia lalui.Dia harus mengucapkan selamat tinggal pada kebebasannya.Elizabeth menyentuh pipi suaminya, mengecup bibirnya kembali. “Tidak ada,” janjinya. “Aku hanya ingin kau mencintaiku.”Dia dapat melihat bagaimana mata Orvil berkedut, menyadari bahwa dia tak terlalu yakin tentang apa yang istrinya itu katakan. Namun dengan sebuah keajaiban — atau tidak, sebenarnya, laki-laki itu me
Elizabeth tak tahu apapun tentang pembicaraan apa yang ingin Orvil bicarakan, namun dia dapat melihat bagaimana laki-laki itu menatapnya, mencoba untuk bersikap baik-baik saja.Jadi wanita itu menganggukkan kepala, menurunkan Tilly kembali hingga kucing tersebut dengan bahagia masuk ke dalam belakang meja, yang harus dia akui membuatnya lega bahwa kucingnya tak berwarna putih.Dia mendongak, mendorong dirinya untuk berdiri di depannya, dekat dengannya hingga dia harus tetap menengadahkan kepala untuk melihatnya.“Apa yang ingin kau bicarakan?” mulainya.Dan Orvil mengalihkan pandangan. “Akan lebih baik bagi kita untuk tidak membicarakannya disini,” dia mengakui. “Aku tak yakin bahwa kakimu cukup kuat.”Mata Elizabeth membulat, berbalik ketika menyadari bagaimana suaminya tengah beranjak pergi melewatinya, mulut wanita itu terbuka penuh rasa tak percaya.“Otot kakiku cukup baik!”“Tentu saja, Sayangku,” sahutnya, tertawa — entah karena panggilan yang dia berikan atau karena humor yang
Tilly mengeong setiap kali mobil mereka berbelok, membuatnya mengulurkan jemari untuk mengelusnya.Mampir ke kediaman para Leigh adalah hal yang mudah, walaupun dia merasa bahwa dia tak pernah leluasa ketika dia berada di dalam sana — seolah ada sesuatu yang mencoba untuk menahannya jika dia ingin membuka diri disana.“Aku tahu,” gumamnya, menunduk pada kucing tersebut, yang mengeong kembali. “Apa kau merindukan tuanmu?”Tilly tak membalas, memilih untuk berputar di sekitar kerangkeng yang mengelilinginya. Itu sedikit membuat Orvil merasa bahwa dia sebaiknya melepaskannya. Namun ada sedikit rasa khawatir ketika menyadari bahwa dia tak mengenal kucing itu sama sekali, bahwa dia takkan mampu menenangkannya jika dia merasa tak nyaman.“Kita akan bertemu dengannya nanti,” dia berjanji. “Dia akan sangat senang ketika bertemu lagi denganmu,” ucapnya, tersenyum. “Kalian berdua.”Kucing hitam itu mendongak, menampakkan mata bulat ke arahnya, membuka mulut kembali dan mengeong. Dan Orvil berha
Orvil menatap kakaknya.Ada sedikit rasa tak terima yang dia rasakan ketika mendengarnya. Namun dia takkan mengatakan bahwa dia memahami setidaknya kenapa dia mengatakan semua hal itu pada Pentious.Aneh rasanya ketika dia mengatakan bahwa dia membebaskan Elizabeth untuk menemui siapapun yang dia inginkan, namun justru melarang satu-satunya orang yang sangat ingin dia ingin temui agar mereka tak bertemu.Aneh.Aneh sekali.Namun akan lebih aneh baginya untuk mengatakan bawa dia memiliki perasaan untuknya.Dia dan Elizabeth belum lama saling mengenal, bahkan dengan status mereka saat ini, keduanya sadar bahwa mereka berada dalam keterpaksaan.Laki-laki itu mengalihkan pandangan, enggan untuk melihat kakaknya yang menaikkan alis padanya, memberikan sebuah senyuman yang dia tahu tengah mengejeknya.“Apa kau meninggalkan istriku di rumah sendirian?”“Dia mengurung diri di ruangannya seharian,” ucap kakaknya. “Kau ingin aku memaksa masuk ke dalam sana. Aku yakin dia sedang bekerja.”“Aku t
Sejujurnya, Orvil tak tahu menahu tentang apa yang harus dia persiapkan untuk bulan madunya. Dia terpikir bahwa dia semestinya menganggap ini sebagai perjalanan liburan biasa, dimana dia akan menghabiskan waktu bersama seseorang yang disebut sebagai istrinya.Mungkin dia harus menyiapkan akomodasi dimana mereka akan beristirahat, lalu tempat yang bisa saja mereka kunjungi. Namun Orvil kembali mengalami krisis ketika menyadari bahwa dia tak pernah bertanya apa yang disukai Elizabeth.Atau bagaimana dia ingin menghabiskan harinya.Sekarang bukanlah saat dimana dia terlalu bangga untuk menanyakan hal itu padanya, namun dia telah berjanji untuk menyiapkan segalanya — mungkinkah Elizabeth akan meremehkannya jika dia tak menepati apa yang dia katakan?Mungkin dia akan membutuhkan bantuan kakaknya.Dia terduduk di depan mejanya, berkas-berkas yang telah dia selesaikan teronggok di depan sementara dia menghela nafas, menyentuh bagian tengah hidungnya di antara jemarinya.Pintu berderit terbuk