Mohan masih memantau rumah Inka dari jarak yang tak terlalu jauh, ia sengaja menunggu Inka keluar di dalam mobilnya. Sebenarnya, ia sangat ingin kembali mengetuk pintu rumah Inka kembali. Tetapi, Mohan masih sadar diri untuk tidak membuat keributan di pagi hari di rumah orang lain.
Jadi untuk itu, ia akan tetap menunggu Inka sampai keluar. Meskipun Mohan tidak yakin jika Inka bakalan keluar rumah.Wajah Mohan berubah ceria saat ia melihat Inka keluar dari rumahnya bersama ayahnya. tampak ayah Inka naik ke sepeda motor miliknya, ayah Inka menghidupkan mesin sepeda motornya kemudian berpamitan pada Inka.Inka melambaikan tangannya pada sang ayah yang melesat pergi meninggalkan rumah, Mohan tahu jika ayah Inka pergi bekerja. "Mama, aku pamit pergi sebentar ya!!" teriak Inka dari luar rumah berpamitan pada ibunya.Mohan tersenyum melihat Inka, kebiasaannya yang seperti itu masih sama, Inka-nya masih seperti yang dulu. Manis, lucu, manja, dan masih tetap menggemaskan.Mohan bersiap-siap menghidupkan mesin mobilnya saat melihat Inka keluar dari rumahnya dan memanggil tukang ojek yang mangkal dekat sekitar area perumahan. Rencananya hari ini Mohan akan terus mengikuti segala aktivitas Inka satu harian penuh.Istilahnya, Mohan akan jadi PENGUNTIT Inka. Mohan meringis saat ia menyebut dirinya sendiri sebagai penguntit.Mohan masih tetap saja terus mengikuti Inka dari belakang. Cukup lama Mohan mengikuti Inka, lalu ojek yang Inka tumpangi berhenti di sebuah rumah.Inka turun dan membayar uang ongkos ojeknya. Dahi Mohan berkerut bingung melihat Inka ke rumah tersebut. Mau apa dia kerumah itu? batin Mohan bertanya-tanya.Mohan ingin ikut masuk ke dalam rumah itu, ia ingin melihat apa yang dilakukan Inka di dalam sana. Tapi, lagi-lagi otak warasnya mencegah dirinya untuk tak berbuat nekat.20 menit kemudian..."Kenapa dia lama sekali!" dengus Mohan seraya melirik arloji mahalnya yang melingkar di tangan kanannya.Kesal sudah Mohan menunggu Inka yang tak kunjung keluar dari rumah itu. Sebenarnya, apa sih yang di lakukan perempuan itu di dalam sana!"Apa aku harus menyusulnya," Mohan seakan tengah berpikir dan menimbang-nimbang antara ingin menyusul Inka ke dalam sana, atau tetap setia menunggu Inka di dalam mobilnya.Tak tahan juga akhirnya Mohan pun memutuskan untuk menyusul Inka. Gerakan Mohan yang ingin melepaskan saefty belt-nya terhenti ketika melihat Inka keluar dari rumah tersebut bersama satu orang wanita lainnya.Mereka berdua terlihat tampak sedang terlibat sebuah obrolan serius sambil di selingi canda tawa. Mohan tak tahu apa yang sedang mereka bicarakan.Inka melambaikan tangan pada temannya sebelum berpamitan pergi. dan Mohan sih penguntit kembali sigap mengikuti kemana pun Inka pergi.********Lelah, hampir sudah setengah harian Mohan mengikuti Inka bak bodyguard mengikuti majikannya. Hingga siang hari ini yang terasa sangat panas, Inka memutuskan makan di cafe yang cukup ramai.Mohan sangat bersyukur karena Inka memilih cafe, setidaknya Mohan bisa beristirahat sebentar dan makan siang untuk mengganjal perutnya yang sedari pagi belum di isi asupan makanan sama sekali.Setelah mengatakan menu yang di inginkannya pada pelayan, tak lama pesanannya pun datang.Mata Mohan tak pernah berhenti terus memantau Inka dari kejauhan di tempat duduk yang sekarang ini ia duduki. Beruntunglah karena Inka duduk membelakanginya, sehingga Mohan dengan bebas dan tak perlu menutup wajahnya agar tak kelihatan Inka.Inka terlihat begitu sangat lahap menyantap pesanannya. Hampir setengah harian ini ia berkeliling dan mendatangi rumah temannya, berharap jika temannya itu mungkin memiliki lowongan pekerjaan untuknya bekerja. Dimana pun dan apapun pekerjaannya selagi halal, maka tentu saja Inka mau dan bersedia bekerja.Tapi sayangnya, temannya tadi mengatakan jika ia tak ada lowongan pekerjaan untuk Inka di tempatnya bekerja. Dan temannya itu berpesan, jika nanti ada lowongan pekerjaan maka ia akan dengan senang hati mengabari Inka.Inka pun tersenyum puas mendengar ucapan temannya yang seperti menjanjikan. Setelahnya Inka kembali mendatangi rumah temannya yang lain, barangkali ada lowongan pekerjaan untuknya.Lelah karena pada akhirnya jawaban yang Inka dapat tetap sama. Inka pun tak patah semangat mendengarnya, setidaknya ia sudah berusaha bukan?Rasa lapar, dahaga dan lelah. Membuat Inka terdampar ke tempat ini, beruntung Inka masih mempunyai sedikit uang untuk makan disini.Cafe yang tak terlalu besar dengan harga makanan yang masih dapat di jangkau dompetnya. Sehingga membuat cafe ini selalu ramai pengunjung, termasuk Inka yang sering datang kemari.Inka merasa jengah saat dari tadi dirinya di tatap seperti itu oleh seorang pria. Pria yang menurut Inka sangat genit, menatapnya dengan tangan menumpu di dagu dan tersenyum manis.Harus Inka akui sih, jika pria itu sangat tampan dan... Ah tidak, Inka menggelengkan kepalanya saat kata seksi terlintas di pikirannya.
Merasa jengah terus di perhatikan, dengan cepat Inka menghabiskan makanannya dan bersiap pergi. Tapi, pria itu kini mendekat ke arah tempatnya dan duduk di depannya, seakan mencegah Inka untuk pergi."Apa?!" tanya Inka galak dengan mata melotot. Pria itu bukannya merasa tersakiti malah kini tergelak, tertawa geli melihat tingkah Inka yang lucu di matanya.Dan hal itu tak luput dari pengamatan Mohan. Mohan terlihat duduk gelisah melihat Inka bersama seorang pria yang tak di kenalnya. Apalagi pria yang kini bersama Inka menebarkan senyum yang menurut Mohan seperti tertarik pada Inka."Sialan!" geram Mohan mengepalkan tangannya.Siapa pria itu?"Kenapa tertawa, huh?!" tanya Inka dengan masih memakai intonasi suara yang marah, dan mata melotot.Semua itu Inka lakukan agar pria asing yang aneh ini takut padanya. Tapi, yang ada bukannya takut. malah pria itu tertawa cekikikan.Apa dia gila?batin Inka was-was.Inka melipat kedua tangannya di dada dan membuang muka ke arah lain, jengah plus jengkel dengan pria sinting ini.Pria itu menghentikan tawanya, sedikit berdeham agar menormalkan suaranya yang tadi habis tertawa."Nona cantik, apa aku boleh mengenalmu? Ehmm, maksudku, boleh berkenalan?" tanya pria itu membuka obrolan yang pertama kalinya di antara mereka berdua.Mau minta berkenalan toh rupanya.dengus Inka dalam hatinya.Inka memutar kembali wajahnya ke arah pria itu, menatap tepat ke wajah tampan yang murah tersenyum.Inka berdeham seraya mengulurkan tangan kanannya ke arah pria itu yang langsung di sambut hangat olehnya."Inka Maharani," beritahu Inka dengan nada
Mohan pulang dengan rasa amarah yang luar biasa, bagaimana mungkin ia bisa kehilangan jejak Inka saat keluar dari cafe tadi. Mohan tak menghiraukan tatapan takut dari bi Mirna sang asisten rumah tangga yang bekerja di rumahnya.Mohan melangkahkan kakinya menaiki tangga menuju kamarnya yang ada di lantai atas.Cklek...Amarah Mohan mendidih begitu membuka pintu kamarnya dan melihat tubuh seorang wanita yang nyaris telanjang. Wanita yang dengan santainya tidur di ranjangking size-nyahanya mengenakan pakaian dalam saja, belum lagi berpose seksi bak model majalah dewasa."Apa yang kau lakukan di sini!!!" bentak Mohan menggelegar.Wanita itu bukannya takut malah tersenyum manis menyambut kedatangan Mohan."Siapa yang mengizinkan mu menginjakkan kaki ke rumah ku!!" lagi Mohan membentak, rasanya amarahnya yang sejak tadi tak bisa ia tahan lagi."Bi Mirna!!!!!" teriakan Mohan kali ini yang memanggil nama bi Mirn
Habis yang bikin kesel2 gemes, sekarang aku kasih yang manis-manis kyak akohInka tersadar jika ia kehilangan tasnya saat kejadian memalukan di cafe seminggu yang lalu. Inka mendesah lirih karena merasa kehilangan tas kesayangannya, tas selempang sederhana yang begitu sangat ia sayangi. berat rasanya jika kehilangan tas itu. tapi mau bagaimana lagi, di cari pun tak mungkin ketemu lagi, kan?Untung saja ponsel Inka tak ikut tertinggal di dalam tas itu, saat itu ponsel miliknya sengaja Inka kantongi di dalam celana jeans yang saat itu ia kenakan. Kebiasaan Inka untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu hal yang tak mengenakan, dan hal itu pun benar adanya, di saat ia kehilangan tas tetapi ponselnya tetap aman bersamanya.Tetapi, Inka harus merelakan uangnya yang tak banyak di dalam tas itu. Tak apalah, Inka bisa mencarinya lagi, mungkin memang bukan rezekinya memiliki uang itu."Huffftt," helaan nafas kasar Inka.Sampai sekarang Ink
"Selamat pagi Kanz." sapaan ceria Inka pada Kanz dan satu teman prianya.Kanz terperangah dengan penampilan Inka hari ini, Inka sungguh luar biasa sangat cantik."Selamat pagi juga Inka," Kanz membalas sapaan Inka setelah dirinya tersadar jika sudah terlalu lama mengangumi Inka."Apa aku terlambat di hari pertamaku bekerja?" tanya Inka cemas, karena ia memang sangat sulit untuk bangun pagi dan belum lagi berdandan.Kanz menggeleng. "Tidak Inka, lagian juga kita mulai buka jualannya agak siangan."Kepala Inka manggut-manggut sambil mulutnya menggerakkan huruf O."Oh iya, kenalkan ini temanku. Namanya, Bio." ujar Kanz memperkenalkan temannya."Hai, aku Bio." teman Kanz memperkenalkan dirinya seraya mengulurkan tangan ke arah Inka."Bio-Biodata?" kekeh Inka merasa geli mendengar nama teman Kanz ini."Bisa jadi," gurau Bio yang tak mempermasalahkan hal itu."Aku, Inka Maharani. Ehmm, kau bisa memanggilku Inka saja."
Mohan sudah sampai di tempat janji temu dengan kliennya, kliennya meminta pertemuan mereka di lakukan di luar kantor. Dan disinilah Mohan berada, menunggu sang klien sampai di cafe yang sudah mereka pesan.Cukup lama Mohan menunggu, tak lama seorang pria paruh baya namun masih terlihat sangat tampan dan gagah.Mohan langsung berdiri dari duduknya menyambut sang klien. "Selamat siang tuan Hans Laurent."Mohan mengulurkan tangannya ingin berjabat tangan dengan tuan yang ia panggil Hans Laurent itu. Tuan Hans Laurent menyambut uluran tangan Mohan."Selamat siang juga tuan Mohan.""Ah, mari silahkan duduk." Mohan mempersilakan tuan Hans untuk duduk di kursi di depannya."Terima kasih," balas tuan Hans seraya duduk."Baiklah, mari kita mulai saja tujuan kita kesini. Tentang rencana kerjasama mengenai bisnis kita."Tuan Hans mengangguk. "Tuan Mohan bisa memulainya lebih dulu."Mohan tersenyum dan langsung berbicara mengenai bi
Kanz menoleh ke belakang saat merasakan punggungnya di tepuk seseorang. Wajah wanita yang belakangan ini menarik sekaligus memikat hatinya lah sebagai pelaku yang menepuk punggungnya."Inka, ini sungguh kau?" tanya Kanz takjub sekaligus pangling dengan penampilan Inka hari ini.Inka mengangguk seraya tersenyum geli melihat tingkah Kanz yang seperti hampir tak mengenalinya."Iya, ini aku Inka, Kanz!" ucap Inka nyaris teriak gembira."Astaga! Aku hampir saja tak mengenalimu loh." kekeh Kanz mengacak rambut baru berponi Inka.Inka mendengus sebal seraya menepiskan tangan Kanz yang mengacak rambut barunya."Pipimu jadi kelihatan tirus Inka," goda Kanz memperhatikan wajah Inka dengan jarak dekat."Mana pipi cabimu yang selalu bikin aku gemas ini." Kanz mencubit gemas kedua pipi Inka, membuat Inka mengadu kesakitan."Uhm, sakit Kanz!""Masa sih? aku kan cuma menyubit pelan pipimu, seperti ini—" Inka langsung menghenti
Kanz menatap jalanan dari jendela rumah kontrakannya, rumah kontrakan sederhana yang ia sewa bersama Bio. Sedikit banyaknya Bio tahu tentang kehidupan seorang Kanzeel Laurent."Kau berbohong padanya Kanz," ujar Bio pada Kanz yang saat ini fokus menatap ke arah jalanan.Kanz sama sekali tak bergeming dengan ucapan temannya itu, membuat Bio merasa gemas melihatnya."Ayolah Kanz, sebaiknya kau jujur saja pada Inka mengenai dirimu yang sebenarnya." sambung Bio lagi agar Kanz mau jujur pada Inka."Aku takut dia tidak akan menerima ku lagi sebagai temannya, kau tahu kan Bio, hubungan pertemanan kami baru saja di mulai." lirih Kanz sedih."Dia akan lebih terluka jika kau tak jujur dari awal padanya Kanz, dia akan menganggap jika kau hanya memanfaatkan dirinya saja dengan kebohonganmu."Kanz terdiam, tampak ia sedang mencerna ucapan temannya yang sebenarnya ada benarnya juga."Aku tidak bisa Bio, Maaf." lirih Kanz lagi yang kini bangkit berdiri dan berjala
Bio mengkode pada Inka jika Mohan sudah pergi, secepat kilat Inka melepaskan pelukannya pada Kanz, menendang kaki Kanz serta mendorong tubuhnya. Membuat Kanz yang tak siap pun terjengkang jatuh terhempas ke belakang."Awhh!" ringis Kanz kesakitan saat punggungnya jatuh menyentuh tanah dan nyeri pada kakinya yang di tendang Inka."Rasakan itu!" ledek Inka kesal pada Kanz.Kanz dengan cepat bangkit berdiri susah payah dan langsung meraih memegang tangan Inka, tapi dengan cepat pun Inka menepisnya."Jangan sentuh aku, dasar pembohong!" umpat Inka menatap nyalang Kanz.Bio hanya terdiam di tempatnya tanpa bisa membantu ataupun menengahi suasana yang terjadi antara Kanz dan Inka."Dengarkan aku dulu Inka-""Tidak!""Aku bisa jelasin semuanya-""Tidak!" sentak Inka cepat dan selalu memotong ucapan Kanz.Hhhhh. Kanz menghela nafasnya berat seraya menghembuskan nafasnya kasar."Kau bilang, jika kau terlahir dari keluarga tak mampu dan s
"Ciyeee, selamat sayangku!" teriak Kanz naik ke atas pelaminan untuk menyalami sepasang pengantin.Kanz langsung mendekatkan wajahnya mencium pipi kanan dan kiri Inka, kemudian Kanz memeluk Inka sambil kepalanya mengarah ke arah Mohan dan memeletkan lidahnya.Mohan melotot pada Kanz yang tengah mengejeknya, meskipun begitu Mohan tetap membiarkan Kanz yang memeluk Inka karena Mohan sekarang tak merasa cemburu pada pria itu, bahkan saat Kanz memanggil Inka dengan sebutan sayang sekali pun. Mohan sudah menganggap Kanz sebagai teman baiknya, sebab pria itu yang selama ini telah membantu memperbaiki hubungannya dengan Inka yang sempat terpisah."Bagaimana perasaanmu Inka?" tanya Kanz setelah melepaskan pelukannya.Inka tersenyum tersipu, "luar biasa, sangat bahagia!" kata Inka nyaris menjerit bahagia.Kanz tersenyum dan beralih menatap Mohan, matanya menyipit memperhatikan Mohan dari bawah ke atas. "Hmm, kau tampan juga ternyata kalau di dan
Hari yang dinanti akhirnya pun tiba, setelah menunggu beberapa hari yang waktunya terasa sangat lama berputar. Kini tiba saatnya Inka dan Mohan akan resmi menjadi suami istri setelah melewati hari ini.Semua orang tampak berbahagia menyambut suka cita hari pernikahan Mohan dan Inka. Tak terkecuali termasuk sepasang mempelai pengantin yang tampak menyambut antusias hari ini, raut keduanya pun tampak tegang kerena rasa gugup yang menjalari.Barusan Inka keluar dari ruangan rias khusus pengantin, Inka di dandani secantik mungkin dengan gaun pengantin yang sangat indah. Mohan benar-benar memberikan segala sesuatunya yang terbaik untuk hari pernikahannya yang kedua.Memang, ini pernikahan kedua bagi Mohan. Tetapi, pernikahan pertama yang dapat Mohan rasakan dengan perasaan bahagia yang membuat dadanya membuncah gembira.Inka keluar dengan di iringi iringan-iringan pengantin dan musik orkestra yang mengalun merdu yang mengiringi setiap langkah
Inka dan Mohan sama-sama sudah tidak sabar menunggu hari pernikahan mereka tiba. Tak perlu waktu lama bagi Mohan untuk mempersiapkan segala keperluan pernikahannya, kini tinggal menunggu seminggu lagi bagi mereka untuk melangsungkan pernikahan."Kau senang sayang?" tanya Mohan.Inka menggeleng, "aku bahkan sangat gugup menunggu hari itu tiba yang akan datang sebentar lagi. Huffftt!" desah Inka menenggelamkan wajahnya ke meja makan di rumah Mohan."Santai sayang, jangan merasa gugup." Mohan sebenarnya juga merasa tersiksa melihat Inka yang selalu merasa gugup apabila mengingat hari pernikahan mereka.Inka mengangkat kepalanya dari meja, "berapa tamu undangan yang akan hadir ke acara pesta pernikahan kita?" tanya Inka penasaran."Tak banyak, palingan banyak dari kalangan sesama pebisnis dan teman-temanku saja.""Hanya itu?" Mohan mengangguk."Kenapa?" tanya Mohan sembari merapikan anak rambut Inka.Inka mengigit bibir
"Sudahlah, mari kita mulai lupakan semua hal yang telah berlalu, melupakan semua hal yang menyakitkan. Dan mari kita mulai memikirkan masa depan, memikirkan hal baik yang akan kita lalui selanjutnya." kata Bu Ina tak ingin ada kesedihan lagi bagi keluarganya."Mulai pikirkan dari sekarang rencana pernikahan kalian." kata ayah Inka membuka suaranya yang tiba-tiba membahas soal pernikahan Inka dan Mohan."Pernikahan?" pekik Mohan dan Inka secara bersamaan.Ayah Inka mengangguk, "tentu kalian ingin hubungan ini sampai ke jenjang pernikahan, kan?" tanya ayah Inka.Inka dan Mohan kompak menganggukkan kepalanya lagi, "tentu ayah," Inka tersenyum bahagia."Makanya cepat mulai di pikirkan dari sekarang." kata ayah Inka lagi sebelum beranjak pergi dari situ."Benar apa kata ayahmu Inka, ibu setuju dan kalian mulailah memikirkan rencana pernikahan kalian." Bu Ina mengedipkan sebelah matanya menggoda dan ikut bangkit berdiri menyusul suaminya.I
Inka menggenggam tangan Mohan yang tampak sedikit gemataran karena gugup dengan malam ini. Sesuai dengan permintaan sang ibu yang menyuruhnya untuk mengundang Mohan agar datang malam ini ke rumahnya. Awalnya Mohan menolak dan syok mendengarnya, tapi Inka menjelaskan pada Mohan jika kedua orang tuanya sudah memaafkan dan merestui hubungan mereka.Meskipun begitu tapi tetap saja bagi Mohan rasanya sangat gugup dan canggung. Terlebih lagi beberapa waktu yang lalu kedua orang tua Inka menunjukkan sikap ketidak sukaan yang terkesan sangat membenci Mohan. Lalu dengan tiba-tibanya secara mendadak Inka mengabarkan kabar yang membahagiakan.Mohan tentu saja sangat bahagia, namun ia juga tak ingin jika kebahagiaannya itu hanya candaan dari orang tua Inka saja. Mohan tak ingin jika ini hanyalah sebuah mimpi yang indah.Kanz yang duduk di depan mereka berdua pun terkekeh melihat sikap gugup yang Mohan tunjukkan. Mohan bahkan sampai mendelikkan matanya agar Kanz berhen
"Ibu!" pekik Inka senang begitu membuka pintu kamarnya dan melihat sang ibu yang tengah berdiri di ambang pintu.Bu Ina menatap putrinya dengan tatapan sendu, melangkah mendekati Inka dan memeluknya. Mendapat perlakuan yang manis seperti itu dari ibunya, Inka sempat tertegun untuk beberapa saat dengan mata mengerjap berulang kali.Benarkah ini nyata? Benarkah ternyata saat ini yang tengah memeluk Inka adalah ibunya.Ragu-ragu tangan Inka bergerak ingin membalas pelukan Bu Ina. Syok saat mendengar suara isakan sang ibu yang terdengar sangat pilu."Ibu, tidak apa-apa?" Inka memberanikan dirinya bertanya pada Bu Ina.Beliau tidak menjawab pertanyaan putrinya dan lebih memilih semakin mengeratkan pelukannya. Suara isakan tangis Bu Ina pun semakin kuat, Inka tentu sangat kalut dengan ibunya yang menangis.Melepaskan pelukan, Inka menangkup kedua pipi ibunya. "Ibu, ada apa?" tanya Inka panik dengan mata berkaca-kaca.Bu Ina memegang k
Kanz baru sampai rumah yang langsung di sambut kedua orang tuanya, pak Hans dan bu Seina mengernyit melihat putra mereka yang pulang lebih lama dari biasanya."Lembur?" sapa pak Hans bertanya alasan mengapa Kanz pulang lebih lama hari ini."Tidak pa, aku habis dari rumah Inka." jawab Kanz jujur.Bu Seina dan pak Hans saling pandang setelah mendengar jawaban Kanz, kompak menggelengkan kepala melihat sikap Kanz yang pasti akan lupa waktu jika bersama Inka.Kanz melihat gelagat aneh dari kedua orang tuanya, "jangan salah paham, ke rumah Inka karena ada sedikit masalah jadi aku berusaha membantunya.""Masalah?" pekik sepasang suami istri itu kompak. "Masalah seperti apa?""Hanya sebuah kesalah pahaman saja antara Inka dan orang tuanya." tukas Kanz melirik secara bergantian ke arah mana dan papanya yang menatapnya dengan tatapan penasaran."Aku tidak mungkin menjelaskan secara detail kepada mama dan papa, intinya ini juga berka
Kanz melirik ke arah pintu utama rumah Inka yang terbuka sejak tadi, dimana berdiri ayah Inka yang hanya berdiam diri menyaksikan istri dan anaknya yang tengah bertengkar. Kanz tidak habis pikir dengan jalan pikiran ayah Inka, bukankah seharusnya pria itu melerai pertengkaran ini? Tapi, melihat keterdiaman ayah Inka Kanz sedikit berpikir jika kemungkinan saja ayah Inka termasuk suami takut istri."Ibu, tenangkan dirimu dulu, sebaiknya kita bicarakan ini secara baik-baik." bujuk Kanz sehati-hati mungkin."Diam kamu!" bentak ibu Inka. "Kenapa kamu masih disini juga? Bukankah saya sudah mengusirmu."Kanz kembali menelan air liurnya, sosok Bu ina malam ini benar-benar sangat tampak sangar dan mengerikan."Saya tidak akan pergi dari sini, saya tidak akan meninggalkan Inka menghadapi semua ini seorang diri. Bagaimana pun juga saya rasa ini hanya sebuah kesalah pahaman belaka Bu.""Berhenti memanggilku ibu!" seru Bu Ina marah mendengar K
"Kenapa diam saja?" tanya Kanz memperhatikan Inka yang sedari tadi hanya diam, bahkan saat sedang bersama Mohan pun Inka juga diam tak banyak bicara.Saat ini mereka berdua tengah di dalam mobil Kanz, seperti biasa Kanz menjemput Inka setiap pagi dan mengantarkan Inka pulang pada malam harinya."Entah kenapa perasaanku tak enak Kanz, aku merasa seperti sedang terjadi sesuatu hal yang buruk." ungkap Inka mengatakan hal yang meresahkan hatinya sejak dari tadi."Jadi, apakah karena itu kau hanya diam saja?" Inka mengangguk."Perasaan ku tak tenang Kanz." ungkap Inka lagi makin cemas.Kanz yang melihat kecemasan Inka pun ikut merasakan tak tenang, Kanz memberhentikan seraya menepikan mobilnya di pinggir jalan yang tak terlalu ramai."Jadi, bagaimana?" tanya Kanz menatap Inka."Entahlah, aku merasa takut ingin pulang ke rumah." lirih Inka yang juga menatap Inka dengan raut wajah memucat."Apa sebaiknya kau tidak usah pulang? B