Habis yang bikin kesel2 gemes, sekarang aku kasih yang manis-manis kyak akoh
Inka tersadar jika ia kehilangan tasnya saat kejadian memalukan di cafe seminggu yang lalu. Inka mendesah lirih karena merasa kehilangan tas kesayangannya, tas selempang sederhana yang begitu sangat ia sayangi. berat rasanya jika kehilangan tas itu. tapi mau bagaimana lagi, di cari pun tak mungkin ketemu lagi, kan?
Untung saja ponsel Inka tak ikut tertinggal di dalam tas itu, saat itu ponsel miliknya sengaja Inka kantongi di dalam celana jeans yang saat itu ia kenakan. Kebiasaan Inka untuk berjaga-jaga jika terjadi sesuatu hal yang tak mengenakan, dan hal itu pun benar adanya, di saat ia kehilangan tas tetapi ponselnya tetap aman bersamanya.Tetapi, Inka harus merelakan uangnya yang tak banyak di dalam tas itu. Tak apalah, Inka bisa mencarinya lagi, mungkin memang bukan rezekinya memiliki uang itu."Huffftt," helaan nafas kasar Inka.Sampai sekarang Inka masih kepikiran dengan Mohan. Kenapa bisa pria itu ada di sana seminggu yang lalu? Hal itu masih menjadi tanda tanya besar bagi Inka. Bukankah Inka sudah resign dari pabrik sialan miliknya itu.Jadi, untuk apa Mohan bisa ada di sana. Apa cafe itu juga milik Mohan? batin Inka bertanya-tanya.Semuanya terasa aneh bagi Inka, kalaupun memang pertemuan memalukan itu karena dasar unsur kesengajaan, tapi tetap saja rasanya terasa mengganjal untuk Inka.Karena Inka masih melamun memikirkan antara sengaja atau tidak sengaja, Ina sang ibu masuk ke dalam kamar Inka, putrinya."Memikirkan apa, huh?" bisik bu Ina di telinga Inka."Aaaaa!" kaget Inka tersentak, suara bisikan mamanya terasa merinding di kulitnya."Mama, bikin kaget Inka aja!" rungut Inka kesal.Bu Ina terkekeh melihat anaknya. "Makanya jangan melamun saja, mama sudah ketuk pintu dan panggil nama kamu juga." elak bu Ina tak mau di salahkan.Inka tak menjawab lagi ucapan mamanya, bu Ina memilih duduk di samping putrinya yang duduk di tepi ranjang kamarnya."Katakan, apa yang sedang kamu pikirkan Inka?" tanyanya."Ehmm, tidak ada ma." jawab Inka cepat agar mamanya tak curiga.Bu Ina memperhatikan gerak-gerik tubuh putrinya yang tampak gelisah. "Sungguh?" pancing bu Ina meyakinkan jawaban Inka."Mo-mohan...." ucap Inka tanpa sadar menyebutkan nama sang mantan.Darah bu Ina terasa mendidih mendengar nama pria yang sangat ia benci. Dan nama itu pula yang keluar dari mulut Inka.Bu Ina bangkit berdiri dari duduknya, merasa kesal melihat sang putri yang sepertinya masih terbayang-bayang akan masa lalu menyakitkan itu."Apa kamu masih mencintai pria ba****an itu?" pertanyaan bu Ina membuat Inka gelabakan."Tidak, mama. A-aku hanya sedang berpikir karena merasa heran saja." "Heran bagaimana maksudnya?" "Seminggu yang lalu aku di permalukan oleh Mohan sih berengsek itu." "Di permalukan bagaimana maksudmu?" tanya bu Ina lagi merasa penasaran.Inka pun menceritakan kejadian memalukan seminggu yang lalu di cafe. Kedua mata bu Ina membelalak kaget mendengar penuturan sang anak.Apakah itu artinya Mohan menguntit Inka? batin bu Ina menebak dengan tepat."Kurang ajar!!" teriak bu Ina marah."Berani sekali dia mengatakan itu di depan banyak orang, dan bikin malu putriku." bu Ina menangkup kedua pipi tirus nan lembut milik Inka."Inka, mama mohon sekali sama kamu. Agar tak kembali terjerat dengan Mohan, mama yakin ini hanya jeratan palsu yang kembali Mohan lakukan untukmu, nak." pinta bu Ina sedih.Inka mengangguk. Namun ia tak mengucapkan kata, baik itu menjanjikan permintaan mamanya ataupun menolaknya.Bu Ina memeluk tubuh ramping Inka, berdoa semoga saja tidak terjadi hal buruk dan menyakitkan di kehidupan Inka ke depannya. Bu Ina berharap semoga mahluk yang bernama Mohan itu jauh-jauh sejauh mungkin dari hidup Inka.****** "Bang, jus jeruknya satu." ucap Inka pada abang-abang penjual jus keliling menggunakan food truck.Pria penjual jus itu menoleh ke arah Inka dan seketika wajahnya tersenyum ceria. Inka yang memainkan ponselnya pun tak begitu terlalu memperhatikan."Satu pesanan jus jeruk spesial untuk wanita cantik, Inka Maharani." mendengar namanya di sebut secara otomatis Inka menoleh ke arah depan."Hai," sapa Kanz menggerakkan ke lima jarinya.Inka mengerjap-ngerjapkan matanya berulang kali, memastikan penglihatannya agar tak salah mengenali orang. Inka memang seperti pernah melihat pria ini, sih Abang penjual jus, tapi dimana?Terlihat Kanz berbicara pada teman sejawatnya yang sama-sama menjual jus bersama. Temannya itu menganggukkan kepalanya dan Kanz keluar dari food truck."Ini!" Kanz menyerahkan satu cup jus jeruk pesanan Inka.Inka menerimanya namun masih dengan pandangan yang mengingat-ingat. Oh, sepertinya Inka masih belum mengingat Kanz."Masih ingat aku?" tanya Kanz gemas melihat ekspresi raut wajah Inka yang bingung.Kepala Inka menggeleng, dan Kanz menepuk jidatnya pelan."Cafe," ujar Kanz mencoba mengingatkan Inka dimana mereka bertemu untuk pertama kalinya."Ah, iya. Kau Kanz...." "Kanzeel, Kanzeel Laurent." potong Kanz memperkenalkan lagi nama lengkapnya pada Inka."Nah, iya benar. Kita bertemu lagi." ujar Inka seraya tersenyum senang."Eh, kau bekerja sebagai penjual jus keliling menggunakan bus?" Kanz mengangguk.
"Waah, hebat!" bangga Inka mengacungkan satu jari jempolnya pada Kanz."Terima kasih," jawab Kanz tersenyum senang. "Tapi, hebat bagaimana maksudmu?""Ya, hebat. Menurutku kau hebat, mandiri. Sebagai pria kau tidak malu usaha berjualan berkeliling seperti ini. Aku bangga padamu Kanz." "Yang penting halal Inka, lagian kenapa aku harus malu?" Inka mengangguk. "Nah, iya benar juga. Yang terpenting halal ya kan, Kanz." "Kau sendiri bagaimana? Sudah dapat pekerjaan baru?" Inka menggelengkan kepalanya lemas."Yang sabar, aku yakin pasti kau akan mendapatkan pekerjaan baru.""Amiinn." ucap Inka mengaminin doa Kanz."Ehmm, tapi Inka. Bagaimana jika kau ikut bergabung bekerja bersama kami." tawar Kanz membulatkan mata Inka seketika."Seperti kalian?" ulang Inka.Kanz mengangguk. "Serius?" tanya Inka lagi."Bagaimana, kau mau?" "Mauuu, aku mau Kanz." jawab Inka cepat sangking senangnya."Uhm, baiklah. Mulai besok kau sudah boleh bekerja, dan, sebentar...." Kanz menggantungkan kalimatnya seraya pamit pergi, Kanz masuk kembali ke dalam truk makanan.Kanz keluar dengan membawa sesuatu di tangannya yang ia sembunyikan di belakang punggungnya. Inka penasaran dengan sesuatu yang Kanz bawa itu."Apa itu?" tanya Inka sangat penasaran."Inka, apakah kau merasa kehilangan sesuatu seminggu yang lalu?" "Kehilangan sesuatu seminggu yang lalu?" ulang Inka membeo pertanyaan Kanz."Ya, ada, aku kehilangan tas selempang kesayangan ku." jawab Inka sedih."Tadaaaa!" Kanz mengulurkan tas milik Inka ke hadapannya.Seketika mulut Inka menganga lebar tak percaya, Inka menutup mulutnya dengan sebelah tangannya yang tak memegang cup jus."Astaga, Kanz! ini-" "Ya, ini tasmu. Terima-lah." Inka meraih tas kesayangannya, betapa bahagia sekali Inka karena telah menemukan kembali tas itu berkat Kanz."Buka tasnya, dan lihat isi di dalamnya. Siapa tahu saja hilang, dan aku khilaf sebagai pelaku pencurian." titah Kanz menggoda Inka."Dih, bicara mu itu. Aku tidak perlu mengeceknya, karena aku yakin isinya masih tetap sama. Karena apa? Karena aku percaya padamu Kanz." beber Inka mengatakan sejujurnya."Secepat itukah? Kau langsung mempercayai ku semudah itu. Padahal kita baru saling mengenal dua kali pertemuan ini.""Bagiku, itu sudah cukup. Pertemuan singkat sebanyak dua kali ini cukup membuatku mengenalmu Kanz." Kanz dan Inka saling menatap lekat, mengalirkan sinyal-sinyal aneh namun menggetarkan. Kanz tertawa ringan agar menghilangkan kecanggungan yang tiba-tiba kembali menyelimutinya.Apakah ini yang di namakan cinta, atau ketertarikan semata?"Selamat pagi Kanz." sapaan ceria Inka pada Kanz dan satu teman prianya.Kanz terperangah dengan penampilan Inka hari ini, Inka sungguh luar biasa sangat cantik."Selamat pagi juga Inka," Kanz membalas sapaan Inka setelah dirinya tersadar jika sudah terlalu lama mengangumi Inka."Apa aku terlambat di hari pertamaku bekerja?" tanya Inka cemas, karena ia memang sangat sulit untuk bangun pagi dan belum lagi berdandan.Kanz menggeleng. "Tidak Inka, lagian juga kita mulai buka jualannya agak siangan."Kepala Inka manggut-manggut sambil mulutnya menggerakkan huruf O."Oh iya, kenalkan ini temanku. Namanya, Bio." ujar Kanz memperkenalkan temannya."Hai, aku Bio." teman Kanz memperkenalkan dirinya seraya mengulurkan tangan ke arah Inka."Bio-Biodata?" kekeh Inka merasa geli mendengar nama teman Kanz ini."Bisa jadi," gurau Bio yang tak mempermasalahkan hal itu."Aku, Inka Maharani. Ehmm, kau bisa memanggilku Inka saja."
Mohan sudah sampai di tempat janji temu dengan kliennya, kliennya meminta pertemuan mereka di lakukan di luar kantor. Dan disinilah Mohan berada, menunggu sang klien sampai di cafe yang sudah mereka pesan.Cukup lama Mohan menunggu, tak lama seorang pria paruh baya namun masih terlihat sangat tampan dan gagah.Mohan langsung berdiri dari duduknya menyambut sang klien. "Selamat siang tuan Hans Laurent."Mohan mengulurkan tangannya ingin berjabat tangan dengan tuan yang ia panggil Hans Laurent itu. Tuan Hans Laurent menyambut uluran tangan Mohan."Selamat siang juga tuan Mohan.""Ah, mari silahkan duduk." Mohan mempersilakan tuan Hans untuk duduk di kursi di depannya."Terima kasih," balas tuan Hans seraya duduk."Baiklah, mari kita mulai saja tujuan kita kesini. Tentang rencana kerjasama mengenai bisnis kita."Tuan Hans mengangguk. "Tuan Mohan bisa memulainya lebih dulu."Mohan tersenyum dan langsung berbicara mengenai bi
Kanz menoleh ke belakang saat merasakan punggungnya di tepuk seseorang. Wajah wanita yang belakangan ini menarik sekaligus memikat hatinya lah sebagai pelaku yang menepuk punggungnya."Inka, ini sungguh kau?" tanya Kanz takjub sekaligus pangling dengan penampilan Inka hari ini.Inka mengangguk seraya tersenyum geli melihat tingkah Kanz yang seperti hampir tak mengenalinya."Iya, ini aku Inka, Kanz!" ucap Inka nyaris teriak gembira."Astaga! Aku hampir saja tak mengenalimu loh." kekeh Kanz mengacak rambut baru berponi Inka.Inka mendengus sebal seraya menepiskan tangan Kanz yang mengacak rambut barunya."Pipimu jadi kelihatan tirus Inka," goda Kanz memperhatikan wajah Inka dengan jarak dekat."Mana pipi cabimu yang selalu bikin aku gemas ini." Kanz mencubit gemas kedua pipi Inka, membuat Inka mengadu kesakitan."Uhm, sakit Kanz!""Masa sih? aku kan cuma menyubit pelan pipimu, seperti ini—" Inka langsung menghenti
Kanz menatap jalanan dari jendela rumah kontrakannya, rumah kontrakan sederhana yang ia sewa bersama Bio. Sedikit banyaknya Bio tahu tentang kehidupan seorang Kanzeel Laurent."Kau berbohong padanya Kanz," ujar Bio pada Kanz yang saat ini fokus menatap ke arah jalanan.Kanz sama sekali tak bergeming dengan ucapan temannya itu, membuat Bio merasa gemas melihatnya."Ayolah Kanz, sebaiknya kau jujur saja pada Inka mengenai dirimu yang sebenarnya." sambung Bio lagi agar Kanz mau jujur pada Inka."Aku takut dia tidak akan menerima ku lagi sebagai temannya, kau tahu kan Bio, hubungan pertemanan kami baru saja di mulai." lirih Kanz sedih."Dia akan lebih terluka jika kau tak jujur dari awal padanya Kanz, dia akan menganggap jika kau hanya memanfaatkan dirinya saja dengan kebohonganmu."Kanz terdiam, tampak ia sedang mencerna ucapan temannya yang sebenarnya ada benarnya juga."Aku tidak bisa Bio, Maaf." lirih Kanz lagi yang kini bangkit berdiri dan berjala
Bio mengkode pada Inka jika Mohan sudah pergi, secepat kilat Inka melepaskan pelukannya pada Kanz, menendang kaki Kanz serta mendorong tubuhnya. Membuat Kanz yang tak siap pun terjengkang jatuh terhempas ke belakang."Awhh!" ringis Kanz kesakitan saat punggungnya jatuh menyentuh tanah dan nyeri pada kakinya yang di tendang Inka."Rasakan itu!" ledek Inka kesal pada Kanz.Kanz dengan cepat bangkit berdiri susah payah dan langsung meraih memegang tangan Inka, tapi dengan cepat pun Inka menepisnya."Jangan sentuh aku, dasar pembohong!" umpat Inka menatap nyalang Kanz.Bio hanya terdiam di tempatnya tanpa bisa membantu ataupun menengahi suasana yang terjadi antara Kanz dan Inka."Dengarkan aku dulu Inka-""Tidak!""Aku bisa jelasin semuanya-""Tidak!" sentak Inka cepat dan selalu memotong ucapan Kanz.Hhhhh. Kanz menghela nafasnya berat seraya menghembuskan nafasnya kasar."Kau bilang, jika kau terlahir dari keluarga tak mampu dan s
Inka mengutuk mulut dan dirinya sendiri yang tadi malam dengan jelas menolak permintaan Kanz yang ingin Inka datang ke tempat bekerjanya sebagai penjual jus yang menggunakan food truck.Kanz berbinar melihat kehadiran Inka. Kanz memang sangat yakin jika Inka pasti datang menemuinya, semarah apapun wanita itu padanya, tapi lihatlah! Inka tetap datang sesuai keinginannya."Terima kasih," ucapan Kanz yang meluncur begitu saja akibat rasa bahagia yang membuncah di dadanya."Terima kasih sudah mau datang, Inka." sambungnya lagi saat melihat lipatan kerutan bingung di dahi Inka.Inka berdeham guna menormalkan suaranya. "Bukankah sudah aku katakan padamu, jika mulai sekarang aku berhenti bekerja sama dengan kalian berdua di tempat ini." ucap Inka sedikit angkuh.Bio yang sedari tadi hanya berdiam diri memperhatikan Inka dan Kanz, tiba-tiba menegang. Baiklah, atmosfernya sekarang berubah menjadi panas. Untuk itu Bio memilih tak ikut campur pada kedua orang itu.
Kanz membawa Inka ke sebuah rumah makan sederhana, itu menjadi pilihan mereka atas dasar permintaan Inka. Mereka berdua mencari tempat duduk di pojokan, setelah duduk seorang pelayan datang dan mereka pun memesan makanan yang mengunggah selera mata serta perut mereka yang keroncongan, terutama Inka yang sedari tadi perutnya berbunyi heboh."Kenapa kau tidak meminta makan di restoran mahal?" Kanz membuka obrolan.Inka melirik ke arahnya. "Aku meragukan jika kau mempunyai uang banyak untuk makan di restoran yang mahal.""Kau meragukan ku Inka?" Inka mengendikkan kedua bahunya tanda tak peduli."Hhh, ayolah Inka. Apa kau lupa, siapa diriku ini yang sebenarnya?" pancing Kanz yang kembali mengungkit perihal masalah kebohongan yang ia ciptakan sendiri."Jadi, sekarang ini kau sedang ingin memamerkan kekuasaanmu serta kekayaanmu, begitu?" Kanz menggeleng."Apa yang harus aku pamerkan Inka? Toh, yang kaya adalah kedua orang tuaku. Aku mungkin hanyalah salah sat
"Inka-""Cukup Mohan! ku mohon, hentikan kegilaan mu ini!" tekan Inka memotong ucapan Mohan.Inka berbalik badan ingin segera masuk ke dalam rumahnya, namun dengan cepat juga Mohan bertindak memeluk tubuh Inka dari belakang.Inka tersentak dengan pelukan tiba-tiba dari Mohan di belakang tubuhnya. Anehnya, Inka tak berusaha melepaskan pelukan itu. Hanya bibirnya yang bicara meminta di lepaskan."Mohan, lepaskan!" badan Inka menggeliat, meronta agar Mohan melepaskannya.Nyatanya, tangan Inka sama sekali tak menampik atau bergerak melepaskan kedua tangan besar Mohan yang melingkupi bagian perutnya.Mohan menjatuhkan dagunya di bahu kanan Inka, sedikit mengecup dari balik luar baju wanita itu."Aku merindukanmu, Inka. Kembalilah bekerja di pabrik." pinta Mohan berbisik di telinga Inka."Kenapa?" satu kata yang terlontar dari mulut Inka."Kenapa kau melakukan semua ini padaku? Apa tujuanmu sebenarnya Mohan, apa niatmu kali ini?!" bentak Inka s
"Ciyeee, selamat sayangku!" teriak Kanz naik ke atas pelaminan untuk menyalami sepasang pengantin.Kanz langsung mendekatkan wajahnya mencium pipi kanan dan kiri Inka, kemudian Kanz memeluk Inka sambil kepalanya mengarah ke arah Mohan dan memeletkan lidahnya.Mohan melotot pada Kanz yang tengah mengejeknya, meskipun begitu Mohan tetap membiarkan Kanz yang memeluk Inka karena Mohan sekarang tak merasa cemburu pada pria itu, bahkan saat Kanz memanggil Inka dengan sebutan sayang sekali pun. Mohan sudah menganggap Kanz sebagai teman baiknya, sebab pria itu yang selama ini telah membantu memperbaiki hubungannya dengan Inka yang sempat terpisah."Bagaimana perasaanmu Inka?" tanya Kanz setelah melepaskan pelukannya.Inka tersenyum tersipu, "luar biasa, sangat bahagia!" kata Inka nyaris menjerit bahagia.Kanz tersenyum dan beralih menatap Mohan, matanya menyipit memperhatikan Mohan dari bawah ke atas. "Hmm, kau tampan juga ternyata kalau di dan
Hari yang dinanti akhirnya pun tiba, setelah menunggu beberapa hari yang waktunya terasa sangat lama berputar. Kini tiba saatnya Inka dan Mohan akan resmi menjadi suami istri setelah melewati hari ini.Semua orang tampak berbahagia menyambut suka cita hari pernikahan Mohan dan Inka. Tak terkecuali termasuk sepasang mempelai pengantin yang tampak menyambut antusias hari ini, raut keduanya pun tampak tegang kerena rasa gugup yang menjalari.Barusan Inka keluar dari ruangan rias khusus pengantin, Inka di dandani secantik mungkin dengan gaun pengantin yang sangat indah. Mohan benar-benar memberikan segala sesuatunya yang terbaik untuk hari pernikahannya yang kedua.Memang, ini pernikahan kedua bagi Mohan. Tetapi, pernikahan pertama yang dapat Mohan rasakan dengan perasaan bahagia yang membuat dadanya membuncah gembira.Inka keluar dengan di iringi iringan-iringan pengantin dan musik orkestra yang mengalun merdu yang mengiringi setiap langkah
Inka dan Mohan sama-sama sudah tidak sabar menunggu hari pernikahan mereka tiba. Tak perlu waktu lama bagi Mohan untuk mempersiapkan segala keperluan pernikahannya, kini tinggal menunggu seminggu lagi bagi mereka untuk melangsungkan pernikahan."Kau senang sayang?" tanya Mohan.Inka menggeleng, "aku bahkan sangat gugup menunggu hari itu tiba yang akan datang sebentar lagi. Huffftt!" desah Inka menenggelamkan wajahnya ke meja makan di rumah Mohan."Santai sayang, jangan merasa gugup." Mohan sebenarnya juga merasa tersiksa melihat Inka yang selalu merasa gugup apabila mengingat hari pernikahan mereka.Inka mengangkat kepalanya dari meja, "berapa tamu undangan yang akan hadir ke acara pesta pernikahan kita?" tanya Inka penasaran."Tak banyak, palingan banyak dari kalangan sesama pebisnis dan teman-temanku saja.""Hanya itu?" Mohan mengangguk."Kenapa?" tanya Mohan sembari merapikan anak rambut Inka.Inka mengigit bibir
"Sudahlah, mari kita mulai lupakan semua hal yang telah berlalu, melupakan semua hal yang menyakitkan. Dan mari kita mulai memikirkan masa depan, memikirkan hal baik yang akan kita lalui selanjutnya." kata Bu Ina tak ingin ada kesedihan lagi bagi keluarganya."Mulai pikirkan dari sekarang rencana pernikahan kalian." kata ayah Inka membuka suaranya yang tiba-tiba membahas soal pernikahan Inka dan Mohan."Pernikahan?" pekik Mohan dan Inka secara bersamaan.Ayah Inka mengangguk, "tentu kalian ingin hubungan ini sampai ke jenjang pernikahan, kan?" tanya ayah Inka.Inka dan Mohan kompak menganggukkan kepalanya lagi, "tentu ayah," Inka tersenyum bahagia."Makanya cepat mulai di pikirkan dari sekarang." kata ayah Inka lagi sebelum beranjak pergi dari situ."Benar apa kata ayahmu Inka, ibu setuju dan kalian mulailah memikirkan rencana pernikahan kalian." Bu Ina mengedipkan sebelah matanya menggoda dan ikut bangkit berdiri menyusul suaminya.I
Inka menggenggam tangan Mohan yang tampak sedikit gemataran karena gugup dengan malam ini. Sesuai dengan permintaan sang ibu yang menyuruhnya untuk mengundang Mohan agar datang malam ini ke rumahnya. Awalnya Mohan menolak dan syok mendengarnya, tapi Inka menjelaskan pada Mohan jika kedua orang tuanya sudah memaafkan dan merestui hubungan mereka.Meskipun begitu tapi tetap saja bagi Mohan rasanya sangat gugup dan canggung. Terlebih lagi beberapa waktu yang lalu kedua orang tua Inka menunjukkan sikap ketidak sukaan yang terkesan sangat membenci Mohan. Lalu dengan tiba-tibanya secara mendadak Inka mengabarkan kabar yang membahagiakan.Mohan tentu saja sangat bahagia, namun ia juga tak ingin jika kebahagiaannya itu hanya candaan dari orang tua Inka saja. Mohan tak ingin jika ini hanyalah sebuah mimpi yang indah.Kanz yang duduk di depan mereka berdua pun terkekeh melihat sikap gugup yang Mohan tunjukkan. Mohan bahkan sampai mendelikkan matanya agar Kanz berhen
"Ibu!" pekik Inka senang begitu membuka pintu kamarnya dan melihat sang ibu yang tengah berdiri di ambang pintu.Bu Ina menatap putrinya dengan tatapan sendu, melangkah mendekati Inka dan memeluknya. Mendapat perlakuan yang manis seperti itu dari ibunya, Inka sempat tertegun untuk beberapa saat dengan mata mengerjap berulang kali.Benarkah ini nyata? Benarkah ternyata saat ini yang tengah memeluk Inka adalah ibunya.Ragu-ragu tangan Inka bergerak ingin membalas pelukan Bu Ina. Syok saat mendengar suara isakan sang ibu yang terdengar sangat pilu."Ibu, tidak apa-apa?" Inka memberanikan dirinya bertanya pada Bu Ina.Beliau tidak menjawab pertanyaan putrinya dan lebih memilih semakin mengeratkan pelukannya. Suara isakan tangis Bu Ina pun semakin kuat, Inka tentu sangat kalut dengan ibunya yang menangis.Melepaskan pelukan, Inka menangkup kedua pipi ibunya. "Ibu, ada apa?" tanya Inka panik dengan mata berkaca-kaca.Bu Ina memegang k
Kanz baru sampai rumah yang langsung di sambut kedua orang tuanya, pak Hans dan bu Seina mengernyit melihat putra mereka yang pulang lebih lama dari biasanya."Lembur?" sapa pak Hans bertanya alasan mengapa Kanz pulang lebih lama hari ini."Tidak pa, aku habis dari rumah Inka." jawab Kanz jujur.Bu Seina dan pak Hans saling pandang setelah mendengar jawaban Kanz, kompak menggelengkan kepala melihat sikap Kanz yang pasti akan lupa waktu jika bersama Inka.Kanz melihat gelagat aneh dari kedua orang tuanya, "jangan salah paham, ke rumah Inka karena ada sedikit masalah jadi aku berusaha membantunya.""Masalah?" pekik sepasang suami istri itu kompak. "Masalah seperti apa?""Hanya sebuah kesalah pahaman saja antara Inka dan orang tuanya." tukas Kanz melirik secara bergantian ke arah mana dan papanya yang menatapnya dengan tatapan penasaran."Aku tidak mungkin menjelaskan secara detail kepada mama dan papa, intinya ini juga berka
Kanz melirik ke arah pintu utama rumah Inka yang terbuka sejak tadi, dimana berdiri ayah Inka yang hanya berdiam diri menyaksikan istri dan anaknya yang tengah bertengkar. Kanz tidak habis pikir dengan jalan pikiran ayah Inka, bukankah seharusnya pria itu melerai pertengkaran ini? Tapi, melihat keterdiaman ayah Inka Kanz sedikit berpikir jika kemungkinan saja ayah Inka termasuk suami takut istri."Ibu, tenangkan dirimu dulu, sebaiknya kita bicarakan ini secara baik-baik." bujuk Kanz sehati-hati mungkin."Diam kamu!" bentak ibu Inka. "Kenapa kamu masih disini juga? Bukankah saya sudah mengusirmu."Kanz kembali menelan air liurnya, sosok Bu ina malam ini benar-benar sangat tampak sangar dan mengerikan."Saya tidak akan pergi dari sini, saya tidak akan meninggalkan Inka menghadapi semua ini seorang diri. Bagaimana pun juga saya rasa ini hanya sebuah kesalah pahaman belaka Bu.""Berhenti memanggilku ibu!" seru Bu Ina marah mendengar K
"Kenapa diam saja?" tanya Kanz memperhatikan Inka yang sedari tadi hanya diam, bahkan saat sedang bersama Mohan pun Inka juga diam tak banyak bicara.Saat ini mereka berdua tengah di dalam mobil Kanz, seperti biasa Kanz menjemput Inka setiap pagi dan mengantarkan Inka pulang pada malam harinya."Entah kenapa perasaanku tak enak Kanz, aku merasa seperti sedang terjadi sesuatu hal yang buruk." ungkap Inka mengatakan hal yang meresahkan hatinya sejak dari tadi."Jadi, apakah karena itu kau hanya diam saja?" Inka mengangguk."Perasaan ku tak tenang Kanz." ungkap Inka lagi makin cemas.Kanz yang melihat kecemasan Inka pun ikut merasakan tak tenang, Kanz memberhentikan seraya menepikan mobilnya di pinggir jalan yang tak terlalu ramai."Jadi, bagaimana?" tanya Kanz menatap Inka."Entahlah, aku merasa takut ingin pulang ke rumah." lirih Inka yang juga menatap Inka dengan raut wajah memucat."Apa sebaiknya kau tidak usah pulang? B