“Bening!”
Kepala itu langsung terantuk pasrah, mendengar suara sang pemimpin redaksi -pemred- yang kini memanggilnya. Padahal, tinggal dua langkah lagi kakinya sudah menyentuh ujung tangga untuk segera berlalu dari ruang redaksi.
Jam pulang kerja sudah berakhir dari satu jam yang lalu. Namun, pekerjaan sebagai seorang sekretaris redaksi -sekred- di media, seolah tidak ada habisnya, terus saja meronta dan memanggilnya. Sementara itu, malam ini ada sebuah acara keluarga yang harus dihadirinya, dan Bening tidak ingin terlambat datang ke sana.
Kembali menegakkan kepala, Bening lantas memutar tubuh untuk menatap Aga yang sudah berdiri di ambang pintu kerjanya.
“Iyes, Pak?” Dengan langkah lunglai, Bening kembali berjalan menghampiri sang pemred dan berhenti tepat di samping meja kerjanya sendiri. “Yang Bapak minta sudah saya kerjakan semua, loh, Pak.”
“Hubungi Agus,” titah Aga mengabaikan ucapan Bening. “Saya belum terima berita wawancara dia dengan pihak jaksa agung terkait kasus mega korupsi di perusahaan BUMN.”
Ingin rasanya kaki Bening menghentak-hentak kesal, karena sang pemred yang baru menjabat selama satu minggu di Swara Media -SM- itu, memang sering seenaknya. Bening mengerti, jika bekerja di media butuh mobilitas tinggi dan jam kerja yang tidak terpatri.
Akan tetapi, jika hanya menelepon salah satu wartawan untuk bertanya, mengenai penugasan yang diberikan, Aga bisa langsung menghubunginya sendiri.
“Sama satu lagi, tolong buatkan SPJ buat Dika, besok pagi dia harus pergi ke Makasar gantiin, Firma yang mendadak kena cacar.
Belum juga satu tugas Bening kerjakan, sang pemred dengan semena-mena memberinya tugas lain.
“Sekarang bikinnya, Pak?” Bening melihat jam digital yang ada di meja kerjanya. Tampilan angka di sana sudah menunjukkan pukul 18.15. “Anak keuangan, kan, juga sudah pulang. Mana bisa nyairin duitnya sekarang.”
Aga tidak menjawab, pria berusia 37 tahun itu hanya bersedekap dan memberi tatapan mengintimidasi pada Bening.
Bukan tatapan amarah, tapi cukup mampu membuat Bening beringsut duduk di kursi kerja dan kembali menyalakan perangkat komputernya. Meraih gagang telepon di meja kerjanya dan langsung menghubungi Agus sembari menunggu semua perangkatnya menyala.
Melihat hal tersebut, Aga kembali masuk ke dalam ruangannya, yang terletak tepat di belakang meja kerja Bening.
Setelah tugas yang diberikan Aga selesai, Bening langsung memasuki ruang Aga yang tidak pernah pria itu tutup sama sekali. Hanya, jika pria itu pergi meninggalkan kantor, barulah pintu kaca itu tertutup dan terkunci rapat.
“Mas Agus lagi otw ke kantor, karena pak jaksa agung baru punya waktu sore tadi.” Bening menyodorkan tiga lembar kertas di atas meja Aga. Surat pertanggungjawaban untuk salah satu wartawan yang diminta pria itu beberapa saat yang lalu.
“Hm,” gumam Aga tanpa mengangkat wajah untuk melihat Bening sama sekali. Ia meraih pulpen, lalu membubuhkan tanda tangan pada surat yang diberikan oleh gadis itu. “Terima kasih.”
“Kembali, Pak,” balas Bening seraya meraih kembali ketiga surat tersebut. “Saya pulang, Pak, ya? Nggak butuh apa-apa lagi, kan?”
Kali ini, Aga mengangkat kepala untuk menatap Bening yang sedari tadi hanya berdiri di depannya. “Saya besok nggak ikut rapat pagi, karena langsung ke pemprov.”
Bening hanya terdiam dan menunggu instruksi selanjutnya.
“Kunjungan mahasiswa besok, tolong handle sama pak Salim. Dan longgarkan sedikit pakaianmu. Kalau bisa jangan pakai rok, tapi pakai celana.”
Bening reflek menarik jaket yang sudah dikenakannya untuk pulang, semakin rapat. Menatap datar tanpa senyum, karena sudah ditegur sedemikian rupa oleh atasannya. Sudah dua tahun ia bekerja di Swara Media sebagai seorang sekred, tapi, baru kali ini ada yang komplain mengenai baju yang dikenakannya.
“Kan, sudah tertutup, Pak,” kata Bening untuk membela diri.
“Benar pakaianmu tertutup.” Aga setuju untuk satu hal itu. “Tapi lekukakannya masih tercetak jelas dan itu sangat mengganggu konsentrasi kerja saya selama seminggu ini.”
Eh, gimana, gimana? Bening sedikit menganga sejenak untuk mencerna sederet kalimat yang dimuntahkan Aga.
“Kenapa bisa terganggu, Pak?” tanya Bening dengan wajah polosnya. “Dua tahun saya kerja di sini, yang lain biasa-biasa aja. Pikiran Bapak aja—“
“Siapa atasanmu di sini?” putus Aga yang sudah tahu ke mana arah ucapan yang akan dilontarkan Bening kepadanya.
“Bapak …” lirihnya dengan bibir mengerucut kecil.
“Kalau begitu, ganti cara berpakaianmu mulai besok,” titah Aga dengan tegas lalu mengalihkan tatapannya pada layar komputer. “Kamu sudah boleh pulang.”
“Gajian masih dua minggu lagi, Pak,” protes Bening. “Dan baju kerja saya, ya, modelnya begini semua. Kalau beli baru, saya mau makan apa dua minggu ke depan?”
“Hei, kerja di redaksi itu nggak perlu pakaian yang formal, yang penting sopan,” Aga kembali mengangkat wajahnya untuk menatap sekretarisnya yang ternyata keras kepala. “Masa’ kamu nggak punya blouse, atau pakaian longgar yang lain.”
“Nggak punya,” aku Bening tanpa ragu. “Baju kantor saya ini sudah yang paling tertutup, Pak. Yang lainnya kurang bahan semua. Hotpants, rok mini, crop top, yang begitu-gitulah, Pak.”
Aga langsung menumpu dahinya dengan kedua tangan dan siku yang berada di atas meja. Sejurus kemudian, ia meraup wajah tanpa melepaskan tatapannya pada Bening.
“Kamu sering dugem?” tanya Aga lalu berdiri untuk mengambil dompet yang terselip di saku celana bagian belakang.
“Dulu, iya,” jawabnya jujur. “Tapi semenjak kerja udah berhenti, kok, Pak.”
“Hm, anggaplah saya percaya.” Aga mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya, dan memberikannya kepada Bening. “Beli baju kerja yang pantas, kamu bayar setelah gajian.”
Tanpa ragu Bening meraih kartu tersebut dari tangan Aga dan membolak baliknya karena iseng. “Kenapa harus dibayar pas gajian, Pak? Kalau ngasih itu jangan setengah-setengah.”
Astaga, baru kali ini Aga bertemu dengan sekretaris seperti Bening. Kenapa gadis itu tidak ada rasa sungkan sama sekali, ketika berdebat dengan atasan seperti ini?
“Saya nggak ngasih, saya minjami kamu.”
“Nggak, ah,” tolak Bening meletakkan kartu tersebut di atas meja. Kedua bahunya pun terlihat terangkat sekilas. “Saya nggak suka ngutang.”
“Saya nggak mau tahu, mulai besok, kamu nggak boleh pakai pakaian seperti … itu!” telunjuk Aga mengarah tegas pada tubuh Bening. “AH! Harusnya kamu punya seragam kantor, kan? Pake itu sementara.”
“Tapi kebesaran, Bapak!” protes Bening mengerucutkan bibirnya dengan sebal. Yang benar saja, dirinya harus memakai seragam longgar untuk pergi ke kantor mulai besok.
“Baguslah, sekarang keluar dari ruangan saya, sebelum saya buatkan kamu SP 1.” Wajah Aga langsung berpaling dan kembali menatap komputer. Mau tidak mau, ia harus memberi sedikit ancaman agar sekretarisnya itu bisa menuruti permintaannya.
“Tapi, Pak Aga—“
“SP 1?” putus Aga tanpa menoleh sedikit pun. “Saya tinggal cari filenya dan langsung print sekarang juga.”
“Ck, permisi!”
Bening terlambat setengah jam dari jadwal acara yang sudah ditentukan. Untuk satu hal ini, ia merutuk kepada Aga yang sudah memberinya banyak pekerjaan, sejak sang pemred itu menjabat di Swara Media.Sebenarnya, Aga bisa saja merepotkan wakilnya atau beberapa redaktur lain ketika jam kerja Bening sudah selesai. Namun, pria itu seolah senang sekali menumpuk berbagai pekerjaan yang tidak terduga pada Bening.Langkahnya lalu terhenti di ruang tengah. Melihat keluarga sang ayah yang sepertinya sudah berkumpul sedari tadi. Wajah keempat orang yang duduk di sofa secara terpisah itu, langsung tertekuk masam ketika melihat Bening.“Jangan berlagak seperti orang penting, Ning. Kamu harusnya bisa mikir, kalau kami di sini masih punya kesibukan lain di luar sana.”
Aga yang baru datang ke kantor tepat ketika jam pulang kerja karyawan, berhenti sejenak di sisi meja sekred yang kosong. Perangkat komputer yang masih menyala dan ponsel yang tergeletak begitu saja di samping mouse, menandakan si empunya tidak berada jauh dari ruang redaksi. Bening, masih berada di kantor dan belum pulang ke rumah.Benar saja, saat kaki Aga hendak melangkah masuk ke dalam ruangannya, gadis itu muncul dari koridor yang mengarah ke toilet.“Sore Pak Aga,” sapa Bening dengan sopan. “Daftar kepala daerah dan kepala dinas yang Bapak minta tadi pagi, sudah saya emaìl.”“Makasih,” ucap Aga kemudian melihat penampilan Bening dari ujung rambut hingga kaki, kemudian menghela. “Ini seragam yang kamu bilang kebesaran?” tunjuknya tanpa sungkan pada tub
“Hati-hati pulangnya,” kata Bening setelah melepas sabuk pengaman. “Jangan lupa kabari kalau sudah sampai apartemen.”“Siap, Nya!” jawab Christ lalu dengan cepat meraih tengkuk Bening dan memagut bibir manis itu tanpa rasa puas. “Aku jemput besok pagi dan salam buat uti.”“Hmm.” Bening mengangguk sembari menggigit bibir bawahnya yang terasa kebas, setelah Christ melepaskan pagutan mereka. “Jemput pake motor apa mobil?”“Pake rok!” Kedua alis tebal Christ itu naik turun dengan tatapan jahil. "Biar cepat bukanya."Keduanya lantas tergelak bersamaan, sudah saling mengerti akan semua hal. Itu berarti, Christ akan menjemput Bening dengan mem
“Kamu kenapa, sih? Dari tadi banyak diamnya?” tanya Christ sebelum mobil yang dikemudikannya berbelok di halaman gedung Swara Media.“Mau dapet kayaknya, moodku nggak enak banget,” ujar Bening beralasan.Pagi tadi, sebelum Christ datang untuk sarapan sekaligus mengantarkan Bening ke kantor, Sinta kembali mengingatkan Bening tentang hubungannya dengan pria itu.Bening pun meminta waktu kepada Sinta untuk membicarakannya semuanya dengan Chris sekali lagi. Jika kali ini, mereka tidak mendapatkan titik temu, maka Bening berjanji akan mengakhiri semuanya dengan pria itu.Untuk itu, Sinta pagi tadi tetap bersikap ramah seperti biasanya. Wanita tua itu mengurungkan niatnya untuk membicarakan hubungan yang ada di antara cucunya dan
“Kamu, sudah dari tadi pagi, kayak gini, loh, Beb.”Akhirnya, setelah sepanjang jalan menuju apartemen keduanya terdiam, Christ membuka mulut. Menutup pintu unit, lalu menyusul Bening yang sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar. Gadis itu terlihat baru saja bertelungkup lelah di atas ranjang.“Ada masalah sama, Uti?” tanya Christ ikut merebahkan tubuhnya di samping Bening. Menyatukan kedua telapak tangannya di belakang kepala sebagai bantal. “Karena kemarin malam, kamu itu baik-baik aja.”“Uti …” Bening menolehkan kepala pada Christ, Mebiarkan surai ikal sebahu itu jatuh terhambur di sisi wajah. “Minta aku berhenti ketemu sama kamu.”“Kenap ….” Seketika, Christ membungkam mulutnya sendir
“Pak Agaa … pelan-pelan jalannya,” rengek Bening yang kewalahan untuk menyamakan langkahnya dengan pria itu.Andai saja, Bening tidak berlama-lama di ballroom hotel untuk menghibur diri karena masalahnya dengan Christ, saat ini ia pasti sudah ada di rumah. Sayangnya, Bening masih betah duduk untuk melihat persiapan malam penghargaan yang akan dihelat besok malam.Sampai, Aga datang dan meminta Bening untuk mengikutinya. Entah mengikuti ke mana. Yang jelas, mereka kini sudah menuju lobi dan langkah Aga berhenti di depan meja resepsionis.“Bapak, iih!” Bening menghentak high heelsnya satu kali untuk menumpahkan rasa kesal yang ada di hati. “Kalau kaki saya keseleo, bisa gak ikut nampang saya besok, Pak.”Aga membuang napas d
Dengan menahan semua sesak di dalam dada, Bening terus saja berjalan melewati Mike menuju lobi. Kali ini, Bening hanya ingin segera pulang dan tidak mau terlibat dalam hal apapun lagi. Semua drama yang ada malam ini, sudah cukup membuat hatinya teriris pilu.Christ, satu-satunya pria yang selama ini ada di dalam hidup Bening, ternyata sudah berkhianat di depan mata. Bening juga tidak bisa meraba, sejak kapan pria itu berhubungan dengan wanita yang bernama Chika tersebut. Karena selama ini, tidak ada sedikit pun sikap Christ yang menunjukkan bahwa pria itu telah memiliki wanita lain di luar sana.“Bening!” Christ yang akhirnya menyusul gadis itu langsung meraih tangan Bening. Mencekal dan menarik tangan dingin itu, ketika Bening sudah berjalan di area parkir di depan pintu utama hotel. Gadis itu terlihat berjalan tergesa ingin keluar dari area hotel.Bening yang seketika berbalik, langsung menghempas tangan Christ dengan kasar. “Ngapain nyusul?&
Aga berdecak kesal mendengar isakan Bening yang tidak berhenti sedari tadi. Hingga pada akhirnya, ia menepikan mobil di bahu jalan untuk berbicara sejenak dengan gadis itu.Harusnya, Aga tidak perlu ikut campur dengan masalah pribadi sekretaris yang selalu berani membantahnya itu. Namun, Aga tidak suka melihat perlakuan yang ditunjukkan Christ, pada Bening ketika berada di parkiran hotel. Oleh sebab itulah, Aga akhirnya ikut berceletuk dan melibatkan diri dalam perdebatan keduanya.Lantas, sikap ikut campurnya beberapa saat yang lalu ternyata membuahkah hal yang sangat mengejutkan. Aga sampai tidak habis pikir, kalau Bening akan berani menyatukan bibir mereka berdua di depan umum seperti tadi. Beruntung, parkiran hotel kala itu tidak terlalu ramai, meskipun ada beberapa orang lewat yang akhirnya melihat aksi mereka berdua.Aga merutuk sejadi-jadinya setelah itu, karena tidak sanggup mengelak ciuman yang begitu terasa manis dan memabukkan itu.“Bisa
Haluu Mba beb ... Sang Sekretaris beneran tamat dund. Mas Telaga Cakrawala sama mba Bening Bhanuwati mohon pamit undur diri dulu. Mereka mau istirahat. Kan, mau buatin adek buat Awan. :D :D :D Nanti, kita ketemu sama mereka lagi di spin off-nya dengan judul SANG PENGACARA, dan kita tuntasin hil-hil yang masih menggantung di sana. Daaan, berikut ini daftar penerima koin GN dari saia untuk 5 top fans pemberi Gems terbanyak di Sang Sekretaris. Datanya diambil per tanggal 30 June 2022 tepat pukul 06.00 WIB. RF Rifani : 1.000 koin GN + pulsa 200rb Tralala : 750 koin GN + pulsa 150 rb Demigoddess : 500 koin GN + pulsa 100 rb Zee Sandi : 350 koin GN + pulsa 50 rb Lili Ning Mardani : 200 koin Gn + pulsa 25 rb Untuk nama yang saia tulis di atas, bisa klaim koin GN dengan kirim screenshoot ID dan kirim melalui DM Igeh @kanietha_ Saia tunggu konfirmasi sampai hari minggu ya, jadi, saia bisa setor
“Ayo, keluar.” Bening merengek, sembari menggelengkan kepala. Ia belum siap dengan ajakan Aga, untuk menemui sang mertua yang meminta mereka datang pagi ini. Karena Bening tahu, yang akan dibahas oleh Arum, pasti masalah itu lagi, itu lagi. “Dulu, waktu sama bu Vira, mama begini juga nggak, sih?” “Nggak.” Aga langsung menjawab dengan pasti. “Kok, sama aku begini?” sambar Bening secepat mungkin, sambil meremas tali sabuk pengaman yang masih belum ia buka. “Tapi sama bu Vira, nggak?” “Karena kami dulu masih muda, Beb,” jawab Aga lalu mencondongkan tubuh untuk membuka sabuk pengaman sang istri. “Masih sibuk meniti karir, dan betul-betul merintis semua dari nol.” “Eh, aku juga masih muda.” Bening kembali berkilah seperti biasa. “Tapi aku?” Aga menjatuhkan satu kecupan hangat di pipi sang istri. “Sebentar lagi, aku sudah kepala empat. Mama sama papa juga nggak akan selalu fit seperti sekarang.” “Kamu, tuh, sepertinya udah mulai oleng, deh.” Bening mencibir lalu memanyunkan bibir. “I
“Mama itu ada ngomong apa, sih, sama Awan?” Bening membuka rumah pemberian Aga yang baru saja selesai di bangun. Masih kosong, dan belum diisi furniture sama sekali. Ini pertama kalinya, Bening dan Aga menghampiri rumah mereka ketika semuanya sudah bersih dan siap diisi berbagai perabotan dan ditempati. Jika mengingat resepsi pernikahan mereka yang akan digelar sebentar lagi, keduanya sudah bisa menempatinya setelah pulang dari bulan madu. “Mama? Ku?” Aga bertanya ragu, karena mereka pagi tadi sempat mengajak Awan pergi ke rumah Clara. Sudah dua hari Awan menginap di apartemen, dan waktunya mengembalikan bocah itu pada Vira. Jika tidak, mantan istrinya itu pasti akan menelepon Aga tanpa henti. “Atau, mamamu?” “Mamamulah.” Hentakan ujung high heels Bening menggema pada lantai marmer di seluruh ruang yang masih kosong itu. “Mama Arum.” “Mamaku, ada ngomong apa?” Aga dengan cepat menyusul langkah Bening yang terlihat kesal. Namun, tidak berniat untuk mensejajarkan langkahnya. Ke ruan
Arum membuang napas panjang. Meskipun masih setengah hati, tapi ia sudah tidak bisa berbuat apapun lagi. Mengingat, bagaimana putranya itu terlihat sangat jatuh cinta dengan Bening, pun dengan Awan yang tidak mempermasalahkan semuanya, Arum menyerah. Namun, menyerah di sini bukan berarti Arum setuju, karena ada sebagian dari hatinya masih tertinggal dengan Vira.Dalam diam, terkadang Arum masih memikirkan nasib mantan menantunya itu. Arum mengerti jika sikap Vira memang tidak bisa dibenarkan, tapi Aga pun ternyata sudah patah arang dan tidak ingin melanjutkan rumah tangganya kembali. Jadi, hanya perpisahan yang menjadi jalan keluar satu-satunya.“Jadi, bagaimana kalau resepsinya dipercepat saja?” usul Clara di tengah-tengah pertemuan kedua keluarga yang diadakan di rumahnya. Sudah dua bulan berlalu dari pembacaan surat wasiat Camila kala itu, tapi baik Aga, maupun Bening tidak kunjung menyinggung masalah resepsi pernikahan. Sampai akhirnya, Clara meminta Aga menghubungi kedua orang tu
“Telaga … Cakrawala.”Pria paruh baya yang duduk santai pada kursi taman di belakang rumah, mengangguk-angguk ketika melihat Aga muncul di hadapannya.“Awalnya saya sangsi kalau yang disebut mendiang ibu Camila adalah Aga yang sama, tapi, sangat kecil kemungkinannya kalau ada dua orang yang namanya sama persis seperti kamu,” tunjuk pria itu, lalu menatap gadis yang berada di samping Aga.Seluruh anggota keluarga yang sudah lebih dulu berkumpul, hanya bisa tersenyum canggung. Selain berprofesi sebagai pengacara keluarga, pria paruh baya yang duduk bersama putranya itu, juga merupakan sahabat dekat mendiang Camila.Aga memberi senyum ramah, lalu segera menghampiri pria tersebut bersama Bening. “Apa kabar, Be? Kita lama nggak ketemu.”Pria paruh baya dengan nama asli Rasyid Pamungkas itu, segera berdiri untuk menyambut uluran tangan Aga. “Saya kaget, waktu Abi bilang kamu sudah nikah lagi. Lebih kaget lagi, waktu tahu kamu menantu dari mendiang ibu Camila.”Setelah menjabat tangan Aga, R
“Percuma beli mobil baru.” Bening berdecak, dan selalu saja sibuk membeo setiap kali jalan bersama Aga. “Pergi ke mana-mana selalu disupirin gini. Buang-buang uang tahu, nggak!”“Kan, lebih enak disupirin gini.”“Terus ngapain beli mobil baru, kalau aku nggak boleh nyetir sendiri,” protes Bening.“Siapa bilang nggak boleh nyetir sendiri?” sanggah Aga tetap tenang tanpa melirik sang istri sama sekali. Ia hanya menatap lurus pada jalan raya, sembari menahan tawa. “Kebetulan aku punya waktu luang, jadi mending aku yang nyupiri, kan?”“Kenapa kamu selalu punya waktu luang pas aku mau jalan.” Bening kembali protes karena curiga dengan sikap Aga. Semakin ke sini, pria itu semakin posesif saja. Ke mana pun Bening pergi, Aga akan selalu punya waktu pergi menemaninya. “Pas jam kerja juga gitu. Pasti mendadak bilang kerjaan selesai, kalau aku izin mau jalan.” “Karena kerjaanku memang sudah selesai,” jawab Aga santai tanpa beban. “Lagian mobilmu ini juga kepake, kan? Jadi, kita belinya nggak si
Meskipun Camila sudah beristirahat dengan tenang di pembaringan terakhirnya, suasana rumah duka yang begitu megah itu masih saja terlihat ramai. Para tamu datang silih berganti, untuk menyampaikan duka mendalamnya.Yang Bening perhatikan, Fikalah yang justru terlihat sangat kehilangan atas kepergian sang oma. Gadis itu bahkan sempat tidak sadarkan diri, ketika tubuh beku sang oma diturunkan ke peristirahatan abadinya. Untuk satu hal itu, Bening bisa merasakan semua yang dialami Fika karena pernah berada di posisi yang sama.Clara terlihat lebih tegar, dan terus mencoba menguatkan putri kesayangannya atas kehilangan mereka. Sungguh sebuah pemandangan yang membuat hati Bening kembali tercubit perih.Bening … cemburu dengan kedekatan Clara dan Fika.“Hei.” Aga mengusap lengan Bening yang berada dalam rangkulannya. “I know what you’re thinking.”“No, you’re not.”“Ayolah, Beb. Kamu harus paham situasinya.” Sedari tadi, Aga memperhatikan ke mana tatapan sang istri tertuju. Pun dengan ekspr
Aga berbalik, ketika mendengar pintu kamar mandi terbuka. Menelan ludah, saat melihat kaki jenjang itu melangkah pelan, dan menampilkan tubuh segar yang hanya berbalut handuk. Senyum jahil yang disematkan oleh sang istri yang tengah mengusap surai basahnya, sungguh membuat Aga ingin menghempas tubuh Bening ke ranjang dan memasukinya.Namun, jadwal bulanan yang tengah didapatkan sang istri, membuat Aga hanya bisa menggigit jari. Bersabar, karena Aga tahu penantiannya nanti tidak akan sia-sia.“Jam sepuluh balik, lho, ya,” ujar Bening mengingatkan dengan wajah semringah. “Kita cari mobil baruuu.”“Aku cuma di bawah, Beb.” Aga meraih pinggang ramping sang istri yang sudah berhenti tepat di depannya. “Kamu bisa susul ke bawah, terus kita langsung jalan.”Bening mengangguk setuju dengan usul Aga. Ia lalu berjinjit, dan memberi satu kecupan singkat pada bibir bawah Aga yang terbuka. “Awan jadi nginap di sini? Atau masih ditahan sama omanya?”“Omanya masih mau nahan karena kesepian, tapi Aw
“Lama banget pulangnya.” Dengan memegang sepiring bihun goreng yang masih tersisa separuh, Bening sedikit merajuk menyambut kedatangan sang suami.Aga melepas jaket bombernya, sembari menghampiri Bening. Melemparnya ke sembarang arah, lalu menghempas bokongnya di samping sang istri. Aga memberi kecupan pada pipi Bening terlebih dahulu, barulah menanggapi protes istrinya.“Tadi ada om Romi di bawah.” Pulang ke apartemen dan disambut dengan pemandangan indah seperti sekarang, sungguh membuat semua lelah Aga hilang seketika. Satu setel baju tidur yang terdiri dari tanktop dan celana pendek itu, sungguh memberi sebuah energi tersendiri bagi Aga.“Om Romi?” Bening menoleh sambil mengunyah bihunnya. “Ngapain malem-malem dateng ke sini? Sendirian apa sama istrinya?”Aga langsung mencapit bibir istrinya itu dengan gemas. “Istrinya om Romi itu, mamamuuu,” decak Aga lalu sedikit menggeser bokongnya untuk merebahkan diri, dan meletakkan kepala di paha mulus sang istri. “Om Romi datang sama Dean.