Gaza menelan ludah kasar, benar kata Olan jika istrinya jauh lebih sengsara cenderung hampir gila karena mual yang tidak berkesudahan. Tanpa bersuara segera diangkat badan istrinya dan ia pindahkan ke ranjang mereka, menghabis jejak basah di wajah yang sekarang tampak tirus tersebut. “Aku enggak mau dipeluk, aku lapar Gaza.” Natasya berseru mendorong bahu suaminya ketika hendak memeluknya. “Aku juga bingung, Sayang. Harus bagaimana lagi, semua makanan sudah dicoba dan tidak ada yang bisa masuk. Aku sudah minta dokter memberikan obat mengurangi mual tapi kata dokternya juga itu hanya mengurangi tidak ada sepuluh persennya. Kamu ingin makan apa? coba katakan, kita coba sekali lagi ya. Semoga bisa masuk,” bujuk Gaza lembut. “Enggak bisa, pasti keluar.” Natasya mengusap wajahnya penuh keputusasaan. “Coba dulu, ayo kita coba dulu.” Gaza membelai lembut paras pucat istrinya. Natasya menjatuhkan b
“Apa?” seru Gaza dan Natasya. “Calon janinnya ada dua Bu, Pak. Kembar, Alhamdulillah .... “ “Kok bisa, Dok?” tanya Gaza. “Maksudnya kok bisa tiba-tiba ada dua padahal dari awal hanya satu?” ralat Gaza merasa pertanyaannya ambigu. Dokter tersenyum memahami kebingungan pasangan di hadapannya, mengangguk sebagai tanda ia paham maksud Gaza. “Beberapa kasus kehamilan ada yang seperti ini, Pak. Bisa jadi ketika pemeriksaan sebelumnya belum terbentuk sempurna dan kurang terlihat dari USG dan ibu Diwang menolak USG transvaginal. USG transvaginal adalah yang paling akurat dan dapat terlihat hampir seratus persen langsung dari rahim. Tidak apa-apa, syukur sekarang sudah terlihat jelas, mari kita periksa putranya lebih lengkap ya Pak, Bu. Apa Bapak atau Ibu ada keturunan kembar?” Dokter menjelaskan dengan sabar. “Papanya kembar identik, Dok,” jawab Natasya. “Oh ya? wah
Natasya tahu Gaza sangat lembut dan perhatian bahkan tergolong peka untuk ukuran laki-laki. Namun ia tidak menyangka jika sampai mau mencucikan pakaian dalamnya yang terkena muntahan karena ketika tidur tiba-tiba perutnya bergolak dan ia tidak dapat menahannya hingga kamar mandi. Sudah dua hari terakhir ia selalu kegerahan walau kamar sudah AC suhu paling rendah. “Kasihan mbak kalau sampai mencuci yang seperti ini. Aku suami kamu mana mungkin jijik.” Gaza menjawab demikian saat Natasya bertanya apa ia tidak jijik. Natasya menanyakan kenapa ia tidak bekerja-bekerja, sudah tiga hari suaminya tidak masuk kerja setelah pemeriksaan terakhir kandungannya. “Takutnya kamu tepar lagi seperti saat itu dan aku enggak ada,” jawab Gaza. “Ada mbak, mbak bisa langsung telepon kamu sebelum aku pingsan di lantai lagi,” pungkas Natasya. “Memangnya kenapa sih, ditemani suami kok mendumel,” kekeh Gaza.
“Kenapa ada wanita selapang kamu, Diwang?” Gaza melirihkannya dengan membelai kepala sang istri yang terlelap setelah menjalani serangkaian pemeriksaan lanjutan bahkan mendatangkan dokter ortopedi untuk sakit tiba-tibanya. “Tidur?” Vallen yang datang bersama Naren bertanya dengan suara pelan ketika memasuki kamar rawat sang ipar. Gaza mengangguk, menaikkan selimut istrinya dan mendaratkan kecupan sebelum beranjak dari samping ranjang untuk duduk di sofa dalam kamar rawatnya mempersilakan Vallen dan Naren duduk. Ia mengabari papa dan Vallen mengenai kondisi langka istrinya. “Enggak bisa digerakkan sama sekali?” tanya Vallen. “Awalnya iya pas dibawa ke sini sama sopir sama mbak rumah. Persendiannya enggak bisa ditekuk sama sekali. Entah bagaimana cara mereka masukkan ke mobilnya katanya dibantu sekuriti juga. Besok masih ada pemeriksaan lanjutan dari ortopedi, sangat jarang kasus tiba-tiba kaku pada ibu hami
“Kenapa?” serbu Vallen. Vallen menyerbu ke rumah sakit kala ia menghubungi Gaza untuk mengatakan jika makan malam rutin keluarga mereka kali ini akan diadakan di luar karena merasa anak, istri dan papanya butuh keluar rumah. Namun justru mendapatkan kabar bahwa Natasya dirawat kembali di rumah sakit. “Mimisan tapi enggak mau berhenti, jadinya mungkin pendarahan namanya. Sedang diperiksa di dalam.” Gaza menyugar rambutnya pakaian rumahnya masih terdapat noda darat karena ia menggendong-gendong istrinya dari mobil. “Ya Tuhan,” lirih Vallen. “Dia lagi duduk sama gua, enggak melakukan apa-apa. Enggak capek karena aku sudah memesankan sama mbak untuk Diwang tidak pegang apa-apa di rumah.” Gaza menambahkan dengan wajah penuh kecemasannya. “Kita tunggu dokternya selesai periksa, jangan berasumsi dulu.” Vallen menghela nafas usai mengatakannya, ia paham perasaan kembarannya yang sudah pasti tidak k
“Terima kasih semuanya, meeting kita akhiri sampai disini.” Gaza menutup meeting siang itu di kantornya. Sudah tiga hari ia masuk kerja, lebih tepatnya dipecut masuk kerja oleh Vallen dan papanya. Mereka memaksa Gaza kembali bekerja setelah hampir satu bulan alfa. Selama satu bulan itu, Olan yang menggantikan sepenuhnya. Ia bahkan berangkat bekerja satu hari setelah pernikahan walau Gaza sudah berpesan ambil saja cuti menikahnya. Vallen yakin Gaza akan terus terpuruk jika terus berada di rumah sakit. Jika ia bekerja setidaknya dapat mengalihkan sedikit perhatiannya dengan kondisi Natasya yang tidak kunjung membuka mata. “Bapak Orlando, tolong ke ruangan saya setelah ini,” pinta Gaza. “Baik Pak,” jawab Olan. Natasya sempat sadarkan diri setelah satu minggu berada di ruang ICU namun tidak lama justru nafasnya tersengal hebat dan kembali kritis. Gaza yang mendampingi jatuh bangun hancur berkeping-keping melih
“Oh ya? enggak selera makan karena kamu tidurnya lama.” Gaza kembali menghapus air mata yang terus keluar dari netra sayu istrinya. “Berapa lama?” tanya Natasya pelan. “Lama sekali, satu bulan lebih tiga minggu,” canda Gaza. Gaza merasakan remasan samar dari tangan lemah sang istri, ia kembali kecup dalam berulang kali. “Jangan tidur lagi ya, jangan tinggalkan aku lagi,” lirih Gaza. Natasya mengangguk samar, memandang wajah yang entah ia lupa kapan terakhir ia tatap. Begitu juga Gaza, hanya memandangi manik mata indah yang kini berkedip-kedip pelan. Tidak lagi tertutup rapat. Ketika seorang perawat datang dan memanggil Gaza untuk menghadap dokter istrinya, Gaza menarik nafas panjang. “Aku tinggal sebentar ya, Sayang. Janji enggak akan lama, aku akan ke sini lagi. Love you so much, Diwang.” Gaza menunduk dan mendaratkan kecupan lembut pada kening istrinya sebelum meninggalkan
“Baik saya paham,” jawab Natasya. Natasya dan suaminya mendengarkan dengan seksama penuturan sang terapis, esok ia akan melakukan terapi tangan terlebih dahulu. Memang sudah bisa digerakkan, namun jelas belum kuat untuk menopang tubuhnya nanti ketika terapi jalan. Maka yang dilakukan pertama kali adalah kedua tangannya harus kuat terlebih dahulu. “Jangan dipaksa ya Bu, saat capek dan pegal maupun sakit harus bilang. Jangan terburu-buru dan memaksa cepat bisa,” pesan sang terapis. “Baik Dok,” jawab Natasya. “Makannya juga tolong ikuti dulu sesuai arahan dari dokter gizi ya, Bu. Ibu kehilangan cukup banyak berat badan selama kemarin, jadi mari kita bekerja keras namun dalam porsi tertata.” Sang dokter tersenyum mengakhirinya. Sepeninggal terapis, jadwal makan datang. Natasya meringis melihat menu yang harus ia habiskan guna memulihkan tenaga untuk esok bersiap bertarung esok hari.
“Kamu enggak bisa main ini, nanti kalau jatuh terus berdarah ... aku dimarahi papa kamu dan kamu akan dimarahi mama kamu,” seru suara anak laki-laki usia tujuh tahun. “Ih tapi aku mau ikut naik,” teriak suara anak perempuan. “Kamu pakai rok, Neta. Nanti kelihatan celana dalamnya,” timpal suara anak-anak lainnya. “Kan aku pakai celana pendek, enggak akan kelihatan,” bantah suara perempuan. Natasya terkekeh kecil, menjawil lengan suaminya yang asyik bermain ponsel dengan kaca mata melorot. “Apa?” tanya Gaza. “Itu putri kamu sedang beradu sama dua abangnya, sana samperi,” kekeh Natasya. “Biarkan saja, Shaka lebih keras kepala dibandingkan Neta. Mari kita hitung mundur berapa lama Neta menjerit panggil mama,” jawab Gaza. Tidak sampai hitungan lima setelah mendengar perdebatan di ruang bermain, jeritan melengking terdengar disusul tangisan merobek
“Heh gila! gua bilang pakai uang kantor. Wah pelanggaran.” Gaza berseru menggeplak punggung Olan yang datang bersama Vero dalam satu mobil membuntuti sebuah truk barang salah satu perusahaan elektronik besar. Gaza meminta nota pelunasan dan tidak diberikan oleh Olan dengan seringai menjengkelkan. Olan berkata lemari penyimpan asip hadiah dari mereka berdua untuk Yumna Zanneta Hernando. Putri kecil Gaza dan Diwang yang menggemparkan seantero perkantoran milik papa sang bayi. “Sudahlah Bro terima saja, elu saja gua tanya baik-baik ngelesnya bukan main. Elu menolak rezeki anak elu, hah?” Olan pura-pura melebarkan mata sementara Vero terkekeh akan dua manusia dewasa di sana yang hendak saling berkelahi. “Bukan enggak terima rezeki anak, tapi memang gua inginnya kebutuhan primer dia ya bapaknya yang belikan. Ya sudah karena gua tahu nomor rekening elu, gampanglah urusannya.” Gaza terkekeh merasa menang. “Gua ta
“Mari begadang, Papa,” kekeh Natasya. Yumna Zanneta Hernando telah diperbolehkan pulang dengan mamanya setelah dua hari pasca kelahirannya. Tidak ada sambutan mewah atau sejenisnya, keluarganya paham jika orang tua baru perlu istirahat dan diberikan ruang menikmati kebahagiaan kehadiran putri kecil ditengah-tengah mereka. Jadi saat Natasya dan bayinya pulang, tidak ada yang menjemput dan menyambut di rumah mereka. “Siap, Mama. Kamu duduk dulu sana, akunya masih ngilu lihat kamu jalan saja masih pelan begitu.” Gaza masih menggendong putri kecilnya begitu masuk ke kamar mereka. Natasya mengangguk, menunjuk boks bayi yang menempel pada tepi ranjang mereka di sebelah kanan agar Neta yang lelap dalam gendongan Gaza diletakan di sana. Gaza menurut, meletakan bayi mereka dengan sangat amat perlahan cenderung masih takut dan kaku. Melihatnya membuat Natasya tersenyum, ia hanya diperbolehkan memegang Neta saat perjalanan di mobil d
“Mandi,” bisik Natasya. Gaza terkekeh kecil dengan menatap lembut manik mata wanita dengan mata bengkak dan seluruh wajah bengkak. Membelainya dengan senyuman lebar tanpa suara. Setelah tiga jam pasca melahirkan, Natasya terlelap setelah bayi perempuan mereka menerima asi pertama darinya. Kelahiran yang tidak mudah dan sempat membuatnya ingin menyerah setelah satu jam lebih pembukaan lengkap namun tidak jua lahir. Saat berhasil dilahirkan, suara tangisannya merobek ruang persalinan hingga kedua orang tuanya tergugu dalam kebahagiaan tiada terkira. Natasya langsung terlelap kelelahan dan dibangunkan saat harus kembali menyusui putrinya. “Kusut banget ya?” Gaza menimpali perkataan istrinya yang memintanya mandi. “Iya, kusut sekali. Nanti anaknya cium bau asem pas digendong,” kelakar Natasya.Gaza terkekeh kecil mengangguk. “Iya nanti sebentar lagi mandi, kamu benar sudah enggak sakit duduk begini?”
“Sayang ... kamu lihat tas yang isinya pembalut melahirkan? Perasaan aku taruh dekat tas yang mau dibawa ke rumah sakit nanti deh,” tanya Natasya. “Ada di situ aku lihat tadi. Yang warna biru kan?” Gaza mendekati Natasya yang memakai daster tanpa lengan berjalan mondar-mandir. “Enggak ada kok aku cari dari tadi, kamu buang?” tanya Natasya.Gaza berdecap. “Ya masa aku buang Sayang, kan aku yang beli. Kepintaran amat.” Natasya terkekeh kecil kembali mencari, tarikan nafas Natasya yang tertangkap oleh telinga Gaza membuat Gaza berhenti bergerak. “Sayangku cintaku manisku, bisa tolong kamu duduk manis saja? kamu ngos-ngosan sekali aku dengar. Biarkan suami kamu ini yang cari,” papar Gaza. Natasya menyeringai, memasuki bulan delapan Natasya mulai sering kelelahan padahal hanya berjalan-jalan sebentar. Nafas sering ngos-ngosan dan kegerahan setiap saat padahal pendingin ruangan menyala nonstop 24
“Ya Tuhan ... aku pikir kenapa sampai jongkok di depan kulkas menangis, nanti kita beli lagi ya, aku akan ke sana hari ini buat lihat apa sudah buka atau belum. Sudah Sayang sudah ayo bangun.” Gaza membantu Natasya bangun setelah mbak di rumah berlarian menghampiri dirinya yang sedang duduk menonton film, mengatakan bahwa istrinya menangis di pojok dapur. Gaza pikir istrinya kenapa-kenapa, saat ia hampiri ternyata tangan Natasya sedang memegang mangkok puding karamel dengan saos karamel yang sisa sedikit. Gaza menahan tawa sekaligus meringis saat istrinya bercerita bahwa ia tidak rela karamelnya tumpah. “Tapi bapaknya masih di rumah sakit, dan ini puding terakhir. Enggak tahu kapan bisa buat lagi.” Natasya terisak penuh kesedihan dengan tangan memegang mangkuk erat-erat. “Nanti aku akan cek ya Sayang, semoga sudah buka. Sudah jangan menangis lagi ya, semoga lekas berlalu ya fase sensitif ini.” Gaza memutuskan memeluk istr
“Oh maaf saya tidak buka, Bu. Saya hanya mau mengambil sesuatu di dalam,” jawab sang pemilik toko kue. “Iya maaf Pak, kami memang ke sini mau beli awalnya eh ternyata tutup. Ayo Sayang kita pulang saja ya.” Gaza segera menggandeng Natasya untuk kembali ke mobil mereka yang terparkir di depan toko tersebut. “Apa masih lama Pak, bukanya?” tanya Natasya. “Saya tidak bisa pastikan, Bu. Anak saya sedang di rawat, dan saya hanya mau ambil puding untuk anak saya yang minta. Nanti kalau sudah sehat kembali, baru saya buka.” Pemilik toko menjawab dengan tangan membuka gembok pada pintu kacanya. “Apa puding karamel siram fla, Pak?” Natasya bertanya dengan mata berbibar-binar.Gaza menunduk dengan menghela nafas panjang. “ Sayang, kamu mengganggu bapaknya sedang buru-buru mau kembali ke rumah sakit. Maaf ya, Pak.” “Ibu mau beli puding karemel fla? Ibu sedang hamil?” terka pemilik toko.
Gaza melepas tawa lebar dengan meraba celana belakangnya, masih dengan tertawa, Gaza menganggukkan kepala dan kembali duduk di samping istrinya yang kebingungan mengapa ia tertawa selebar itu. “Tahu kok, ya ampun tadi pagi aku sangat malu, Sayang. Aku enggak tahu dari kapan robeknya, apa dari rumah apa di mobil. Pas turun mobil di tegur sekuriti depan, dan langsung tarik tangan aku untuk mepet tembok lobi. Aku pikir kenapa ini sekuriti kurang ajar sekali main tarik-tarik eh tahunya mau membisiki kalau celana aku robek.” Gaza kembali tertawa “Ya ampun,” kekeh Natasya. “Aku enggak bisa pulang lagi karena ada meeting dengan dua orang penting dan enggak bawa celana ganti juga. Alhasil aku minta Olan selalu jalan belakang aku dan agak mepet biar enggak dilihat orang, Olan sampai tertawa puas sekali dia, kurang ajar memang. Kecangkol apa ya kira-kira?” Gaza masih geli sekali mengingat ia tidak tenang takut tiba-tiba bangun dari k
“Ibu ... Ibu ... jangan Bu, aduh,” seru salah satu karyawan Natasya di klinik. Natasya berada di klinik kecantikannya karena datang stok barang dalam jumlah banyak. Seluruh karyawan sudah tahu jika sang owner tengah hamil dan sudah diberi pesan tegas oleh Gaza bahwa Natasya hanya mengawasi dan menerima laporan. Tidak ada mondar-mandir dan tidak ada angkat barang sekecil apa pun. Natasya kena seruan karyawannya saat menyentuh sebuah serum dalam kardus yang masih tertutup rapat. Karyawannya mengira jika ia akan mengangkatnya. “Aruna ... aku mau baca saja, ok,” kekeh Natasya. “Aduh Ibu pokoknya duduk saja sudah. Kan aku ada di samping Ibu, tinggal tunjuk mana yang mau dibawa dan mana mau digeser. Nanti saya kena pecat bapak,” rengek Aruna.Natasya tergelak. “Aku yang gaji kamu, bukan bapak.” “Iya tapi laporan yang ditunggu bapak dari saya macam militer, Bu. Katanya kalau sampai bapak lihat di cctv Ibu pegang-