“Tidak apa-apa Pak, perkembangannya sudah sangat banyak. Semangat Ibu Diwang untuk sembuh juga sangat besar. Itu point tambahan untuk dapat mempercepat proses penyembuhan.” Dokter menjelaskan ketika Natasya sudah menjalani terapi selama satu minggu dan esok diperbolehkan pulang setelah dua setengah bulan penuh di rumah sakit. Gaza menanyakan apa benar sudah tidak apa-apa istrinya pulang dengan kaki yang sudah dapat jalan namun masih pelan-pelan. “Baik Dok, terima kasih banyak sudah membantu istri saya selama ini,” papar Gaza. “Sama-sama Pak, semoga dengan kembalinya Ibu ke rumah membuatnya jauh lebih sehat karena berada di tempat dan lingkungan nyaman sehari-hari. Tetap dijaga dan diperhatikan pola makannya dan jangan dulu melakukan hal yang berat.” Dokter memberikan nasehat sebelum Gaza meninggalkan ruangannya. Gaza memastikan sang istri sudah duduk nyaman menggunakan seat belt sebelum ia duduk di bali ke
Natasya tertawa gemas akan Shaka di pangkuannya yang baru saja mendaratkan kecupan pada pipinya. Mereka tengah berkumpul keluarga guna merayakan kepulangan Natasya dari menginap lamanya di rumah sakit. “Tante Diwang dicariin Shaka terus tahu, tanya kapan pulang kapan pulang,’ papar Naren. “Oh ya? Tante juga kangen anak baik ini.” Natasya membelai kepala Shaka yang sibuk dengan makanan di tangan. “Sudah lebih Baik, Diwang?” tanya Vallen. “Iya sudah sangat baik, walau belum bisa lari dan kalau jongkok mesti dibantu bangunnya,” jawab Natasya. “Tidak perlu memaksakan diri, lama-lama pasti bisa lagi.” Naren menjawab dengan menyentuh lengan Natasya yang tertutup kemeja panjang biru. Natasya mengangguk dengan senyuman, ia yakin juga akan bisa kembali. Makan malam keluarga tersebut berlangsung hangat, bahkan si kecil Shaka menolak diajak pulang dan memeluk erat Gaza yang
“Kekayaan Ratu Elizabeth kira-kira berapa ya, Ga?” Natasya bertanya ketika mereka pagi-pagi buta sudah berjalan-jalan di hutan belakang vila Gaza. “Aku bisa menghitung gambarannya kalau kamu bertanya serius enggak hanya iseng.” Gaza menepuk punggung tangan istri yang ia genggam. Natasya melempar tawa, ia memang iseng tanya kekayaan orang nomor satu di Inggris. Masih menyunggingkan senyum, Natasya melepas genggam tangan suaminya dan berjalan mundur berhadapan dengan suaminya. “Hei be carefull,” tegur Gaza. “Kiss me.” Natasya menyentuh bibirnya dengan senyuman lebar. “Yakin enggak akan tampar aku lagi?” kelakar Gaza. “Enggak ... sudah paten milik Gazalio Hernando,” kekeh Natasya. Gaza tergelak kecil, menyentuh lengan Natasya agar berhenti jalan mundur dengan kondisi jalanan yang tidak rata tersebut. Mendekatkan kepalanya pada kepala sang istri untuk mendaratkan
“Ih aku mau udangnya, Gaza,” seru Natasya. “Iya iya.” Gaza terkekeh meletakan udang di tangan yang hendak masuk ke dalam mulutnya ke piring kecil istrinya. “Kamu ikannya saja, udang buat aku semua,” tambah Natasya. “Ia Sayang, besok aku belikan sekilo buat kamu sendiri. Jagung mau?” Gaza yang masih berdiri depan tempat barbeque membakar apa yang sudah ia minta siapkan pada mamang vila. “Mau ... buat agak gosong ya, Sayang.” Natasya duduk di atas ayunan dengan memegang piring kecil berisi lima potong udang besar yang sudah dibakar dan dilumuri bumbu racikan Gaza sendiri.Gaza berdecap. “Biasa banget apa-apa demennya gosong. Sudah tahu baru pulih.” “Agak gosong, bukan gosong. Dan aku sudah boleh makan apa saja kata dokternya untuk perbaikan gizi.” Natasya terkikik sendiri akan perkataannya. “Kenapa mamang dan teteh enggak mau bergabung, Sayang? padahal aku enggak masalah kok.
“Iya Lan, gua sudah di Jakarta, antar bini sampai rumah dulu ya baru ke kantor.” Gaza menerima panggilan Olan saat menuju rumah mereka yang sudah cukup dekat. “Jangan lupa makan, kamu belum makan dari pagi.” Natasya mengingatkan pada suaminya. “Iya Sayang. Bye.” Gaza melambaikan tangan kala Natasya turun dari mobil sedangkan ia langsung menuju kantornya. Natasya mengeluarkan pakaian kotor mereka berdua selama di puncak saat memasuki rumah ke dalam keranjang pakaian kotor mereka. Mbak di rumah menyapanya hangat dan menanyakan ingin dibuatkan apa untuk makan siang mereka. Natasya mengatakan jika ia yang akan memasak hari itu. Dua hari di puncak membawa banyak perubahan suasana baik pada diri Natasya, ia menjadi lebih bersemangat untuk lekas lebih sehat. Ia ingin selalu sehat agar dapat mendampingi suaminya hingga batas usianya kelak. Sedikit berlebihan, tapi ia sungguh tidak ingin mengalami sakit seperti kemarin la
“Istirahat ya, matikan ponselnya dulu.” Natasya mengatakan usai mereka sampai rumah setelah mengunjungi sebuah panti asuhan di mana mereka tersentuh akan senyum ketulusan di sana. “Iya, aku sudah minta Olan istirahat juga. Kita akan berangkat bekerja lusa. Come here.” Gaza menepuk samping tempatnya duduk di hamparan karpet ruang keluarga bersandar kaki sofa, mengenakan celana pendek hitam polos dan kaos lengan buntung kusam. Natasya mengangguk, mengikat rambut panjangnya sebelum ikut duduk di samping Gaza. Layar televisi padam, tidak ada musik, Gaza hanya ingin duduk di sana saja ditemani istrinya. “Pasti mau tanya kenapa aku menyambangi banyak panti asuhan tiga hari ini,” terka Natasya. Gaza mengangguk menyentuh helai rambut istrinya dengan senyuman. “Karena aku teringat anak kita,” desah Natasya. “Awalnya aku sangat rindu sekali sama anak kita, tapi karena dia luruh tanpa
“Aku enggak suka kamu bicara seperti itu, Sahaya Diwangkari.” Gaza mengatakan dengan suara dalam dan tegas. Natasya mengukir senyum sedihnya, Gaza marah, ia sangat tahu saat Gaza memanggil nama lengkapnya dengan intonasi penuh penekanan. Menepuk punggung tangan suami yang masih menggenggam tangannya, Natasya tidak berniat mengubah ucapannya tadi. “Kita pulang saja, aku sudah enggak mood belanja,” pinta Natasya. Gaza tidak bergeming, masih menatap tajam manik mata istrinya yang tergambar kesedihan samar dan dapat ia lihat walau Natasya coba menutupinya. “Ayo jalan, Sayang. Kita menghalangi jalanan orang lain.” Natasya menarik lebih kuat tangan Gaza sampai akhirnya mau melangkahkan kakinya. Sepanjang perjalanan pulang tidak ada yang mengeluarkan suara. Mereka diam dengan isi kepala masing-masing. Gaza dengan kemarahannya karena ucapan istrinya, Natasya yang sangat sedih karena diingatkan masa
Natasya mengerutkan kening ketika merasa sampingnya kosong karena seingatnya ada suaminya. Memaksa membuka mata lengketnya untuk terbuka dan memeriksa, ternyata memang kosong sisi kirinya. Memandang pintu kamar mandi dalam kamar juga gelap, pertanda sang suami tidak berada di sana. Kemana gerangan Gaza. “Sayang.” Natasya memanggil setelah keluar dari kamar dengan rambut berantakannya. “Di dapur,” jawab Gaza dari kejauhan. Natasya menuju dapur tanpa alas kaki, ternyata Gaza sedang menggoreng nasi dengan potongan bakso dan karage. Serta sudah ada potongan mentimun serta kubis di dekat sink. Kelaparan rupanya suaminya. “Lapar jam segini? Ini masih jam tiga pagi,” ucap Natasya. “He’em,” jawab Gaza singkat. Natasya sudah sepenuhnya melek dan ia menyadari jawaban singkat suaminya pertanda belum sepenuhnya memaafkan dirinya. Natasya memutuskan memeluk Gaza dari belakang, menempelka
“Kamu enggak bisa main ini, nanti kalau jatuh terus berdarah ... aku dimarahi papa kamu dan kamu akan dimarahi mama kamu,” seru suara anak laki-laki usia tujuh tahun. “Ih tapi aku mau ikut naik,” teriak suara anak perempuan. “Kamu pakai rok, Neta. Nanti kelihatan celana dalamnya,” timpal suara anak-anak lainnya. “Kan aku pakai celana pendek, enggak akan kelihatan,” bantah suara perempuan. Natasya terkekeh kecil, menjawil lengan suaminya yang asyik bermain ponsel dengan kaca mata melorot. “Apa?” tanya Gaza. “Itu putri kamu sedang beradu sama dua abangnya, sana samperi,” kekeh Natasya. “Biarkan saja, Shaka lebih keras kepala dibandingkan Neta. Mari kita hitung mundur berapa lama Neta menjerit panggil mama,” jawab Gaza. Tidak sampai hitungan lima setelah mendengar perdebatan di ruang bermain, jeritan melengking terdengar disusul tangisan merobek
“Heh gila! gua bilang pakai uang kantor. Wah pelanggaran.” Gaza berseru menggeplak punggung Olan yang datang bersama Vero dalam satu mobil membuntuti sebuah truk barang salah satu perusahaan elektronik besar. Gaza meminta nota pelunasan dan tidak diberikan oleh Olan dengan seringai menjengkelkan. Olan berkata lemari penyimpan asip hadiah dari mereka berdua untuk Yumna Zanneta Hernando. Putri kecil Gaza dan Diwang yang menggemparkan seantero perkantoran milik papa sang bayi. “Sudahlah Bro terima saja, elu saja gua tanya baik-baik ngelesnya bukan main. Elu menolak rezeki anak elu, hah?” Olan pura-pura melebarkan mata sementara Vero terkekeh akan dua manusia dewasa di sana yang hendak saling berkelahi. “Bukan enggak terima rezeki anak, tapi memang gua inginnya kebutuhan primer dia ya bapaknya yang belikan. Ya sudah karena gua tahu nomor rekening elu, gampanglah urusannya.” Gaza terkekeh merasa menang. “Gua ta
“Mari begadang, Papa,” kekeh Natasya. Yumna Zanneta Hernando telah diperbolehkan pulang dengan mamanya setelah dua hari pasca kelahirannya. Tidak ada sambutan mewah atau sejenisnya, keluarganya paham jika orang tua baru perlu istirahat dan diberikan ruang menikmati kebahagiaan kehadiran putri kecil ditengah-tengah mereka. Jadi saat Natasya dan bayinya pulang, tidak ada yang menjemput dan menyambut di rumah mereka. “Siap, Mama. Kamu duduk dulu sana, akunya masih ngilu lihat kamu jalan saja masih pelan begitu.” Gaza masih menggendong putri kecilnya begitu masuk ke kamar mereka. Natasya mengangguk, menunjuk boks bayi yang menempel pada tepi ranjang mereka di sebelah kanan agar Neta yang lelap dalam gendongan Gaza diletakan di sana. Gaza menurut, meletakan bayi mereka dengan sangat amat perlahan cenderung masih takut dan kaku. Melihatnya membuat Natasya tersenyum, ia hanya diperbolehkan memegang Neta saat perjalanan di mobil d
“Mandi,” bisik Natasya. Gaza terkekeh kecil dengan menatap lembut manik mata wanita dengan mata bengkak dan seluruh wajah bengkak. Membelainya dengan senyuman lebar tanpa suara. Setelah tiga jam pasca melahirkan, Natasya terlelap setelah bayi perempuan mereka menerima asi pertama darinya. Kelahiran yang tidak mudah dan sempat membuatnya ingin menyerah setelah satu jam lebih pembukaan lengkap namun tidak jua lahir. Saat berhasil dilahirkan, suara tangisannya merobek ruang persalinan hingga kedua orang tuanya tergugu dalam kebahagiaan tiada terkira. Natasya langsung terlelap kelelahan dan dibangunkan saat harus kembali menyusui putrinya. “Kusut banget ya?” Gaza menimpali perkataan istrinya yang memintanya mandi. “Iya, kusut sekali. Nanti anaknya cium bau asem pas digendong,” kelakar Natasya.Gaza terkekeh kecil mengangguk. “Iya nanti sebentar lagi mandi, kamu benar sudah enggak sakit duduk begini?”
“Sayang ... kamu lihat tas yang isinya pembalut melahirkan? Perasaan aku taruh dekat tas yang mau dibawa ke rumah sakit nanti deh,” tanya Natasya. “Ada di situ aku lihat tadi. Yang warna biru kan?” Gaza mendekati Natasya yang memakai daster tanpa lengan berjalan mondar-mandir. “Enggak ada kok aku cari dari tadi, kamu buang?” tanya Natasya.Gaza berdecap. “Ya masa aku buang Sayang, kan aku yang beli. Kepintaran amat.” Natasya terkekeh kecil kembali mencari, tarikan nafas Natasya yang tertangkap oleh telinga Gaza membuat Gaza berhenti bergerak. “Sayangku cintaku manisku, bisa tolong kamu duduk manis saja? kamu ngos-ngosan sekali aku dengar. Biarkan suami kamu ini yang cari,” papar Gaza. Natasya menyeringai, memasuki bulan delapan Natasya mulai sering kelelahan padahal hanya berjalan-jalan sebentar. Nafas sering ngos-ngosan dan kegerahan setiap saat padahal pendingin ruangan menyala nonstop 24
“Ya Tuhan ... aku pikir kenapa sampai jongkok di depan kulkas menangis, nanti kita beli lagi ya, aku akan ke sana hari ini buat lihat apa sudah buka atau belum. Sudah Sayang sudah ayo bangun.” Gaza membantu Natasya bangun setelah mbak di rumah berlarian menghampiri dirinya yang sedang duduk menonton film, mengatakan bahwa istrinya menangis di pojok dapur. Gaza pikir istrinya kenapa-kenapa, saat ia hampiri ternyata tangan Natasya sedang memegang mangkok puding karamel dengan saos karamel yang sisa sedikit. Gaza menahan tawa sekaligus meringis saat istrinya bercerita bahwa ia tidak rela karamelnya tumpah. “Tapi bapaknya masih di rumah sakit, dan ini puding terakhir. Enggak tahu kapan bisa buat lagi.” Natasya terisak penuh kesedihan dengan tangan memegang mangkuk erat-erat. “Nanti aku akan cek ya Sayang, semoga sudah buka. Sudah jangan menangis lagi ya, semoga lekas berlalu ya fase sensitif ini.” Gaza memutuskan memeluk istr
“Oh maaf saya tidak buka, Bu. Saya hanya mau mengambil sesuatu di dalam,” jawab sang pemilik toko kue. “Iya maaf Pak, kami memang ke sini mau beli awalnya eh ternyata tutup. Ayo Sayang kita pulang saja ya.” Gaza segera menggandeng Natasya untuk kembali ke mobil mereka yang terparkir di depan toko tersebut. “Apa masih lama Pak, bukanya?” tanya Natasya. “Saya tidak bisa pastikan, Bu. Anak saya sedang di rawat, dan saya hanya mau ambil puding untuk anak saya yang minta. Nanti kalau sudah sehat kembali, baru saya buka.” Pemilik toko menjawab dengan tangan membuka gembok pada pintu kacanya. “Apa puding karamel siram fla, Pak?” Natasya bertanya dengan mata berbibar-binar.Gaza menunduk dengan menghela nafas panjang. “ Sayang, kamu mengganggu bapaknya sedang buru-buru mau kembali ke rumah sakit. Maaf ya, Pak.” “Ibu mau beli puding karemel fla? Ibu sedang hamil?” terka pemilik toko.
Gaza melepas tawa lebar dengan meraba celana belakangnya, masih dengan tertawa, Gaza menganggukkan kepala dan kembali duduk di samping istrinya yang kebingungan mengapa ia tertawa selebar itu. “Tahu kok, ya ampun tadi pagi aku sangat malu, Sayang. Aku enggak tahu dari kapan robeknya, apa dari rumah apa di mobil. Pas turun mobil di tegur sekuriti depan, dan langsung tarik tangan aku untuk mepet tembok lobi. Aku pikir kenapa ini sekuriti kurang ajar sekali main tarik-tarik eh tahunya mau membisiki kalau celana aku robek.” Gaza kembali tertawa “Ya ampun,” kekeh Natasya. “Aku enggak bisa pulang lagi karena ada meeting dengan dua orang penting dan enggak bawa celana ganti juga. Alhasil aku minta Olan selalu jalan belakang aku dan agak mepet biar enggak dilihat orang, Olan sampai tertawa puas sekali dia, kurang ajar memang. Kecangkol apa ya kira-kira?” Gaza masih geli sekali mengingat ia tidak tenang takut tiba-tiba bangun dari k
“Ibu ... Ibu ... jangan Bu, aduh,” seru salah satu karyawan Natasya di klinik. Natasya berada di klinik kecantikannya karena datang stok barang dalam jumlah banyak. Seluruh karyawan sudah tahu jika sang owner tengah hamil dan sudah diberi pesan tegas oleh Gaza bahwa Natasya hanya mengawasi dan menerima laporan. Tidak ada mondar-mandir dan tidak ada angkat barang sekecil apa pun. Natasya kena seruan karyawannya saat menyentuh sebuah serum dalam kardus yang masih tertutup rapat. Karyawannya mengira jika ia akan mengangkatnya. “Aruna ... aku mau baca saja, ok,” kekeh Natasya. “Aduh Ibu pokoknya duduk saja sudah. Kan aku ada di samping Ibu, tinggal tunjuk mana yang mau dibawa dan mana mau digeser. Nanti saya kena pecat bapak,” rengek Aruna.Natasya tergelak. “Aku yang gaji kamu, bukan bapak.” “Iya tapi laporan yang ditunggu bapak dari saya macam militer, Bu. Katanya kalau sampai bapak lihat di cctv Ibu pegang-