“Iya Lan, gua sudah di Jakarta, antar bini sampai rumah dulu ya baru ke kantor.” Gaza menerima panggilan Olan saat menuju rumah mereka yang sudah cukup dekat. “Jangan lupa makan, kamu belum makan dari pagi.” Natasya mengingatkan pada suaminya. “Iya Sayang. Bye.” Gaza melambaikan tangan kala Natasya turun dari mobil sedangkan ia langsung menuju kantornya. Natasya mengeluarkan pakaian kotor mereka berdua selama di puncak saat memasuki rumah ke dalam keranjang pakaian kotor mereka. Mbak di rumah menyapanya hangat dan menanyakan ingin dibuatkan apa untuk makan siang mereka. Natasya mengatakan jika ia yang akan memasak hari itu. Dua hari di puncak membawa banyak perubahan suasana baik pada diri Natasya, ia menjadi lebih bersemangat untuk lekas lebih sehat. Ia ingin selalu sehat agar dapat mendampingi suaminya hingga batas usianya kelak. Sedikit berlebihan, tapi ia sungguh tidak ingin mengalami sakit seperti kemarin la
“Istirahat ya, matikan ponselnya dulu.” Natasya mengatakan usai mereka sampai rumah setelah mengunjungi sebuah panti asuhan di mana mereka tersentuh akan senyum ketulusan di sana. “Iya, aku sudah minta Olan istirahat juga. Kita akan berangkat bekerja lusa. Come here.” Gaza menepuk samping tempatnya duduk di hamparan karpet ruang keluarga bersandar kaki sofa, mengenakan celana pendek hitam polos dan kaos lengan buntung kusam. Natasya mengangguk, mengikat rambut panjangnya sebelum ikut duduk di samping Gaza. Layar televisi padam, tidak ada musik, Gaza hanya ingin duduk di sana saja ditemani istrinya. “Pasti mau tanya kenapa aku menyambangi banyak panti asuhan tiga hari ini,” terka Natasya. Gaza mengangguk menyentuh helai rambut istrinya dengan senyuman. “Karena aku teringat anak kita,” desah Natasya. “Awalnya aku sangat rindu sekali sama anak kita, tapi karena dia luruh tanpa
“Aku enggak suka kamu bicara seperti itu, Sahaya Diwangkari.” Gaza mengatakan dengan suara dalam dan tegas. Natasya mengukir senyum sedihnya, Gaza marah, ia sangat tahu saat Gaza memanggil nama lengkapnya dengan intonasi penuh penekanan. Menepuk punggung tangan suami yang masih menggenggam tangannya, Natasya tidak berniat mengubah ucapannya tadi. “Kita pulang saja, aku sudah enggak mood belanja,” pinta Natasya. Gaza tidak bergeming, masih menatap tajam manik mata istrinya yang tergambar kesedihan samar dan dapat ia lihat walau Natasya coba menutupinya. “Ayo jalan, Sayang. Kita menghalangi jalanan orang lain.” Natasya menarik lebih kuat tangan Gaza sampai akhirnya mau melangkahkan kakinya. Sepanjang perjalanan pulang tidak ada yang mengeluarkan suara. Mereka diam dengan isi kepala masing-masing. Gaza dengan kemarahannya karena ucapan istrinya, Natasya yang sangat sedih karena diingatkan masa
Natasya mengerutkan kening ketika merasa sampingnya kosong karena seingatnya ada suaminya. Memaksa membuka mata lengketnya untuk terbuka dan memeriksa, ternyata memang kosong sisi kirinya. Memandang pintu kamar mandi dalam kamar juga gelap, pertanda sang suami tidak berada di sana. Kemana gerangan Gaza. “Sayang.” Natasya memanggil setelah keluar dari kamar dengan rambut berantakannya. “Di dapur,” jawab Gaza dari kejauhan. Natasya menuju dapur tanpa alas kaki, ternyata Gaza sedang menggoreng nasi dengan potongan bakso dan karage. Serta sudah ada potongan mentimun serta kubis di dekat sink. Kelaparan rupanya suaminya. “Lapar jam segini? Ini masih jam tiga pagi,” ucap Natasya. “He’em,” jawab Gaza singkat. Natasya sudah sepenuhnya melek dan ia menyadari jawaban singkat suaminya pertanda belum sepenuhnya memaafkan dirinya. Natasya memutuskan memeluk Gaza dari belakang, menempelka
“Sudah aku bilang enggak apa-apa, aku belanja sama mbak dan driver kok jadi ada yang bantu bawa nanti. Kita ke pantinya tunggu kamu libur lagi. Enggak akan ditinggal, belanjanya saja pakai uang kamu masa ditinggal,” kekeh Natasya. Natasya bersama mbak berbelanja semua yang sudah ia list dari minggu lalu namun belum jadi dibeli lantaran bertemu wanita gila yang memaki-maki dirinya hingga menjadikan ia bertengkar dengan Gaza. Mengisi troli dengan barang-barang, Natasya menikmati sesi belanjanya. Ketika melihat sebuah mainan kuda yang bisa jalan jika di hentak, memiliki roda-roda kecil pada keempat kakinya. Natasya teringat Shaka tiba-tiba, dengan senyuman lebar ia segera masuk ke dalam toko mainan tersebut untuk membelikan sang keponakan kuda-kudaan. “Hallo Naren, ada di rumah?” tanya Natasya. “Iya di rumah, mau ke sini? ayo,” jawab Naren. “Ok aku ke sana ya.” Natasya segera mengakhiri panggi
“Sayang buka pintunya, ini aku.” Gaza mengetuk pintu kemudi di mana istrinya berada tengah menenggelamkan kepala di kemudi yang sudah berhenti. Natasya tancap gas hingga hampir menabrak seorang pesepeda motor setelah melewati penantian perubahan lampu merah ke hijau yang terasa sangat lama di tengah ketakutan luar biasanya. Si penguntit memberinya ancaman berupa menyayatkan ujung pisau di sepanjang kaca jendela hitamnya. Ia terpental kala Natasya menginjak gas kuat dengan seluruh badan yang gemetar hebat.Psikopat tersebut jelas tertinggal jauh setelah mangsanya menginjak gas dalam. Natasya berkendara bagai orang gila mencari tempat yang ia arahkan Gaza, yaitu polda metro jaya. Gaza memintanya berhenti di dalam pelataran polda metro jaya karena yakin si psikopat tidak akan berani menyusul masuk ke sana.Begitu pintu terbuka, Natasya keluar dengan sisa keberaniannya. Menyambut pelukan suaminya dengan isak pelan, ia ketakutan setengah mati sedari dari.
“Simon .... “ “Benar ternyata kamu, Natasya ... Vallen bilang nama kamu Diwang. Ganti nama semenjak rumah merah dibongkar?” tanya laki-laki berkaos coklat di hadapan Natasya. “Kenapa kamu bisa ada di sini? kamu membuntuti saya?” Natasya cepat menguasai kekagetannya dan dalam sekejap ketenangannya terlihat kuat. “Tidak, kebetulan saja lewat dan lihat kamu keluar dari dalam sana, jadi benar kamu sekarang jadi istri Gazalio Hernando?” Seringai Simon jelas merendahkan wanita di depannya. “Benar ... Gazalio Hernando suami saya dan Vallen kakak ipar saya. Silakan dilanjutkan perjalanannya jika memang hanya lewat. Natasya mengurungkan niatnya membuka mobil guna mengambil ponselnya, ia memutar badan untuk kembali masuk ke dalam panti asuhan. Akan tetapi Natasya tidak menduga saat lengannya dicekal kuat. Sontak ia menghentak dengan berseru lepaskan.“Ups sorry Sya.” Simon terkekeh penuh nada meremeh
“Kamu di mana, Sayang?” Natasya bertanya setengah merajuk kala pukul enam sore suaminya belum juga sampai rumah. “Jalanan depan perumahan kita Sayang, tunggu ya.” Gaza berkata lembut pada Natasya yang sangat jarang berkata penuh rajukan seperti tadi. “Ok.” Natasya mematikan panggilan tanpa mengatakan apa-apa lagi menjadikan Gaza menghela nafas kemudian terkekeh kecil. Semenjak kejadian Simon, Gaza selalu pulang terlambat walau tidak sampai hari gelap. Natasya juga enggan menanyakan mengenai apa Gaza sudah menemukan Simon atau belum. Yang terpenting bagi Natasya adalah ia selalu baik-baik saja. “Jangan pakai baju,” seru Natasya. Gaza menoleh ke arah Natasya yang duduk bersandar di kepala ranjang, dengan tangan memegang kaos polos hitam yang hendak ia pakai. Mengerutkan kening penuh tanya pada istrinya yang meletakan ponsel di nakas dan menepuk samping tempatnya duduk santai. Sedari tadi ia m
“Kamu enggak bisa main ini, nanti kalau jatuh terus berdarah ... aku dimarahi papa kamu dan kamu akan dimarahi mama kamu,” seru suara anak laki-laki usia tujuh tahun. “Ih tapi aku mau ikut naik,” teriak suara anak perempuan. “Kamu pakai rok, Neta. Nanti kelihatan celana dalamnya,” timpal suara anak-anak lainnya. “Kan aku pakai celana pendek, enggak akan kelihatan,” bantah suara perempuan. Natasya terkekeh kecil, menjawil lengan suaminya yang asyik bermain ponsel dengan kaca mata melorot. “Apa?” tanya Gaza. “Itu putri kamu sedang beradu sama dua abangnya, sana samperi,” kekeh Natasya. “Biarkan saja, Shaka lebih keras kepala dibandingkan Neta. Mari kita hitung mundur berapa lama Neta menjerit panggil mama,” jawab Gaza. Tidak sampai hitungan lima setelah mendengar perdebatan di ruang bermain, jeritan melengking terdengar disusul tangisan merobek
“Heh gila! gua bilang pakai uang kantor. Wah pelanggaran.” Gaza berseru menggeplak punggung Olan yang datang bersama Vero dalam satu mobil membuntuti sebuah truk barang salah satu perusahaan elektronik besar. Gaza meminta nota pelunasan dan tidak diberikan oleh Olan dengan seringai menjengkelkan. Olan berkata lemari penyimpan asip hadiah dari mereka berdua untuk Yumna Zanneta Hernando. Putri kecil Gaza dan Diwang yang menggemparkan seantero perkantoran milik papa sang bayi. “Sudahlah Bro terima saja, elu saja gua tanya baik-baik ngelesnya bukan main. Elu menolak rezeki anak elu, hah?” Olan pura-pura melebarkan mata sementara Vero terkekeh akan dua manusia dewasa di sana yang hendak saling berkelahi. “Bukan enggak terima rezeki anak, tapi memang gua inginnya kebutuhan primer dia ya bapaknya yang belikan. Ya sudah karena gua tahu nomor rekening elu, gampanglah urusannya.” Gaza terkekeh merasa menang. “Gua ta
“Mari begadang, Papa,” kekeh Natasya. Yumna Zanneta Hernando telah diperbolehkan pulang dengan mamanya setelah dua hari pasca kelahirannya. Tidak ada sambutan mewah atau sejenisnya, keluarganya paham jika orang tua baru perlu istirahat dan diberikan ruang menikmati kebahagiaan kehadiran putri kecil ditengah-tengah mereka. Jadi saat Natasya dan bayinya pulang, tidak ada yang menjemput dan menyambut di rumah mereka. “Siap, Mama. Kamu duduk dulu sana, akunya masih ngilu lihat kamu jalan saja masih pelan begitu.” Gaza masih menggendong putri kecilnya begitu masuk ke kamar mereka. Natasya mengangguk, menunjuk boks bayi yang menempel pada tepi ranjang mereka di sebelah kanan agar Neta yang lelap dalam gendongan Gaza diletakan di sana. Gaza menurut, meletakan bayi mereka dengan sangat amat perlahan cenderung masih takut dan kaku. Melihatnya membuat Natasya tersenyum, ia hanya diperbolehkan memegang Neta saat perjalanan di mobil d
“Mandi,” bisik Natasya. Gaza terkekeh kecil dengan menatap lembut manik mata wanita dengan mata bengkak dan seluruh wajah bengkak. Membelainya dengan senyuman lebar tanpa suara. Setelah tiga jam pasca melahirkan, Natasya terlelap setelah bayi perempuan mereka menerima asi pertama darinya. Kelahiran yang tidak mudah dan sempat membuatnya ingin menyerah setelah satu jam lebih pembukaan lengkap namun tidak jua lahir. Saat berhasil dilahirkan, suara tangisannya merobek ruang persalinan hingga kedua orang tuanya tergugu dalam kebahagiaan tiada terkira. Natasya langsung terlelap kelelahan dan dibangunkan saat harus kembali menyusui putrinya. “Kusut banget ya?” Gaza menimpali perkataan istrinya yang memintanya mandi. “Iya, kusut sekali. Nanti anaknya cium bau asem pas digendong,” kelakar Natasya.Gaza terkekeh kecil mengangguk. “Iya nanti sebentar lagi mandi, kamu benar sudah enggak sakit duduk begini?”
“Sayang ... kamu lihat tas yang isinya pembalut melahirkan? Perasaan aku taruh dekat tas yang mau dibawa ke rumah sakit nanti deh,” tanya Natasya. “Ada di situ aku lihat tadi. Yang warna biru kan?” Gaza mendekati Natasya yang memakai daster tanpa lengan berjalan mondar-mandir. “Enggak ada kok aku cari dari tadi, kamu buang?” tanya Natasya.Gaza berdecap. “Ya masa aku buang Sayang, kan aku yang beli. Kepintaran amat.” Natasya terkekeh kecil kembali mencari, tarikan nafas Natasya yang tertangkap oleh telinga Gaza membuat Gaza berhenti bergerak. “Sayangku cintaku manisku, bisa tolong kamu duduk manis saja? kamu ngos-ngosan sekali aku dengar. Biarkan suami kamu ini yang cari,” papar Gaza. Natasya menyeringai, memasuki bulan delapan Natasya mulai sering kelelahan padahal hanya berjalan-jalan sebentar. Nafas sering ngos-ngosan dan kegerahan setiap saat padahal pendingin ruangan menyala nonstop 24
“Ya Tuhan ... aku pikir kenapa sampai jongkok di depan kulkas menangis, nanti kita beli lagi ya, aku akan ke sana hari ini buat lihat apa sudah buka atau belum. Sudah Sayang sudah ayo bangun.” Gaza membantu Natasya bangun setelah mbak di rumah berlarian menghampiri dirinya yang sedang duduk menonton film, mengatakan bahwa istrinya menangis di pojok dapur. Gaza pikir istrinya kenapa-kenapa, saat ia hampiri ternyata tangan Natasya sedang memegang mangkok puding karamel dengan saos karamel yang sisa sedikit. Gaza menahan tawa sekaligus meringis saat istrinya bercerita bahwa ia tidak rela karamelnya tumpah. “Tapi bapaknya masih di rumah sakit, dan ini puding terakhir. Enggak tahu kapan bisa buat lagi.” Natasya terisak penuh kesedihan dengan tangan memegang mangkuk erat-erat. “Nanti aku akan cek ya Sayang, semoga sudah buka. Sudah jangan menangis lagi ya, semoga lekas berlalu ya fase sensitif ini.” Gaza memutuskan memeluk istr
“Oh maaf saya tidak buka, Bu. Saya hanya mau mengambil sesuatu di dalam,” jawab sang pemilik toko kue. “Iya maaf Pak, kami memang ke sini mau beli awalnya eh ternyata tutup. Ayo Sayang kita pulang saja ya.” Gaza segera menggandeng Natasya untuk kembali ke mobil mereka yang terparkir di depan toko tersebut. “Apa masih lama Pak, bukanya?” tanya Natasya. “Saya tidak bisa pastikan, Bu. Anak saya sedang di rawat, dan saya hanya mau ambil puding untuk anak saya yang minta. Nanti kalau sudah sehat kembali, baru saya buka.” Pemilik toko menjawab dengan tangan membuka gembok pada pintu kacanya. “Apa puding karamel siram fla, Pak?” Natasya bertanya dengan mata berbibar-binar.Gaza menunduk dengan menghela nafas panjang. “ Sayang, kamu mengganggu bapaknya sedang buru-buru mau kembali ke rumah sakit. Maaf ya, Pak.” “Ibu mau beli puding karemel fla? Ibu sedang hamil?” terka pemilik toko.
Gaza melepas tawa lebar dengan meraba celana belakangnya, masih dengan tertawa, Gaza menganggukkan kepala dan kembali duduk di samping istrinya yang kebingungan mengapa ia tertawa selebar itu. “Tahu kok, ya ampun tadi pagi aku sangat malu, Sayang. Aku enggak tahu dari kapan robeknya, apa dari rumah apa di mobil. Pas turun mobil di tegur sekuriti depan, dan langsung tarik tangan aku untuk mepet tembok lobi. Aku pikir kenapa ini sekuriti kurang ajar sekali main tarik-tarik eh tahunya mau membisiki kalau celana aku robek.” Gaza kembali tertawa “Ya ampun,” kekeh Natasya. “Aku enggak bisa pulang lagi karena ada meeting dengan dua orang penting dan enggak bawa celana ganti juga. Alhasil aku minta Olan selalu jalan belakang aku dan agak mepet biar enggak dilihat orang, Olan sampai tertawa puas sekali dia, kurang ajar memang. Kecangkol apa ya kira-kira?” Gaza masih geli sekali mengingat ia tidak tenang takut tiba-tiba bangun dari k
“Ibu ... Ibu ... jangan Bu, aduh,” seru salah satu karyawan Natasya di klinik. Natasya berada di klinik kecantikannya karena datang stok barang dalam jumlah banyak. Seluruh karyawan sudah tahu jika sang owner tengah hamil dan sudah diberi pesan tegas oleh Gaza bahwa Natasya hanya mengawasi dan menerima laporan. Tidak ada mondar-mandir dan tidak ada angkat barang sekecil apa pun. Natasya kena seruan karyawannya saat menyentuh sebuah serum dalam kardus yang masih tertutup rapat. Karyawannya mengira jika ia akan mengangkatnya. “Aruna ... aku mau baca saja, ok,” kekeh Natasya. “Aduh Ibu pokoknya duduk saja sudah. Kan aku ada di samping Ibu, tinggal tunjuk mana yang mau dibawa dan mana mau digeser. Nanti saya kena pecat bapak,” rengek Aruna.Natasya tergelak. “Aku yang gaji kamu, bukan bapak.” “Iya tapi laporan yang ditunggu bapak dari saya macam militer, Bu. Katanya kalau sampai bapak lihat di cctv Ibu pegang-