“Kamu di mana, Sayang?” Natasya bertanya setengah merajuk kala pukul enam sore suaminya belum juga sampai rumah. “Jalanan depan perumahan kita Sayang, tunggu ya.” Gaza berkata lembut pada Natasya yang sangat jarang berkata penuh rajukan seperti tadi. “Ok.” Natasya mematikan panggilan tanpa mengatakan apa-apa lagi menjadikan Gaza menghela nafas kemudian terkekeh kecil. Semenjak kejadian Simon, Gaza selalu pulang terlambat walau tidak sampai hari gelap. Natasya juga enggan menanyakan mengenai apa Gaza sudah menemukan Simon atau belum. Yang terpenting bagi Natasya adalah ia selalu baik-baik saja. “Jangan pakai baju,” seru Natasya. Gaza menoleh ke arah Natasya yang duduk bersandar di kepala ranjang, dengan tangan memegang kaos polos hitam yang hendak ia pakai. Mengerutkan kening penuh tanya pada istrinya yang meletakan ponsel di nakas dan menepuk samping tempatnya duduk santai. Sedari tadi ia m
“Tidak ada tentu saja,” kilah Simon. “Bagus kalau seperti itu, bapak Gazalio tidak untuk menjadi musuh pastinya. Benar seperti itu Bapak Gazalio?” Bramanta menatap Gaza dengan senyum teduh.Gaza mengangguk menyentuh dadanya. “Saya yang merasa terhormat bisa bekerja sama dengan senior hebat kita, semoga kerja sama kita langgeng terus ya Pak.” Gaza mengulurkan tangan untuk menjabat Bramanta yang melepas tawa kembali. Gaza memberikan senyuman lebar pada sosok berwajah merah padam, Simon. Setelah persetujuan antara kedua belah pihak,Gaza dan Olan berjalan meninggalkan ruangan Bramanta. Langkah keduanya terhenti saat nama Gaza dipanggil lantang. “Bapak Gazalio bisa kita bicara sebentar? hanya berdua saja,” tegas Simon. “Mengenai apa maaf ya, Pak? kalau mengenai alih nama, akan berurusan dengan bapak Orlando,” jawab Gaza. “Saya ingin bicara sama Bapak sendiri,” tegas Simon. Gaza me
“Kena tonjok sekali,” ringis Gaza. “Astaga, mana coba aku lihat.” Natasya membuka kancing jas suami, hendak meneliti secara langsung. Gaza tertawa menahan kedua pergelangan tangan istrinya, membawanya menuju sofa dan mendudukkan bersama ia sendiri. “Nanti ada yang lihat kamu buka-buka baju aku di kantor, menyebarlah rumor CEO Gazalio berbuat mesum di ruang kantornya. Aduh Sayang.” Gaza tertawa dengan menangkis tangan Natasya yang mencubitinya kesal. “Mana ada yang berani masuk sini tanpa ketuk pintu. Mana aku mau lihat, lebam apa enggak.” Natasya tetap membuka kancing jas Gaza dan menarik keluar kemeja dari celana bahan hitam suami, kemudian mengangkat ke atas hingga terpampang perut berotot suaminya. “Enggak ada lebam, kalau kamu sampai meringis begitu pasti sakit. Kencang sekali memang?” Natasya menurunkan kembali kemeja dan singlet suaminya. “Enggak sekeras itu, hanya po
Gaza menuliskan dengan cepat kertas yang ia ambil sembarang di meja kerja, meminta Natasya membacanya seolah memang sedang melakukan percakapan. Natasya mengangguk paham, berbicara pada ponsel yang sudah di loudspeaker oleh suaminya. “Baiklah ... aku yang tentukan tempat dan waktunya. Langgam besok malam pukul sembilan, kamarnya nanti aku infokan. Ingat ... jangan sampai terendus suami aku.” Natasya menelan ludah usai membacanya. Olan di kursinya menggelengkan kepala dengan seringai lebar, ia sangat mengerti rencana sahabat sekaligus bosnya. Berani sekali Simon mengusik wilayah teritorial si gila jika mengamuk, Gazalio Hernando. “Aku tidak sabar Sayang .... “ Gaza langsung mematikan tanpa memberikan kesempatan bersuara kembali. “Apa yang kamu rencanakan?” tanya Natasya. “Tentu saja membunuhnya,” dengus Gaza. “Sayang .... “ “Yang pasti enggak a
“Benar lagi datang bulan?” Gaza bertanya begitu Olan meninggalkan keduanya. “Kamu itu enggak lihat sikon apa bagaimana sih? orang lagi menjalankan misi malah memikirkan isi celana. Walaupun aku enggak halangan kan enggak juga bicara seperti itu depan Olan.” Natasya membalikkan badan menuju kamar. Natasya melepas kalung, anting dan cincin yang menghiasi telinga, leher dan jarinya. Memasukkan kembali ke clutch yang ia bawa untuk kemudian duduk di tepi ranjang hotel. “Dia sudah khatam lebih dari ucapan aku tadi, jadi beneran datang bulan?” Gaza menegaskan dengan melepas jaket kulit dan melemparnya begitu saja ke sofa single di sudut kamar. “Enggak ... makanya kemarin aku minta kamu temani periksa, kamu sungguhan ingin melakukannya saat kita belum tahu Simon ada di mana?” tanya Natasya.Gaza menggeleng. “Simon ada di rumahnya tentu saja, di mana lagi. Sedang berlutut memohon maaf pada istrinya. Perang dunia t
“Tangan kamu ini kenapa?” Gaza kembali memeriksa tiap inci tubuh Natasya usai membawanya masuk ke dalam ruang pribadi sang owner klinik. “Jatuh pas orangnya ditentang sekuriti,” jawab Natasya. “Tenangkan diri dulu ya, nanti saja ceritanya. Bagaimana, Bro?” Gaza menoleh saat Olan masuk dengan nafas tersengal. “Belum mati tenang saja, dibawa sama polisi ke rumah sakit. Gua hanya bilang itu orang berusaha menculik Natasya dan mengancam pakai pisau. Kita akan ke kantor polisi untuk memberikan keterangan lebih lengkap dan membuat laporan. Natasya baik-baik saja?” Olan menarik bahu istrinya dan membelai pelan. “Pisau? Ya Tuhan ... sepertinya enggak, kita ke rumah sakit saja ya. Obati tangan kamu dulu, sama periksa yang lainnya. Takutnya ada luka di tempat lain juga.” Gaza masih memegangi kedua lengan istrinya yang masih tampak syok. Natasya menarik nafas panjang beberapa kali sebelum menjawab tat
Gaza mendesah panjang dengan menyugar rambutnya, membelai lengan Natasya yang memandangnya dengan senyuman walau berwajah pucat dengan tangan kanan terpasang infus. “Jangan senyum-senyum, aku masih spot jantung,” dengus Gaza. “Enggak boleh marahi aku loh, kamu dengar sendiri tadi kata Dokter. Itu bisa mempengaruhi tekanan darah aku, dan berbahaya.” Natasya menyentuh tangan suami, menenangkan. “Ya bagaimana enggak panik, Sayang. Aku menemukan kamu di gelap gulita pakai lingerie dengan banyak darah di pipi. Kamu tidur apa pingsan sampai enggak berasa hidung meler darah banyak sekali. Astaga aku sampai enggak ganti baju kamu dulu.” Gaza menaikkan selimut pada tubuh istrinya yang masih mengenakan lingelie. “Enggak kerasa, aku ingatnya mengantuk dan malas bangun menyalakan lampu kamar. Tapi sudah tenang kan? karena aku enggak apa-apa, eh kita enggak apa-apa.” Natasya menyentuh permukaan perut tertutup selimutny
“Bagaimana hari ini, Sayang? apa mual?” Gaza melingkarkan lengan pada pinggang Natasya begitu sampai rumah pada pukul empat sore. “Enggak ... mungkin belum ya, semoga tidak ada mual agar aku bisa makan apa saja.” Natasya menjawab dengan membalas melingkarkan kedua lengan di leher sang suami. “Aamin ... kalaupun mual sedikit saja dan masih bisa tetap makan. Aku mandi dulu nanti aku ceritakan cerita seru hari ini.” Gaza melepas pelukannya pada pinggang sang istri. “Ok,” jawab Natasya. Natasya menyiapkan jus jeruk seperti permintaan Gaza sebelum ke kamar mandi, serta menyiapkan pakaian ganti. Ia menuruti permintaan Gaza dan arahan dokter untuk istirahat total karena memiliki riwayat unik dan berbahaya pada kandungan sebelumnya. Natasya akan sangat berhati-hati untuk kehamilan sekarang. Ia ingin bayinya dapat lahir sesuai perhitungan kedokteran. Ia bahkan sudah siap meminta belanja semua yang m
“Kamu enggak bisa main ini, nanti kalau jatuh terus berdarah ... aku dimarahi papa kamu dan kamu akan dimarahi mama kamu,” seru suara anak laki-laki usia tujuh tahun. “Ih tapi aku mau ikut naik,” teriak suara anak perempuan. “Kamu pakai rok, Neta. Nanti kelihatan celana dalamnya,” timpal suara anak-anak lainnya. “Kan aku pakai celana pendek, enggak akan kelihatan,” bantah suara perempuan. Natasya terkekeh kecil, menjawil lengan suaminya yang asyik bermain ponsel dengan kaca mata melorot. “Apa?” tanya Gaza. “Itu putri kamu sedang beradu sama dua abangnya, sana samperi,” kekeh Natasya. “Biarkan saja, Shaka lebih keras kepala dibandingkan Neta. Mari kita hitung mundur berapa lama Neta menjerit panggil mama,” jawab Gaza. Tidak sampai hitungan lima setelah mendengar perdebatan di ruang bermain, jeritan melengking terdengar disusul tangisan merobek
“Heh gila! gua bilang pakai uang kantor. Wah pelanggaran.” Gaza berseru menggeplak punggung Olan yang datang bersama Vero dalam satu mobil membuntuti sebuah truk barang salah satu perusahaan elektronik besar. Gaza meminta nota pelunasan dan tidak diberikan oleh Olan dengan seringai menjengkelkan. Olan berkata lemari penyimpan asip hadiah dari mereka berdua untuk Yumna Zanneta Hernando. Putri kecil Gaza dan Diwang yang menggemparkan seantero perkantoran milik papa sang bayi. “Sudahlah Bro terima saja, elu saja gua tanya baik-baik ngelesnya bukan main. Elu menolak rezeki anak elu, hah?” Olan pura-pura melebarkan mata sementara Vero terkekeh akan dua manusia dewasa di sana yang hendak saling berkelahi. “Bukan enggak terima rezeki anak, tapi memang gua inginnya kebutuhan primer dia ya bapaknya yang belikan. Ya sudah karena gua tahu nomor rekening elu, gampanglah urusannya.” Gaza terkekeh merasa menang. “Gua ta
“Mari begadang, Papa,” kekeh Natasya. Yumna Zanneta Hernando telah diperbolehkan pulang dengan mamanya setelah dua hari pasca kelahirannya. Tidak ada sambutan mewah atau sejenisnya, keluarganya paham jika orang tua baru perlu istirahat dan diberikan ruang menikmati kebahagiaan kehadiran putri kecil ditengah-tengah mereka. Jadi saat Natasya dan bayinya pulang, tidak ada yang menjemput dan menyambut di rumah mereka. “Siap, Mama. Kamu duduk dulu sana, akunya masih ngilu lihat kamu jalan saja masih pelan begitu.” Gaza masih menggendong putri kecilnya begitu masuk ke kamar mereka. Natasya mengangguk, menunjuk boks bayi yang menempel pada tepi ranjang mereka di sebelah kanan agar Neta yang lelap dalam gendongan Gaza diletakan di sana. Gaza menurut, meletakan bayi mereka dengan sangat amat perlahan cenderung masih takut dan kaku. Melihatnya membuat Natasya tersenyum, ia hanya diperbolehkan memegang Neta saat perjalanan di mobil d
“Mandi,” bisik Natasya. Gaza terkekeh kecil dengan menatap lembut manik mata wanita dengan mata bengkak dan seluruh wajah bengkak. Membelainya dengan senyuman lebar tanpa suara. Setelah tiga jam pasca melahirkan, Natasya terlelap setelah bayi perempuan mereka menerima asi pertama darinya. Kelahiran yang tidak mudah dan sempat membuatnya ingin menyerah setelah satu jam lebih pembukaan lengkap namun tidak jua lahir. Saat berhasil dilahirkan, suara tangisannya merobek ruang persalinan hingga kedua orang tuanya tergugu dalam kebahagiaan tiada terkira. Natasya langsung terlelap kelelahan dan dibangunkan saat harus kembali menyusui putrinya. “Kusut banget ya?” Gaza menimpali perkataan istrinya yang memintanya mandi. “Iya, kusut sekali. Nanti anaknya cium bau asem pas digendong,” kelakar Natasya.Gaza terkekeh kecil mengangguk. “Iya nanti sebentar lagi mandi, kamu benar sudah enggak sakit duduk begini?”
“Sayang ... kamu lihat tas yang isinya pembalut melahirkan? Perasaan aku taruh dekat tas yang mau dibawa ke rumah sakit nanti deh,” tanya Natasya. “Ada di situ aku lihat tadi. Yang warna biru kan?” Gaza mendekati Natasya yang memakai daster tanpa lengan berjalan mondar-mandir. “Enggak ada kok aku cari dari tadi, kamu buang?” tanya Natasya.Gaza berdecap. “Ya masa aku buang Sayang, kan aku yang beli. Kepintaran amat.” Natasya terkekeh kecil kembali mencari, tarikan nafas Natasya yang tertangkap oleh telinga Gaza membuat Gaza berhenti bergerak. “Sayangku cintaku manisku, bisa tolong kamu duduk manis saja? kamu ngos-ngosan sekali aku dengar. Biarkan suami kamu ini yang cari,” papar Gaza. Natasya menyeringai, memasuki bulan delapan Natasya mulai sering kelelahan padahal hanya berjalan-jalan sebentar. Nafas sering ngos-ngosan dan kegerahan setiap saat padahal pendingin ruangan menyala nonstop 24
“Ya Tuhan ... aku pikir kenapa sampai jongkok di depan kulkas menangis, nanti kita beli lagi ya, aku akan ke sana hari ini buat lihat apa sudah buka atau belum. Sudah Sayang sudah ayo bangun.” Gaza membantu Natasya bangun setelah mbak di rumah berlarian menghampiri dirinya yang sedang duduk menonton film, mengatakan bahwa istrinya menangis di pojok dapur. Gaza pikir istrinya kenapa-kenapa, saat ia hampiri ternyata tangan Natasya sedang memegang mangkok puding karamel dengan saos karamel yang sisa sedikit. Gaza menahan tawa sekaligus meringis saat istrinya bercerita bahwa ia tidak rela karamelnya tumpah. “Tapi bapaknya masih di rumah sakit, dan ini puding terakhir. Enggak tahu kapan bisa buat lagi.” Natasya terisak penuh kesedihan dengan tangan memegang mangkuk erat-erat. “Nanti aku akan cek ya Sayang, semoga sudah buka. Sudah jangan menangis lagi ya, semoga lekas berlalu ya fase sensitif ini.” Gaza memutuskan memeluk istr
“Oh maaf saya tidak buka, Bu. Saya hanya mau mengambil sesuatu di dalam,” jawab sang pemilik toko kue. “Iya maaf Pak, kami memang ke sini mau beli awalnya eh ternyata tutup. Ayo Sayang kita pulang saja ya.” Gaza segera menggandeng Natasya untuk kembali ke mobil mereka yang terparkir di depan toko tersebut. “Apa masih lama Pak, bukanya?” tanya Natasya. “Saya tidak bisa pastikan, Bu. Anak saya sedang di rawat, dan saya hanya mau ambil puding untuk anak saya yang minta. Nanti kalau sudah sehat kembali, baru saya buka.” Pemilik toko menjawab dengan tangan membuka gembok pada pintu kacanya. “Apa puding karamel siram fla, Pak?” Natasya bertanya dengan mata berbibar-binar.Gaza menunduk dengan menghela nafas panjang. “ Sayang, kamu mengganggu bapaknya sedang buru-buru mau kembali ke rumah sakit. Maaf ya, Pak.” “Ibu mau beli puding karemel fla? Ibu sedang hamil?” terka pemilik toko.
Gaza melepas tawa lebar dengan meraba celana belakangnya, masih dengan tertawa, Gaza menganggukkan kepala dan kembali duduk di samping istrinya yang kebingungan mengapa ia tertawa selebar itu. “Tahu kok, ya ampun tadi pagi aku sangat malu, Sayang. Aku enggak tahu dari kapan robeknya, apa dari rumah apa di mobil. Pas turun mobil di tegur sekuriti depan, dan langsung tarik tangan aku untuk mepet tembok lobi. Aku pikir kenapa ini sekuriti kurang ajar sekali main tarik-tarik eh tahunya mau membisiki kalau celana aku robek.” Gaza kembali tertawa “Ya ampun,” kekeh Natasya. “Aku enggak bisa pulang lagi karena ada meeting dengan dua orang penting dan enggak bawa celana ganti juga. Alhasil aku minta Olan selalu jalan belakang aku dan agak mepet biar enggak dilihat orang, Olan sampai tertawa puas sekali dia, kurang ajar memang. Kecangkol apa ya kira-kira?” Gaza masih geli sekali mengingat ia tidak tenang takut tiba-tiba bangun dari k
“Ibu ... Ibu ... jangan Bu, aduh,” seru salah satu karyawan Natasya di klinik. Natasya berada di klinik kecantikannya karena datang stok barang dalam jumlah banyak. Seluruh karyawan sudah tahu jika sang owner tengah hamil dan sudah diberi pesan tegas oleh Gaza bahwa Natasya hanya mengawasi dan menerima laporan. Tidak ada mondar-mandir dan tidak ada angkat barang sekecil apa pun. Natasya kena seruan karyawannya saat menyentuh sebuah serum dalam kardus yang masih tertutup rapat. Karyawannya mengira jika ia akan mengangkatnya. “Aruna ... aku mau baca saja, ok,” kekeh Natasya. “Aduh Ibu pokoknya duduk saja sudah. Kan aku ada di samping Ibu, tinggal tunjuk mana yang mau dibawa dan mana mau digeser. Nanti saya kena pecat bapak,” rengek Aruna.Natasya tergelak. “Aku yang gaji kamu, bukan bapak.” “Iya tapi laporan yang ditunggu bapak dari saya macam militer, Bu. Katanya kalau sampai bapak lihat di cctv Ibu pegang-