Hai semeton, kisah adam dan lili akan bli lanjut di buku yang lain. keluar dari genre male book menuju romance. infonya bisa cek di ig bli, ya?
"Hari ini papa yang anter Mila, kan?" Hamish tidak menggubris Mila sampai gadis kecil itu menarik ujung jasnya."Pa!" Gadis kecil itu merenggek. Hamish baru sadar papa yang Mila maksud adalah dirinya. Ia belum terbiasa dengan panggilan baru dari gadis itu.Dari sepuluh anak, hanya Mila yang memanggilnya dengan sebutan papa. Sisanya tetap memanggil Hamish abang. Mereka lebih nyaman seperti itu.Hamish menggendong Mila dan mendudukkan gadis kecil itu di atas pangkuannya."Iya, hari ini papa yang antar." Hamish tersenyum bangga. Ia menyukai panggilan barunya.Mila turun dari pangkuan Hamish, kembali ke tempatnya semula kemudian melanjutkan sarapannya.Sebelum berangkat, Hamish mengumpulkan anak-anak di ruang tamu."Abang mau bagikan uang bulanan untuk anak-anak yang sudah besar. Yang masih SD dan PG nanti uangnya dikasih setiap hari sama mbak Lara." Hamish membagikan kartu debit untuk Dani, Amar dan istrinya serta Siti. "Gunakan dengan bijak. Abang bukan gak bisa kasih lebih, tapi aba
"Mila itu putriku!" Seorang wanita yang sudah lama memperhatikan Mila akhirnya mencari informasi tentang gadis kecil itu lewat wali kelas Mila.Melihat hari ini Mila datang dengan Hamish, wanita bernama Rosita itu teriris apalagi saat melihat senyumnya dan mengembang begitu bahagia bergandengan dengan orang asing.Seharusnya, gadis berusia enam tahun itu tumbuh besar dan bahagia bersamanya yang adalah ibu kandung Mila.Tidak bisa menahan diri untuk memeluk Mila, Rosita mendatangi kelas Mila, gadis kecil yang hilang beberapa hari setelah ia dilahirkan.Mata Rosita memanas melihat Mila yang berjarak beberapa langkah sedang bermain bersama teman sekelasnya.Gadis kecil itu rupanya menyadari kehadiran Rosita. Ia mengenal Rosita, ibu dari Farhan — teman sekolahnya. "Tante cari Farhan?" tanya Mila yang sedang bermain play-doh dengan temannya."Kelas Farhan ada di sebelah. Mau Mila anterin?" tawaf Mila ramah seperti biasa. Gadis kecil itu meletakkan play-doh. Berdiri dari duduk kemudian m
"Apa anda pikir Mila itu barang yang dititipkan? Jadi bisa anda ambil kapan saja?"Rosita tersentak kaget mendengar ucapan Hamish barusan."Sa -saya tidak pernah bermaksud membuang Mila." Isakan Rosita kembali mengisi pendengaran Hamish."Sa -saya mohon, Tuan Muda. Kembalikan Mila kepada saya." Rosita menangkupkan kedua tangan, memohon kepada Hamish.Hamish kembali diam. Menatap Rosita dengan banyak pertimbangan dalam benaknya. Tidak semudah itu mengembalikan Mila. Selain ia harus melihat bukti kuat selain gelang, ia juga harus memikirkan perasaan Mila juga Dilara.Hamish mengetuk-ngetukkan jari ke meja, ia belum memutuskan apapun."Tidak, Nyonya Oesman." Hamish akhinya menolak tegas keinginan wanita itu.Terlihat sekali kekecewaan di wajah Rosita. Wanita itu mendadak lemas nyaris jatuh jika ia tidak memegang sandaran kursi."Apa yang harus saya lakukan agar anda merubah keputusan itu?" tanyanya dengan suara bergetar, mencoba menguatkan dirinya."Tidak ada, Nyonya! Saya tidak pernah
Pagi itu, Dilara berniat menghantarkan Mila sekolah. Setelah tahu dari Hamish kalau ibu kandung Mila adalah dari ibu dari teman sekolah Mila, Dilara jadi penasaran ingin bertemu dengan wanita itu — wanita yang tega membuang anaknya sendiri."Kamu yakin mau bertemu dengan Rosita?" tanya Hamish ketika Dilars sedang memakaikan dasinya.Dilara merapikan dasi suaminya. "Iya, Bang!" saya hanya ingin tahu bagaimana rupa ibu kandung Mila. Gak apa-apa, kan?"Dilara membantu Hamish memakai jasnya kemudian memberikan tas kerja kepada suaminya. "Nggak masalah, hanya hati-hati. Dia bukan dari keluarga biasa. Jangan terbawa emosi dan bertindak ke gabah. Paham? pesannya.merasa haru saat melihat Mila yang bersemangat mengenakan seragam sekolah barunya. Mila adalah cahaya mata mereka, dan setiap langkahnya di dunia ini adalah keajaiban. Dilara mengenakan mantel dan tersenyum penuh kebahagiaan saat mereka bersiap-siap untuk pergi.Dilara berpisah dengan Hamish di depan pintu kamar. Suaminya menuju
"Apa yang anda lakukan di sini?" tanpa pemberitahuan sebelumnya Rosita datang ke rumah Hamish. Kini wanita itu sudah berdiri di depan pintu rumah dengan mengajak Farhan dan membawa sebuah boneka beruangbesar berwarna pink.Dilara tidak sungkan menunjukkan wajah kesal dan tidak senang dengan kehadiran Rosita. "Aku ingin ketemu Mila." Dengan senyum lebar, Rosita menggandeng masuk anak sambungnya - Farhan walau belum dipersilahkan.Dilara menggeleng, berdecak sebal melihat sikap tidak tahu tata krama Rosita. Ia mengekori wanita itu masuk, ingin lihat apa yang akan dilakukannya.Rosita bertariak memanggil nama Mila. "Mila! Farhan datang, nih! Main yuk!" ajaknya dengan suara lantang. Dalam sekejap, bukan hanya Mila tapi semua kakak Mila ikut keluar dari kamar.Gadis kecil itu berada dalam gendong Siti, memeluk leher kakak perempuannya itu.Bibir Rosita mengulas senyum. Ia melepaskan tangan Farhan lalu mendatangi Mila.Rosita mengulurkan tangan, ingin menggendong Mila. Namun, gadis itu
"Wah, kenapa repot-repot?" Dilara menyambut kedatangan Rosita dan Rudi di rumahnya. Kedua wanita yang sudah akrab itu saling menyapa dengan mencium pipi kiri dan kanan. Sedang Hamish menjabat tangan Rudi lalu mempersilahkan mereka masuk. "Mila ada tante Rosita sama Farhan, nih!" Dilara memanggil putrinya yang sedang sibuk di halaman belakang. Mila dan kakak-kakaknya sibuk di halaman belakang menyiapkan barbeque untuk makan malam bersama keluarga Oesman. Menjejerkan beberapa meja dan menata kursi juga menyiapkan piring. Sedang anak laki-laki menyiapkan panggangan. Setelah pertemuan bulan lalu , kedua keluarga itu sepakat mereka akan ada satu waktu khusus untuk berkumpul bersama. Itu semua agar satu hari nanti Mila tidak perlu merasa harus kehilangan salah satu diantara keduanya. Malam itu, Hamish memberikan dua syarat yang harus oleh Rosita dan suaminya. Dilara lah orang yang akan mengatakan kepada Mila kalau Rosita adalah ibu kandungnya jika waktunya sudah tepat. Yang kedua
"Bu —bukan gitu maksud abang, Dik!" Hamish mencoba meyakinkan istrinya kalau ia hanya salah bicara. "Bukan gimana? Sudah jelas, abang tadi bilang nggak saya hamil!" Dilara kembali memukul Hamish dengan bantal. Kali ini lebih keras daripada sebelumnya. "Tapi bukan gitu maksud abang." Hamish meraih tangan Dilara agar amarah sang istri melunak, namun ternyata gagal. Dilara menepis tangan Hamish. Bibir wanita itu menyipitkan, mata menatap Hamish sinis. Bibir Dilara semakin maju, semakin kesal dengan suaminya. Tidak ingin berdekatan dengan sang suami sambil mendorong tiang infus. Hamish ikut turun, ia memutari ranjang dan berdiri di depan Dilara menghalangi jalan istrinya. "Kamu mau kemana?" tanya Hamish khawatir."Ke kamar mandi, lah! Abang pikir saya mau kemana? Kan, abang yang gak mau saya hamil, jadi harusnya abang yang jangan di sini." Dilara melewati Hamish begitu saja dan masuk ke kamar mandi. Sedang Hamish masih berdiri di tempatnya, melongo dengan melihat sikap Dilara yang
"Sudah dong, Dik! Jangan ngambek terus." Hamish memohon. Tiga hari ini Hamish dipusingkan dengan sikap Dilara yang berupa sewaktu-waktu. Istrinya itu bisa sangat manja. Namun, bisa langsung marah hanya karena nada suara Hamish yang agak tinggi. Wanita itu tega melarang Hamish masuk ke dalam kamar karena kesal dengan Hamish. Hamish juga harus berjibaku menemani Dilara yang mengalami morning sickness. Setiap pagi istrinya memuntahkan semua makanan yang di makan malam sebelumnya.Setelah itu biasanya Dilara akan lemas dan memilih untuk berbaring dan tidur sampai siang.“Hari ini kita, kan kita mau liat Hamish junior,” godanya sambil menggerakkan alisnya.Siang ini Dilara ngambek karena Hamish terlalu lama di kamar mandi padahal wanita itu sedang ingin dipeluk.Dilara memalingkan wajah, masing enggan bicara pada Hamish yang begitu menyebalkan karena tidak peka dan kurang pengertian.“Saya mau diantar sama bang Adam saja.” Dilara membalik halaman majalah yang sedang ia baca.Hamish meng
“Kak Hala?” ucap Dava berbisik melihat istrinya berjalan masuk studio dengan seorang lagi yang ia kenal adalah sahabat Hala.“Nona Hala? Kamu sudah datang?” Kevin berubah sopan saat melihat Hala. Ia melepaskan tangan Dava lalu merapikan jaketnya.“Aku antar ke ruang make up,” tawar Kevin ramah. Wajah garangnya berubah menjadi senyum ketika bicara dengan Hala. Lu gue yang tadi ia gunakan kini menjadi aku kamu membuat kesan ia sudah sangat mengenal Hala.“Bentar mas Kevin, aku ngomong sebentar sama Dava.”Kevin menoleh melihat Dava dengan mata menyipit. “Nona kenal dia?” Hala mengangguk pelan. “Dia, kan cucunya —” Dava menarik tangan Hala sebelum gadis itu menyelesaikan ucapannya. Membawanya menjauh dsri Kevin dan kru yang lain agar bisa bicara dengan bebas. “Kak Hala lupa pesan papa? Gak ada yang boleh tahu siapa aku?” Dava berbisik. Ia menoleh melihat sekitar memastikan tidak ada telinga yang menguping pembicaraan mereka. Hala menepuk jidatnya, hampir saja ia keceplosan. “Kak Hal
“Posisi yang tersedia hanya bagian gudang. Bagaimana?” Wanita berwajah serius melihat Dava dari balik kacamata bulatnya. Dengan kemeja putih dan celana panjang bahan berwarna hitam, Dava yang duduk di depan meja HRD hanya bisa mengangguk pasrah. Mengingat pesan papa sebelum ia berangkat tadi. Ini adalah salah satu cara untuk membuktikan dirinya. Dava bekerja di salah satu anak perusahaan Djaya Grup yang bergerak di bidang periklanan. Dani sudah mengatur semuanya, tidak ada yang tahu kalau Dava adalah cucu dari pemilik perusahaan kecuali sang CEO yaitu ayahnya sendiri. “Baik, kamu bisa mulai bekerja hari ini. Ayo, saya antar ke gudang.” Wanita berwajah tegas itu berdiri dari duduk. Merapikan blazer lalu mengambil ponselnya. Ia mendahului Dava keluar dari ruangan, menunjukkan kepada Dava gudang yang ia maksud. Sambil menuntun Dava menuju area kerja, HRD menjelaskan setiap ruangan yang mereka lewati. Gedung ini memiliki 5 lantai. Lantai tiga dan empat adalah lantai khusus untuk b
“Dav, gerah!” Hala menyibak selimut yang tadi menutupi tubuhnya.Setelah makan di restoran Jepang tadi, Dava dan Hala memutuskan langsung pulang karena mereka ada kuliah pagi.Walau menghabiskan hampir 500 ribu, Dava menganggap itu untuk menyenangkan Hala yang sudah mengalah untuk tidak membeli AC.Sekarang, Hala mendekatkan kipas portable kecil miliknya. Meletakkan benda itu tepat di sebelah kepalanya.Dava yang tidur di lantai berdiri di sebelah ranjang memperhatikan sang istri sambil menggeleng pelan.“Jangan taruh disitu, Kak! Nanti rambutnya nyangkut terus kepala jadi pusing.” Dava memberikan saran. Dengan langkah gontai Dava berjalan mendekati jendela kemudian membukanya dengan lebar agar angin malam masuk ke dalam kamar.Dari tempatnya berdiri. Dava bisa melihat hamparan bintang yang menghiasi langit hitam. Sejak dulu ia memang suka dengan langit malam yang cerah seperti ini. Ia bahkan meminta Dani untuk membuatkan rumah pohon di belakang rumah agar ia bisa menikmati langit
“Sore, Kakak! Mau cari apa?” sapa pramuniaga ketiaka Dava dan Hala masuk ke toko elektronik di sebuah mall. Pria itu memperhatikan wajah dan penampilan Dava dan Hala yang masih muda langsung menawarkan ponsel pintar dan laptop tetapi keduanya kompak menggeleng. “Kami mau cari AC.” Dava menjawab. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh area toko mencari pendingin udara. “Oh… ada di lantai dua.” Pelayan toko itu sedikit terkejut, anak muda seperti mereka mencari pendingin udara. Pramuniaga itu melakukan tugasnya, ia mengantarkan Dava dan Hala tempat pendingin udara dan juga kulkas.Dava dan Hala mulai mencari AC yang mereka inginkan. Jika Dava melihat harga lain dengan Hala yang melihat merk-nya.Beberapa kali Dava menggeleng tidak setuju dengan pilihan Hala karena istrinya memilih pendingin udara berharga puluhan juta dengan PK besar.“Mas-nya cari AC yang kayak apa?” tanya pramuniaga itu pada akhirnya karena Dava tidak kunjung menemukan barang yang ia inginkan.Untuk kamar 5x5 meter.
Dava tiba lebih dulu di rumah kontrakan yang sudah dibayar Hamish untuk satu tahun ke depan. Ia menggunakan motor trill-nya lengkap dengan jaket jins dan kaca mata hitam. Penampilan yang membuat ketampanan Dava meningkat. Dava melepaskan kacamata hitamnya. Dari atas motor trill memperhatikan rumah sederhana yang ayah mertuanya sewakan untuknya dan Hala. “Apa-apa ini? Mana mau kak Hala tinggal di rumah kecil begini.” Dava menggumam sendiri. “Tapi gak apa-apa. Semakin sulit hidup kak Hala, semakin cepet dia minta cerai.” Dava menyeringai. Rencana-rencana kecil untuk memuluskan tujuannya melintas di kepala. Sudut bibir Dava terangkat membayangkan Hala yang merengek minta kembali ke istana keluarga Akbar. Dava baru turun saat mobil mewah Hamish terlihat di ujung gang. Dengan hati-hati, sopir mengendarai mobil di gang yang tidak terlalu lebar. Jangan sampai mobil tuan Hamish Akbar tergores walau sedikit. Dava segera menghampiri mobil, mengeluarkan koper-koper dan beberapa dus berisi
“Lancang sekali kamu menikahi Hala!” Madhava hanya bisa menunduk ketika sang paman — Hamish Akbar berteriak kepadanya di depan semua anggota keluarga termasuk di depan papa dan mamanya. Di sebelah pakde Hamish, istrinya — budhe Dilara sedang menenangkan pria yang sedang murka itu. Di kursi yang lain, Dani dan Selena tidak bisa membela anaknya sama sekali. Mereka hanya diam tidak berani menyela Hamish. Bukan keinginan Dava menikahi sepupu angkatnya sendiri. Tetapi, Hala-lah yang memintanya. Kenapa ia tidak menolak, karena menolak permintaan Hala adalah hal yang dilarang. Ayah Dava sendiri yang membuat peraturan itu. Sejak kecil, Dava selalu mengabulkan apa yang Hala minta termasuk ketika Hala meminta untuk menikah dengannya. “Anak bau kencur sudah berani mikir nikah. Nanti Hala mau kamu kasih makan apa, hah? Kamu pikir pakdhe gak tahu kelakuan kamu diluar sana?” Hamish kembali berteriak. “Dan, kasih tahu anak kamu itu!” Kini Hamish beralih kepada Dani yang sejak tadi hany
“Pokoknya, kalau udah besar nanti, kita beneran nikah, ya?” Hala sedang memeluk lengan adiknya — Madhava. Keduanya sedang bermain pura-pura menikah tetapi gadis tujuh tahun anak Hamish malah meminta Madhava berjanji akan menikahinya kelak. “Gak mau! Kakak Hala, kan kakak aku.” Demi Tuhan, Madhava tidak ingin memainkan permainan ini tetapi papanya sudah melarang kata ‘tidak’ untuk Hala.Artinya, apapun yang Hala mau, harus Dava kabulkan termasuk saat memainkan permainan pernikahan ini. Maka dengan terpaksa Dava mengikuti kemauan Hala. Melihat ayah ibunya merayakan hari pernikahan mereka, Hala jadi ingin melakukan permainan pernikahan ini. Tidak ada anak sebayanya selain Dava, maka jadilah hari ini Madhava sebagai teman bermain Hala. Hamish, Dilara, Dani dan Selena sedang berkumpul bersama adik-adik mereka yang lain. Mereka sedang menunggu kabar dari Amar. Istri Amar sedang berjuang untuk melahirkan putri pertama mereka.“Nanti kalau sudah ada anak Amar, rumah ini jadi rame banget.”
“Yank, nanti kamu melahirkannya operasi aja, ya?” tawar Dani. Ia dan Selena sedang santai di ranjang sambil menonton drama Korea kesukaan istrinya.“Kenapa? Kalau masih bisa normal, ya normal aja, Mas!” ujarnya sambil memuji aktor Korea yang ia tonton.“Semoga nanti kamu gantengnya kayak oppa itu, ya nak!” Selena mengusap perutnya yang sudah membuncit. “Hah? Kok kayak dia?” Dani menunjuk layar televisi besar yang ada di kamar mereka. “Kan, aku papanya!” serunya tidak terima.“Emangnya aku gak ganteng?” Dani tidak terima. Enak saja, ia yang susah membuat adonan, Selena malah berharap anak mereka mirip aktor Korea.Selena tertawa melihat Dani yang merajuk. Sejak ia hamil, suaminya menjadi lebih serius. Susah sekali diajak bercanda.Selena mendekap suaminya karena tak kunjung tersenyum padahal ia sudah mengatakan kalau ia hanya bercanda.Suami aku yang paling ganteng. Nanti anak kita juga pasti ganteng kayak kamu.” Sebagai penutup rayuan, Selena mengecup singkat bibir Dani.Berhasil!P
“Papa!” Selena mengurai pelukannya memperhatikan Putra dengan mata berkaca-kaca penuh haru. Bagaimana tidak, kabar terakhir yang ia dengar, ayahnya drop setelah kebangkrutan perusahaan keluarga mereka. “Papa baik-baik aja?” Selena tidak percaya yang ia lihat saat ini adalah Putra yang sehat, segar dan bugar. “Memangnya kamu gak senang lihat papa sehat?” candanya. Selena mengerutkan alisnya. Heran melihat Putra yang bisa bercanda dengan santai. Biasanya papa selalu serius dan jarang sekali tersenyum. Bukan tanpa alasan Putra sangat bahagia. Selama Selena menghilang, ia melihat sendiri kalau Dani bekerja keras mencari putrinya. Itu membuatnya sadar kalau Selena mendapatkan lelaki yang tepat sebagai suami. Selain itu, hubungannya dengan Hamish juga jauh lebih baik setelah pria itu berhasil menyelamatkan perusahaannya. Ia bahkan rela mengeluarkan banyak uang. ‘Keluarga ada yang utama.’ Kata-kata Hamish waktu itu menyadarkan Putra ia sebenarnya lebih sering mengabaikan keluarganya k