Erin sedang ditahan dengan kasar oleh dua pria. Gaun hitamnya robek-robek dan tangan mereka memegang dadanya dengan kasar. Dia mencoba memberontak dengan seluruh tenaganya, tapi dia masih terlalu lemah dibandingkan mereka. Bukan hanya itu, salah satu dari dua pria itu menutup mulutnya dengan tangannya supaya dia tidak bisa berteriak untuk meminta tolong.Ketika Daffa melihat tatapan yang penuh nafsu dari kedua pria itu dan air mata yang menetes dari mata Erin, matanya memerah penuh amarah. Dia tidak butuh orang lain untuk memberitahunya apa yang sedang mereka lakukan pada wanita itu. Tindakan mereka sudah menjelaskan semuanya.Mereka ingin menyetubuhinya dengan paksa.“Apa yang sedang kalian lakukan?” tanya Daffa dengan nada yang sangat dingin.Kedua pria itu tersentak terkejut ketika mereka mendengar suara Daffa. Mereka tidak menyangka akan ada orang lain di sana.“Bagaimana kamu bisa menemukan kami?” tanya salah satu pria itu pada Daffa.“Bukan itu yang seharusnya kamu permasal
Erin menatap Daffa dengan raut wajah kebingungan.‘Bekerja untuknya?’Dia bahkan tidak mengenalnya! Malah, dia tidak tahu bagaimana dia bisa ada di sini. Saat dia masih mencoba mencari tahu di mana dia sekarang, seseorang muncul tanpa menjelaskan apa-apa dan dia tiba-tiba memintanya untuk bekerja untuknya.Erin ingin mengumpat padanya, tapi mempertimbangkan dia tidak mengenalnya maupun mengetahui di mana dia sekarang, dia menahan umpatannya. Pria itu mungkin saja sangat berbahaya dan akan memukulnya jika dia bertingkah.Satu-satunya alasan dia sedikit tenang adalah karena dia yakin pria itu tidak mirip sama sekali dengan dua orang yang ingin menyetubuhinya. Walaupun saat itu cukup gelap, dia masih mengingat wajah kedua orang itu dengan sangat jelas.“Permisi, Tuan, tapi aku tidak mengenalmu maupun mengetahui apa pekerjaanmu. Aku bahkan tidak tahu bagaimana aku bisa ada di sini. Bagaimana aku bisa menjawab pertanyaanmu?” jawab Erin dengan jengkel.Daffa terbatuk pelan ketika mende
Ketika dia melihat responsnya, Daffa tersenyum penuh kemenangan. Itu tepat seperti prediksinya. Dia bertanya sekali lagi, kali ini dengan percaya diri.“Jadi, Erin Mahendra, apakah kamu mau bekerja untukku?”Erin tidak langsung menjawabnya. Dia masih tertegun oleh isi dari dokumen tersebut dan tawaran kontrak yang dia tawarkan.Dokumen tersebut berisi daftar beberapa perusahaan yang terkemuka secara global. Sebagai mantan wakil presiden dari Numbers Int’l, dia mengenali beberapa perusahaan yang disebutkan di dokumen tersebut.Perusahaan yang memiliki nilai paling kecil di dokumen tersebut masih bernilai sekurang-kurangnya 450 triliun rupiah, yang merupakan jumlah yang luar biasa besar. Bahkan saingan Numbers Int’l, PT Nix terdaftar dalam dokumen tersebut juga.Walaupun dia sangat terkejut oleh daftar perusahaan yang tertera di dokumen itu, keterkejutannya meningkat lagi ketika dia membaca detail kontraknya.Kontrak tersebut menyatakan bahwa dia akan membantu mengelola beberapa pe
”Erin! Apakah itu kamu?”Daffa dan Erin berbalik ke arah sumber suara itu. Erin terkejut ketika dia mendengar namanya dipanggil. Suara orang itu terdengar sangat familier baginya. Dia bertanya-tanya siapa orang yang memanggil namanya.Tidak lama, orang itu muncul di pandangannya. Raut wajah Erin langsung berubah dari terkejut menjadi jengkel ketika dia melihat orang itu. Orang itu tidak lain adalah teman kuliahnya, Vanessa Prameswari.Vanessa dan Erin berkuliah di universitas yang sama dengan peringkat yang tinggi di daerah mereka. Walaupun tidak sebanding dengan Universitas Praharsa, kampusnya Daffa, universitas tersebut tetaplah universitas ternama.Vanessa dan Erin sama-sama disebut sebagai wanita tercantik di kampus mereka. Bukan hanya kecantikan mereka yang luar biasa, tapi mereka juga sangat cerdas karena mereka selalu mendapatkan nilai tertinggi di setiap ujian.Namun, walaupun mereka dipuja-puja oleh para mahasiswa dan dosen di kampusnya, mereka tidak akrab dengan satu sam
Sisa sore hari itu dihabiskan dengan Daffa membeli beberapa hal lainnya yang dia rasa diperlukan oleh Erin.Dia menghubungi Ella, manajer dari Dragon Lord’s Imperial Residence dan menyuruhnya untuk mencarikannya apartemen yang cocok. Tidak lama, ponsel Daffa berbunyi, menandakan ada pesan baru. Daffa membacanya sekilas sebelum beranjak ke apartemen itu.Apartemen tersebut berjarak sekitar dua jam dari tempat tinggal Daffa. Itu adalah tempat yang mewah dan bergaya. Walaupun tidak semewah apartemen Daffa, tempat itu memiliki semua hal yang dibutuhkan oleh Erin.Mulut Erin menganga ketika agen yang bertanggung jawab pada tempat itu memberi tahunya harga dari apartemen itu. Harganya adalah tiga triliun rupiah! Itu benar-benar tidak masuk akal.Dia baru saja hendak membujuk Daffa untuk mencari apartemen lain yang lebih murah untuknya ketika ponsel agen itu berbunyi dengan keras.Agen tersebut menunjukkan pesan itu pada mereka berdua, mengkonfirmasi bahwa pembayarannya telah berhasil.
Karena urusan asisten pribadinya telah teratasi, Daffa akhirnya bisa beristirahat dengan tenang. Sekarang, dia tidak perlu mengkhawatirkan pekerjaannya yang menumpuk. Satu-satunya yang perlu dia lakukan adalah menandatangani dokumen penting yang membutuhkan tanda tangannya dan sisanya akan diurus oleh Erin. Tidurnya malam itu sangat lelap.Keesokan paginya, Daffa bangun lebih awal dari biasanya. Jatah liburnya selama seminggu yang diberikan oleh universitas karena telah menjadi penyumbang tertinggi di pesta amal telah berakhir dan dia akan lanjut menghadiri kuliah hari ini.Seraya bersiap-siap untuk berangkat ke kampus, Daffa bertanya-tanya akan seperti sikap teman-teman kuliahnya terhadapnya ketika mereka melihatnya sekarang. Dia telah memeriksa ruang obrolan utama kelasnya di aplikasi perpesanan beberapa kali supaya dia tidak ketinggalan berita kampus. Ketika dia memeriksanya, dia melihat bahwa mereka menyebut namanya berkali-kali.Kejadian di pesta amal telah menyebar ke setiap m
Perjalanannya menuju lokasi teman-temannya cukup pendek. Setelah berjalan selama lima menit, dia tiba di lokasi mereka. Ketika dia hanya berjarak sedikit lagi, dia melihat Miko dan Gilang sedang berdiskusi. Sebuah senyuman muncul di wajahnya melihat kedua temannya itu. Bahagia, dia meningkatkan kecepatan langkahnya dan menghampiri mereka.“Daffa!” seru Gilang ketika dia melihat Daffa. Dia tidak ada ketika Miko sedang menelepon Daffa, karena itu dia tidak tahu bahwa Daffa memutuskan untuk bertemu dengan mereka. Itu adalah kejutan yang menyenangkan baginya untuk melihat Daffa.“Apa kabar, Gilang?” jawab Daffa, tersenyum dengan lebar seraya berpelukan dengan Gilang.“Aku baik-baik saja, bung. Kami merindukanmu. Kamu ke mana saja?” tanya Gilang sambil memeluk Daffa.“Aku sibuk sekali beberapa hari belakangan, tapi jangan khawatir. Aku sudah luang sekarang. Kita bisa berkumpul selama beberapa saat,” jawab Daffa dengan gembira.Saat Gilang hendak menjawab Daffa, Raka muncul di pandangan
Raut wajah Daffa langsung mengerut ketika dia mendengarnya berteriak di ujung telepon. Dia langsung tersadar bahwa Helen sedang dalam bahaya. Terakhir kali mereka bertemu adalah di pesta amal dan selain perbincangan singkat mereka sebelum pelelangan dimulai, dia belum pernah berbincang lagi dengannya.“Di mana kamu sekarang?” tanya Daffa dengan tenang. Dia tahu bahwa mendapatkan lokasinya adalah hal yang paling penting. Hal lainnya akan mengikuti lokasinya.“Aku sedang di area naratama, kamar 38 di Hotel HKN Diamond,” jawab Helen dengan suara yang gemetaran. “Tolong cepat datang ke sini, aku…”Sebelum Helen bisa menyelesaikan kalimatnya, teleponnya terputus. Daffa mencengkeram ponselnya dengan kuat sebelum melepaskannya. Dia menghembuskan nafas sebelum melaju dengan cepat keluar dari parkiran itu.Sambil melaju dalam kecepatan penuh, dia menyambungkan ponselnya ke sistem Bluetooth di mobilnya dan menelepon seseorang. Telepon tersebut berdering sekali sebelum orang itu mengangkat.
“Keluarga Sanjaya memarkirkan mobil mereka di depan kami dan memohon bantuan kami. Kami berpikir kami bisa berusaha membantu mereka karena mereka adalah anggota keluarga Puspa. Itulah sebabnya kami memakan waktu yang lebih lama untuk kembali.”Setelah mendengarkan penjelasan Briana, otot-otot Daffa yang sebelumnya tegang menjadi relaks. Dia menegakkan punggungnya dan meregangkan tubuhnya sambil memberi instruksi dengan dingin, “Erin, beri tahu mereka mengenai kejadian yang terjadi ketika mereka sedang tidak ada dan alasan kenapa aku pergi ke luar sekarang.”“Tuan Halim sedang menuju Keluarga Sanjaya sekarang.” Raut wajah bersimpati terpampang di wajah Erin seraya dia menghadap kedua pengawal itu. Kemudian, Erin melangkah lebih dekat dan memberi tahu mereka tentang segala hal yang telah dia pelajari sebelumnya.Kepala Edward dan Briana langsung mendongak ketika mereka mendengar bagaimana Keluarga Sanjaya telah melacak Ansel hanya karena penolakan Daffa. Mata membelalak terkejut, mere
Itu sudah cukup untuk menghentikan napas Camilla selamanya.Kate berdiri di atas puing-puing dan melihat semua itu terjadi. Dia membuka mulutnya, tapi tidak lama menutupnya lagi. Kate memejamkan matanya rapat-rapat, tidak tahan melihat kejadian mengerikan itu, tapi dia tidak menyuarakan ketidaknyamanannya karena dia tidak berhak untuk angkat bicara.Meletakkan kedua tangan di balik punggungnya, dia pada akhirnya membuka matanya untuk memandang tanah. Napasnya menjadi kian dalam dan hening seiring waktu berlalu.…Di sisi lain, Daffa akhirnya sudah kembali ke hotel. Meskipun rasanya seperti banyak hal telah terjadi, kejadian-kejadian itu hanya memakan sedikit waktunya. Namun, gelombang rasa lelah yang besar mengenainya dan dia tidak memiliki energi untuk mengolah kemampuannya setelah kembali ke hotel.Yang dia ingin lakukan hanyalah berbaring di ranjang. Pada saat itu, dia tidak peduli sama sekali tentang urusan perusahaan. Memejamkan matanya, Daffa bernapas dengan lebih dalam dan
“Aku tidak berurusan dengan apa pun yang terjadi selanjutnya,” lanjut Daffa.Dengan sebuah anggukan, Teivel melambaikan tangannya dengan acuh tidak acuh dan menjawab, “Baiklah. Kamu boleh kembali ke Keluarga Aruna dan selesaikan permasalahan mereka sekarang.”Daffa menaikkan sebelah alisnya, tapi pada akhirnya dia mengangguk dan berbalik untuk pergi dari tempat dia masuk. Itu juga kebetulan mengarah ke vila Keluarga Aruna.Ketika Daffa tiba, dia terkejut melihat Kate dan William menunggu dirinya di depan rumah mereka meskipun rumah mereka sudah hancur. Bibir melengkung ke atas, Daffa berkata, “Aku tidak berpikir akan melihat kalian berdua di sini. Kukira kalian sudah pergi sekarang.”William menoleh untuk bertemu pandang dengan Daffa. Kata-kata Daffa yang terus terang membuat William tidak nyaman, tapi William masih bersikap dengan penuh hormat. Dia menggerakkan seluruh otot wajahnya untuk membentuk senyuman yang sopan, yang hampir mustahil, jadi dia pada akhirnya gagal melakukanny
Daffa memejamkan matanya rapat-rapat, menyembunyikan seberapa besar penderitaan yang dia rasakan di dalam. Dia bisa saja lebih memperhatikan gas hitam yang menyelinap melewatinya. Alih-alih, satu hal yang Daffa bisa lakukan adalah menjaga penghalang itu dengan lebih baik dan mencegah lebih banyak gas hitam melarikan diri.Pikiran berhamburan dari setiap sudut benaknya saat dia memikirkan cara untuk menjadi lebih efisien.Saat itulah suara Teivel terdengar. “Daffa, aku membutuhkan bantuanmu seperti sebelumnya. Jika kamu tidak mau kita kembali lagi ke awal—harus terus-menerus memburu pria tua berjubah hitam itu—dan jika kamu tidak mau diburu oleh pria tua itu, tenangkan dirimu dan bersihkan pikiranmu sekarang juga!”Itu adalah pertama kalinya Daffa mendengar Teivel berbicara dengan nada yang mendesak. Daffa mengernyit dan menyadari dia tidak pernah mengalami emosi yang berkedip dan gejolak batin sebelumnya. Daffa selalu tegas dan fokus, mau dia kaya ataupun miskin.Demikian pula, dia
Teivel berbicara dengan suara yang serak tapi puas. “Pria tua itu belum pernah bisa melepaskan kekuatan penuhnya. Dia belum pernah bisa dan masih tidak bisa mengalahkanku meskipun aku sudah menjadi lemah dan tidak dapat lagi menggunakan kekuatanku seperti dulu. Lagi pula, kekuatannya sekarang lebih lemah daripada kekuatanku.”Daffa mengangkat sebelah alisnya terkesan. Dia menoleh ke arah Teivel lagi dan bertanya, “Yah, karena dia telah mengubah dirinya menjadi kabut hitam ini, apa yang harus kita lakukan sekarang?”Wajah menggelap dengan muram, Teivel menjawab, “Bukankah kamu sudah tidak sabar untuk bertanya padaku tentang mantranya? Aku bisa memberitahumu tentang itu sekarang. Ketika kamu dan Yarlin Weis berbincang di dalam ruang kurungan di balik tembok batangan emas itu, energi yang kamu lepaskan—yang mirip seperti lapisan air—adalah sebuah penghalang bermantra.”Daffa mengangguk, tatapan fokusnya tertuju pada Teivel tanpa berpindah sekali pun.“Aku terkesan kamu sudah menguasai
“Kamu membuang-buang energimu untuk pikiran-pikiran yang tidak perlu sekarang.” Teivel menekan pundak Daffa, menambahkan, “Aku seharusnya sudah mati sejak lama. Akan tetapi, ajaibnya, kesadaranku tetap ada di dalam buku ini. Maka dari itu, pertemuan kita itu tidak normal dan seharusnya tidak pernah terjadi.”Teivel tidak lagi berbicara. Dia menurunkan tangannya, menyaksikan gas hitam menguap, lalu melihat ke depan ke arah larinya pria tua berjubah hitam itu.Dengan tatapan datar pada Daffa, Teivel berkata, “Kita harus mengejarnya dan membunuhnya sekarang juga—dia selalu terlibat dalam semua penderitaan selama bertahun-tahun. Dapat dikatakan bahwa dia merencanakan benih pertama dari banyak tragedi ini. Jika dia kabur, dia bisa menyamar menjadi siapa pun dan terus melakukan hal-hal buruk. Kita tidak akan ada di sekitar untuk menghentikan dia. Meskipun kamu dan aku adalah ahli bela diri terbangkit dan memiliki jangka hidup yang lebih panjang dibandingkan sebagian besar orang, kita tetap
Daffa menghirup bau lebih banyak darah dari retakan itu. Itu mengirimkan sensasi mengerikan di tenggorokannya dan dia ingin muntah. Daffa terus membuka matanya, tidak ingin melewatkan apa yang telah terjadi.Namun, dia langsung mengernyit, terkejut oleh kolam darah tak berujung dan tumpukan-tumpukan mayat yang tinggi. Saat penghalang hitam itu perlahan lenyap, mayat-mayat itu berhamburan ke luar seperti air yang mengalir deras dari bendungan yang bocor.Bibir berkedut, Daffa tidak dapat menerima pemandangan mengerikan dan tidak adil di hadapannya. Napasnya menjadi cepat dan benaknya penuh oleh amarah membunuh.Saat itu, Teivel angkat bicara. Satu-satunya yang berubah adalah kali ini suaranya terdengar dari hadapan Daffa. Teivel membentak, “Daffa, mayat-mayat itu adalah orang-orang berjubah hitam. Kamu mungkin merasa kasihan pada mereka sekarang, tapi pada akhirnya kamu akan mengetahui bahwa mereka tidak pantas menerima ibamu.”Teivel berbicara dengan suara yang tegang dan hampir ma
“Meskipun begitu, kamu cukup berani untuk mengetes batasanku pada saat ini,” ujar Daffa, hidungnya berkerut dengan meremehkan.Pria tua itu membeku yang terasa lama sekali. Pada akhirnya, dia menggertakkan giginya dan menundukkan kepalanya sambil melangkah mundur.Daffa yakin pria itu pasti akan langsung berlutut untuk memohon ampun jika pria itu tidak berusaha kabur. Maka, pandangannya tertuju pada pria itu dengan ragu. “Apa yang kamu coba lakukan?”Bertemu pandang dengan Daffa, pria tua itu menggelengkan kepalanya dan menjawab, “Bukan apa-apa. Hanya saja orang-orang itu telah menelantarkan aku, jadi ….”“Jadi, kamu berniat membuatku mengejar mereka dan membunuh mereka,” jawab Daffa yang mengerutkan alisnya.Pria itu mengangguk.“Apakah kamu yakin?” tanya Daffa, matanya sedikit membelalak. “Kamu merasa puas meskipun kamu akan tetap mati nantinya?”Tanpa ragu, pria tua itu mengangguk.Seringai lebar merekah di wajah Daffa pada saat itu. Dia tahu pria itu tidak memiliki niat ter
Edward mengedipkan matanya, matanya tertuju pada Daffa dan fokus. Lalu, bibirnya mulai gemetar saat dia berkata, “Tuan Halim, saya tidak menyangka bisa melihat Anda lagi.”Daffa memutar bola matanya. “Maksudmu, kamu akan mati atau apakah kamu takut aku akan mati?”Edward terhuyung, lalu menggelengkan kepalanya. “Bukan itu yang saya maksud, Tuan.”Daffa tersenyum. “Aku tahu itu, tentu saja. Aku hanya merasa caramu mengatakannya lucu.” Mereka saling bertatapan dan melihat kelegaan di mata satu sama lain. Briana masih berdiri di atas tumpukan puing seraya dia mengamati mereka berdua berbincang di samping tornado. Briana menggelengkan kepalanya dengan tidak berdaya.Kemudian, dia menangkupkan kedua tangannya di sekitar mulutnya, menyalurkan kekuatan jiwanya ke tenggorokannya, dan berkata dengan lantang, “Ayo turun! Tuan Halim, mentor Anda dan pria tua itu telah pergi. Kita harus mengejar mereka.”Daffa mengernyit. Dia pikir Teivel dan pria tua itu telah berpindah ke tempat lain, mirip