Tolong Salahkan AkuBenji memandang tanah dan dengan serius berkata, “Bahkan jika aku telah membuatmu tersinggung, kuharap ini tidak memengaruhi hubunganmu dengan Kate. Dia sangat polos dan bahkan jika dia terkadang melakukan hal-hal yang sulit dipahami, itu hanya karena dia tidak tahu kalau dia salah. Ibunya pergi saat dia masih sangat kecil dan tidak ada dari kami yang mengajarinya hal-hal seperti ini. Itulah kenapa dia begitu naif. Jadi, tolong salahkan aku atas segala kesalahan yang telah dia buat.”Setelah mengatakan semua hal itu, kekuatan Benji tampak kembali. Dia menengadahkan kepalanya dan menatap Daffa, melanjutkan, “Aku tahu kamu adalah pria yang baik dan bijak.”Saat matanya bertemu dengan mata Daffa, Daffa tidak bisa menggelengkan kepalanya, tapi dia tidak ingin membiarkan Benji begitu saja. Setelah beberapa detik, dia pun menemukan respons yang sempurna—dia mengangkat bahunya, lalu memalingkan pandangannya dan fokus pada Hans yang terus menunggunya dengan tangan yang m
Daffa tahu Hans hanya sedang terburu-buru untuk pergi supaya dia bisa menyelidiki tentangnya, jadi dia tidak membuatnya terus menunggu. Dengan tenang, dia berkata, “Kamu boleh pergi kalau kamu mau, tapi ada yang harus dibayar.”Ketenangannya membuat Hans makin meragukan dirinya. Namun, dia tidak ingin merusak kredibilitasnya dengan merubah sikapnya lagi, jadi dia balik menatap Daffa, memaksakan dirinya untuk tetap tenang. Sebelum dia memastikan identitas Daffa, dia hanya bisa memperlakukannya sebagai seseorang yang setara.“Katakanlah. Aku akan memberikannya padamu selama itu adalah sesuatu yang bisa kubayar.”“Kate.” Ini adalah jawaban Daffa.Hans tertegun sesaat karena itu, tapi tidak lama dia tersenyum dan melambaikan tangannya. “Aku akan menuruti permintaanmu.” Dia memperhatikan Daffa dengan saksama, ingin melihat ekspresinya yang gembira. Mengecewakan baginya, wajah Daffa tetap tidak berekspresi. Hans menelan ludah, merencanakan tindakan selanjutnya.Kemudian, dia melihat Daf
Terimalah AkibatnyaKate berkata dengan tegas, “Kalau begitu, aku tidak mau kamu bertengkar dengan Daffa ataupun meminta maaf padanya.”Mata Benji berkedut. Dia mengerutkan bibirnya, pada akhirnya menepuk kepalanya tanpa berkata apa-apa.Kate terus menatapnya. Dia tidak mengerti apakah Benji telah menyetujui permintaannya atau tidak. Sambil dia memikirkannya, Benji berjalan ke arah Daffa. Kate mengamatinya dengan penuh harap, tapi segera menjadi kecewa karena Benji tidak melakukan sesuai keinginannya.Benji menghela napas lembut, lalu berkata, “Lihatlah sepolos apa dia. Ini semua karena aku ….” Dia tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena Kate mengganggunya. Kate berdiri di tengah-tengah mereka berdua sambil memunggungi Benji dan Benji pun mengerutkan dahinya, hendak menegurnya.Namun, dia tidak bisa melakukannya karena dia tahu Kate hanya sedang mengkhawatirkannya.Kate memandang Daffa dan mengamati ekspresi kebingungannya. Dia tersenyum dan dengan lembut berkata, “Aku tahu Pa
Benji berpikir Daffa setidaknya akan mempertimbangkannya. Mengecewakan baginya, Daffa menggelengkan kepalanya dengan tegas. “Aku mungkin memiliki kesan yang sedikit lebih baik terhadapmu sekarang, tapi itu tidak cukup untuk menghentikan aku menghabisi seseorang yang telah berulang kali mencoba melukaiku.”Wajah dan nada bicaranya begitu datar, memperjelas bagi semua orang bahwa keinginan Benji tidak akan terkabul. Benji memucat. Dia meletakkan tangannya di lututnya, tampak ingin bangkit berdiri, tapi dia tidak berhasil.Camilla berdiri di dekat sana, memperhatikan mereka. Dia tidak menyangka Benji akan bertindak sejauh itu untuknya, terutama saat Benji biasanya bersikap seolah-olah tidak memedulikannya sama sekali. Jantungnya berdebar kencang dan dia meletakkan tangannya di dada sambil berjalan ke arahnya.Ketika dia mulai bergerak, Daffa mendengar langkah kakinya. Dia mengerutkan dahinya dalam-dalam dan menoleh untuk menatapnya tidak suka, tapi dia tidak menghentikannya. Camilla be
Daffa tidak memperbolehkan mereka untuk bertanya lagi setelah itu. Dia memandang pinggang Camilla dan dengan tenang berkata, “Ada pisau yang diselipkan di ikat pinggangmu sekarang, ‘kan? Kamu pasti sudah berusaha keras untuk mengambilnya di tengah-tengah kekacauan tadi.”Camilla memucat, tidak menyangka Daffa akan mengetahuinya. Sebelumnya, saat dia melakukannya, dia terus mengawasi Daffa untuk memastikan bahwa Daffa tidak memperhatikannya. Dia membeku, tidak tahu apa yang harus dia lakukan.Benji tiba-tiba menatap Daffa dengan tatapan tegas. “Daffa, aku yakin pasti ada sebuah kesalahpahaman. Camilla mungkin telah membuat banyak pilihan yang salah, tapi aku yakin dia tidak akan menusuk seseorang.”Daffa membuka mulutnya, lalu menutupnya lagi dan memijat pelipisnya. “Kurasa tidak ada lagi yang perlu didiskusikan. Kalau ada yang ingin kamu katakan mengenai hal ini, aku tidak masalah menangani kalian berdua bersamaan.”Ekspresi semua orang berubah mendengar perkataannya. Camilla tampa
Camilla menjadi tenang mendengar perkataannya. “Itu berarti dia bukan orang kaya.” Sayangnya baginya, dia sangat keliru. Rafael tersenyum puas.“Daffa berasal dari salah satu keluarga paling berkuasa di dunia dan dia memiliki kekayaan yang tidak terhitung. Bahkan, dia akan mewarisi seluruh bisnis keluarganya di masa depan,” ujar Kate dengan tulus seraya menatap Camilla, berharap akan melihatnya meminta maaf.Meskipun dia tidak menyukai Camilla, dia tahu Benji ingin membantunya. Karena itu, dia melakukan apa yang dia bisa lakukan untuk membantunya. Namun, dia dikecewakan sekali lagi.Camilla berdiri di sana dengan lengan yang menyilang, tampak mengejek. Dia dengan tajam berkata, “Aku tahu kamu sangat menginginkan Daffa dan kamu sudah membuang keluargamu demi dia. Nyatanya, saat rahasia memalukanmu diketahui semua orang, kamu memutuskan untuk terus membantu Daffa demi menjaga hubunganmu dibandingkan memikirkan cara untuk melindungi reputasi keluargamu. Itulah yang terus aku tangkap da
Kate sudah siap untuk menyerahkan seluruh warisannya untuk membantu Daffa, tapi sekarang tampaknya situasi di antara Daffa dan Rafael benar-benar berbeda dari apa yang sebelumnya dia kira.Dia berdiri di sana dan menatap Rafael penasaran, berpikir bahwa Daffa dan Rafael pasti telah mencapai sebuah kesepakatan. Mungkin Daffa adalah pemegang saham Grup Ganendra.Seraya dia mencoba memahaminya, Rafael memejamkan matanya dan menghela napas, tampak gundah. Dia tidak ingin mengakuinya dan dia harus mengatakannya dengan lantang di hadapan banyak orang. Itu adalah sebuah penghinaan besar baginya, tapi dia tahu ini adalah apa yang Daffa inginkan.Daffa tahu Rafael tidak mentransfer saham dengan sukarela, jadi dia ingin menggunakan situasi ini untuk membuatnya menyerah sepenuhnya dan tunduk padanya. Itu terpampang jelas di wajah Daffa.Rafael mau tidak mau menggertakkan giginya memikirkan hal itu. Dia benci menyadari semua hal ini tapi tidak bisa merubah apa-apa. Dia mengepalkan tangannya de
Daffa sekali lagi sudah menebak apa yang Camilla pikirkan. Camilla mencoba mencari-cari alasan yang dapat dipahami untuk dirinya sendiri tapi tidak berhasil.Segera, dia mulai terlihat ketakutan. Itu bukan karena dia tidak bisa memikirkan sebuah alasan, tapi karena Daffa mulai tersenyum sambil menatapnya tanpa alasan apa pun.Bagi Camilla, ini bukanlah hal yang baik. Seraya dia mencoba memikirkan cara untuk kabur dari situasi ini, Daffa berkata, “Sebelum kamu mengatakan apa pun, aku benar-benar tidak berniat untuk mengejar Rafael karena dia tidak bersalah. Namun, aku merubah pikiranku ketika aku melihat kekhawatiran dan ketakutanmu. Mungkin menghukum atau menyiksa Rafael akan menjadi cara lain untuk menyiksamu.” Sambil berbicara, Daffa menoleh untuk menatap mereka.Camilla berdiri di sana. Dia bisa dengan jelas merasakan keputusasaan Rafael karena perkataan Daffa dan dia memucat. Reaksi Rafael memberitahunya bahwa Daffa tidak sedang bermain-main. Daffa benar-benar kaya dan hanya men
Kemudian, Shelvin merasa seperti dia telah membeku. Dia tidak dapat bersuara. Dia ingin melihat ke arah Daffa untuk meminta bantuan, tapi dia tidak lama mengetahui bahwa mustahil baginya untuk melakukannya—dia bahkan tidak bisa mengedip! Itu membuatnya ingin menangis.Pada saat ini, suara Brian yang tenang terdengar. “Jangan segugup itu. Ayahku, Yarlin Weis, adalah pria yang baik. Jika bukan karena itu, kamu tidak akan hidup sekarang maupun bisa mengambil alih tubuhnya.Mata Shelvin membelalak. Dia kira Yarlin sudah tidak ada lagi ketika dia memilih untuk menyelamatkannya.Daffa menatap Brian. “Jadi, apa yang sedang terjadi sekarang?”Brian mengangkat bahunya. “Dia ingin mengatakan sesuatu yang jahat padaku. Tidak mungkin ayahku akan membiarkannya.” Ada ekspresi senang di wajahnya, tapi itu dengan cepat menghilang.“Ini menyedihkan. Aku tahu kalau ayahku masih hidup, tapi aku juga tahu bahwa tidak ada kemungkinan bagiku untuk melihatnya lagi.” Dia berjongkok dan membenamkan wajahn
Bimo tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi pada dirinya selanjutnya. Dia melongo ke arah Daffa, pada akhirnya menutup mulutnya dan memejamkan matanya dengan pasrah.Daffa menghela napas. Begitu dia merasa sedikit lebih memiliki kendali atas situasi dan tidak setidak berdaya itu, teriakan kesakitan keluar dari bibir Umar.“Daffa, tolong, aku memohonmu untuk membunuh tunanganku secepat kamu membunuhku sekarang jika dia masih bersikap seabsurd sebelumnya,” teriak Umar. Kemudian, dia memalingkan kepalanya ke samping dan memegang jarum perak Shelvin, menusuk jarum itu ke dalam lehernya.Itu bukanlah apa yang Daffa ataupun Shelvin sangka. Meski begitu, Shelvin tidak sekaget Daffa. Dia menghampiri sisi Daffa dan meletakkan tangannya di pundak Daffa.“Tuan Halim, jangan gundah. Melakukannya adalah pilihan terbaik bagi Umar.”Situasi yang tidak diduga itu membuatnya menggigit bibirnya dengan sangat keras hingga berdarah saat dia berbicara.Daffa menatap Shelvin pada saat itu. Di
Bimo memucat, lututnya lemas begitu dia mendengar orang yang berbicara di telepon—itu adalah atasannya.“Ini nomor Brian Weis. Siapa, ya?”Bimo jatuh berlutut hampir seketika, memandang Daffa dengan gugup. Dia tidak dapat terus berdiri saat itu juga. Matanya gemetar begitu hebat hingga hampir copot dari tempatnya.Merasakan kecemasan Bimo, Daffa menyeringai dan menjawab, “Ini Daffa.”Suara di telepon itu langsung berubah menjadi penuh hormat. “Oh! Saya merasa terhormat berbicara dengan Anda, Tuan Halim! Bolehkah saya tahu kenapa Anda menelepon saya?”Senyuman terukir di wajah Daffa, tapi itu hanya karena formalitas dibandingkan untuk menunjukkan kegembiraan yang tulus. Dia berputar badan untuk menatap Bimo dan membentak, “Kurasa kamu dan aku perlu mendiskusikan investasiku ke kepolisianmu.”Keheningan selama dua detik berlalu sebelum Brian terkekeh dengan malu-malu. Ingin menyenangkan Daffa, dia bertanya dengan nada menjilat, “Apakah Anda ingin mendiskusikannya melalui telepon at
Daffa terkekeh, tidak dapat menyembunyikan bahwa dia terhibur. Situasi itu sangat mengherankan hingga tawanya kian membesar setiap detiknya.Bimo mengernyit, berputar badan, dan menatap Daffa. Dia ingin mempertanyakan Daffa, tapi Umar berbicara mendahuluinya.“Apakah kamu sudah kehilangan akalmu, Daffa? Kamu tidak akan pernah menjadi kaya karena kamu adalah seonggok samp*h yang keji! Apa pun yang sudah kamu bayar untuk menyamar dirimu sebagai ‘orang kaya’ ini, uang itu sudah terbuang sia-sia sekarang! Kami tidak memercayaimu sedikit pun!” teriak Umar sekencang mungkin meskipun dia kehabisan napas dan kesakitan.Daffa menatap Shelvin yang mengangkat bahunya dan berkata, “Aku harus menyingkirkan jarum-jarumku. Kalau tidak, dia akan kehilangan suaranya secara permanen. Lagi pula, kita selalu bisa membungkamnya beberapa menit kemudian.Setelah mengangguk, Daffa menoleh ke arah Bimo lagi.Pada tiitk itu, Bimo mengernyit karena dia tidak memahami apa yang disiratkan oleh Umar. Namun, di
Aku tidak membunuh dia karena kurasa kesalahannya tidak membutuhkan hukuman sekeras itu,” kata Daffa yang tangannya diletakkan di balik punggungnya seraya dia berjalan ke arah Umar. Kemudian, dia tersenyum dan menambahkan, “Akan tetapi, terlihat jelas bahwa kamu tidak senang dengan keputusanku.”Umar terbaring di lantai, memejamkan matanya dan akhirnya menyadari bagaimana dia telah mengambil pihak yang salah selama ini. Bahkan bisa dikatakan bahwa dia salah sedari awal karena telah meragukan Daffa.Meskipun demikian, Umar tidak dapat menahan skeptisismenya terhadap segala hal. Lagi pula, Umar merasa hal-hal berjalan dengan lancar sebelum momen ini. Berbaring di lantai, dia mengendurkan rahangnya yang terkatup dan memandang udara dengan ekspresi kosong.Umar mulai mempertanyakan segala hal di sekitarnya, tapi dia tidak mengatakan apa-apa tentang itu. Keheningan mengisi ruangan seraya dia memikirkan kapan hal-hal berbalik melawannya. Saat itulah tatapan Daffa dengan singkat menyap
Tidak peduli setakut apa Bimo, dia tidak berani bergerak dan hanya mengangguk dengan kaku dan patuh.Dengan bibir yang melengkung menjadi senyuman puas, Daffa berkata, “Aku sudah beberapa kali bertukar pikiran dengan salah satu petugas polisimu yang bernama Umar dan aku tidak memiliki pengalaman yang terbaik dengannya. Bukan hanya itu, dia telah memperjelas bahwa dia berpihak pada Grup Ganendra. Meskipun dia gagal memenuhi janjinya, aku masih memastikan kamu tahu setiap tindakan dan rencanaku di Kota Almiron. Bukankah itu benar?”Dengan kening yang basah oleh keringat, dia dengan cepat melirik Umar. Dia lalu kembali fokus pada Daffa dengan senyuman sambil membujuk Daffa. “Tuan Halim yang terhormat, saya rasa ini tidak perlu.”Meletakkan kedua tangannya di sisinya, dia menunjukkan ketulusannya. Dia menghindari tatapan Daffa dan berkata, “Kita bisa menegosiasikan kembali syarat-syarat kolaborasi kita.”Bimo mau tidak mau gemetar ketakutan. Yang dia lihat hanyalah bibir Daffa yang mel
Saat kening Umar basah oleh keringat, dia mendengar tawa yang familier dari lorong. Seketika, dia memasang seringai sombong dan berkata, “Hah! Terima itu, Daffa! Apakah kamu akhirnya menyadari betapa bodohnya kamu? Apakah kamu tahu siapa orang yang tertawa di luar kamar hotelmu?Tatapan angkuhnya mendarat di Daffa selama waktu yang singkat sebelum menghilang sepenuhnya. Tidak lama, dia mengerutkan bibirnya ketakutan ketika dia mendengar jawaban Daffa.“Bosmu. Omong-omong, untunglah kamu senang bertemu dengannya. Kuharap kamu bisa terus bahagia seperti ini.” Dengan begitu, Daffa mengalihkan tatapannya yang tegas ke arah pintu.Demikian pula, Umar terbaring di lantai dan menatap pintu dengan tidak sabar sambil menggumam pelan, “Tunggu saja, Daffa! Kematian akan mendatangimu sebentar lagi!”Tatapan Daffa tiba-tiba melesat ke arah Umar. Meskipun Daffa tidak mengatakan atau melakukan apa-apa, tatapannya sudah cukup untuk membuat rambut di punggung Umar berdiri tegak.Takut, Umar menutu
Dengan pandangan yang gemetar karena rasa takut, Umar berseru, “Sebaiknya kamu pikirkan dengan baik-baik sebelum melakukan apa yang akan kamu lakukan, Daffa Halim! Pikirkan tentang apakah kamu bisa menanggung konsekuensinya!”Daffa menaikkan sebelah alisnya sambil memamerkan giginya yang putih. “Sejujurnya, perkataanmu membuatku terhibur.”Dia lalu mengeluarkan tangannya untuk mencengkeram kerah baju Umar. Akan tetapi, kali ini, dia menarik Umar keluar dari lekukan di tembok dan melempar Umar ke ruang di belakangnya. Hanya permusuhan yang terlihat di matanya yang berbinar pada saat itu. Hal itu terus bertahan hingga Umar mendarat di tanah dengan suara dentuman yang keras.Satu-satunya yang berbeda adalah kali ini Umar tidak berteriak kesakitan. Dia terus terdiam setelah dia terbanting ke lantai.Daffa berputar badan, hidungnya berkerut menjadi cibiran kepada Umar sambil dia berbicara dengan santai, “Oh? Aku terkesan. Kamu masih hidup.”Di lantai, Umar berusaha sebisa mungkin untuk
Daffa menahan napasnya ketika dia melihat kondisi Danar. Mungkin dia keliru sedari awal. Dia seharusnya tidak pernah membiarkan Umar membawa Danar ke sel tahanan. Mungkin dengan begitu, Danar tidak akan terluka separah ini.Tenggelam dalam rasa bersalah, Daffa membenci dirinya sendiri karena telah memercayai Umar dan tidak melakukan apa-apa terhadap kekerasan Umar terhadap Danar. Semua itu memicu kemarahan yang lain dalam diri Daffa.Maka, ketika Umar menunjuk ke arah Erin dengan tidak sopan, Daffa tidak ragu-ragu untuk menembakkan kekuatan jiwanya ke arah Umar. Meskipun demikian, dia tidak mengerahkan banyak kekuatan jiwa karena dia tidak ingin memberikan Umar kematian secepat itu.Umar tidak yakin tentang apa yang telah terjadi, tapi dia merasakan angin kencang mengenai tubuhnya, membuatnya memuntahkan darah. Pada saat yang sama, benturan itu membuat tubuhnya melayang jauh.Dia bisa merasakan angin itu bertiup mengenai kulitnya dengan sangat kasar hingga angin itu menyayat seluru