Pertanyaan Meena membuat Winda tersipu. "Kau mengenalnya dengan baik." "Benarkah? Kau serius? Bagaimana bisa aku tak tau?" "Dia suami pertamaku, aku masih mencintainya. Dia juga duda sekarang." "Wah, pasti kalian akan berjodoh lagi. Kau harus mendekatinya dengan baik." "Itulah sebabnya aku butuh perantara yang baik dan bisa meyakinkan dia." "Jadi... siapa dia?" "Ayah dari anak ini," kaya Winda pelan dan membelai puncak kepala Juan. "Dia menikahi Laila, padahal Laila adalah asisten rumah tangga yang merawatnya saat dia sakit. Akulah yang bekerja dan membayar biaya gaji dan pengobatan Jonathan, bukankah sangat lucu karena tiba-tiba saja aku tahu mereka menikah?" Meena sangat terkejut, ia bahkan tidak pernah tau kisah itu, kisah bahwa ada affair diantara Laila dan Jonathan. Apakah ini adalah salah satu sifat Jonathan yang tersembunyi dengan baik? Lelaki ini ternyata sanggup untuk berkhianat dari cinta pertamanya. "Apa yang sebenarnya terjadi waktu itu? Uhmm... maksudku,
Benar-benar gila dan tak tau malu bukan? Ucapannya jelas secara eksplisit sesuatu yang kotor dan menjijikan. Tapi Meena hanya sedikit terkejut, jantungnya kembali berdesir seolah berharap itu memang terjadi. Akan tetapi tentu saja kegugupan itu harus ia sembunyikan seolah tak mendengar apa-apa. Wajahnya sudah memerah sekarang, namun ia harus menyembunyikan dari pandangan Jonathan saat ini. Gegas iapun melangkah menuju kamar yang dimaksudkan Jonathan untuk mengganti pakaiannya. Jonathan melihat jelas, Meena melihatnya dengan gugup, ia yakin ucapan tadi adalah masalahnya. Iapun cepat menepuk mulutnya sendiri dengan telapak tangannya. "Sial, kenapa aku mengatakan sesuatu yang samasekali tidak penting?" omelnya pada dirinya sendiri. Meena pasti mengira dia adalah lelaki mesum yang menggoda kerabatnya sendiri. "Astaga, sialan banget tadi," gerutunya menyesal. Sesaat kemudian Meena sudah mengganti pakaiannya dengan baik. "Baju itu sangat pas untukmu, kau terlihat canti
"Kau bisa menghilang bersembunyi di dalam tanah seperti ular, aku sudah memberimu peringatan!" lanjutnya dengan tatapan marah pada Winda. "Jonathan, kenapa kau sangat marah?" Meena menahan lengan Jonathan supaya tidak mendekat kepada Winda, ia kuatir Jonathan melakukan kekerasan fisik pada wanita itu. "Diamlah Meena, kau sungguh tidak tau siapa perempuan licik ini. Sungguh tak tau malu karena dia masih berani berada di rumah ini!" Winda masih berdiri di tempatnya sementara Juan tertidur dalam gendongannya. "Tapi Jonathan, kasihan Juan, biarkan dia tidur dulu di tempatnya, dan kita bisa berbincang setelahnya." Meena segera mengambil Juan dalam pelukan Winda dan membawanya masuk ke kamar anak. Winda menatap Jonathan yang masih emosi. "Aku tau aku salah, Jonathan. Akan tetapi aku sungguh ingin menebus kesalahanku dan membantumu. Aku yakin kau adalah manusia yang punya hati nurani untuk memaafkan seseorang," katanya pelan. "Lagipula... aku tau bagaimana Laila berkhianat dari
"Tidak mungkin! Aku bahkan merasa muak melihatnya, kau sungguh tidak tau apa-apa." Jonathan menggelengkan kepalanya, ia sungguh ingin Meena mengerti bagaimana perasaannya saat ini. Ia sungguh tidak akan mengulangi luka lama itu namun Winda selalu saja membuatnya teringat kembali. "Meena, kau tau bahwa kita bukan lagi anak-anak yang hanya meletakkan cinta diatas segalanya, kita tidak mabuk karena perasaan itu melainkan semuanya itu hanya sepenggal kisah yang berlalu. Akan tetapi kita adalah manusia dewasa yang berfikir bagaimana untuk melangkah tanpa kesalahan," katanya di sela-sela kesibukan mereka menyantap makan malam. "Kuharap aku bukanlah seorang pria yang menikah hanya sebatas nafsu dan mengejar perasaan cinta dari seseorang namun aku akan mencari pendamping yang mengerti bagaimana kami akan menghabiskan masa-masa indah sampai menua bersama." "Meskipun begitu bukan berarti perasaan cinta itu tidak akan tumbuh..." "Bukan berarti tidak akan tumbuh... maksudmu bisa saja ci
Meskipun sedikit terkejut, Meena pasrah dengan apa yang dilakukan Jonathan padanya. Ia membiarkan air matanya tumpah di dada bidang Jonathan. Ya, ia akan menangis dan membuang beban perasaan yang telah lama menumpuk di hatinya. Untuk sekian lama, Meena akhirnya merasa tenang. Iapun melonggarkan pelukan Jonathan di tubuhnya. "Ini sudah malam, kita harus beristirahat," ujarnya. "Baiklah, mari kita beristirahat." Malam itu Jonathan tidur di sofa ruang tengah dan Meena berada di kamarnya. Akan tetapi mereka benar-benar tidak bisa memejamkan mata untuk beristirahat. Percakapan di dapur tadi membuat mereka berpikir tiada henti. Jonathan berusaha memahami apa yang sebenarnya membuat Meena selalu menolaknya. Dari satu sisi Meena mungkin takut bahwa dia tidak bisa mencintai Meena, mungkin saja Meena harus merasa yakin dan mendengar ucapan darinya secara langsung? Mungkin Meena menginginkan ungkapan cinta atau pengakuan? Wanita selalu minta kepastian, tapi hati mereka selalu saja
Winda jelas sekali menelisik ke sekeliling rumah untuk mencari keberadaan Jonathan. Sungguh tidak sopan wanita ini! Dia sangat terobsesi pada Jonathan? batin Meena merasa tingkah Winda menyebalkan. Pantas saja Jonathan selalu kabur dari menemui wanita satu ini. "Maaf, aku tidak punya guci seperti yang kamu maksud. Itu cuma barang plastik murahan. Apa kamu menginginkannya?" Meena mengambil sebuah vas bunga besar terbuat dari plastik. Ya, itu cuma guci imitasi yang tidak seberapa harganya. Iapun memberikan vas bunga berserta isinya pada Winda. "Nih, ambil saja kalau kamu suka, aku memang berniat untuk mengganti dengan hiasan lain." Winda terlihat merengut karena tidak berhasil menemukan Jonathan. "Uhmm, tidak perlu. Aku akan beli sendiri, aku hanya penasaran." Winda melangkah keluar dengan wajah kesal. "Bisakah kau katakan pada Jonathan jika kau bertemu dengannya?" "Hmm, baiklah, apa yang harus kukatakan?" "Aku akan datang untuk menemuinya setiap hari dan membant
Respon Indriana cukup datar dan cenderung dingin pada Winda yang berharap. Dia tau pasti, Jonathan tidak punya perasaan untuk Winda. "Tapi Jonathan, aku sungguh tidak bisa menikah dengan pria selain kau." "Jangan memaksakan diri, semua sudah berubah. Kau tidak ada tempat lagi di sini." Jonathan melangkah pergi, ia cukup kesal karena tertunda oleh urusan yang tidak penting. Winda hanya bisa menitikkan air mata, ia tak bisa lagi mengatakan apapun. Jonathan menjalankan mobilnya dan Meena sudah menunggunya sejak lama. "Kenapa lama sekali? Aku kira kamu mau batal pergi," omel Meena saat naik ke mobilnya. "Tidak akan, aku sudah lama nggak refreshing, mana mungkin aku batalkan." "Jadi, kita mau kemana?" "Kemana saja, yang penting membuat kita bisa menikmati hari libur." "Hmm, baiklah, lalu bagaimana kalau kita ke pantai? Atau ke sebuah pegunungan?" "Terserah, kau mau yang mana?" "Baik,.mari kita pergi ke pantai, hmm?" Jonathan tersenyum senang, sebenarnya diapun l
"Kau masih tak mengerti? Aku bilang aku akan menjalani hidup ini bersamamu sampai akhir, kenapa kau masih berkeras menolakku?" "Tapi Jonathan..." "Kau menyukaiku, aku ingat sekarang bahwa Wiliam pernah mengatakan padaku bahwa kau menyukaiku. Sayangnya aku tidak pernah memikirkannya." Meena sedikit terkejut. Ia tak menyangka Wiliam mengatakan hal bodoh semacam itu pada Jonathan. "Maafkan aku karena keadaan tidak memungkinkan bagiku pada waktu itu. Kau tau aku menyimpan rasa bersalah karena Laila juga tidak pernah mendapatkan cinta dariku saat dia menjadi istriku. Aku hanya seorang lelaki dingin dan bodoh." "Aku membuatnya menderita dan pergi dari rumahku, sehingga dia sangat terpuruk sendirian." "Jadi kau menikah karena penyesalan?" tanya Meena penasaran. "Begitulah, dia sebenarnya menyukaiku sebelum ingatannya hilang," ujarnya. "Tapi pada akhirnya saat dia menemukan cinta itu, semuanya sudah terlambat." Meena terdiam memikirkannya, akan tetapi hatinya masih dipenuhi ke
"Jonathan, bangunlah nak, sebaiknya kalian tidur di kamar kalian dan bukan di sini," bisik ibunya pelan sementara Jonathan masih belum penuh kesadarannya. "Ibu? Oh, tidak, aku ketiduran tadi." "Mana Mirna pengasuh kalian? Kenapa tidak ada di sini untuk menjaga mereka?" "Anu Bu, Ayah Mirna sakit keras sehingga ia harus ke rumah sakit." "Oh, begitu rupanya. Kalau begitu, bangunkan istrimu dan aku yang akan menjaga anak-anak malam ini." Jonathan sedikit malu, tapi tentu saja itu yang diharapkan. "Baik, Bu, aku akan membangunkan Meena terlebih dahulu." "Baik, bangunkan dia dan aku akan menyiapkan botol susu untuk anak-anak." Setelah ibunya pergi, Jonathan mendekati Meena yang terlelap sementara Juan masih menyusu di tubuhnya. Perlahan iapun mengusap puncak kepala Meena dengan lembut lalu menyentuh pipinya. "Sayang, kamu mau bangun apa enggak?" panggil Jonathan dengan terus membelai pipinya. "Hah? Eh, Jonathan?" "Iya, ini aku, suamimu." "Ya Tuhan, aku lupa. Aku hampir terkejut
Winda berjalan mendekati dengan jantung berdetak hebat. Rasa malu bercampur marah seorang membayang di wajahnya. Akan tetapi ini adalah akhir dari perjalanan yang harus ia lakukan. Setelah semua ini, ia akan pergi menjauh dari pria pujaannya ini. Meena melihat wajah Winda yang tertunduk dalam membuatnya kasihan. "Winda..." "Selamat atas pernikahan kalian, Meena. Semoga kalian bahagia." Jonathan hanya diam melihatnya sementara Hanah melihatnya dengan wajah kesal. "Kamu tau sekarang, seorang lelaki itu tidak akan memaafkan perempuan yang berselingkuh, apa kamu mengerti sekarang?" Hanah berbicara blak-blakan, membuat Winda semakin sedih. "Maafkan aku atas semuanya. Aku sungguh minta maaf," wajah Winda kemerahan menahan air mata. Jonathan berharap penyesalan itu memang benar-benar ada pada wanita ini.Setelah mengatakannya Winda kemudian membalikkan tubuhnya untuk pergi dari sana.Meena sedikit merasa bersalah atas kejadian itu. Iapun tak mengira akan seperti ini akhirnya."Aku mer
Indriana menerimanya, akan tetapi telapak tangannya sudah penuh keringat dingin. Ia merasa inilah yang ia butuhkan selama ini. Sebuah bukti nyata yang bisa mengembalikan ingatannya pada masa itu. Jonathan membiarkan Indriana dalam pikirannya sendiri. Ia terus mencoba banyak hal untuk membantu Indriana pulih. Wanita itu terus membuka album dan melihat apa yang ada di sana. Entah mengapa dadanya bergemuruh hebat saat melihat wajahnya berada di setiap lembar foto di sana. "Aku tak menyangka memiliki kenangan yang begitu indah seperti ini." Indriana melihat sendiri betapa indah senyum yang ia miliki dahulu. Senyum seorang wanita yang penuh kebahagiaan. Pada foto pernikahan itu iapun bisa menyaksikan tatapan matanya yang mencintai Jovan. "Ini adalah pernikahan kita?" tanya Indriana takjub. Jovan hampir menitikkan air matanya karena sangat sedih saat ini. Semua kebahagiaan yang pernah mereka miliki bersama menghilang begitu cepat. Karena tiga bulan setelah itu Indriana meng
Meena terpaksa mencobanya karena permintaan Indriana dan cincin itu sangat pas di jarinya. "Itu sangat pas sama kamu, Meena." Meena mengedikkan bahunya, ia masih tak mengerti. "Kalau begitu, aku akan menikahimu saja, apakah kamu bersedia?" Meena melotot tajam, jadi benar Jonathan sedang bermain-main? "Jonathan, apa maksudmu?" "Ayah, ibu... sebenarnya wanita itu adalah Meena. Wanita yang kusukai adalah Meena, dan sekarang aku ingin mendengar jawaban dari Meena." Indriana lebih terkejut lagi, ia tak menyangka Meena adalah gadis yang dimaksud Jonathan. "Kamu Serius?" "Tentu saja aku serius, Bu. Aku tau Meena adalah yang terbaik untukku dan juga untuk Juan. Apakah menurut ibu tidak seperti itu?" Indriana menatap Meena tak bisa menahan untuk tersenyum. Tentu saja itulah yang ia harapkan selama ini. "Aku sudah pernah menjodohkan kalian dahulu, tapi kalian tidak menuruti keinginan ibu, hah?" Ya, Jonathan juga ingat waktu itu dirinya menolak mentah-mentah tawaran ibuny
Jovan mendengarkan dengan serius, dia tidak mengerti siapa wanita itu kali ini. "Kalau begitu, perkenalkan dia pada ayahmu ini, ayah senang mendengarnya, Juan membutuhkan seorang ibu, seharusnya kalian cepat menikah saja." Jonathan tersenyum, tidak sulit mendapatkan persetujuan semacam ini bukan? "Lalu bagaimana dengan ibu? Apakah ibu setuju kalau aku cepat menikah?" Indriana terdiam, ia tidak terlihat antusias. "Aku tidak yakin wanita seperti apa lagi yang kau pilih sebagai pendamping hidupmu. Tapi aku sudah kehabisan kata-kata untuk membuatmu sadar." Jawaban ibunya membuat Jonathan tidak puas samasekali. "Ibu tidak setuju aku menikah lagi?" "Bukan begitu, Jonathan. Ibu hanya ingin mengenal wanita seperti apakah dia itu. Ibu tentu saja merasa kuatir dengan kisahmu dalam menjalani rumah tangga. Ibu takut kamu terluka lagi." "Ibu, aku tidak seperti ayahku,.dia hanya setia dengan satu wanita saja, bukankah begitu, Ayah?" Jovan dan Indriana tertawa kecil dan sedikit t
Tentu saja itu sangat penting, apakah kamu tidak berniat memberi tau? batin Meena, ia tetap diam tidak mengatakan apapun. "Terserah, kalau menurutmu penting, suatu saat kau pasti akan memberi tau padaku. Tapi sebenarnya... ini cukup berlebihan, aku bahkan tidak berharap kau bertindak sejauh ini. Bagiku, sudah cukup jika kamu mencintaiku." "Kenapa aku merasa wanita tidak seperti itu, Meena? Winda dulu juga begitu, tapi ternyata..." "Lihatlah, kamu masih juga membawa-bawa masa lalu. Aku berharap menjadi wanita yang cukup pintar sehingga tidak terlalu menunggu dan menuntut pemberian seorang laki-laki. Akan tetapi sebenarnya banyak juga kejadian wanita jadi besar kepala kalau sudah menghasilkan uang sendiri. Apakah kamu tidak takut aku menjadi seperti itu?" Jonathan hanya tersenyum tipis dan melangkah pergi, "Lakukan dan tunjukkan sifat aslimu secepat mungkin, Meena. Mungkin suatu hari nanti aku akan mengerti dan memutuskan apakah aku bisa bertahan atau tidak, seperti yang sudah lewat
Ruangan itu sungguh diluar ekspektasinya. Bisa dibilang ruangan yang ditata begitu estetik dengan berbagai macam peralatan mewah. Ada satu meja besar dengan berbagai macam peralatan dan juga manekin dalam berbagai pose. Ada dua buah perangkat laptop dan juga monitor dinding yang besar. Meena bahkan tidak tau kapan ruangan ini di desain dan diubah menjadi seperti ini. "Apakah ini sungguh ruangan milikku?" Meena berbicara sendiri. "Tentu saja, ini adalah hadiah dariku. Kamu suka?" "Tapi... kenapa kau memberikan hadiah semahal ini? Aku...." "Apa yang harus ku berikan untuk wanita yang begitu spesial di hatiku? Aku juga tidak tau apakah ini cukup spesial. Selain itu... kau mungkin sangat kesal kepadaku akhir-akhir ini." "Jadi maksudmu?' "Kamu tidak akan melihatku dari sini, kau bisa fokus bekerja. Haruskah aku membuat area bermain untuk anak kita?" Meena tentu saja sangat terperangah, "Jangan keterlaluan, apa yang akan mereka katakan nantinya?" "Jangan perdulikan merek
Meena menghempaskan dirinya di pembaringan. Ia teringat dengan bagaimana Jonathan bersikeras untuk menikahinya. Egonya setinggi ini untuk menolak tawaran yang dulu begitu ia inginkan. "Aku merasa sangat marah, aku juga bingung harus bagaimana," lirihnya mematut dirinya di cermin. Wajahnya... ia teringat dengan Laila yang begitu dicintai Jonathan. Ia sedikit terganggu karena bisa jadi Jonathan hanya ingin mengabadikan wajahnya demi Laila di sisinya. "Kenapa semua ini membuatku semakin bodoh dan takut?" gumamnya lagi. Adapun Jonathan melakukan hal yang sama di kamarnya. Ia melihat dirinya di cermin dan berkata, "Aku ingin tau dan penasaran, apakah kamu hanya mengoleksi banyak sekali fotoku tanpa tujuan? Seharusnya kau menerimaku karena aku yakin kau membutuhkanku," ujarnya pelan. "Tapi baiklah, kita lihat nanti apa yang akan kau lakukan," ujarnya kemudian. Keesokan harinya Jonathan berangkat bekerja tanpa menjemput Meena. Pria itu bahkan tidak menjenguk Juan pagi ini. "J
"Kau masih tak mengerti? Aku bilang aku akan menjalani hidup ini bersamamu sampai akhir, kenapa kau masih berkeras menolakku?" "Tapi Jonathan..." "Kau menyukaiku, aku ingat sekarang bahwa Wiliam pernah mengatakan padaku bahwa kau menyukaiku. Sayangnya aku tidak pernah memikirkannya." Meena sedikit terkejut. Ia tak menyangka Wiliam mengatakan hal bodoh semacam itu pada Jonathan. "Maafkan aku karena keadaan tidak memungkinkan bagiku pada waktu itu. Kau tau aku menyimpan rasa bersalah karena Laila juga tidak pernah mendapatkan cinta dariku saat dia menjadi istriku. Aku hanya seorang lelaki dingin dan bodoh." "Aku membuatnya menderita dan pergi dari rumahku, sehingga dia sangat terpuruk sendirian." "Jadi kau menikah karena penyesalan?" tanya Meena penasaran. "Begitulah, dia sebenarnya menyukaiku sebelum ingatannya hilang," ujarnya. "Tapi pada akhirnya saat dia menemukan cinta itu, semuanya sudah terlambat." Meena terdiam memikirkannya, akan tetapi hatinya masih dipenuhi ke