Hahaha, sangat mudah ternyata.
"Aku ingin mobil dengan atap terbuka," katanya kemudian."Baik, Pak. Saya akan segeralah membawa mobil itu untuk bapak.""Hei, apa kau bercanda?" tiba-tiba Jono merasa ragu lagi."Maaf?""Apa kau sungguh mengabulkan mobil itu?""Tentu, Pak.""Hahaha, baiklah, bawakan untukku."Rasa tak percaya dan juga bahagia bercampur aduk dalam pikirannya. Ia benar-benar merasakan enaknya menjadi kaya raya sekarang ini.Lalu iapun menyusut darah yang mengalir di sudut bibirnya."Winda, Desta, kalian akan membuatku seperti ini, aku tidak akan melepaskan kalian berdua," katanya dengan mengepalkan tangannya.Setelah bangkit dan membersihkan diri, sekarang ia menunggu ucapan dalam percakapan di ponsel itu terbukti. Dan ternyata benar, tak lama kemudian sebuah mobil berwarna hitam pekat sudah berada di pekarangan rumah dengan seorang sopir."Selamat siang Pak Jono, mobHanah tak perduli, dia masih penasaran dengan lelaki itu."Serius, aku kecewa dengan selera kamu Hanah. Coba pikirkan level kamu dengannya, bahkan aku tidak mengira dia membayar berkuliah di sini. Bisa saja dia cuma siswa penerima bantuan.""Terserah kalian mau bilang apa, aku kan cuma penasaran, kenapa kalian ribut?""Enggak Han, kamu itu tertarik sama tuh cowok."Hanah menggigit bibirnya, "Dia sudah beristri, aku bisa apa," lirihnya nyaris tak terdengar.Sementara itu Jono melenggang ke area kampus dengan tenang. Saat itu ia melihat seorang gadis yang cukup di kenalnya berada di sudut ruangan."Laila?" gumamnya keheranan. "Apa dia sungguh berkuliah di sini?"Gadis itu masih fokus dengan penjelasan seorang dosen di depan kelas. Tentu saja Jono sangat terkejut melihat Laila yang dulu bekerja sebagai pelayan di rumahnya berada dalam satu ruangan dengannya.Beberapa menit kemudian dosen sudah selesai dengan mata k
Wiliam masih diam memperhatikan Jono.Ia tidak melihat Jono datang sebagai pengacau. Bisa jadi Jono memanglah kerabat istrinya."Kalau begitu, kita adalah orang dekat. Maaf karena aku tidak mengenalmu," kata Wiliam merendah."Bagus. Tapi aku memintamu untuk membatalkan kerja sama dengan Gress korporasi, bukankah perusahaan itu tidak terlalu bagus untukmu?"Gress adalah perusahaan milik Desta, perusahaan tersebut sedang devisit dan nyaris tumbang karena kekacauan manajemen."Tapi... bagaimana kau bisa tahu soal itu? Aku bahkan belum memutuskan apapun."Jono tertawa tanpa suara, ia juga tahu perusahaan Wiliam dalam kondisi pailit. Bagaimana dia bisa tahu? Ah, apa susahnya jika memiliki banyak uang? "Putuskan saja sekarang, lalu jual perusahaanmu padaku, beres bukan?"Mendengar hal itu Wiliam malah heran sekarang. Air wajahnya berubah merah padam. Tersinggung."Jangan percaya, sayang. Dia cuma orang miski
Hati Winda meremang, ia merasa Jono telah menipunya selama ini. Ini sangat tidak adil karena hidupnya sangat sengsara waktu itu."Mas, apa semua ini nyata?" Winda mengejar langkah Jono yang menuju gerbang sementara pengawal masih mengekor di belakang Jono.Jono meliriknya sekilas, dia hanya melihat seujung kuku, seolah tak pernah mengenalnya."Mas, jelaskan padaku, kau sengaja menyembunyikan kekayaanmu supaya aku tidak memintanya darimu? Apa sih tujuanmu sebenarnya?!" ujarnya dan menarik ujung kemeja yang dikenakan Jono.Tak ayal lagi Jono tidak bisa melanjutkan langkahnya. Ia terhenti karena tarikan Winda."Kau siapa berani bertanya tujuanku? Kalau memang seperti itu, bukankah lebih menyenangkan kamu? Kita sudah bebas sekarang, menikah saja dengan Desta, jangan urusi hidupku!""Mas! Kau harus membayar kesalahanmu karena menipuku!" teriak Winda, tapi Jono sudah tidak menggubrisnya.Desta juga bisa melihatnya, melihat bag
Jono diam, ia memang sedang kesal karena ayahnya membahas soal pernikahan. Masalah ibunya memang bukan salah ayahnya sepenuhnya, tapi biar saja ayahnya merasa disalahkan sekarang ini."Ibumu, apa yang kau dapatkan?" lanjut Jovan kemudian. "Tidak banyak, dia ada di Jakarta ini, tapi mungkin tidak baik-baik saja."Tangan Jovan mulai gemetaran mendengar kabar istrinya tidak baik-baik saja. Ia takut wanita itu lebih menderita lagi."Itu semua salahku, seharusnya aku bisa melakukan sesuatu untuk membawanya jauh dan tidak ditemukan.""Ayah, masa lalu tidak lagi penting saat ini. Bagaimanapun caranya aku pasti akan menemukan ibu, ayah tidak usah berpikiran semacam itu dan menyalahkan diri sendiri."Sejumput air bening menyembul di sudut mata yang mulai kentara garis keriputnya, hati Jono menjadi sesak melihat ayahnya bersedih.Ia mulai menyesal sekarang, hati ayahnya yang selembut sutra menjadi luapan kekesalannya tadi."A
Jono merenungi ucapan Hanah.'Manusia memang bisa cepat berubah,' batinnya. Tapi Laila adalah gadis baik yang selama ini dikenalnya, mana mungkin melakukan sesuatu yang tidak bermoral?"Dimana aku bisa menemuinya dalam keadaan seperti itu? Seperti yang kamu katakan?""Itu mudah. Dia selalu ada di klub Fantasia, bahkan banyak seusia Laila yang lebih cantik dan aduhai di sana. Kenapa? Kau penasaran?"Jono gugup. Penasaran? Tentu, tapi bukan karena mau melakukan perbuatan amoral. Akan tetapi ia butuh menolong Laila jika diperlukan.Tidak seharusnya Laila berada di tempat seperti itu.Ia mulai terluka mendengar kisah ini, ia tidak bisa menerimanya!"Jonathan, apakah kau mau menemui Laila di klub Fantasia?"Jono terkejut, bukan urusan Hanah bagaimana ia menemui Laila."Tidak, tentu saja tidak. Bukankah itu tempat terkutuk? Aku bukan penggemar sebuah klub yang tidak berguna."Hanah terkekeh, ia berpikir Jono
Hanah mematut dirinya di cermin. Iapun melepaskan dua giwang yang berderet di telinga kanan kirinya. Ia akan merubah sedikit penampilan urakan dan tomboi nya dengan penampilan yang lebih feminim."Kalau rumor itu benar, artinya aku masih memiliki kesempatan untuk mendekati dia," lirihnya berbicara dengan dirinya sendiri di cermin.Ada salah seorang temannya mengatakan bahwa Jono adalah seorang duda. Jadi tidak benar Jono adalah seorang pria yang beristri.Hanah juga merapikan potongan rambutnya lalu memoles sedikit lipstik berwarna jambu di bibir tipisnya.Saat melihat ayahnya masuk, ia mengembangkan senyum pada ayahnya."Hanah, ayah harus pergi, bisakah kau menemui Tante Bianca sendirian?"Hanah langsung cemberut, ia tahu hal itu harus membuatnya bertemu dengan Leo si bodyguard es itu lagi."Ayah, Tante Bianca selalu memintaku mengobrol dengan Leo, padahal ayah tahu Leo seperti apa?"Jovan tertawa lebar. Sebena
Jovan yakin Jono telah salah faham dengan foto para gadis itu.Putranya terlihat sangat cemburu, berpikir bahwa perasaannya terhadap ibunya adalah kepalsuan."Ini adalah bukti bahwa ayah memang tidak mencintai ibu. Kenapa ayah melakukannya? Seharusnya ayah tidak perlu berpura-pura seolah menjadi suami yang setia?""Duduklah, dan tenangkan dirimu. Itu semua bukan untuk ayah."Meskipun sangat kesal Jono menurut, iapun duduk di hadapan ayahnya."Baik, jelaskan!" katanya tegas, membuat Jovan tersenyum geli."Foto-foto itu... Sebenarnya ayah berpikir untuk menikahkan kamu dengan salah satu diantara mereka. Akan tetapi kamu menolak tawaran ayah untuk menikah dengan salah satu diantaranya," kata Jovan kemudian.Jono langsung menegang, "Menikah? Perjodohan?"Jovan mengangguk. "Teman-teman ayah memiliki beberapa kenalan dan mereka merekomendasikan ayah gadis-gadis ini."Jono menggaruk kepalanya. Memang benar tempo ha
"Maafkan aku, aku sungguh tidak sedang mengusirmu.""Tenang saja, aku tahu kau pasti tidak enak karena bersama seorang gadis di hadapan ayahmu. Itu lumrah, apalagi jika itu adalah istrimu, pasti mereka akan salah faham."Mendengar itu Jono hanya tersenyum kecut. Istri adalah hal yang paling mengguncang perasaannya. Kalau perlu ia akan membalas wanita itu dengan mendapatkan wanita yang lebih cantik dan sempurna.Hanah memasuki mobilnya dan melaju pergi meninggalkan apartemen Jono.Sementara itu Jovan baru saja menikung masuk ke dalam pelataran apartemen."Nyaris saja...," gumam Jono karena kepergian Hanah yang tidak berselang lama dengan kedatangan ayahnya."Kenapa ada di luar?" tanya Jovan saat turun dari mobilnya. "Aku melihat ada mobil baru keluar dari sini, apa dia teman wanitamu?""Ah, hanya teman kuliah, ada tugas kelompok dan baru saja selesai.""Kenapa nggak tunggu ayah? Kita bisa makan malam bersama."
"Jonathan, bangunlah nak, sebaiknya kalian tidur di kamar kalian dan bukan di sini," bisik ibunya pelan sementara Jonathan masih belum penuh kesadarannya. "Ibu? Oh, tidak, aku ketiduran tadi." "Mana Mirna pengasuh kalian? Kenapa tidak ada di sini untuk menjaga mereka?" "Anu Bu, Ayah Mirna sakit keras sehingga ia harus ke rumah sakit." "Oh, begitu rupanya. Kalau begitu, bangunkan istrimu dan aku yang akan menjaga anak-anak malam ini." Jonathan sedikit malu, tapi tentu saja itu yang diharapkan. "Baik, Bu, aku akan membangunkan Meena terlebih dahulu." "Baik, bangunkan dia dan aku akan menyiapkan botol susu untuk anak-anak." Setelah ibunya pergi, Jonathan mendekati Meena yang terlelap sementara Juan masih menyusu di tubuhnya. Perlahan iapun mengusap puncak kepala Meena dengan lembut lalu menyentuh pipinya. "Sayang, kamu mau bangun apa enggak?" panggil Jonathan dengan terus membelai pipinya. "Hah? Eh, Jonathan?" "Iya, ini aku, suamimu." "Ya Tuhan, aku lupa. Aku hampir terkejut
Winda berjalan mendekati dengan jantung berdetak hebat. Rasa malu bercampur marah seorang membayang di wajahnya. Akan tetapi ini adalah akhir dari perjalanan yang harus ia lakukan. Setelah semua ini, ia akan pergi menjauh dari pria pujaannya ini. Meena melihat wajah Winda yang tertunduk dalam membuatnya kasihan. "Winda..." "Selamat atas pernikahan kalian, Meena. Semoga kalian bahagia." Jonathan hanya diam melihatnya sementara Hanah melihatnya dengan wajah kesal. "Kamu tau sekarang, seorang lelaki itu tidak akan memaafkan perempuan yang berselingkuh, apa kamu mengerti sekarang?" Hanah berbicara blak-blakan, membuat Winda semakin sedih. "Maafkan aku atas semuanya. Aku sungguh minta maaf," wajah Winda kemerahan menahan air mata. Jonathan berharap penyesalan itu memang benar-benar ada pada wanita ini.Setelah mengatakannya Winda kemudian membalikkan tubuhnya untuk pergi dari sana.Meena sedikit merasa bersalah atas kejadian itu. Iapun tak mengira akan seperti ini akhirnya."Aku mer
Indriana menerimanya, akan tetapi telapak tangannya sudah penuh keringat dingin. Ia merasa inilah yang ia butuhkan selama ini. Sebuah bukti nyata yang bisa mengembalikan ingatannya pada masa itu. Jonathan membiarkan Indriana dalam pikirannya sendiri. Ia terus mencoba banyak hal untuk membantu Indriana pulih. Wanita itu terus membuka album dan melihat apa yang ada di sana. Entah mengapa dadanya bergemuruh hebat saat melihat wajahnya berada di setiap lembar foto di sana. "Aku tak menyangka memiliki kenangan yang begitu indah seperti ini." Indriana melihat sendiri betapa indah senyum yang ia miliki dahulu. Senyum seorang wanita yang penuh kebahagiaan. Pada foto pernikahan itu iapun bisa menyaksikan tatapan matanya yang mencintai Jovan. "Ini adalah pernikahan kita?" tanya Indriana takjub. Jovan hampir menitikkan air matanya karena sangat sedih saat ini. Semua kebahagiaan yang pernah mereka miliki bersama menghilang begitu cepat. Karena tiga bulan setelah itu Indriana meng
Meena terpaksa mencobanya karena permintaan Indriana dan cincin itu sangat pas di jarinya. "Itu sangat pas sama kamu, Meena." Meena mengedikkan bahunya, ia masih tak mengerti. "Kalau begitu, aku akan menikahimu saja, apakah kamu bersedia?" Meena melotot tajam, jadi benar Jonathan sedang bermain-main? "Jonathan, apa maksudmu?" "Ayah, ibu... sebenarnya wanita itu adalah Meena. Wanita yang kusukai adalah Meena, dan sekarang aku ingin mendengar jawaban dari Meena." Indriana lebih terkejut lagi, ia tak menyangka Meena adalah gadis yang dimaksud Jonathan. "Kamu Serius?" "Tentu saja aku serius, Bu. Aku tau Meena adalah yang terbaik untukku dan juga untuk Juan. Apakah menurut ibu tidak seperti itu?" Indriana menatap Meena tak bisa menahan untuk tersenyum. Tentu saja itulah yang ia harapkan selama ini. "Aku sudah pernah menjodohkan kalian dahulu, tapi kalian tidak menuruti keinginan ibu, hah?" Ya, Jonathan juga ingat waktu itu dirinya menolak mentah-mentah tawaran ibuny
Jovan mendengarkan dengan serius, dia tidak mengerti siapa wanita itu kali ini. "Kalau begitu, perkenalkan dia pada ayahmu ini, ayah senang mendengarnya, Juan membutuhkan seorang ibu, seharusnya kalian cepat menikah saja." Jonathan tersenyum, tidak sulit mendapatkan persetujuan semacam ini bukan? "Lalu bagaimana dengan ibu? Apakah ibu setuju kalau aku cepat menikah?" Indriana terdiam, ia tidak terlihat antusias. "Aku tidak yakin wanita seperti apa lagi yang kau pilih sebagai pendamping hidupmu. Tapi aku sudah kehabisan kata-kata untuk membuatmu sadar." Jawaban ibunya membuat Jonathan tidak puas samasekali. "Ibu tidak setuju aku menikah lagi?" "Bukan begitu, Jonathan. Ibu hanya ingin mengenal wanita seperti apakah dia itu. Ibu tentu saja merasa kuatir dengan kisahmu dalam menjalani rumah tangga. Ibu takut kamu terluka lagi." "Ibu, aku tidak seperti ayahku,.dia hanya setia dengan satu wanita saja, bukankah begitu, Ayah?" Jovan dan Indriana tertawa kecil dan sedikit t
Tentu saja itu sangat penting, apakah kamu tidak berniat memberi tau? batin Meena, ia tetap diam tidak mengatakan apapun. "Terserah, kalau menurutmu penting, suatu saat kau pasti akan memberi tau padaku. Tapi sebenarnya... ini cukup berlebihan, aku bahkan tidak berharap kau bertindak sejauh ini. Bagiku, sudah cukup jika kamu mencintaiku." "Kenapa aku merasa wanita tidak seperti itu, Meena? Winda dulu juga begitu, tapi ternyata..." "Lihatlah, kamu masih juga membawa-bawa masa lalu. Aku berharap menjadi wanita yang cukup pintar sehingga tidak terlalu menunggu dan menuntut pemberian seorang laki-laki. Akan tetapi sebenarnya banyak juga kejadian wanita jadi besar kepala kalau sudah menghasilkan uang sendiri. Apakah kamu tidak takut aku menjadi seperti itu?" Jonathan hanya tersenyum tipis dan melangkah pergi, "Lakukan dan tunjukkan sifat aslimu secepat mungkin, Meena. Mungkin suatu hari nanti aku akan mengerti dan memutuskan apakah aku bisa bertahan atau tidak, seperti yang sudah lewat
Ruangan itu sungguh diluar ekspektasinya. Bisa dibilang ruangan yang ditata begitu estetik dengan berbagai macam peralatan mewah. Ada satu meja besar dengan berbagai macam peralatan dan juga manekin dalam berbagai pose. Ada dua buah perangkat laptop dan juga monitor dinding yang besar. Meena bahkan tidak tau kapan ruangan ini di desain dan diubah menjadi seperti ini. "Apakah ini sungguh ruangan milikku?" Meena berbicara sendiri. "Tentu saja, ini adalah hadiah dariku. Kamu suka?" "Tapi... kenapa kau memberikan hadiah semahal ini? Aku...." "Apa yang harus ku berikan untuk wanita yang begitu spesial di hatiku? Aku juga tidak tau apakah ini cukup spesial. Selain itu... kau mungkin sangat kesal kepadaku akhir-akhir ini." "Jadi maksudmu?' "Kamu tidak akan melihatku dari sini, kau bisa fokus bekerja. Haruskah aku membuat area bermain untuk anak kita?" Meena tentu saja sangat terperangah, "Jangan keterlaluan, apa yang akan mereka katakan nantinya?" "Jangan perdulikan merek
Meena menghempaskan dirinya di pembaringan. Ia teringat dengan bagaimana Jonathan bersikeras untuk menikahinya. Egonya setinggi ini untuk menolak tawaran yang dulu begitu ia inginkan. "Aku merasa sangat marah, aku juga bingung harus bagaimana," lirihnya mematut dirinya di cermin. Wajahnya... ia teringat dengan Laila yang begitu dicintai Jonathan. Ia sedikit terganggu karena bisa jadi Jonathan hanya ingin mengabadikan wajahnya demi Laila di sisinya. "Kenapa semua ini membuatku semakin bodoh dan takut?" gumamnya lagi. Adapun Jonathan melakukan hal yang sama di kamarnya. Ia melihat dirinya di cermin dan berkata, "Aku ingin tau dan penasaran, apakah kamu hanya mengoleksi banyak sekali fotoku tanpa tujuan? Seharusnya kau menerimaku karena aku yakin kau membutuhkanku," ujarnya pelan. "Tapi baiklah, kita lihat nanti apa yang akan kau lakukan," ujarnya kemudian. Keesokan harinya Jonathan berangkat bekerja tanpa menjemput Meena. Pria itu bahkan tidak menjenguk Juan pagi ini. "J
"Kau masih tak mengerti? Aku bilang aku akan menjalani hidup ini bersamamu sampai akhir, kenapa kau masih berkeras menolakku?" "Tapi Jonathan..." "Kau menyukaiku, aku ingat sekarang bahwa Wiliam pernah mengatakan padaku bahwa kau menyukaiku. Sayangnya aku tidak pernah memikirkannya." Meena sedikit terkejut. Ia tak menyangka Wiliam mengatakan hal bodoh semacam itu pada Jonathan. "Maafkan aku karena keadaan tidak memungkinkan bagiku pada waktu itu. Kau tau aku menyimpan rasa bersalah karena Laila juga tidak pernah mendapatkan cinta dariku saat dia menjadi istriku. Aku hanya seorang lelaki dingin dan bodoh." "Aku membuatnya menderita dan pergi dari rumahku, sehingga dia sangat terpuruk sendirian." "Jadi kau menikah karena penyesalan?" tanya Meena penasaran. "Begitulah, dia sebenarnya menyukaiku sebelum ingatannya hilang," ujarnya. "Tapi pada akhirnya saat dia menemukan cinta itu, semuanya sudah terlambat." Meena terdiam memikirkannya, akan tetapi hatinya masih dipenuhi ke