Melihat Jono begitu serius mengatakannya, Jovan akhirnya menghempaskan nafasnya kuat."Entahlah, apakah aku terlalu tua untuk cemburu, Jonathan? Apakah ayahmu tidak berhak untuk merasa kecewa?"Jono merasa bersalah, melihat raut ayahnya yang terlihat sedih dan layu. Padahal baginya,. ayahnya adalah orang yang begitu tegar dan setia, kenapa ibunya begitu tega?"Menikah saja dengan perempuan lain, aku lebih setuju.""Hahahaha, kau pikir menikah membuat ayah melupakan ibumu? Enggak putraku, itu justru akan lebih menyakiti istriku kelak karena aku masih memikirkan ibumu."Tiba-tiba saja ayahnya tergelak mendengar usulan Jono untuk menikah lagi. Bukan apa-apa, pria tua itu bisa melihat bibir kebencian di mata putranya. Itu tidak boleh terjadi!"Ah sudahlah, terserah ayah saja," rutuk Jono kesal.###Laila merasa sedikit segar setelah minum obat dan tertidur pulas beberapa waktu lamanya. Iapun melihat ke arah jam dinding yang menunjukkan pukul sebelas siang. Lalu dengan sedikit tenaga ia me
Luapan emosi Laila terlihat jelas. Padahal biasanya Laila sangat bisa menutupi rasa marah dan emosional. Setelah mengatakannya iapun membalas tatapan Jono dengan cukup tajam."Laila, apa maksudmu sebenarnya? Hubungan apa yang kau maksud?" tanya Jono tak mengerti."Benarkah? Kau pasti sedang berpura-pura untuk membuatku semakin bodoh dalam sandiwara kalian. Sudahlah, mari kita bercerai dan aku akan mengembalikan seluruh biaya yang kau keluarkan untukku.""Tapi Laila, aku sungguh tidak punya hubungan dengan siapapun. Percayalah... aku juga menjaga pernikahan ini sebaik mungkin. Bagaimana bisa kau menuduhku seperti itu?"Mereka berhadapan dan saling menatap satu sama lain.Laila menatap tajam ke arah Jono sementara Jono membalas menatapnya dengan tatapan tak mengerti."Bukankah hubungan kalian sangat kentara? Kenapa kau masih mangkir?" ketus Laila."Kalian _kalian_ Aku sungguh tak tau siapa yang kau maksud dengan kalian, Laila. Tolong lebih jelas lagi, hmm?" kesal Jono karena masih tak
Laila mencubit pelan lengan Jono yang membuat pria itu terkekeh.Siapapun akan mengira mereka adalah pasangan yang romantis dan mesra. Pada saat sedang saling berbisik, seorang wanita datang dengan pakaian dan penampilan yang sedikit mencolok.Dia memperhatikan apa yang ada di hadapannya sedikit memicingkan matanya. Ia seperti mengenali wanita yang berada di sisi Jono namun tidak terlalu yakin.Setelah cukup dekat,. sekarang ia baru menyadari siapa sebenarnya wanita tersebut."Bukankah kamu Laila? Gadis yang menjadi pembantuku dulu?" Suara Winda membuat banyak orang memperhatikan dan melihat kearah mereka.Jono sedikit tersentak dan Laila juga menoleh ke arah Winda."Bu Winda... uhmm..."Tangan Jono reflek menarik Laila dan menyembunyikan Laila di belakang tubuhnya. Ia tau Winda tidak akan bersikap baik pada Laila."Ooh, jadi kamu ini berkerja denganku punya maksud tertentu ya? Kamu mengincar suamiku? Atau sebenarnya... suamiku yang menjanjikan sesuatu padamu?" kata Winda dengan emos
Jono tersenyum, mengingat betapa terkejutnya dirinya saat itu karena tiba-tiba saja ada seseorang yang mengaku-ngaku sebagai ayahnya. Kisah tragis dalam hidupnya selalu saja melayang dalam ingatannya. Tidak, ia bahkan tidak pernah tahu rasanya punya orang tua, sehingga ia tidak yakin apakah memiliki ayah penting baginya saat itu. "Cukup rahasia, karena sangat memalukan menjalani hidup sebagai anak tanpa orang tua yang jelas. Aku bahkan mengira tidak akan pernah bertemu dengan kedua orang tuaku seumur hidupku. Akan tetapi takdir mengatakan hal yang berbeda." "Dari sekian banyak anak yatim mungkin hanya sedikit yang berharap bisa bertemu dengan kerabat apalagi salah satu orang tuanya. Terkadang mereka bahkan hanya sebatang kara," lanjutnya dengan raut wajah yang sedih. "Ah, itu bukan apa-apa dibandingkan denganku. Kau masih sangat beruntung." "Beruntung? Hah, ada-ada saja." "Aku serius. Dibandingkan denganku, kisah mu tidaklah memalukan." "Memangnya kamu gimana? Kenapa k
Kejadian ini sudah berulang untuk ke sekian kalinya. Mimisan dengan darah yang cukup banyak membuatnya sedikit pusing. Bisa jadi karena begadang semalaman dan kurang istirahat membuat penyakitnya kambuh lagi. Iapun mengambil beberapa helai tissue dan mendongak untuk menghentikan aliran darah dari hidungnya. Kepalanya mulai berdenyut nyeri lagi sehingga sekuat tenaga ia memijat keningnya yang sakit. Jono masih terlelap tidur sehingga tidak tau apa yang Laila alami. Ia tidak akan membangunkan pria yang kelelahan di sampingnya itu dan membuat kehebohan. Setelah sedikit reda rasa sakitnya dan juga darah dari hidungnya tidak lagi mengalir, iapun membersihkan semuanya supaya Jono tidak tau apa yang terjadi padanya. Kemudian Laila merebahkan diri untuk memejamkan mata dan beristirahat. Saat Jono terbangun, ia melihat Laila tidur pulas. Akan tetapi ia merasa wajah Laila sangat pucat. Karena penasaran iapun menggerakkan bahu Laila sedikit. "Laila, Laila...," tapi tak ada respon
"Tidak, jangan!" sergah Laila menahan lengan kekar Jono. "Aku sungguh baik-baik saja dan harus istirahat, kenapa kau harus menemui dokter padahal dokter tadi sudah menjelaskan padaku?" ujarnya sambil tangannya mencekal lengan Jono sangat kuat. Tentu saja Jono merasa kaku dan bingung. Ia melirik tangan Laila yang masih menempel erat di lengannya. "Oh, baiklah... tapi... aku mau ke ruang administrasi. Bukankah kita harus menyelesaikan pembayaran dan menebus obat?" Laila sadar, cengkraman tangannya cukup kuat sehingga Jono merasa risih. "Ekhem, benar juga... maaf," ujarnya malu-malu. "Tak apa, kau pasti malas berurusan dengan rumah sakit, aku juga merasakan hal yang sama, mondar-mandir rumah sakit membuatku kesal," katanya. "Kau ingat kan waktu aku buta dulu, kau juga yang sering mengantarkan aku ke rumah sakit." Laila tersenyum dan mengangguk mengiyakan. Terutama ia tidak mau Jono curiga soal hasil diagnosa tadi, ia akan merahasiakan sebisa mungkin dan mengabaikan pemikiran
Laila yakin memang Jono tidak bisa melupakan istrinya itu. Itulah sebabnya hatinya seakan tidak pernah terbuka untuk siapapun. Sekarang wanita itu tengah berusaha memenangkan hati pria itu lagi. Bisa jadi Jono memaafkan kesalahan Winda di masa lalu mengingat betapa pria itu mencintainya dulu. Sementara itu Jono yang masih terpaku melihat tingkah mantan istrinya seakan tak bisa berkata-kata. Langkah wanita itu kian mendekat dan menatapnya lekat. Winda semakin mendekat dan berkata dengan lembut, "Aku sungguh minta maaf karena sesungguhnya aku juga tidak bisa mengendalikan diriku saat bersamamu. Semua itu terjadi karena hatiku tidak bisa melupakan begitu saja apa yang pernah terjadi diantara kita berdua dahulu," ujarnya dan kini tangannya menyentuh pundak pria itu. Laila yang melihat suasana semakin menghimpit perasaannya segera melangkah masuk ruangan dengan selembar surat perjanjian mereka. Sudah kepalang Winda mengetahui semuanya, ia mengambil kesempatan ini supaya Jono ti
Laila terpaku dalam pertanyaan Jono yang tidak terduga. Ia sudah berbohong soal kekasih itu, bagaimana mungkin ia bisa menarik kembali ucapannya? "Laila... kenapa malah bengong? Aku bertanya soal kekasihmu, apa dia benar-benar serius mau menikahimu? Bukankah setidaknya dia tau kalau kau adalah seorang janda... apa dia sungguh akan menerima?" Lagi-lagi Laila tersentak, mendengar penjelasan Jono seharusnya memang sedikit rumit. "Tentu saja aku sudah menjelaskan semuanya, tidak masalah tentang apa yang sudah terjadi padaku, maka dia sudah menerimaku apa adanya." Jono tersenyum tipis, ia masih tak percaya seorang lelaki tidak mencurigai kekasihnya. "Dia pasti orang hebat dan sangat percaya padamu, aku sangat salut dan respect, aku jadi semakin ingin mengenalnya lebih baik. Bukankah dia juga tau kalau aku hanya suami palsu, jadi itu tidak sulit, bukankah begitu?" Laila cepat-cepat menggelengkan kepalanya, "Tidak mungkin aku perkenalkan dia denganmu." "Kenapa?" "Karena kau a
"Jonathan, bangunlah nak, sebaiknya kalian tidur di kamar kalian dan bukan di sini," bisik ibunya pelan sementara Jonathan masih belum penuh kesadarannya. "Ibu? Oh, tidak, aku ketiduran tadi." "Mana Mirna pengasuh kalian? Kenapa tidak ada di sini untuk menjaga mereka?" "Anu Bu, Ayah Mirna sakit keras sehingga ia harus ke rumah sakit." "Oh, begitu rupanya. Kalau begitu, bangunkan istrimu dan aku yang akan menjaga anak-anak malam ini." Jonathan sedikit malu, tapi tentu saja itu yang diharapkan. "Baik, Bu, aku akan membangunkan Meena terlebih dahulu." "Baik, bangunkan dia dan aku akan menyiapkan botol susu untuk anak-anak." Setelah ibunya pergi, Jonathan mendekati Meena yang terlelap sementara Juan masih menyusu di tubuhnya. Perlahan iapun mengusap puncak kepala Meena dengan lembut lalu menyentuh pipinya. "Sayang, kamu mau bangun apa enggak?" panggil Jonathan dengan terus membelai pipinya. "Hah? Eh, Jonathan?" "Iya, ini aku, suamimu." "Ya Tuhan, aku lupa. Aku hampir terkejut
Winda berjalan mendekati dengan jantung berdetak hebat. Rasa malu bercampur marah seorang membayang di wajahnya. Akan tetapi ini adalah akhir dari perjalanan yang harus ia lakukan. Setelah semua ini, ia akan pergi menjauh dari pria pujaannya ini. Meena melihat wajah Winda yang tertunduk dalam membuatnya kasihan. "Winda..." "Selamat atas pernikahan kalian, Meena. Semoga kalian bahagia." Jonathan hanya diam melihatnya sementara Hanah melihatnya dengan wajah kesal. "Kamu tau sekarang, seorang lelaki itu tidak akan memaafkan perempuan yang berselingkuh, apa kamu mengerti sekarang?" Hanah berbicara blak-blakan, membuat Winda semakin sedih. "Maafkan aku atas semuanya. Aku sungguh minta maaf," wajah Winda kemerahan menahan air mata. Jonathan berharap penyesalan itu memang benar-benar ada pada wanita ini.Setelah mengatakannya Winda kemudian membalikkan tubuhnya untuk pergi dari sana.Meena sedikit merasa bersalah atas kejadian itu. Iapun tak mengira akan seperti ini akhirnya."Aku mer
Indriana menerimanya, akan tetapi telapak tangannya sudah penuh keringat dingin. Ia merasa inilah yang ia butuhkan selama ini. Sebuah bukti nyata yang bisa mengembalikan ingatannya pada masa itu. Jonathan membiarkan Indriana dalam pikirannya sendiri. Ia terus mencoba banyak hal untuk membantu Indriana pulih. Wanita itu terus membuka album dan melihat apa yang ada di sana. Entah mengapa dadanya bergemuruh hebat saat melihat wajahnya berada di setiap lembar foto di sana. "Aku tak menyangka memiliki kenangan yang begitu indah seperti ini." Indriana melihat sendiri betapa indah senyum yang ia miliki dahulu. Senyum seorang wanita yang penuh kebahagiaan. Pada foto pernikahan itu iapun bisa menyaksikan tatapan matanya yang mencintai Jovan. "Ini adalah pernikahan kita?" tanya Indriana takjub. Jovan hampir menitikkan air matanya karena sangat sedih saat ini. Semua kebahagiaan yang pernah mereka miliki bersama menghilang begitu cepat. Karena tiga bulan setelah itu Indriana meng
Meena terpaksa mencobanya karena permintaan Indriana dan cincin itu sangat pas di jarinya. "Itu sangat pas sama kamu, Meena." Meena mengedikkan bahunya, ia masih tak mengerti. "Kalau begitu, aku akan menikahimu saja, apakah kamu bersedia?" Meena melotot tajam, jadi benar Jonathan sedang bermain-main? "Jonathan, apa maksudmu?" "Ayah, ibu... sebenarnya wanita itu adalah Meena. Wanita yang kusukai adalah Meena, dan sekarang aku ingin mendengar jawaban dari Meena." Indriana lebih terkejut lagi, ia tak menyangka Meena adalah gadis yang dimaksud Jonathan. "Kamu Serius?" "Tentu saja aku serius, Bu. Aku tau Meena adalah yang terbaik untukku dan juga untuk Juan. Apakah menurut ibu tidak seperti itu?" Indriana menatap Meena tak bisa menahan untuk tersenyum. Tentu saja itulah yang ia harapkan selama ini. "Aku sudah pernah menjodohkan kalian dahulu, tapi kalian tidak menuruti keinginan ibu, hah?" Ya, Jonathan juga ingat waktu itu dirinya menolak mentah-mentah tawaran ibuny
Jovan mendengarkan dengan serius, dia tidak mengerti siapa wanita itu kali ini. "Kalau begitu, perkenalkan dia pada ayahmu ini, ayah senang mendengarnya, Juan membutuhkan seorang ibu, seharusnya kalian cepat menikah saja." Jonathan tersenyum, tidak sulit mendapatkan persetujuan semacam ini bukan? "Lalu bagaimana dengan ibu? Apakah ibu setuju kalau aku cepat menikah?" Indriana terdiam, ia tidak terlihat antusias. "Aku tidak yakin wanita seperti apa lagi yang kau pilih sebagai pendamping hidupmu. Tapi aku sudah kehabisan kata-kata untuk membuatmu sadar." Jawaban ibunya membuat Jonathan tidak puas samasekali. "Ibu tidak setuju aku menikah lagi?" "Bukan begitu, Jonathan. Ibu hanya ingin mengenal wanita seperti apakah dia itu. Ibu tentu saja merasa kuatir dengan kisahmu dalam menjalani rumah tangga. Ibu takut kamu terluka lagi." "Ibu, aku tidak seperti ayahku,.dia hanya setia dengan satu wanita saja, bukankah begitu, Ayah?" Jovan dan Indriana tertawa kecil dan sedikit t
Tentu saja itu sangat penting, apakah kamu tidak berniat memberi tau? batin Meena, ia tetap diam tidak mengatakan apapun. "Terserah, kalau menurutmu penting, suatu saat kau pasti akan memberi tau padaku. Tapi sebenarnya... ini cukup berlebihan, aku bahkan tidak berharap kau bertindak sejauh ini. Bagiku, sudah cukup jika kamu mencintaiku." "Kenapa aku merasa wanita tidak seperti itu, Meena? Winda dulu juga begitu, tapi ternyata..." "Lihatlah, kamu masih juga membawa-bawa masa lalu. Aku berharap menjadi wanita yang cukup pintar sehingga tidak terlalu menunggu dan menuntut pemberian seorang laki-laki. Akan tetapi sebenarnya banyak juga kejadian wanita jadi besar kepala kalau sudah menghasilkan uang sendiri. Apakah kamu tidak takut aku menjadi seperti itu?" Jonathan hanya tersenyum tipis dan melangkah pergi, "Lakukan dan tunjukkan sifat aslimu secepat mungkin, Meena. Mungkin suatu hari nanti aku akan mengerti dan memutuskan apakah aku bisa bertahan atau tidak, seperti yang sudah lewat
Ruangan itu sungguh diluar ekspektasinya. Bisa dibilang ruangan yang ditata begitu estetik dengan berbagai macam peralatan mewah. Ada satu meja besar dengan berbagai macam peralatan dan juga manekin dalam berbagai pose. Ada dua buah perangkat laptop dan juga monitor dinding yang besar. Meena bahkan tidak tau kapan ruangan ini di desain dan diubah menjadi seperti ini. "Apakah ini sungguh ruangan milikku?" Meena berbicara sendiri. "Tentu saja, ini adalah hadiah dariku. Kamu suka?" "Tapi... kenapa kau memberikan hadiah semahal ini? Aku...." "Apa yang harus ku berikan untuk wanita yang begitu spesial di hatiku? Aku juga tidak tau apakah ini cukup spesial. Selain itu... kau mungkin sangat kesal kepadaku akhir-akhir ini." "Jadi maksudmu?' "Kamu tidak akan melihatku dari sini, kau bisa fokus bekerja. Haruskah aku membuat area bermain untuk anak kita?" Meena tentu saja sangat terperangah, "Jangan keterlaluan, apa yang akan mereka katakan nantinya?" "Jangan perdulikan merek
Meena menghempaskan dirinya di pembaringan. Ia teringat dengan bagaimana Jonathan bersikeras untuk menikahinya. Egonya setinggi ini untuk menolak tawaran yang dulu begitu ia inginkan. "Aku merasa sangat marah, aku juga bingung harus bagaimana," lirihnya mematut dirinya di cermin. Wajahnya... ia teringat dengan Laila yang begitu dicintai Jonathan. Ia sedikit terganggu karena bisa jadi Jonathan hanya ingin mengabadikan wajahnya demi Laila di sisinya. "Kenapa semua ini membuatku semakin bodoh dan takut?" gumamnya lagi. Adapun Jonathan melakukan hal yang sama di kamarnya. Ia melihat dirinya di cermin dan berkata, "Aku ingin tau dan penasaran, apakah kamu hanya mengoleksi banyak sekali fotoku tanpa tujuan? Seharusnya kau menerimaku karena aku yakin kau membutuhkanku," ujarnya pelan. "Tapi baiklah, kita lihat nanti apa yang akan kau lakukan," ujarnya kemudian. Keesokan harinya Jonathan berangkat bekerja tanpa menjemput Meena. Pria itu bahkan tidak menjenguk Juan pagi ini. "J
"Kau masih tak mengerti? Aku bilang aku akan menjalani hidup ini bersamamu sampai akhir, kenapa kau masih berkeras menolakku?" "Tapi Jonathan..." "Kau menyukaiku, aku ingat sekarang bahwa Wiliam pernah mengatakan padaku bahwa kau menyukaiku. Sayangnya aku tidak pernah memikirkannya." Meena sedikit terkejut. Ia tak menyangka Wiliam mengatakan hal bodoh semacam itu pada Jonathan. "Maafkan aku karena keadaan tidak memungkinkan bagiku pada waktu itu. Kau tau aku menyimpan rasa bersalah karena Laila juga tidak pernah mendapatkan cinta dariku saat dia menjadi istriku. Aku hanya seorang lelaki dingin dan bodoh." "Aku membuatnya menderita dan pergi dari rumahku, sehingga dia sangat terpuruk sendirian." "Jadi kau menikah karena penyesalan?" tanya Meena penasaran. "Begitulah, dia sebenarnya menyukaiku sebelum ingatannya hilang," ujarnya. "Tapi pada akhirnya saat dia menemukan cinta itu, semuanya sudah terlambat." Meena terdiam memikirkannya, akan tetapi hatinya masih dipenuhi ke