Jennie sudah mengemas semua barang miliknya tanpa tersisa, tetapi ia kebingungan. Apakah tempat penitipan barang di perusahaan LEO Group muat untuk tiga koper barang bawaannya?
“Aku harus menemui Tuan Levon.” Jennie bergegas ke luar dari kamarnya, menghampiri Levon yang sedang duduk di sofa ruang tamu.
“Tuan,” sapa Jennie.
“Ya, Jennie? Dimana barang bawaanmu?” tanya Levon sambil menyesapi teh buatan Jennie.
“Tuan ternyata barang bawaanku sangat banyak. Tiga koper penuh,” jawab Jennie sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
Levon terkekeh pelan, “Lalu?”
“Apakah tempat penitipan barang di perusahaan mau menampung barang sebanyak itu?” tanya Jennie ragu.
“Bisa. Tapi sepertinya semua barangmu tidak perlu diletakkan disana.”
“Lalu dimana, Tuan?”
“Di apartemen dekat perusahaan. Tadi malam aku sudah menyewanya untukmu.”
“Hah?” Jennie terkejut. “Apartemen, Tuan?”
“Iya, di apartemen. Kau
“Apakah Tuan sudah bisa menyetir?” tanya Jennie ragu lebih ke arah takut saat Levon duduk di kursi kemudi. Jenni tahu, Sang Tuan tidak bisa mengemudi. Levon terkekeh pelan, “Doakan saja semoga kita sampai tujuan dengan selamat. Aku baru tiga kali latihan mengemudi. Dan ini yang keempat kalinya.” Wajah Jennie semakin cemas mendengar jawaban Levon. Belajar tiga kali belum cukup untuk mengemudikan mobil tanpa pengawasan. “Mengapa kita tidak membayar orang saja untuk menyetir mobil ini. Saya yang akan membayarnya. Tuan harus lebih banyak belajar lagi dengan didampingi orang yang sudah mahir mengemudi,” saran Jennie mengulas senyum paksa, berharap Levon mendengarkan masukannya. “Kau tidak perlu takut. Aku sudah lumayan bisa menyetir mobil,” ucap Levon dengan penuh kepercayaan diri, meski hatinya saat ini tengah terbahak-bahak melihat Jennie begitu cemas berlebihan. “Lumayan?” tanya Jennie mengerutkan kening. Jantungnya mulai berdetak. “Iya,
Semua orang terdiam ketika Amelia dan Pulisic datang. Mereka memasang wajah khas penjilat menyambut kedatangan dua orang besar di perusahaan, “Selamat pagi, Nona. Selamat pagi, Tuan.” “Pagi,” jawab Amelia dan Pulisic. Mata mereka tertuju pada Jennie. Amelia menoleh ke arah Levon dan menggerakkan bola matanya, memberi isyarat agar menjelaskan maksud kedatangan mantan pembantu Rose di perusahaan. “Ah iya ini, Nona. Jennie ... namanya Jennie. Karyawan baru bagian cleaning service yang saya ceritakan tadi malam,” ucap Levon lembut sambil mengedipkan mata pada Amelia. Jennie yang mendengarnya semakin jatuh cinta pada Levon. Ternyata Sang Tuan sudah menelepon Nona Amelia untuk memasukkan dirinya menjadi karyawan cleaning service di perusahaan LEO Group. “Baiklah. Dia bisa langsung mulai bekerja hari ini.” Amelia berpura-pura bersikap dingin, dan langsung melangkah kaki ke ruangan pribadinya. Pulisic pun menyusul dari belakang. Setelah Amelia
Levon mendaratkan tubuh di kursi kerjanya. Ia memikirkan seseorang yang meneleponnya barusan. “Mengapa dia begitu dendam padaku? Aku merasa dia mempunyai hubungan dengan Rose. Dia mau membalaskan dendam kematian Rose dan Frankie. Tapi siapa dia? Mungkinkah dia Kenny Daglish yang diceritakan Jennie? Mungkin saja. Aku harus mencari tahunya. Dia bisa membahayakan orang-orang terdekatku,” gumam Levon santai dan menebak-nebak identitas orang yang sudah menerornya. “Dari cara bicaranya, dia sepertinya memang mempunyai hubungan dengan Rose dan Frankie. Dia pasti sudah mempelajari caraku dalam menghancurkan kejahatan Rose dan Frankie. Hemm ya dia pasti datang dengan misi balas dendam. Baiklah, aku tunggu kedatangannya. Sepertinya dia akan bermain dengan sangat licik dan bersih. Dia pasti sudah belajar dari kesalahan Rose dan Frankie,” ucap Levon mengulas senyuman sambil menghembus napas pelan. Ia begitu tenang menghadapi teror dari seseorang tak dikenal. Levon
Angelina sampai di mansion Tuan Leo. Di depan pintu gerbang ada dua penjaga yang sudah menyambut kedatangannya. “Selamat siang, Nona Angelina” sapa dua pejaga itu dengan ramah. “Siang. Kalian tahu namaku?” tanya Angelian tersenyum. “Kami melihat Nona di televisi. Dan Tuan Leo menyuruh kami untuk menyambut kedatangan Nona,” jawab salah satu penjaga. “Mari, Nona. Saya antar ke dalam.” Angelina tetap diam di tempat, “Apakah Tuan Leo sekarang ada di perusahaan?” “Ya, Nona. Tuan Leo ada di perusahaan. Memangnya kenapa, Nona?” tanya salah satu penjaga. “Saya ingin menemui Tuan Leo. Saya langsung ke sana saja ya, pak.” “Tapi, Nona masih capek. Nona harus istirahat dulu.” “Hem saya tidak capek sama sekali. Selama perjalanan saya tidur pulas,” kilah Angelina. Ia tidak sabar ingin bertemu dengan pujaan hatinya. “Baiklah, jika itu yang Nona mau.. Tapi, Nona jangan bilang pada Tuan Leo kalau kami tidak menawarkan Nona untuk
“Hei satpam yang sombong! Jika Tuan Leo tahu anda mengatakan aku orang gila, pasti Tuan Leo memarahimu,” ucap Angelina menakut-nakuti si satpam, tetapi malah membuat si satpam dan Levon terkekeh pelan. “Hei Nona, sepertinya Nona harus periksa ke dokter. Mungkin Nona sedang sakit. Sudah kubilang Tuan Leo tidak ada, Nona masih saja mengkhayal.” Si satpam berhenti sejenak sebelum melanjutkan ucapannya lagi. “Ah saya baru ingat. Bukankah Nona adalah anak dari Nyonya Katerine? Jadi ini alasanya Nona mengkhayal.”Si satpam mengangguk-nganguk sambil terkekeh pelan dengan tatapan kasihan pada Angelina. “Apa maksudmu?” tanya Angelina mengerutkan kening. “Setelah Tuan Leo datang meresmikan perusahaan keluarga Nona ... Nona pasti mengkhayal bertemu setiap hari dengan Tuan Leo. Sampai-sampai membuat nomor palsu di ponsel Nona,” jawab si satpam terkekeh pelan, membuat Angelina mendengus kesal. “Percuma meladeni anda,” ucap Angelina menatap malas pada si satpa
Di mansion, Angelina mondar-mandir menunggu kedatangan Tuan Leo. Padahal ia belum beristirahat sama sekali. “Sungguh menyebalkan. Semua orang seolah-olah menyembunyikan Tuan Leo dariku,” gerutu Angelina kesal sambil menyusuri setiap ruangan mansion yang begitu luas. Bola matanya mengedarkan pandangan ke setiap dinding, lemari, dan benda lainnya. Berharap menemukan foto Tuan Leo. Ia sangat penasaran dengan wajah sang pujaan hati. “Apakah Tuan Leo tidak memajang fotonya sama sekali? Pasti dia hanya memajang di kamarnya saja.” Di titik ini, Azmir dan Emma ke luar dari kamar dan mendapati Angelina yang mondar-mandir dengan wajah kesal. “Angelina?” sapa Emma, seketika Angelina menoleh. “Oma.” Angelina spontan menerbitkan senyuman dan menghampiri Azmir dan Emma. “Semenjak kapan gadis cantik ini ada disini?” tanya Emma senang sambil memegang lembut pipi Angelina. Angelina tersipu malu mendapat pujian dari orang tua pujaan hatinya,
“Apa maksudmu, Leo? Jangan bercanda. Mana mungkin kau memutuskan sepihak. Kemarin kau sendiri yang menyuruh Angel menjadi sekretaris pribadimu, tetapi sekarang kau malah membatalkannya. Selama ini kau tidak pernah ingkar janji, jadi jangan membuat Angelina kecewa.” Emma mengomel panjang lebar sambil menjewer pelan telinga Levon. Angelina masih terdiam dan memilih menunggu jawaban dari sang pujaan hatinya. Sejujurnya ia shock karena tiba-tiba Levon membatalkan kesepakatan ini. Ia sangat senang bisa dekat dengan Sang Tuan, tetapi keputusan tadi membuatnya sedih. “Aduh, aduh, Anne. Ampun. Dengarkan dulu penjelasan Leo,” ucap Levon pura-pura sakit. Dalam hatinya ia terkekeh melihat sikap yang ditunjukkan Anne. Jika Anne sudah bersikap aneh, maka ada sesuatu yang diinginkannya. Emma berhenti menjewer telinga Levon. Tatapannya sangat serius, “Tidak mau tau apapun alasannya. Angelina harus tetap menjadi sekretaris pribadimu. Ini keputusan Anne.” Levon tersen
Kenny Daglish tertawa jahat memandangi dirinya sendiri melalui kaca besar yang ada di ruangan. Operasi wajahnya berjalan lancar. Sempurna, sesuai dengan keinginan. “Dengan wajah ini ... Tuan Leo, bahkan seluruh dunia tidak akan ada yang mengenalku. Dengan wajah ini, aku akan berbuat sesuka hatiku. Aku pasti mudah memberikan teror pada Tuan Leo!” ucap Kenny menyeringai sambil memegang wajahnya sendiri. “Tuan Leo! kalau kau memang cerdas, temukan aku. Suruh anak buahmu untuk mencariku. Kerahkan semua pasukanmu untuk membunuhku. Tapi sayang sekali, bukan aku yang akan terbunuh, tapi kau sendiri yang akan lenyap di tanganku!” seru Kenny dengan wajah begitu semringah, lalu ia merentangkan kedua tangan dan tertawa keras hingga menggema di ruangan ini. “Kematianmu sudah semakin dekat, Tuan Leo!” Di titik ini ketiga orang temannya masuk ke dalam dengan senyuman puas. “Kami sudah melakukan pekerjaan dengan sangat cepat. Bahkan sekarang kami tidak mengenalimu,