Home / Romansa / Sang Pengacara / 34. Secara Baik-baik

Share

34. Secara Baik-baik

Author: Kanietha
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56
Aga bergegas keluar dari mobil, lalu mengitarinya untuk membuka pintu untuk Awan. Dengan sabar, Aga berdiri dan menunggu Awan menyalami ketiga orang yang menunggu di dalam mobill. Siapa lagi kalau bukan istrinya, Abi, serta Fika, yang ngotot minta ikut karena tidak ingin ditinggal berdua saja di kediaman Aga.

“Baik-baik sama Mama,” pesan Bening lalu mencium puncak kepala Awan yang mencondongkan tubuh, di antara dua kursi yang berada di depan. “Jangan ngerepotin, oke!”

“Oke!” Setelah berpamitan pada Bening, Awan berpamitan pada Abi dan Fika secara bergantian lalu keluar dari mobil.

“Jadi kalian berdua ini maunya gimana?” Akhirnya, Bening bisa berbicara dengan leluasa setelah Awan keluar dari mobil. Ia membuka sabuk pengaman, lalu menengok ke belakang. “Aku mau ngedate sama mas Aga, masa’ kalian ikut? Nggak mau ah! Nggak asik banget.”

Bening melirik pada Abi, yang menolehkan wajah ke arah rumah Vira. Bagaimana Bening tidak merasa kesal, bila pria itu ternyata masih saja tidak bisa
Kanietha

Selesaaai ....

| 3
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP
Comments (9)
goodnovel comment avatar
mega silvia
nnti nyesel kayak mas raga ... cerai ma lintang di awal eh ujung ujungnya gk tahan pesona lintang......hati hati mas abi
goodnovel comment avatar
Firly Muhammad
gemes bgt sama mantan duda labil 1 ini.. gk bisa apa nurunin ego, gengsi, harga dirinya dikit aja.. hmmmm.. emg mas aga dan pak lex the best duda versi aq...........
goodnovel comment avatar
Ratnasih asih
ya ampun mas..segini aja perjuangan kamu ..lemaahh ... abi bikin geregetan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

  • Sang Pengacara   35. Kekosongan

    Hening.Sepanjang perjalanan ke kediaman Nugraha, tidak ada satu pun orang yang membuka mulut. Bahkan, Bening sampai tidak melempar protes, saat Abi mengatakan akan mengembalikan Fika kepada orang tuanya.Bukankah, secara tidak langsung Abi sudah menceraikan Fika?Sementara Aga, memilih berdiam diri setelah Abi akhirnya mengambil satu keputusan dengan berani. Sebenarnya, bukan hal seperti ini yang diinginkan Aga, karena pernikahan keduanya benar-benar masih seumur jagung. Seharusnya, Abi bisa bersabar sedikit lagi, sampai membicarakan semua hal di depan kedua keluarga. Mencari solusi terbaik, agar tidak terjadi perpisahan seperti sekarang.“Kita sudah sampai,” ujar Aga memecah kesunyian yang sejak tadi menyelimuti mereka.“Ayo, Fik.” Abi membuka pintu mobil tanpa menoleh, dan keluar mendahului Fika. Ia menekan bel, tanpa membalikkan tubuh untuk melihat mobil Aga.“Beb.” Bening menyentuh paha Aga. Menyiratkan rasa khawatir, karena Fika hanya terdiam sejak tadi. “Kita ikut masuk, ya.”A

  • Sang Pengacara   SP ~ 36

    “Harusnya, kamu jangan mengambil keputusan waktu lagi emosi seperti tadi.” Malam itu, Aga dan Bening sepakat membatalkan acara nonton mereka, karena permasalahan yang menimpa pernikahan Fika dan Abi. Bening tetap berada di kediaman Nugraha, sementara Aga mengantar Abi pulang ke rumahnya. Setelah ini, Abi pasti akan berhadapan langsung dengan Rasyid. “Harusnya, kamu pikirkan berulang kali waktu mau ngucap talak buat Fika,” tambah Aga tetap berusaha fokus dengan kemudinya. “Jadi, aku lagi dapat nasehat dari orang yang juga sudah menceraikan istrinya.” Abi mendengkus, dan hanya menatap keluar jendela. “Masalahku dengan Vira, itu sudah terjadi bertahun-tahun,” terang Aga, tetapi tidak akan menceritakan duduk permasalahan mereka pada Abi. Semua itu, biarlah menjadi rahasia antara Aga, Vira, dan kedua keluarga mereka. Aga sudah menutup buku, dan merajut masa depan yang lebih baik lagi bersama Bening. “Aku sudah berulang kali ngasih teguran, dan kesempatan tapi … akhirnya aku angkat tang

  • Sang Pengacara   SP ~ 37

    “Vir, aku keluar dari kasus Darius Iskak.”Begitu Abi diusir dari ruang kerja yang kembali diduduki Rasyid, ia berjalan keluar sembari menelepon Vira. Mengabarkan, dirinya sudah tidak lagi menangani semua kasus yang terkait dengan Darius Iskak.“Oh, aku tahu.” Vira menjawab dengan santai. “Babe sudah nelpon aku tadi malam, and it’s oke. Nggak ada masalah.”Abi berhenti ketika hendak menaiki tangga. Nada bicara Vira tidak terdengar prihatin, atau bersimpati sama sekali. Vira sungguh terdengar biasa-biasa saja. Tegas, dan tanpa keraguan seperti yang sudah-sudah. Bahkan, wanita itu tidak bertanya mengapa, dan ada apa, sehingga Abi tidak lagi menangani kasus yang berawal dari tindakan asusila tersebut.“Jadi, papaku sudah nelpon kamu … tadi malam?” Abi ingin memastikannya lagi.“Ya,” jawab Vira begitu meyakinkan. “Aku juga kaget pas beliau telpon, dan bilang nggak perlu lagi hubungi kamu terkait masalah money laundering. Babe bilang, langsung konsultasikan ke beliau. And it’s fine.”“Kamu

  • Sang Pengacara   SP ~ 38

    Lagi-lagi, Fika berdecak karena mobil Abi masih saja berada tidak jauh di belakangnya. Sampai kapan pria itu mau mengikuti Fika seperti sekarang? Apa pria itu tidak memiliki pekerjaan?Apa mau Abi sebenarnya?Kesal karena terus diikuti, Fika lantas menyalakan lampu sein untuk menepi. Benar saja. Mobil Abi juga menepi dan ikut berhenti saat Fika lebih dulu menghentikan roda empatnya. Dengan menahan kesal, Fika keluar dan segera menghampiri mobil mantan suaminya.Melihat Fika berjalan ke arahnya, Abi bergegas keluar lalu duduk di depan kap mobilnya. “Aku bakal ikutin kamu terus, kalau kamu nggak mau bicara.”“Mas, ini jam kerja.” Fika tahu benar betapa padatnya pekerjaan Abi sebagai pengacara. Namun, mengapa pria itu bisa memiliki waktu luang, untuk mengejar Fika seperti sekarang. “Nggak ada sidang apa? Atau—”“Aku sekarang kerjanya suka-suka,” potong Abi hendak meraih jemari Fika, tetapi gadis itu sigap menarik tangannya lalu bersedekap. “Datang ke kantor syukur, nggak datang juga ngga

  • Sang Pengacara   SP ~ 39

    “Terima! Terima! Terima!”Seketika suasana kafe menjadi riuh dengan teriakan pengunjung. Belum lagi, ada beberapa di antara pengunjung, yang mengarahkan ponsel ke arah Abi dan Fika, untuk merekam momen yang jarang terjadi tersebut.“Mas, jangan bikin malu,” desis Fika berusaha tidak menghentakan kakinya di depan orang-orang. “Ada yang rekam, jadi berdiri.”“Kamu tinggal jawab iya, dan masalah selesai,” balas Abi penuh harap dan masih berlutut dengan satu kaki, dan kedua tangan memegang kotak cincin ke arah Fika. Yang Abi tahu, semenjak tidak ada Fika hatinya selalu saja gelisah. Merana, dan tidak memiliki keinginan untuk melakukan apa pun.Karena itulah, untuk menenangkan hati dan pikirannya yang selalu diliputi rasa sesal, Abi sudah bertekad untuk mengejar Fika sampai dapat.“Mana bisa begitu, Mas.”Jika diterima, Fika khawatir akan mengalami sebuah pola yang sama seperti sebelumnya. Abi hanya akan berusaha bersikap manis, ketika tidak ada nama Vira terselip di antara mereka. Namun,

  • Sang Pengacara   SP ~ 40

    Lagi-lagi Abi.Apa pria itu tidak bosan mendatangi kampus Fika setiap harinya? Abi selalu datang dengan membawa sesuatu, seperti cokelat, bunga, aksesoris, dan berbagai benda lainnya, yang membuat Fika tidak sampai hati bila menolak.Namun, meskipun begitu Fika tetap belum mau diajak rujuk dengan Abi. Walaupun, hampir seluruh kampus sudah mengetahui, bahwa Abi adalah suami Fika.Ya, suami. Karena pria itu selalu memperkenalkan diri sebagai suami Fika, bila ada seseorang yang bertanya tentang hubungan mereka.Sungguh mengesalkan, sekaligus membuat Fika sedikit berbangga diri, karena beberapa temannya juga mengetahui siapa Abi.“Mas Abi, tuh, kayak nggak punya kerjaan, tahu nggak?” Fika menghentak kaki, saat Abi sudah berdiri di depannya. “Hampir tiap hari datang ke kampusku itu, mau ngapain?”“Kamu, kan, sudah tahu jawabannya.” Abi meraih tangan Fika, lalu memberikan sebuah paper bag di tangan gadis itu. “Aku mau rujuk, sebelum masa iddahmu habis, Fik. Ayolah, jangan keras hati.”“Aku

  • Sang Pengacara   SP ~ 41

    “Ehm!”Fika segera mendorong tubuh Abi, setelah mendengar deheman sang papa dari arah pintu. Romi pasti sudah berpikiran yang tidak-tidak, karena sempat melihat Fika berada dalam pelukan Abi.“Papa, aku—”“Pagi, Pa,” sapa Abi segera memotong perkataan Fika. Dengan wajah tanpa dosa, Abi segera menghampiri Romi dan meraih tangan pria itu lalu menciumnya sebagai rasa hormat. “Saya, mau ngajak Fika sarapan di luar.”Romi menghela. “Tadi malam, kamu sudah bawa makanan dan sisanya masih banyak. Nasi goreng aja belum disentuh sama sekali. Terus … apa lagi yang Abi bawa tadi malam, Fik?” Romi kemudian beranjak dari ambang pintu, untuk duduk di kursi di sebelahnya.“Banyak, Pa,” jawab Fika. “Daripada mubazir, nanti mau dipanasi aja kata bibik.”“Dengar itu, Bi.” Romi dapat melihat jelas, Abi sedikit tidak mengurus penampilannya. Kedua matanya juga tampak cekung, seperti kurang istirahat. Sebenarnya, Romi kasihan melihat Abi seperti sekarang. Namun, ia juga belum bisa melepas Fika sepenuhnya p

  • Sang Pengacara   SP ~ 42

    “Papa … di sini?”Abi bersikap tenang, saat memasuki kamar Rasyid. Melihat Romi dan Clara yang sudah duduk berdampingan di sofa, dan melempar tatapan penuh tanya padanya. Tadinya. Abi mengira kedua orang tua Fika itu masih berada di ruang tamu. Akan tetapi, Imah mengatakan, Romi dan Clara langsung diminta Rasyid untuk masuk ke kamarnya.Romi mengangguk kecil. “Tadinya mau nunggu kabar dari kamu, tapi mamanya Fika minta langsung nyusul ke sini.”Abi duduk perlahan di sudut tempat tidur, tepat di samping ujung kaki Rasyid. Pantas saja Romi dan Clara sampai dengan cepat, sebab keduanya segera menyusul Abi setelah ia dan Fika meninggalkan kediaman Nugraha.Karena itu, dengan terpaksa Abi harus menghentikan kegiatan panasnya dengan Fika dan kembali ke kamar Rasyid dengan dengan segera.“Fika ke mana, Bi?” tanya Clara tidak melihat putrinya menyusul di belakang Abi.“Oh …” Abi menatap pintu kamar yang terbuka lebar. “Lagi bikin teh hangat.”“Dan kamu dari mana?” Romi pun ikut memberi pertan

Latest chapter

  • Sang Pengacara   SP ~ 80

    “Congraduation, Istriku.” Dengan senyum semringah nan lebarnya, Fika menghambur ke pelukan Abi yang membawa sebuah buket yang berisi cokelat dan boneka beruang di tengah-tengahnya. Akhirnya, hari kelulusan itu datang juga. Meskipun tertatih-tatih, tetapi Fika bisa juga meraih gelar sarjana yang sudah diimpi-impikan selama ini. Kendati ijazahnya tidak akan terpakai, tetapi setidaknya Fika tidak putus di tengah jalan. “Makasih, Mas.” “Pergi sekarang? Atau mau foto-foto sama temanmu dulu?” “Emm …” Tanpa melepas satu tangan yang mengalung pada tubuh Abi, Fika menatap beberapa teman dekatnya yang sibuk dengan keluarga masing-masing. “Tadi sempat foto-foto bentar, sih. Jadi … kita pulang aja. Aku sudah kangen sama Esta. Lagian nanti kita juga foto-foto sama orang rumah.” “Ayolah kalau begitu!” Jelas saja Abi tidak akan menolak, karena seluruh keluarga besar sudah berkumpul di kediaman Pamungkas untuk merayakan kelulusan Fika. “Lagian, Esta nggak bakal nyari kita kalau sudah ada Bening.

  • Sang Pengacara   SP ~ 79

    “Abi itu memang harus jatuh dulu, baru dia bisa sadar.” Kalimat Aga tersebut, kerap terngiang di kepala Abi. Karena itu pula, Abi jadi memikirkan semua sifat dan sikapnya selama ini. Terutama dengan kehidupan pribadinya. Atau, dengan kata lain Abi sedang introspeksi. Sejauh ini, Abi memang tidak pernah mengalami kesulitan dan masalah dalam karirnya. Justru, semua pusat masalah Abi bersumber pada kehidupan pribadinya. Terlebih lagi, ketika Fika hadir dan membuat kehidupan Abi naik turun dengan berbagai sifat kekanakannya. “Mas, nanti kalau aku sudah bisa urus Esta sendiri, kita pindah aja ke rumah papa, ya?” Hening. Fika yang baru keluar dari kamar mandi, lalu duduk di meja rias segera menoleh pada Abi. Suaminya itu duduk pada sofa tunggal yang berada di samping boks bayi dan tengah menatap putrinya yang sedang tertidur pulas. “Mas …” panggil Fika sekali lagi. Karena Abi tidak kunjung merespons, Fika lantas berdiri kembali untuk menghampiri Abi. Setelah berdiri di samping pria itu

  • Sang Pengacara   SP ~ 78

    “Di mana Gara?”Bening terhenyak ketika seseorang menepuk bahunya dan bertanya tentang Gara. Meskipun sudah hafal dengan suara tersebut, tetapi Bening tetap saja terkejut karena ia sedang serius membaca buku menu MPASI untuk putranya.“Babe!” Bening membuang napas cepat, lalu terkekeh sembari melihat Rasyid duduk perlahan di sebelahnya. “Baru datang?”Rasyid balas terkekeh dengan anggukan. “Ngapain sendirian di sini? Fika sama mamamu ada di dapur, tapi kamu malah duduk di teras samping sendirian.”“Dapur lebih aman kalau nggak ada saya.” Bening kembali terkekeh tanpa malu sama sekali. Ia tidak akan menutupi kekurangan, yang sampai saat ini masih saja melekat pada dirinya. Bening tidak terlalu pintar memasak dan ia juga tidak berencana untuk belajar memasak. Setidaknya, untuk saat ini.“Terus ke mana perginya anak-anak?” Rasyid menengok ke arah pintu teras dan ke sekitarnya, tetapi tidak melihat suara berisik dari mana pun. Saat menemui Dean bersama Awan di depan, mereka hanya mengatak

  • Sang Pengacara   SP ~ 77

    “Mbak Ning sudah datang.” Fika memberi tahu, ketika sudah memasuki kamarnya di kediaman Nugraha. Ia segera menghampiri Abi yang duduk bersandar pada sofa dan tengah menggendong putri mereka. Satu tangan Abi dengan kokoh menyangga Esta dan tangan yang lainnya sedang memegang botol susu. “Papaku sudah datang?” “Belum.” Fika duduk perlahan di samping Abi, lalu mengusap pelan pipi putrinya yang semakin gembul itu. “Barusan dibawain ASI lagi sama mbak Ning.” Kemudian, bibir Fika mengerucut dan menghela. Fika bukan tidak bisa meng-ASI-hi putrinya, tetapi ASI yang dikeluarkannya tidaklah terlalu banyak seperti Bening. Padahal, Fika sudah memakan semua makanan bergizi dan melakukan segala cara untuk memperlancar produksi ASInya. Namun, tetapi saja miliknya tidak bisa sebanyak milik Bening. “Sudah minum ASI boosternya?” tanya Abi mengingatkan ketika Fika menyinggung masalah ASI. Karena Aga telah mewanti-wanti Abi sebelumnya, maka ia sungguh berhati-hati ketika berbicara dengan Fika. Jangan s

  • Sang Pengacara   SP ~ 76

    “Sudah urus cuti buat lahiran Fika, Bi?” tanya Rasyid saat melihat Abi masuk ke ruang kerja yang berada di rumahnya. “Sudah.” Abi mendesah panjang, saat menghempaskan tubuhnya di sofa panjang. Kemudian, ia berbaring sembari menatap Rasyid dengan memeluk bantal sofa yang ada di perutnya. “Habis lahiran, Fika minta tinggal di rumahnya dulu biar ada yang bantuin.” “Nggak masalah.” Rasyid melepas kacamatanya, kemudian beranjak menghampiri Abi. Ia duduk pada sofa tunggal yang posisinya berada di sebelah kepala Abi. “Senin depan, sidang putusan papanya Bening digelar. Habis itu, papa mau istirahat.” “Ada isu banding?” Abi sedikit mengangkat kepala, agar bisa melihat sang papa. Setelah ini, Abi tidak akan membiarkan Rasyin kembali terjun menangani kasus apa pun. Abi ingin sang papa hanya menikmati masa tuanya dengan tenang, tanpa harus memikirkan banyak hal. “Isu banding itu pasti ada, tapi kita lihat nanti.” Rasyid bersandar pada sofa dengan helaan panjang. “Papa sempat telpon Bening, ta

  • Sang Pengacara   SP ~ 75

    “Nggak usah.” Fika menolak tegas, ketika Abi hendak mengabari Clara mengenai kondisinya. Karena tidak terjadi sesuatu yang serius, maka Fika memutuskan untuk tidak memberi informasi apa pun pada keluarganya. Cukup dirinya dan Abi yang mengetahui hal tersebut.“Kalau nanti ada apa-apa, mama sama papamu pasti nyalahin aku.” Memang tidak terjadi sesuatu yang meresahkan, tetapi tetap saja Abi merasa perlu mengabari kedua mertuanya.“Mas Abi pengen sampe aku kenapa-nap—”“Tarik napas, Mi.” Abi menghentikan langkah Fika di koridor rumah sakit. Istrinya itu kembali keras kepala. “Ingat kata dokter, kamu nggak boleh stres dan jadwal lahiran masih tiga minggu lagi.”Seketika itu juga, Fika menarik napas panjang dan mengikuti aba-aba dari sang suami. Fika melakukannya hingga berulang kali, sampai perasaannya menjadi tenang kembali.“Aku nggak boleh stres.” Fika bergumam sendiri untuk meyakinkan diri. Kemudian, ia kembali melanjutkan langkahnya dan masih terus menarik napas panjang lalu menghela

  • Sang Pengacara   SP ~ 74

    Sebagai anak bungsu yang kerap dimanja dan mendapat perhatian lebih, Fika akhirnya merasakan bagaimana rasanya tersisihkan. Semua perhatian seluruh keluarganya, saat ini berpusat pada Bening. Bahkan, Dean pun tidak jarang mampir untuk mengunjungi keponakan barunya sepulang kerja.Sementara Abi, semakin ke sini pria itu semakin disibukkan dengan banyak kasus dan jadwal sidang yang kian padat.Di titik seperti sekarang, Fika benar-benar merasa kesepian dan terlupakan. Seolah tidak ada lagi tempat bermanja, seperti dahulu kala.“Mi.” Abi berhenti di ambang pintu. Memanggil Fika yang sejak tadi duduk termenung di teras samping rumah. Tidak melihat ataupun mendengar respons dari Fika, Abi lantas kembali memanggil sembari menghampiri sang istri. “Mi,” tegur Abi sekali lagi sambil menyentuh pundak Fika, yang kemudian terhenyak.“Mas!” Fika reflek memegang dadanya, lalu mendongak menatap Abi. “Jangan ngagetin!”“Aku nggak ngagetin.” Abi lantas berlutut di hadapan Fika. Menyentuh perut sang is

  • Sang Pengacara   SP ~ 73

    “Segara Cakrawala.” Fika menatap bayi mungil yang sedang tertidur di samping Bening. “Jadi ingat pak Pras.” “Kenapa pak Pras? Bukan pak Raja?” tanya Aga yang baru saja keluar dari kamar mandi. “Padahal yang jadi gubernur itu pak Raja, tapi orang-orang selalu ingatnya sama Pras.” “Serius masih tanya masalah itu, Ga?” tanya Abi sambil terus menatap wajah mungil putra Aga, yang masih tidur dengan pulas. Melihatnya, Abi jadi tidak sabar ingin menimang bayinya sendiri. “Pras itu—” “Pak Pras itu ganteng,” celetuk Bening sembari bangkit dengan perlahan setelah melihat Aga. Suaminya itu memberi respons dengan menggeleng kepala, ketika mendengar Bening memuji Pras. “Tapi, ya, gitu! Kayak batu. Mending es batu bisa cair, lah dia?” “Serem!” timpal Fika dengan anggukan setuju. Namun, Fika masih tidak mendapatkan jawaban mengenai pertanyaannya barusan. Mengapa nama anak Bening dan Aga harus “Segara”? Aga menarik napas panjang lalu menghela. Ia berdiri di samping Fika, kemudian mengangkat Gara

  • Sang Pengacara   SP ~ 72

    “Tarik napas.” Bening menggeram, setelah mendengar Aga memberi perintah untuk yang kesekian kalinya. Pria itu berdiri tepat di sampingnya dan tidak lepas menggenggam erat tangan Bening sejak keduanya berada di ruang persalinan. “Sakiiit, Beeb. Jangan nyuruh-nyuruh aja bisanya.” Aga menatap sang dokter, yang sejak tadi tidak ingin berkomentar banyak. Karena dokter tersebut tahu benar, Bening akan membalas semua ucapan yang ada dengan kalimat yang lebih panjang lagi. Aga hendak membalas ucapan sang istri, tetapi kemudian ia berubah pikiran. Sepertinya diam lebih baik, daripada mendengar Bening terus mengoceh dan menghabiskan tenaganya. “Bu Dok, lagi ...” Bening kembali merasakan kontraksi, sehingga membuat tubuhnya merasakan sakit yang luar biasa. “Tunggu sebentar.” Dokter wanita itu mengangguk, dan bersiap memberi aba-aba untuk Bening. “Tunggu gim—” “Tarik napas, Bu.” Dengan terpaksa, dokter tersebut memotong ucapan istri Aga. “Dorooong …” Bening kembali menuruti instruksi sang

DMCA.com Protection Status