Happy Reading*****Diperlukan waktu sepuluh menit sampai di rumah sakit. Wandra melangkah dengan tergesa-gesa bersama dengan kedua orang tuanya. Di depan ruang IGD, Puspa terlihat. Matanya berembun dengan hidung mulai memerah.Sementara di sebelahnya, Laksono menggendong Arunika. Gadis kecil itu terisak."Gimana keadaan Jelita, Bu?" tanya Wandra. Dia sudah duduk di samping Puspa saat ini."Belum tahu, Mas. Masih ditangani dokter. Semoga keadaannya nggak kritis seperti Pak sopir," terang Puspa. Air matanya mulai mengalir. Melihat kesedihan Puspa, entah mengapa hati Ajeng terenyuh. Dia mendekati perempuan itu dan memeluknya. "Tenang, Pus. Jelita pasti baik-baik saja. Dia adalah gadis yang kuat. Kecelakaan ini nggak akan berpengaruh apa pun untuknya."Semua orang yang ada di sana tercengang. Suatu keajaiban, Ajeng bisa bersikap sedemikian rupa pada Puspa. Namun, tak ada satu pun yang berani membuka suara. Ternyata di balik setiap masalah, selalu ada hikmah yang akan didapatkan."Terima
Happy Reading*****Malam ini, semua orang tidak dapat memejamkan mata. Wandra dan Puspa masih berada di depan ruang IGD, sedangkan Pambudi, Ajeng serta Laksono pulang. Wandra sengaja meminta orang tua serta pamannya Jelita untuk pulang.Jika memang mendesak, Wandra berjanji akan menghubungi mereka semua. Mahesa juga sudah mengabari apa yang terjadi dengan Jelita. Kesalahan sepenuhnya bukan berada pada sopir truk, tetapi kendaraan yang ditumpangi sang kekasih yang salah."Mas, kalau capek tidur saja duluan. Ini ada selimut yang dibawakan anak-anak pas jenguk Jelita tadi. Ada bantal juga. Mas Wandra bisa tidur di bangku kosong sana." Puspa menunjukkan sebuah bangku yang tidak ditempati oleh siapa pun. Dia juga menyerahkan tas besar yang berisi selimut dan bantal.Lelaki yang tampak lelah karena seharian belum istirahat sama sekali itu malah tersenyum. "Ibu saja yang istirahat. Biar saya yang jaga.""Ibu nggak bisa tidur, Mas. Keadaan Jelita saja belum dinyatakan lewat masa kritis. Mana
Happy Reading*****"Tenanglah, Sayang. Tenang," kata Wandra mempengaruhi sang kekasih. Dia juga merengkuh Jelita dalam pelukannya. Mengusap kepalanya lembut. Beberapa kali juga memberikan kecupan pada puncak kepala."Mas, kalau aku nggak bisa jalan gimana? Terus aku nggak bisa nari?" Jelita tergugu dalam pelukan sang kekasih."Nggak masalah," kata Wandra santai."Terus aku nggak bisa ngurus Mas dan juga anak-anak kita nantinya." Jelita mengurai pelukannya dan menatap wajah sang kekasih. Sorot mata keduanya bertemu. "Kalau Mas mau membatalkan rencana pernikahan kita nggak papa.""Ngomong apa, sih?" Wandra mencubit sayang hidung perempuan yang sudah membuatnya tidak bisa lari ke lain hati. "Kita sudah berjuang bertahun-tahun untuk impian pernikahan. Lalu, setelah semua restu dari orang tua, kita dapat. Kamu mau menyerah gitu aja. Malah nyuruh Mas membatalkan. Ya, nggak mau, Sayang.""Nggak usah menambah bebanku dengan berkata kalau restu dari semua orang tua sudah didapat. Nyatanya, Bu
Happy Reading*****"Bunda apaan, sih," sahut Ajeng, "memangnya aku hantu sampai Wandra takut." Dia mencebik, tetapi tidak ada nada marah atau benci di dalam perkataannya."Kamu itu lebih menakutkan dari hantu. Aku nggak akan percaya gitu aja kalau kamu memberikan ijin pada Jelita dan Wandra untuk menikah. Sudahlah, buka topengmu!" Perkataan Laksmi masih saja terdengar sinis.Pambudi maju, mendekati perempuan sepuh itu. "Bunda duduk dulu. Biar saya yang jadi jaminan jika suatu hari nanti ternyata Ajeng, hanya berpura-pura untuk merestui hubungan mereka.""Papa apaan, sih. Mama itu tulus memberikan restu sama mereka. Nggak ada juga embel-embel karena Jelita sudah diterima keluarga Cakraningrat atau dengan semua harta yang dimiliki. Kalau Mama cuma main-main, tentu restu itu nggak akan Mama berikan saat ini. Ketika Jelita terbaring sakit bahkan kita belum tahu kondisi kakinya. Kenapa kalian nggak percaya kalau aku sudah berubah dan menerima Jelita dengan tulus menjadi bagian keluargaku.
Happy Reading*****Masih di kantin dan menikmati kopi, mereka bertiga mulai melakukan penyelidikan. Pambudi menghubungi seseorang yang berhubungan dengan IT di kantor Pemda. Meminta bantuannya untuk mengirimkan rekaman CCTV."Mohon maaf, Pak. Saya tidak bisa melakukannya. Hal ini berkaitan dengan kode etik pekerjaan," kata orang itu ketika Pambudi meminta bantuannya.Pambudi melirik Wandra dan Riyan, lalu menggelengkan kepala. Riyan membisikkan sesuatu pada pria paruh baya itu. Setelahnya, dia pun berkata. "Pak, ini menyangkut hidup seseorang. Tentunya njenengan sudah mendengar tentang kecelakaan Ibu Jelita. Kejadian itu, tidaklah murni karena kecerobohan sopir, tapi ada seseorang yang sudah merusak rem mobilnya. Mohon bantuannya untuk mengungkap kasus ini."Diam sejenak. Mungkin, di seberang sana. Seseorang yang dimintai bantuan itu tengah berpikir. "Saya konfirmasi nanti, Pak. Mau diskusikan dulu dengan atasan. Bolehkah bertindak demikian demi menyematkan nyawa Ibu Lita.""Saya tun
Happy Reading*****Pambudi langsung bergerak. Sepulang dari rumah sakit, dia meminta seseorang yang telah dipercaya untuk menangkap lelaki yang telah membuat rem mobil Jelita blong."Temukan dia dengan selamat, Saya berikan bayaran yang cukup mahal untuk itu," kata Pambudi. Dia telah mengirimkan foto lelaki yang berniat mencelakai menantunya. "Pa, apa kita bisa mengetahui pelakunya dengan cepat. Mama kok gemes pengen nampar si pelaku," kata Ajeng setelah suaminya memutuskan panggilan."Jelas bisa, Ma. Papa sudah ngomong sama preman daerah ini. Kalau dia sampai tidak bisa menemukan orang itu, maka jangan lagi menyebutnya preman." Pambudi terkekeh. "Dia janji, nanti sore sebelum jam lima, orang itu sudah ditemukan.""Bagus, gerak cepat ini namanya. Kasihan Wandra, baru juga mau seneng sudah ada yang buat ulah.""Iya." Pambudi melirik istrinya. "Ma, sebaiknya kita nikahkan Mas Wandra secepatnya. Papa takut ada lagi yang akan memisahkan mereka. Untuk sementara, akad aja dulu. Setelah J
Happy Reading*****Si preman suruhan mengambil kayu yang terletak di teras rumah Pambudi. Tanpa segan dia memukulkan sekuat tenaga pada kaki sebelah kiri orang di hadapan mereka. Jerit pilu terdengar. "Masih nggak mau ngaku?" tanya preman itu."Apa setelah aku mengaku kalian nggak akan menyeret namaku untuk kasus ini?" tanyanya pelan karena sudah tak memiliki tenaga. Sekujur tubuhnya dipenuhi luka."Tergantung. Jika kau mengatakan yang sejujurnya. Saya berjanji akan melepaskanmu dari jerat kasus ini. Sekarang katakan siapa yang menyuruhmu, sebelum dia mematahkan kakimu yang sebelah.""Baik, Pak. Saya akan mengaku, tapi Bapak juga harus menepati janji tadi.""Ck... banyak omong. Patahkan saja kakinya yang sebelah." Pambudi menatap orang suruhannya."Ojo, Cak. Oke ... oke, aku ngaku. Orang yang menyuruhku adalah Bu Ajeng sendiri," katanya lantang.Ajeng yang berada di tengah-tengah tangga hendak menemui tamu suaminya. Berhenti mendengar namanya disebut. "Hei!" teriaknya lantang.Seten
Happy Reading*****Arsyana begitu syok dengan wajah yang ada dilayar ponsel miliknya. Seketika pertanyaan yang akan diajukan untuk membenarkan ucapannya tadi, menguap entah ke mana. Dia bergidik, menatap pada tiga preman yang masih memegangi tubuhnya."Aku nggak mau ikut campur urusanmu lagi. Cukup sekali aku menerima tugas darimu. Kau membuatku seperti ini. Aku pasti akan membuat perhitungan," kata lelaki itu di tengah rasa sakitnya. Dia terlihat akan mematikan layar."Tunggu! Kamu harus katakan pada orang-orang ini bahwa kamu disuruh Tante Ajeng untuk mencelakai Jelita."Orang yang wajahnya babak belut itu memutar bola malas. "Itu urusanmu. Aku nggak mau ikut campur lagi. Pokoknya aku nggak mau berurusan sama Pak Pambudi dan kelurganya. Untung nyawaku selamat." Dia langsung memutus sambungan telepon dari Arsyana.Mahesa dan Wandra saling pandang. "Rupanya, Papa gerak cepat.""Urusan beginian, Om Pam selalu di depan," tambah Mahesa. Keduanya tertawa sedikit keras membuat nyali Arsya
Happy Reading*****Sinar mentari pagi mengenai jendela kaca di ruang perawatan Jelita. Bentuk paviliun memudahkan akses sinar masuk dengan sangat baik. Perempuan itu menggerak-gerakkan bola mata dan perlahan membuka. Terlihat genggaman tangan sang suami yang tidur terduduk di sebelah ranjangnya.Jelita teringat kejadian tadi malam. Semua orang terpaksa bangun karena sikap keras kepalanya. Merasa ada yang menculik sang anak padahal dia sedang dalam pengaruh obat. Setelah mendengar penjelasan perawat mengenai efek obat bius yang diberikan. Barulah Jelita percaya bahwa anaknya ada di dalam ruang perawatan dan esok baru bisa dibawa untuk menemuinya.Merasakan pergerakan tangan sang istri yang berada dalam genggamannya, Wandra terbangun. "Pagi, Sayang. Gimana keadaanmu?" tanyanya. Bangkit dari posisi duduk dan mencium kening Jelita."Alhamdulillah, Mas. Rasanya aku sudah jauh lebih baik.""Sudah kentut belum?" Malu-malu, Jelita menganggukkan kepala. Sewaktu belum ada yang terbangun, per
Happy Reading*****Bersamaan dengan teriakan Wandra, Jelita memejamkan mata membuat lelaki itu semakin panik luar biasa. "Tolong istri saya, Dok. Dia baru saja jatuh terduduk, tapi kok malah begini?" kata Wandra dengan suara bergetar hebat. Antara takut dan ingin menangis melihat darah pada bagian kaki sang istri."Kami akan tangani dengan baik, Pak. Silakan tunggu di luar," perintah sang dokter setelah membaringkan Jelita dan memasukkannya di ruang gawat darurat."Tenanglah, Ndra. Kita semua juga khawatir pada kesehatan Jelita, tapi kalau kita panik. Maka, dia juga akan ikut panik dan anak dalam kandungannya akan bereaksi juga," nasihat Ajeng. Perempuan itu mengajak Wandra duduk. Ada sebuah bangku di depan ruangan tersebut.Puspa berjalan mondar-mandir. Dia tidak bisa duduk tenang seperti Ajeng dan sang menantu. Sementara itu, Mahesa baru saja menghampiri mereka bersama dengan keluarga yang lain setelah hampir sepuluh menit Jelita masuk ruangan."Bagaimana keadaan Lita, Pus?" tanya
Happy Reading*****Hari-hari yang dijalani Jelita dan Wandra cukup membahagiakan. Kandungan semakin besar dan keponakannya yang tumbuh sehat. Usaha melejit bahkan nama besar Pambudi kembali bersinar dengan segala usaha yang didukung oleh seluruh keluarga.Sanggar milik Sularso yang kini sudah dibeli oleh Jelita juga semakin berkembang. Masyarakat tak lagi memandang remeh pada profesi penari Gandrung berkat kegigihan Jelita. Tarian itu bukan lagi menjadi momok bagi siapa saja yang mempelajarinya. Walau tidak lagi berada di atas panggung secara langsung, tetapi Jelita masih berperan dalam setiap pementasan. Kembali bekerja pada dinas pariwisata dengan perut membuncit. Bukan yang wanita itu cari saat ini, tetapi bagaimana membesarkan serta mengenalkan budaya-budaya kabupaten kelahirannya kepada dunia luar.Wandra tidak membatasi pergerakan sang istri. Demikian juga kedua orang tua serta Puspa. Mereka semua mendukung apa yang dilakukan oleh Jelita dengan syarat tidak mengabaikan keluarg
Happy Reading*****Sudah hampir sebulan putra Rista dan Mahesa lahir ke dunia. Pangeran kecil itu mendapatkan segala limpahan kasih sayang serta cinta dari seluruh keluarga tak terkecuali keluarga Jelita. Kini, sang pangeran kecil bernama Ezaz Prawira Sasongko itu sudah berumur satu bulan lebih. Tiga hari lagi akan diadakan selapanan sesuai adat.Acara besar yang akan digelar di kediaman keluarga Mahesa sebagai pemilik pabrik pengalengan ikan. Seluruh karyawan diundang bahkan masyarakat sekitar dan karyawan sang mertua juga pegawai Jelita diundang juga. Acara tasyakuran yang sudah seperti ngunduh mantu saja.Wandra dan Jelita cuma bisa tersenyum, membayangkan bagaimana hebohnya ketika mereka yang memiliki anak. Perut Jelita pun mulai sedikit membuncit walau tidak terlihat dari luar karena baju yang dikenakan selalu longgar.Pagi ini, sudah terlihat beberapa orang memasang tenda. Keluarga Mahesa juga sudah datang. Mereka tak henti-hentinya memperebutkan Ezaz. Silih berganti menggendon
Happy Reading*****Setengah berlari memanggil sopir, Ajeng menghubungi menantunya dan mengatakan bahwa Rista sedang kontraksi saat ini. Setelahnya, barulah dia menghubungi sang suami. Di dalam sana, kakek tengah memapah sang ibu hamil bersama dengan Puspa.Jelita juga menghubungi Wandra, memberikan kabar bahwa adiknya akan segera melahirkan."Aduh," keluh Rista menahan rasa sakit. "Sabar, Nak," ucap Puspa sambil memegangi Rista."Sudah dekat HPL, harusnya kamu diam di rumah saja. Ini malah makan rujak pedas." Si kakek mulai tampak kesal. Pasalnya Rista tak membawa persiapan persalinan sama sekali padahal sudah sering diingatkan."Maaf, Kek," kata Rista sambil menahan rasa sakit.Mereka sudah berada di depan mobil Ajeng. Sang mama segera membawa putrinya duduk di bagian tengah, sedangkan kakek duduk di samping kemudi."Nak, kamu nyusul sama Mas Wandra saja, ya. Jangan terlalu khawatir supaya janinmu nggak ikut resah," ujar Puspa. Setelah mendapat anggukan dari Jelita, wanita itu masu
Happy Reading*****"Dok, apa artinya istri saya positif hamil?" tanya Wandra sedikit penasaran dengan hasil test urine yang dilakukan tadi."Insya Allah seperti itu, Pak. Walau garis dua pada test pack masih samar, tapi sudah bisa dikatakan positif hamil. Bisa dicek sebentar lagi."Jelita menatap suaminya tak percaya. Secepat itu mereka diberikan karunia berupa anak. "Mari, Dok. Saya sudah tidak sabar ingin melihat seperti apa prosesnya di dalam perut."Senyum semringah tampak menghiasi wajah pasangan muda tersebut. Melihat ada segumpal bulatan yang menempel pada dinding rahim Jelita. Walau sangat kecil, tetapi hal tersebut sudah membuktikan bahwa dalam perut perempuan itu akan hadir seseorang yang akan membahagiakan seluruh keluarga. Wandra bahkan tak kuasa menahan air matanya yang mulai jatuh. Dia begitu terharu melihat bulatan kecil yang masih belum terbentuk itu. Penantiannya selama ini terbayarkan sudah. "Tolong dijaga baik-baik, ya, Pak, Bu. Ini masih sangat rentan sekali. Ja
Happy Reading*****Mengejar sang istri yang berlari ke arah kamar mandi. Wandra mulai membantu Jelita, memijat tengkuk supaya apa yang dirasakan sang istri segera berkurang.Beberapa menit kemudian, keadaan Jelita sudah jauh lebih baik. "Apa yang kamu rasakan, Yang?" tanya Wandra."Entahlah, Mas. Mencium bau masakan tadi, tiba-tiba saja perutku bergejolak."Seperti ada yang dipikirkan, Wandra melirik sekitarnya. Lalu, terbitlah senyuman. "Jangan-jangan adonan kita mulai mengembang, Sayang.""Hust, kalau ngomong yang baik kenapa. Masak adonan?" Jelita mendelik pada sang suami. "Lagian nggak mungkin juga secepat itu, Mas. Baru juga dua minggu kemarin kita melakukannya.""Siapa tahu, Yang. Allah berbaik hati pada kita, jadi menitipkan amanah itu dengan cepat. Gimana kalau nanti kita periksa ke dokter?" kata Wandra sambil menuntun sang istri kembali ke ruang tamu bersama tamu yang lain."Kenapa, Nduk? Apa yang kamu rasakan?" bisik Puspa ketika sang putri sudah berada di sampingnya."Belu
Happy Reading*****Masih tak mengerti dengan kemarahan sang kakek, Wandra pun bertanya dan jawaban lelaki sepuh itu sungguh mengejutkan kedua pasangan muda yang sedang menikmati bulan madu."Kenapa nggak ngasih kabar kalau sudah sampai rumah. Kakek khawatir banget tahu. Pasti kamu ngerjai Jelita sampai lupa ngasih kabar. Dasar kalian berdua ini," omel sang Kakek."Maafkan kami, Kek. Lita memang jarang pegang HP semenjak sakit. Kayaknya Mas Wandra lupa begitu sampai, kami langsung istirahat soalnya." Pada akhirnya, Jelita yang memberikan alibi pada lelaki sepuh itu. Jika sang suami yang menjawab pasti si kakek tetap akan mengomel nantinya. Namun, jika Jelita tentu pria sepuh itu tidak akan berkomentar lagi dan terbukti."Baiklah kalau begitu, Nak. Kalian istirahatlah dan bersenang-senang di sana. Nggak perlu masak atau memikirkan kebutuhan yang lain. Salim dan istrinya pasti akan membantu kalian. Kakek tutup dulu telponnya, ya. Maaf kalau kakek tadi marah.""Nggak papa, Kek. Harusnya
Happy Reading*****Bersiap untuk menyalami sang suami, Jelita mengenakan pakaian dinas yang biasa digunakan oleh perempuan-perempuan lainnya. Baju itu sengaja dia beli secara online karena tidak mungkin mengajak Wandra ke mall atau toko. Jelita sendiri pastinya sangat malu jika membeli baju kurang bahan itu.Hampir satu jam di kamar mandi, si perempuan membuka pintu. Namun, belum berani keluar karena malu dengan pakaian yang dikenakan. Jelita Hany melongokkan kepala melihat keadaan kamar."Kenapa mesti intip-intip, sih, Yang. Mas, sudah lama nunggu sampai kelaparan juga."Jelita mengumpat dalam hati. Mengapa suaminya malah menatapnya dengan wajah sendu seperti itu, padahal tadi lelaki itu tengah fokus pada ponselnya. "Sayang cepet keluar," suruh Wandra, "Mas juga mau mandi. Lengket juga badannya karena keringat setelah itu kita makan. Sudah sangat lapar."Akan berkata kalimat selanjutnya, mata Wandra membulat sempurna melihat pakaian yang istrinya kenakan. Jakunnya naik turun tak ka