Happy Reading*****Pambudi langsung bergerak. Sepulang dari rumah sakit, dia meminta seseorang yang telah dipercaya untuk menangkap lelaki yang telah membuat rem mobil Jelita blong."Temukan dia dengan selamat, Saya berikan bayaran yang cukup mahal untuk itu," kata Pambudi. Dia telah mengirimkan foto lelaki yang berniat mencelakai menantunya. "Pa, apa kita bisa mengetahui pelakunya dengan cepat. Mama kok gemes pengen nampar si pelaku," kata Ajeng setelah suaminya memutuskan panggilan."Jelas bisa, Ma. Papa sudah ngomong sama preman daerah ini. Kalau dia sampai tidak bisa menemukan orang itu, maka jangan lagi menyebutnya preman." Pambudi terkekeh. "Dia janji, nanti sore sebelum jam lima, orang itu sudah ditemukan.""Bagus, gerak cepat ini namanya. Kasihan Wandra, baru juga mau seneng sudah ada yang buat ulah.""Iya." Pambudi melirik istrinya. "Ma, sebaiknya kita nikahkan Mas Wandra secepatnya. Papa takut ada lagi yang akan memisahkan mereka. Untuk sementara, akad aja dulu. Setelah J
Happy Reading*****Si preman suruhan mengambil kayu yang terletak di teras rumah Pambudi. Tanpa segan dia memukulkan sekuat tenaga pada kaki sebelah kiri orang di hadapan mereka. Jerit pilu terdengar. "Masih nggak mau ngaku?" tanya preman itu."Apa setelah aku mengaku kalian nggak akan menyeret namaku untuk kasus ini?" tanyanya pelan karena sudah tak memiliki tenaga. Sekujur tubuhnya dipenuhi luka."Tergantung. Jika kau mengatakan yang sejujurnya. Saya berjanji akan melepaskanmu dari jerat kasus ini. Sekarang katakan siapa yang menyuruhmu, sebelum dia mematahkan kakimu yang sebelah.""Baik, Pak. Saya akan mengaku, tapi Bapak juga harus menepati janji tadi.""Ck... banyak omong. Patahkan saja kakinya yang sebelah." Pambudi menatap orang suruhannya."Ojo, Cak. Oke ... oke, aku ngaku. Orang yang menyuruhku adalah Bu Ajeng sendiri," katanya lantang.Ajeng yang berada di tengah-tengah tangga hendak menemui tamu suaminya. Berhenti mendengar namanya disebut. "Hei!" teriaknya lantang.Seten
Happy Reading*****Arsyana begitu syok dengan wajah yang ada dilayar ponsel miliknya. Seketika pertanyaan yang akan diajukan untuk membenarkan ucapannya tadi, menguap entah ke mana. Dia bergidik, menatap pada tiga preman yang masih memegangi tubuhnya."Aku nggak mau ikut campur urusanmu lagi. Cukup sekali aku menerima tugas darimu. Kau membuatku seperti ini. Aku pasti akan membuat perhitungan," kata lelaki itu di tengah rasa sakitnya. Dia terlihat akan mematikan layar."Tunggu! Kamu harus katakan pada orang-orang ini bahwa kamu disuruh Tante Ajeng untuk mencelakai Jelita."Orang yang wajahnya babak belut itu memutar bola malas. "Itu urusanmu. Aku nggak mau ikut campur lagi. Pokoknya aku nggak mau berurusan sama Pak Pambudi dan kelurganya. Untung nyawaku selamat." Dia langsung memutus sambungan telepon dari Arsyana.Mahesa dan Wandra saling pandang. "Rupanya, Papa gerak cepat.""Urusan beginian, Om Pam selalu di depan," tambah Mahesa. Keduanya tertawa sedikit keras membuat nyali Arsya
Happy Reading*****Wandra duduk tepat di sebelah mamanya, menunggu penjelasan kedua orang tuanya. Si sulung berharap, semoga rencana pernikahan yang keduanya maksud adalah untuk dirinya dan Jelita."Jadi, gini, Mas. Papa sama Mama dan juga Bu Puspa telah sepakat untuk menikahkanmu dengan Jelita. Semua surat-surat sudah diurus. Rencana besok sore, kalian sudah bisa menikah, tapi tidak dengan pesta mewah. Cuma akad saja."Mata Wandra nyaris copot saat mengetahui kabar bahagia itu. Orang tuanya memang the best kalau sudah memiliki keinginan. Sekali jalan, wus, langsung dikerjakan sampai selesai."Jangan senyum-senyum saja, Ndra. Setelah nikah, kamu punya tanggung jawab lebih besar. Nggak usah leha-leha. Nggak usah mikir yang enak-enak terus," sindir Ajeng ketika melihat senyuman mesum di wajah putranya."Apa, sih, Ma. Tahu aja yang dipikirkan Wandra." Si sulung, bukannya malu malah makin menunjukkan apa yang sedang dia pikirkan."Pikiranmu, Mas. Belum juga nikah udah bayangin yang begit
Happy Reading*****"Sorry, Sa. Aku nggak sempat kasih tahu dirimu. Semua berjalan gitu aja. Pas pulang tadi, aku juga baru tahu kalau para orang tua sudah merencanakan semua itu," kata Wandra. Sebisa mungkin dia tidak menyakiti hati sahabatnya itu. Rasa cinta dalam hati Mahesa untuk Jelita tentu tidak mudah hilang begitu saja. Walau sulung keluarga Sasongko itu sudah mengucapkan kata ikhlas saat mengetahui hubungan Wandra dan sang gadis pujaan."Maaf, ya, Mas. Kami nggak cerita. Waktunya mepet banget. Baru dikasih tahu Eyang pas aku bangun tadi," tambah Jelita.Mahesa mengangkat garis bibirnya tinggi-tinggi, menutupi segala kesakitan yang kini dirasakannya. "Santai saja, ih. Kalian berdua adalah orang yang aku sayang. Tentunya, aku bahagia mendengar kabar ini." Dia menepuk bahu sahabatnya. "Selamat, Ndra. Akhirnya, cita-citamu tercapai. Jangan sakiti Jelita sedikitpun jika kamu nggak mau berhadapan dengan Riyan dan aku," ancamnya.Wandra berbalik dan memeluk Mahesa. "Terima kasih, S
Happy Reading*****Pambudi mulai memutar otak dengan cepat untuk menjawab pertanyaan Wandra. Menarik napa sebentar dan mulai menampakkan senyum. "Tidak ada apa-apa, Mas. Orang suruhan Papa tadi ngomong kalau Mahesa masih tertidur pulas. Papa kaget karena orang itu mengira sahabatmu pingsan." Pambudi menjeda perkataannya. Berharap semoga si sulung mempercayai semua ucapannya tadi.Wandra tersenyum lebar. "Anak itu pasti kecapean. Mahesa emang gitu, Pa. Kalau sudah tidur pasti sudah buat dibangunin. Kata Tante Candini, ngebo banget kalau sudah ketemu bantal.""Bene banget katamu, Mas. Masak ada orang bobol pintu rumah saja, dia tidak tahu. Dasar, jadi kalau dia telat datang. Kita nyari saksi lain saja. Kemungkinan pasti telat anak itu." Pambudi bisa bernapas lega sekarang. Ternyata, Wandra tidak menaruh curiga sama sekali. Sementara itu, orang suruhannya sudah mengirimkan chat lagi bahwa Mahesa sudah mulai membuka mata.[Suruh dia segera mandi dan ajak ke rumah sakit Fatimah. Antar di
Happy Reading*****Penghulu sudah pulang, tinggallah kelurga inti. Mereka tengah bercengkrama dan bersenda gurau. Mahesa bahkan ikut berbincang bersama keluarga itu dengan perasaan bahagia. Entahlah, sejak Rista tadi berkata untuk membuka hatinya. Lelaki itu, sudah berjanji akan melupakan Jelita dan mulai mencari tambatan hati untuk cinta sejatinya."Mas Mahes harus cepet nyusul, lho. Nggak pengen merasakan sensasi mendebarkan seperti Mas Wandra tadi." Puspa melirik menantunya yang terlihat masih grogi. "Ibu nggak sabar pengen lihat calon pengantinnya. Pasti sangat cantik," kata Puspa mencoba menghibur hati Mahesa."Insya Allah pasti cantik, Bu. Doakan saja, saya nyusul Wandra. Mata Mahesa melirik Rista yang duduk di hadapannya bersama Ajeng."Wah, cepet juga kamu move on dari adikku," kata Riyan. Dia menepuk pundak pewaris keluar Sasongko."Nggak cepet ini, Mas. Lama banget, untung saja ada yang nyadarin kalau Jelita sudah menjadi istrinya Wandra." Mahesa tertawa. Sesekali tatapann
Happy Reading*****Sepeninggal para keluarga, ruangan Jelita terasa sunyi. Kini, tinggallah Wandra dan juga Puspa menemaninya. "Ibu mau keluar sebentar, Mas. Tolong gantiin pakaian Lita, ya," pinta Puspa. Dia juga mengedipkan sebelah mata pada menantunya.Merasa diberi kesempatan untuk berduaan dengan sang istri. Wandra berucap dengan lantang, "Siap, Bu." Disertai hormat."Lebay, Mas," kata Jelita."Apa, sih, Yang.""Sudah ... sudah," lerai Puspa yang melihat putrinya akan menjawab perkataan sang suami. "Ibu pergi agak lama kayaknya. Kalau ada apa-apa segera hubungi Ibu, Mas. Semua peralatan Jelita ada di lemari besi itu." Setelah itu, Puspa keluar meninggalkan keduanya."Ayo, Mas gantiin bajunya," kata Wandra. Dia sudah berdiri di dekat lemari besi yang ditunjukkan oleh Puspa tadi. Memilih baju yang sekiranya tidak menyulitkan sang istri dan juga kakinya.Wandra menemukan daster modern panjang berbahan satin. "Pake ini saja, Ya. Langsung masuk kayaknya."Mata Jelita membulat sempur
Happy Reading*****Sinar mentari pagi mengenai jendela kaca di ruang perawatan Jelita. Bentuk paviliun memudahkan akses sinar masuk dengan sangat baik. Perempuan itu menggerak-gerakkan bola mata dan perlahan membuka. Terlihat genggaman tangan sang suami yang tidur terduduk di sebelah ranjangnya.Jelita teringat kejadian tadi malam. Semua orang terpaksa bangun karena sikap keras kepalanya. Merasa ada yang menculik sang anak padahal dia sedang dalam pengaruh obat. Setelah mendengar penjelasan perawat mengenai efek obat bius yang diberikan. Barulah Jelita percaya bahwa anaknya ada di dalam ruang perawatan dan esok baru bisa dibawa untuk menemuinya.Merasakan pergerakan tangan sang istri yang berada dalam genggamannya, Wandra terbangun. "Pagi, Sayang. Gimana keadaanmu?" tanyanya. Bangkit dari posisi duduk dan mencium kening Jelita."Alhamdulillah, Mas. Rasanya aku sudah jauh lebih baik.""Sudah kentut belum?" Malu-malu, Jelita menganggukkan kepala. Sewaktu belum ada yang terbangun, per
Happy Reading*****Bersamaan dengan teriakan Wandra, Jelita memejamkan mata membuat lelaki itu semakin panik luar biasa. "Tolong istri saya, Dok. Dia baru saja jatuh terduduk, tapi kok malah begini?" kata Wandra dengan suara bergetar hebat. Antara takut dan ingin menangis melihat darah pada bagian kaki sang istri."Kami akan tangani dengan baik, Pak. Silakan tunggu di luar," perintah sang dokter setelah membaringkan Jelita dan memasukkannya di ruang gawat darurat."Tenanglah, Ndra. Kita semua juga khawatir pada kesehatan Jelita, tapi kalau kita panik. Maka, dia juga akan ikut panik dan anak dalam kandungannya akan bereaksi juga," nasihat Ajeng. Perempuan itu mengajak Wandra duduk. Ada sebuah bangku di depan ruangan tersebut.Puspa berjalan mondar-mandir. Dia tidak bisa duduk tenang seperti Ajeng dan sang menantu. Sementara itu, Mahesa baru saja menghampiri mereka bersama dengan keluarga yang lain setelah hampir sepuluh menit Jelita masuk ruangan."Bagaimana keadaan Lita, Pus?" tanya
Happy Reading*****Hari-hari yang dijalani Jelita dan Wandra cukup membahagiakan. Kandungan semakin besar dan keponakannya yang tumbuh sehat. Usaha melejit bahkan nama besar Pambudi kembali bersinar dengan segala usaha yang didukung oleh seluruh keluarga.Sanggar milik Sularso yang kini sudah dibeli oleh Jelita juga semakin berkembang. Masyarakat tak lagi memandang remeh pada profesi penari Gandrung berkat kegigihan Jelita. Tarian itu bukan lagi menjadi momok bagi siapa saja yang mempelajarinya. Walau tidak lagi berada di atas panggung secara langsung, tetapi Jelita masih berperan dalam setiap pementasan. Kembali bekerja pada dinas pariwisata dengan perut membuncit. Bukan yang wanita itu cari saat ini, tetapi bagaimana membesarkan serta mengenalkan budaya-budaya kabupaten kelahirannya kepada dunia luar.Wandra tidak membatasi pergerakan sang istri. Demikian juga kedua orang tua serta Puspa. Mereka semua mendukung apa yang dilakukan oleh Jelita dengan syarat tidak mengabaikan keluarg
Happy Reading*****Sudah hampir sebulan putra Rista dan Mahesa lahir ke dunia. Pangeran kecil itu mendapatkan segala limpahan kasih sayang serta cinta dari seluruh keluarga tak terkecuali keluarga Jelita. Kini, sang pangeran kecil bernama Ezaz Prawira Sasongko itu sudah berumur satu bulan lebih. Tiga hari lagi akan diadakan selapanan sesuai adat.Acara besar yang akan digelar di kediaman keluarga Mahesa sebagai pemilik pabrik pengalengan ikan. Seluruh karyawan diundang bahkan masyarakat sekitar dan karyawan sang mertua juga pegawai Jelita diundang juga. Acara tasyakuran yang sudah seperti ngunduh mantu saja.Wandra dan Jelita cuma bisa tersenyum, membayangkan bagaimana hebohnya ketika mereka yang memiliki anak. Perut Jelita pun mulai sedikit membuncit walau tidak terlihat dari luar karena baju yang dikenakan selalu longgar.Pagi ini, sudah terlihat beberapa orang memasang tenda. Keluarga Mahesa juga sudah datang. Mereka tak henti-hentinya memperebutkan Ezaz. Silih berganti menggendon
Happy Reading*****Setengah berlari memanggil sopir, Ajeng menghubungi menantunya dan mengatakan bahwa Rista sedang kontraksi saat ini. Setelahnya, barulah dia menghubungi sang suami. Di dalam sana, kakek tengah memapah sang ibu hamil bersama dengan Puspa.Jelita juga menghubungi Wandra, memberikan kabar bahwa adiknya akan segera melahirkan."Aduh," keluh Rista menahan rasa sakit. "Sabar, Nak," ucap Puspa sambil memegangi Rista."Sudah dekat HPL, harusnya kamu diam di rumah saja. Ini malah makan rujak pedas." Si kakek mulai tampak kesal. Pasalnya Rista tak membawa persiapan persalinan sama sekali padahal sudah sering diingatkan."Maaf, Kek," kata Rista sambil menahan rasa sakit.Mereka sudah berada di depan mobil Ajeng. Sang mama segera membawa putrinya duduk di bagian tengah, sedangkan kakek duduk di samping kemudi."Nak, kamu nyusul sama Mas Wandra saja, ya. Jangan terlalu khawatir supaya janinmu nggak ikut resah," ujar Puspa. Setelah mendapat anggukan dari Jelita, wanita itu masu
Happy Reading*****"Dok, apa artinya istri saya positif hamil?" tanya Wandra sedikit penasaran dengan hasil test urine yang dilakukan tadi."Insya Allah seperti itu, Pak. Walau garis dua pada test pack masih samar, tapi sudah bisa dikatakan positif hamil. Bisa dicek sebentar lagi."Jelita menatap suaminya tak percaya. Secepat itu mereka diberikan karunia berupa anak. "Mari, Dok. Saya sudah tidak sabar ingin melihat seperti apa prosesnya di dalam perut."Senyum semringah tampak menghiasi wajah pasangan muda tersebut. Melihat ada segumpal bulatan yang menempel pada dinding rahim Jelita. Walau sangat kecil, tetapi hal tersebut sudah membuktikan bahwa dalam perut perempuan itu akan hadir seseorang yang akan membahagiakan seluruh keluarga. Wandra bahkan tak kuasa menahan air matanya yang mulai jatuh. Dia begitu terharu melihat bulatan kecil yang masih belum terbentuk itu. Penantiannya selama ini terbayarkan sudah. "Tolong dijaga baik-baik, ya, Pak, Bu. Ini masih sangat rentan sekali. Ja
Happy Reading*****Mengejar sang istri yang berlari ke arah kamar mandi. Wandra mulai membantu Jelita, memijat tengkuk supaya apa yang dirasakan sang istri segera berkurang.Beberapa menit kemudian, keadaan Jelita sudah jauh lebih baik. "Apa yang kamu rasakan, Yang?" tanya Wandra."Entahlah, Mas. Mencium bau masakan tadi, tiba-tiba saja perutku bergejolak."Seperti ada yang dipikirkan, Wandra melirik sekitarnya. Lalu, terbitlah senyuman. "Jangan-jangan adonan kita mulai mengembang, Sayang.""Hust, kalau ngomong yang baik kenapa. Masak adonan?" Jelita mendelik pada sang suami. "Lagian nggak mungkin juga secepat itu, Mas. Baru juga dua minggu kemarin kita melakukannya.""Siapa tahu, Yang. Allah berbaik hati pada kita, jadi menitipkan amanah itu dengan cepat. Gimana kalau nanti kita periksa ke dokter?" kata Wandra sambil menuntun sang istri kembali ke ruang tamu bersama tamu yang lain."Kenapa, Nduk? Apa yang kamu rasakan?" bisik Puspa ketika sang putri sudah berada di sampingnya."Belu
Happy Reading*****Masih tak mengerti dengan kemarahan sang kakek, Wandra pun bertanya dan jawaban lelaki sepuh itu sungguh mengejutkan kedua pasangan muda yang sedang menikmati bulan madu."Kenapa nggak ngasih kabar kalau sudah sampai rumah. Kakek khawatir banget tahu. Pasti kamu ngerjai Jelita sampai lupa ngasih kabar. Dasar kalian berdua ini," omel sang Kakek."Maafkan kami, Kek. Lita memang jarang pegang HP semenjak sakit. Kayaknya Mas Wandra lupa begitu sampai, kami langsung istirahat soalnya." Pada akhirnya, Jelita yang memberikan alibi pada lelaki sepuh itu. Jika sang suami yang menjawab pasti si kakek tetap akan mengomel nantinya. Namun, jika Jelita tentu pria sepuh itu tidak akan berkomentar lagi dan terbukti."Baiklah kalau begitu, Nak. Kalian istirahatlah dan bersenang-senang di sana. Nggak perlu masak atau memikirkan kebutuhan yang lain. Salim dan istrinya pasti akan membantu kalian. Kakek tutup dulu telponnya, ya. Maaf kalau kakek tadi marah.""Nggak papa, Kek. Harusnya
Happy Reading*****Bersiap untuk menyalami sang suami, Jelita mengenakan pakaian dinas yang biasa digunakan oleh perempuan-perempuan lainnya. Baju itu sengaja dia beli secara online karena tidak mungkin mengajak Wandra ke mall atau toko. Jelita sendiri pastinya sangat malu jika membeli baju kurang bahan itu.Hampir satu jam di kamar mandi, si perempuan membuka pintu. Namun, belum berani keluar karena malu dengan pakaian yang dikenakan. Jelita Hany melongokkan kepala melihat keadaan kamar."Kenapa mesti intip-intip, sih, Yang. Mas, sudah lama nunggu sampai kelaparan juga."Jelita mengumpat dalam hati. Mengapa suaminya malah menatapnya dengan wajah sendu seperti itu, padahal tadi lelaki itu tengah fokus pada ponselnya. "Sayang cepet keluar," suruh Wandra, "Mas juga mau mandi. Lengket juga badannya karena keringat setelah itu kita makan. Sudah sangat lapar."Akan berkata kalimat selanjutnya, mata Wandra membulat sempurna melihat pakaian yang istrinya kenakan. Jakunnya naik turun tak ka