Happy Reading*****Setiap hari langganan loundry milik Jelita makin banyak. Perlahan dan pasti usaha meraka sudah dikenal oleh masyarakat sekitar bahkan mungkin tetangga desa. Semua tak lepas dari bantuan ibu langganan Puspa yang waktu itu nyinyir. Ternyata setelah melihat hasil kerja Puspa walau menggunakan mesin lebih bersih dan rapi serta wangi. Dia benar-benar mempromosikan usaha tersebut dengan imbalan cash back. Bagi Jelita hal itu tak masalah. Jelita tahu betul bahwa sang langganan salah satu pegawai kantoran yang pasti banyak teman. Bukannkah rata-rata karyawan perempuan tak mau direpotkan dengan urusan cucian dan setrika. Jelita memanfaatkan semua itu dengan sangat baik dan sekarang loundry miliknya sudah cukup dikenal walau baru dibuka. "Nduk kamu anterin ini di rumah Pak Lurah. Mau nggak. Ibu masih harus nyetrika dikit lagi," pinta Puspa ketika putrinya baru saja datang. "Nggak masalah, Bu. Sebentar lagi, Lita antar." Jelita melihat ibunya bersimbah peluh. Tangannya si
Happy Reading*****Setelah kejadian adu mulut di rumah Bu Lurah, Jelita pulang dengan wajah ditekuk-tekuk. Walau sikap Ajenh sudah terbiasa di hina ileh Ajeng, tetapi rasa sakit akibat perkataan perempuan itu sungguh sangat menyakitkan. Sebenarnya dendam apa yang Ajeng miliki padanya. Begitulah pikir Jelita. Jika alasannya adalah hubungan dengan Wandra, bukankah semua sudah berakhir? Saat ini, Jelita bahkan tak tahu menahu di mana keberadaan lelaki yang masih mengisi seluruh ruang hatinya itu. "Datang-datang mukanya kenapa kusut kayak cucian yang belum diseterika, Nduk?" Puspa tersenyum setelah mengejek putrinya. Tanpa dia tahu bahwa hati Jelita tengah sakit. "Lita capek, Bu. Pengen tidur," kata si gadis. Setelah menyerahkan uang pembayaran yang diambil dari Bu Lurah, Jelita masuk begitu saja. 'Dia kenapa? Nggak biasanya murung gitu. Apa ada yang menghinanya lagi?' Puspa bertanya-tanya dalam hati. Namun, perempuan itu terus melanjutkan pekerjaannya. Biarlah nanto sore, dia akan
Happy Reading*****Pambudi menyodorkan segelas air putih pada istrinya. "Pelan-pelan kalau makan, Ma," katanya. "Iya, Pa." Ajeng kembali melanjutkan makan, tetapi pikirannya entah melayang ke mana. Mengenal watak dan karakter Mahesa sejak kecil membuatnya takut bahwa gadis yang dimaksud adalah Jelita. "Kamu sudah tahu rumahnya, Sa. Langsung kita samperin saja ke sana. Mumpung Om hari ini agak longgar," kata Pambudi."Belum, Om. Mahesa belum tahu rumahnya. Cuma alamat saja yang dikasih, itupun cuma perkiraan karena yang memberikan adalah salah satu sahabatnya. Mungkin, Esa butuh pak sopir sementara waktu sampai hapal daearah sini. Apa Om keberatan meminjamkan salah satu sopirnya?" tanya Mahesa. Matanya mengisyaratkan penuh permohonan. "Tidak masalah, Sa. Kamu bisa minjem sopir. Siapa yang kamu mau.""Terima kasih, Om. Mungkin sopir yang jemput Esa tadi saja.""Kamu beneran nggak mau nginep di rumah kami, Sa?" tanya Ajeng, "nggak kangen sama adik kecilmu?" Sepertinya, Ajeng punya n
Happy Reading*****Hari demi hari telah dijalani Jelita dengan segala kesibukannya untuk menuntaskan revisi skripsi. Tak lagi tinggal di kos karena eyangnya yang meminta, meminimalisir biaya hidupnya selama di kota itu. Pagi ini, diantar Riyan, Jelita menemui dosen pembimbing pengganti untuk menandatangani acc revisi. Setelah itu Jelita akan menjilid dan menyetorkan ke perpustakaan pusat unversitas. Setelahnya, dia bisa mendaftar wisuda."Mas, nggak ngantor hari ini?" tanya Jelita karena sejak pagi Riyan menemaninya wara-wiri mengurus skripsi."Urusan kantor gampang ada asisten yang nangani. Terpenting urusanmu sekarang selesai dan skripsimu beres. Mas tenang, Eyang pun senang.""Iya, mas. Kasihan setiap malam eyang nemenin aku mengerjakan revisi. Kadang sampai tertidur di kamarku.""Itulah Eyang. Saat hatinya sudah terbuka dan sayang pasti rela ngelakuin apa saja. Maafkan Eyang yang dulu. Sudah sangat menyakiti mendiang paman dan ibu.""Iya, mas. Lita juga sudah ngomong sama Ibu ka
Happy Reading*****"Terima kasih, Pak," kata Jelita sedikit terkejut melihat lelaki itu datang ke acara wisudanya. "Terima bunganya, Nduk," pinta Laksmi penuh semangat. Entahlah, melihat paras lelaki di depannya, dia merasa tak asing. Terpaksa, Jelita mengambil buket mawar merah yang diberikan si lelaki. "Nggak pengen ngenalin sama Mas, Dik?" tanya Riyan. Tatapannya tajam menguliti lelaki di depannya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Penuh ketelitian serta mengoyak seluruh memori otaknya untuk mengingat siapa lelaki itu. "Siapa namamu, Nak?" tanya Laksmi karena Jelita tak kunjung mengatakan siapa nama lelaki itu. Si lelaki mengulurkan tangan kanan pada Laksmi. "Kenalkan, Nek. Nama saya Mahesa Agni." Dia sengaja tak menyebutkan nama secara lengkap. Entahlah, ada sesuatu yang ingin disembunyikan oleh Mahesa. Lebih tepatnya, dia tak ingin orang menghormati karena nama besar keluarganya. Laksmi menerima uluran tangan lelaki muda yang umurnya diperkirarakan dua atau tiga tahun di
Happy Reading*****Wandra menghirup udara sebanyak mungkin saat sampai di bandara Blimbingsari. Bandara itu mengingatkannya pada sebuah kenyataan yang mati-matian ingin dihindarinya. Setelah sekian tahun tak menginjakkan kaki di tanah kelahirannya, Wandra memenuhi keinginan sang sahabat untuk bertemu. Lama melakukan panggilan pada sahabatnya, Wandra mulai resah. Oleh karena Mahesa saja, dia mau pulang kampung. Namun, sekarang ketika dia sudah berada di kampung halamannya, Mahesa malah menghilang. "Dasar, Mahesa. Seneng banget kalau aku kelimpungan kayak gini. Apa. Sebaiknya aku kirim chat saja supaya dia tahu aku sudah datang?" tanya Wandra sendirian. Dia sudah menaiki taksi online yang baru saja datang menjemput. [Sa, aku perjalanan ke rumah. Jangan lupa nanti malam jemput aku. Males kalau sampai nginep di rumah terus diceramahi Papa sama Mama.] tulis Wandra pada sahabatnya. Sementara yang ditunggu-tunggu masih berada di rumah Laksmi. Perempuan sepuh itu dengan ramah menyambut t
Happy Reading*****"Eyang tahu keluarga Sasongko?" tanya Mahesa tak percaya. "Siapa yang tak kenal keluarga kaya raya itu. Kalau kamu direktur di pabrik kosmetik Ratu Ayu nggak mungkin kamu orang luar. Eyang kenal betul siapa Sasongko," kata Laksmi. Dia mempertajam tatapannya pada Mahesa. "Jadi, apa hubunganmu dengan Sasongko?"Mengulang pertanyaan yang sama, Laksmi menunggu kejujuran pemuda itu. Mahesa tak lagi bisa mengelak. Perusaahan itu memang milik keluarganya bahkan jika bukan karena dia adalah putra dari Broto, eyang kakungnya itu tak akan pernah memberikan jabatan direktur. "Apalah saya, Yang. Cuma sebagai pekerja saja di perusahaan tersebut," kata Mahesa merendah. Laksmi tertawa. "Oke, kalau kamu nggak mau jawab, Nak." Kini, perempuan sepuh itu berpindah menatap Riyan. "Mas, tolong ambilkan ponsel Eyang atau pinjem punyamu dulu saja. Kelamaan, eyang makin penasaran."Riyan yang sudah berdiri akan mengambil ponsel, urung. Dia merogoh saku dan memberikan benda pipih milikn
Happy Reading*****"Sialan. Kamu tahu dari siapa kalau aku ditolak gadis itu?" "Kan kamu yang cerita waktu itu. Nggak inget pas kamu mabuk berat gara-gara dia. Dih!" Beruntung Wandra bisa mengalihkan perkataan yang terlanjur diketahui waktu itu. "Bener, juga. Ah, kita ini emang sama, Ndra. Hari itu aku ditolak, kamu malah ketemu sama suami pujaanmu." Mahesa tertawa lebar demikian juga dengan Wandra. "Sama-sama koplak dalam cinta," sahut Wandr, "jadi, kapan mau balik Banyuwangi? Aku nggak bisa lama-lama di sini, Sa. Bikin nyesek aja. Kenangannya terlalu banyak dan aku belum sanggup melupakan semuanya. Besok, kalau kamu nggak balik, aku bakalan balik ke Jakarta. Kasihan Kakek sendirian.""Kasihan Kakek apa kangen Arsyana?" goda Mahesa, tawanya menggelegar saat umpatan keluar dari mulut sahabatnya di seberang sana. "Aku nunggu ayang balik, kayakny, Ndra. Nggak tega juga ngebiarin dia balik kampung sendirian.""Acie... gegayaan mau pulang bareng ayang. Emang sudah diterima cintamu?" H
Happy Reading*****Sinar mentari pagi mengenai jendela kaca di ruang perawatan Jelita. Bentuk paviliun memudahkan akses sinar masuk dengan sangat baik. Perempuan itu menggerak-gerakkan bola mata dan perlahan membuka. Terlihat genggaman tangan sang suami yang tidur terduduk di sebelah ranjangnya.Jelita teringat kejadian tadi malam. Semua orang terpaksa bangun karena sikap keras kepalanya. Merasa ada yang menculik sang anak padahal dia sedang dalam pengaruh obat. Setelah mendengar penjelasan perawat mengenai efek obat bius yang diberikan. Barulah Jelita percaya bahwa anaknya ada di dalam ruang perawatan dan esok baru bisa dibawa untuk menemuinya.Merasakan pergerakan tangan sang istri yang berada dalam genggamannya, Wandra terbangun. "Pagi, Sayang. Gimana keadaanmu?" tanyanya. Bangkit dari posisi duduk dan mencium kening Jelita."Alhamdulillah, Mas. Rasanya aku sudah jauh lebih baik.""Sudah kentut belum?" Malu-malu, Jelita menganggukkan kepala. Sewaktu belum ada yang terbangun, per
Happy Reading*****Bersamaan dengan teriakan Wandra, Jelita memejamkan mata membuat lelaki itu semakin panik luar biasa. "Tolong istri saya, Dok. Dia baru saja jatuh terduduk, tapi kok malah begini?" kata Wandra dengan suara bergetar hebat. Antara takut dan ingin menangis melihat darah pada bagian kaki sang istri."Kami akan tangani dengan baik, Pak. Silakan tunggu di luar," perintah sang dokter setelah membaringkan Jelita dan memasukkannya di ruang gawat darurat."Tenanglah, Ndra. Kita semua juga khawatir pada kesehatan Jelita, tapi kalau kita panik. Maka, dia juga akan ikut panik dan anak dalam kandungannya akan bereaksi juga," nasihat Ajeng. Perempuan itu mengajak Wandra duduk. Ada sebuah bangku di depan ruangan tersebut.Puspa berjalan mondar-mandir. Dia tidak bisa duduk tenang seperti Ajeng dan sang menantu. Sementara itu, Mahesa baru saja menghampiri mereka bersama dengan keluarga yang lain setelah hampir sepuluh menit Jelita masuk ruangan."Bagaimana keadaan Lita, Pus?" tanya
Happy Reading*****Hari-hari yang dijalani Jelita dan Wandra cukup membahagiakan. Kandungan semakin besar dan keponakannya yang tumbuh sehat. Usaha melejit bahkan nama besar Pambudi kembali bersinar dengan segala usaha yang didukung oleh seluruh keluarga.Sanggar milik Sularso yang kini sudah dibeli oleh Jelita juga semakin berkembang. Masyarakat tak lagi memandang remeh pada profesi penari Gandrung berkat kegigihan Jelita. Tarian itu bukan lagi menjadi momok bagi siapa saja yang mempelajarinya. Walau tidak lagi berada di atas panggung secara langsung, tetapi Jelita masih berperan dalam setiap pementasan. Kembali bekerja pada dinas pariwisata dengan perut membuncit. Bukan yang wanita itu cari saat ini, tetapi bagaimana membesarkan serta mengenalkan budaya-budaya kabupaten kelahirannya kepada dunia luar.Wandra tidak membatasi pergerakan sang istri. Demikian juga kedua orang tua serta Puspa. Mereka semua mendukung apa yang dilakukan oleh Jelita dengan syarat tidak mengabaikan keluarg
Happy Reading*****Sudah hampir sebulan putra Rista dan Mahesa lahir ke dunia. Pangeran kecil itu mendapatkan segala limpahan kasih sayang serta cinta dari seluruh keluarga tak terkecuali keluarga Jelita. Kini, sang pangeran kecil bernama Ezaz Prawira Sasongko itu sudah berumur satu bulan lebih. Tiga hari lagi akan diadakan selapanan sesuai adat.Acara besar yang akan digelar di kediaman keluarga Mahesa sebagai pemilik pabrik pengalengan ikan. Seluruh karyawan diundang bahkan masyarakat sekitar dan karyawan sang mertua juga pegawai Jelita diundang juga. Acara tasyakuran yang sudah seperti ngunduh mantu saja.Wandra dan Jelita cuma bisa tersenyum, membayangkan bagaimana hebohnya ketika mereka yang memiliki anak. Perut Jelita pun mulai sedikit membuncit walau tidak terlihat dari luar karena baju yang dikenakan selalu longgar.Pagi ini, sudah terlihat beberapa orang memasang tenda. Keluarga Mahesa juga sudah datang. Mereka tak henti-hentinya memperebutkan Ezaz. Silih berganti menggendon
Happy Reading*****Setengah berlari memanggil sopir, Ajeng menghubungi menantunya dan mengatakan bahwa Rista sedang kontraksi saat ini. Setelahnya, barulah dia menghubungi sang suami. Di dalam sana, kakek tengah memapah sang ibu hamil bersama dengan Puspa.Jelita juga menghubungi Wandra, memberikan kabar bahwa adiknya akan segera melahirkan."Aduh," keluh Rista menahan rasa sakit. "Sabar, Nak," ucap Puspa sambil memegangi Rista."Sudah dekat HPL, harusnya kamu diam di rumah saja. Ini malah makan rujak pedas." Si kakek mulai tampak kesal. Pasalnya Rista tak membawa persiapan persalinan sama sekali padahal sudah sering diingatkan."Maaf, Kek," kata Rista sambil menahan rasa sakit.Mereka sudah berada di depan mobil Ajeng. Sang mama segera membawa putrinya duduk di bagian tengah, sedangkan kakek duduk di samping kemudi."Nak, kamu nyusul sama Mas Wandra saja, ya. Jangan terlalu khawatir supaya janinmu nggak ikut resah," ujar Puspa. Setelah mendapat anggukan dari Jelita, wanita itu masu
Happy Reading*****"Dok, apa artinya istri saya positif hamil?" tanya Wandra sedikit penasaran dengan hasil test urine yang dilakukan tadi."Insya Allah seperti itu, Pak. Walau garis dua pada test pack masih samar, tapi sudah bisa dikatakan positif hamil. Bisa dicek sebentar lagi."Jelita menatap suaminya tak percaya. Secepat itu mereka diberikan karunia berupa anak. "Mari, Dok. Saya sudah tidak sabar ingin melihat seperti apa prosesnya di dalam perut."Senyum semringah tampak menghiasi wajah pasangan muda tersebut. Melihat ada segumpal bulatan yang menempel pada dinding rahim Jelita. Walau sangat kecil, tetapi hal tersebut sudah membuktikan bahwa dalam perut perempuan itu akan hadir seseorang yang akan membahagiakan seluruh keluarga. Wandra bahkan tak kuasa menahan air matanya yang mulai jatuh. Dia begitu terharu melihat bulatan kecil yang masih belum terbentuk itu. Penantiannya selama ini terbayarkan sudah. "Tolong dijaga baik-baik, ya, Pak, Bu. Ini masih sangat rentan sekali. Ja
Happy Reading*****Mengejar sang istri yang berlari ke arah kamar mandi. Wandra mulai membantu Jelita, memijat tengkuk supaya apa yang dirasakan sang istri segera berkurang.Beberapa menit kemudian, keadaan Jelita sudah jauh lebih baik. "Apa yang kamu rasakan, Yang?" tanya Wandra."Entahlah, Mas. Mencium bau masakan tadi, tiba-tiba saja perutku bergejolak."Seperti ada yang dipikirkan, Wandra melirik sekitarnya. Lalu, terbitlah senyuman. "Jangan-jangan adonan kita mulai mengembang, Sayang.""Hust, kalau ngomong yang baik kenapa. Masak adonan?" Jelita mendelik pada sang suami. "Lagian nggak mungkin juga secepat itu, Mas. Baru juga dua minggu kemarin kita melakukannya.""Siapa tahu, Yang. Allah berbaik hati pada kita, jadi menitipkan amanah itu dengan cepat. Gimana kalau nanti kita periksa ke dokter?" kata Wandra sambil menuntun sang istri kembali ke ruang tamu bersama tamu yang lain."Kenapa, Nduk? Apa yang kamu rasakan?" bisik Puspa ketika sang putri sudah berada di sampingnya."Belu
Happy Reading*****Masih tak mengerti dengan kemarahan sang kakek, Wandra pun bertanya dan jawaban lelaki sepuh itu sungguh mengejutkan kedua pasangan muda yang sedang menikmati bulan madu."Kenapa nggak ngasih kabar kalau sudah sampai rumah. Kakek khawatir banget tahu. Pasti kamu ngerjai Jelita sampai lupa ngasih kabar. Dasar kalian berdua ini," omel sang Kakek."Maafkan kami, Kek. Lita memang jarang pegang HP semenjak sakit. Kayaknya Mas Wandra lupa begitu sampai, kami langsung istirahat soalnya." Pada akhirnya, Jelita yang memberikan alibi pada lelaki sepuh itu. Jika sang suami yang menjawab pasti si kakek tetap akan mengomel nantinya. Namun, jika Jelita tentu pria sepuh itu tidak akan berkomentar lagi dan terbukti."Baiklah kalau begitu, Nak. Kalian istirahatlah dan bersenang-senang di sana. Nggak perlu masak atau memikirkan kebutuhan yang lain. Salim dan istrinya pasti akan membantu kalian. Kakek tutup dulu telponnya, ya. Maaf kalau kakek tadi marah.""Nggak papa, Kek. Harusnya
Happy Reading*****Bersiap untuk menyalami sang suami, Jelita mengenakan pakaian dinas yang biasa digunakan oleh perempuan-perempuan lainnya. Baju itu sengaja dia beli secara online karena tidak mungkin mengajak Wandra ke mall atau toko. Jelita sendiri pastinya sangat malu jika membeli baju kurang bahan itu.Hampir satu jam di kamar mandi, si perempuan membuka pintu. Namun, belum berani keluar karena malu dengan pakaian yang dikenakan. Jelita Hany melongokkan kepala melihat keadaan kamar."Kenapa mesti intip-intip, sih, Yang. Mas, sudah lama nunggu sampai kelaparan juga."Jelita mengumpat dalam hati. Mengapa suaminya malah menatapnya dengan wajah sendu seperti itu, padahal tadi lelaki itu tengah fokus pada ponselnya. "Sayang cepet keluar," suruh Wandra, "Mas juga mau mandi. Lengket juga badannya karena keringat setelah itu kita makan. Sudah sangat lapar."Akan berkata kalimat selanjutnya, mata Wandra membulat sempurna melihat pakaian yang istrinya kenakan. Jakunnya naik turun tak ka