Jantayu telah pergi meninggalkan dirinya selama enam bulan. Indira perlahan mulai pulih dan bisa kembali menggapai kewarasan juga kesehatannya.
Meskipun tubuhnya masih kurus dan belum sepenuhnya kembali seperti dulu, akan tetapi semua hal yang bisa dikerjakan sendiri, mulai Indira lakukan.
Renzo juga semakin dekat dengan Alden. Setiap saat bocah kecil yang mulai menginjak usia hampir sembilan tahun tersebut menerima Alden dengan sepenuhnya. Kehidupan yang berputar di sekitar kita memang tidak pernah berhenti. Akan tetapi, setiap hal yang melewati kita tidak selamanya menyenangkan.
Alden mencoba menahan diri untuk tidak memprotes hal yang kadang tidak menyenangkan. Seperti Contohnya sikap Indira yang lebih cenderung berdiam dan berubah total dari yang sempat percaya diri dan memiliki humor yang cerdas, mendadak kembali seperti gadis dulu.
Entah apa yang memicu sikap Indira menjadi demikian. Setahu Alden, wanita itu sudah banyak berubah.
Sementara it
Shana masih belum mengerti arti ucapan Siwi dan Indira. Dengan mulut maju dan memberengut, Shana menuntut penjelasan.“Indira ternyata mulai merasakan hal yang istimewa untuk Alden,” ucap Siwi dengan singkat.Shana terbeliak dan menatap Indira yang menutup kedua wajah dengan kedua tangannya.“Beneran?” tanya Shana dengan ekspresi tidak percaya, tapi gembira.“A-aku be-belum tahu pasti. Hanya satu hal yang aku tahu pasti, rasa ketergantungan pada kehadirannya makin besar. Aku malu dan merasa nggak pantas,” sahut Indira akhirnya. Wanita itu mengucapkan dengan terbata-bata dan sungkan.“Kok gitu, Ndi? kenapa harus malu dna nggak pantas? Itu perasaan yang wajar kok!” tukas Shana mendukung penuh.“Ka-karena semua yang ada saat ini tidak memungkinkan aku buat jadi janda yang memiliki hubungan baru. Suamiku baru aja mati!” jawab Indira dengan lemah.Shana mulai paham dan menghela na
Bandara Soekarno-Hatta penuh dengan lalu lalang orang. Niara melangkahkan kaki dengan ragu. Ini adalah kepulangannya pertama setelah tiga tahun tidak pernah menginjakkan kaki di Indonesia.Tidak ada yang menjemput dirinya. Niara bahkan tidak memberitahu Rudi, sepupunya, mengenai kepulangannya yang mendadak.Hatinya terasa berdebar dan tidak nyaman. Indonesia tampak makin semrawut dan Niara tidak menyukai kondisi ini. Mantan suaminya memang telah dipenjara dan tidak mungkin keluar dalam waktu singkat. Vonisnya adalah dua puluh tahun.Niara memesan taksi dan menunggu dengan sabar. Masih ada enam orang lagi di depannya. Sambil menghabiskan waktu, Niara meraih ponsel. Tangannya menggulirkan gambar dan postingan di beranda sosial medianya.Tanpa terasa, dua orang lagi dan Niara mulai bosan. Tercetus ingin menelepon Alden untuk mengusir rasa jenuh.‘Halo.’ Niara mendengar suara dalam juga berat milik Alden.Wanita itu menggigit bibirny
Niara menjabat tangan Indira yang terasa hangat dan wanita itu tampak ramah menyambutnya.“Seneng akhirnya ketemu sama kamu,” ucap Indira dengan lembut.Suaranya sangat merdu dan Niara seketika merasa menciut. Indira adalah wanita ayu, anggun dan dari sikapnya, dia wanita menarik yang bisa membuat pria maupun wanita terpesona.Sebuah kecantikan klasik yang sulit ditandingi. Niara mengangguk dan kehilangan kata-kata. Seketika rasa kikuk dan sungkan menyelimutinya.“Kok bengong? Ayo diminum tehnya. Aku meracik sendiri lho,” tawar Indira dengan ramah.Alden mengambil lebih dulu. Teh buatan Indira adalah favoritnya sejak dulu.Niara menyesap dan matanya terbeliak.“Ini buat sendiri?” tanyanya tidak percaya.“Iya. Aku jemur semua bahan-bahannya, jadi nggak ada pengawet dan asli,” sahut Indira.Niara mengagumi dan takjub akan ide brilian tersebut. Indira meramu bunga mawar, buah-
Indira termenung di kamar sementara buku doa baru saja ditutup. Hatinya masih saja memikirkan pertemuan dengan Niara dan Alden hari ini. Ada berbagai macam pikiran yang terkuak, saat akhirnya bertemu dengan wanita yang menjadi misteri baginya.Niara tidak pernah menjadi seseorang yang istimewa bagi Alden. Namun Indira yakin, selama mereka bersama sebagai sahabat dulu, pasti ada sesuatu yang tumbuh di hati masing-masing.Renzo terlihat sibuk di kamar menonton anime sedari siang. Indira menyadari jika Renzo menyukai Niara seketika. Seandainya dia tidak memiliki dugaan bahwa Niara akan menjadi wanita yang bisa merebut Alden, mungkin dirinya akan menyukai wanita tersebut.Desahan resah terlontar dari bibir mungilnya.Indira Sartika merasa mengkhianati Jan dan tidak pantas memikirkan hal itu. Apakah benar dia merasa kehilangan Jan? Atau hanya kebutuhan akan kehadiran seseorang yang ia jadikan sebagai teman hidup saja? Sedangkal itukah perasaan pada Jan? Atau j
Shana membereskan mainan putrinya dan segera berpesan pada Seto, mertuanya, bahwa ia akan mengunjungi Indira siang ini.“Jangan malam-malam pulangnya. Kamu kemarin sudah kecapekan mengurus kerjaan,” pesan ayah mertuanya dengan bijak.Shana tersenyum dan mengecup pipi tua tersebut dengan penuh kasih.“Iya, Pa! Sebelum makan malam balik kok,” pamit Shana.Seto tersenyum lembut dan segera menggendong cucunya, Silka, yang sudah mengantuk untuk ia bawa ke tempat tidur.Putri Shana terlalu lengket dengan opanya. Bahkan jarang sekali Silka merajuk selama Seto bersama dengan bocah tiga tahun tersebut. Meski begitu, Shana tidak pernah melupakan tugasnya sebagai ibu. Silka mendapat perhatian penuh dari Shana tidak peduli seberapa sibuk dirinya.Setelah memastikan semua beres, Shana melenggang ke rumah Indira.*Siwi sudah lebih dahulu tiba dan sudah membantu Indira menyiapkan kotak sembako sebagai peringatan akan
Merencanakan hidup mapan memang dibutuhkan pemikiran yang cerdas dan perhitungan yang tepat. Akan tetapi takdir bukanlah perhitungan yang bisa diselesaikan dari rumus matematika.Indira tidak pernah mengharapkan perjalanan hidupnya berada pada episode terburuk beberapa kali. Terjatuh dan bangun lagi mungkin wajar bagi manusia yang menghuni bumi.Namun, ketika itu adalah ujian yang sedang kita hadapi, pertanyaan mengapa, kenapa, bagaimana bisa, akan mengisi setiap pemikiran pribadi.Ada rasa tidak pantas dan layak mengalami ujian hidup yang demikian begitu berat.Merasa bahwa hidup dan jalannya selalu lurus, tapi kendala hidup tidak pernah berhenti menghampiri, pasti menjadi kesimpulan yang ada dalam hati masing-masing orang.Indira berada di titik yang sama.Sudah beberapa hari ini, wanita tersebut tidak lagi berdoa karena menganggap semua sia-sia. Ada kemarahan yang mengumpal dalam jiwanya, sebagai bentuk protes pada Pencipta yang begitu ti
Prahara dalam hidup Indira akhirnya mencapai akhir dari gejolak yang sempat ragu untuk ia putuskan.Ternyata semua hanya butuh satu kata saja.Mengalah.Sementara itu, Niara tidak menyangka jika Alden menyatakan kalimat yang ingin dia dengar selama ini.“… Jika kamu mau. Kalo nggak aku mana bisa maksa,” tutur Alden.Niara tahu kalimat Alden sangat panjang. Tapi dari sekian rangkaian kata, hanya dua saja yang terekam dalam memorinya dan membuat Niara tertegun.“Berjalanlah bersamaku.”Alden memandang wanita itu, kemudian memiringkan kepalanya. Hearing aid itu terpasang dan dalam keadaan ‘on’.“Niara, kamu dengerin nggak sih?”“I-iya, denger! Aku lagi mencerna dengan baik!” sahut Niara cepat-cepat.Alden mengangguk lega dan menunggu.“Apakah ini berarti kita pacaran?” Dengan konyol dan polosnya, dari sekian kata yang jauh lebih bai
Cincin itu melingkar dengan manisnya di jari Niara. Batu berlian lima karat tersebut sangat indah dan pas menghiasi jari manisnya. Niara mengangguk dan tersenyum pada Alden."Aku suka ini," ucapnya dengan pelan.Alden mengatakan pada salesgirl berlian untuk menyiapkan sepasang cincin pilihan mereka dalam waktu dua minggu ke depan."Berlebihan nggak sih? Cincin pernikahan aja harus bernilai milyaran?" bisik Niara saat melihat bandrol harga yang tergantung.Alden tertawa kecil."Jangan diliat harganya dong. Ini kan menjadi lambang penghargaan tertinggiku untukmu," tukas calon suaminya dengan santai."Tapi nggak perlu mahal juga. Ini kayak sia-sia dan mubazir," bantah Niara masih bersikukuh untuk membatalkannya."Niara, ini belum apa-apa. Jangan terlalu mikir. Dibandingkan berlian yang ibuku pilih untuk Indira, cincin kita cuman setengahnya aja!"Niara tertegun. Ini kali kesekian Alden membawa nama Indira