Prahara dalam hidup Indira akhirnya mencapai akhir dari gejolak yang sempat ragu untuk ia putuskan.
Ternyata semua hanya butuh satu kata saja.
Mengalah.
Sementara itu, Niara tidak menyangka jika Alden menyatakan kalimat yang ingin dia dengar selama ini.
“… Jika kamu mau. Kalo nggak aku mana bisa maksa,” tutur Alden.
Niara tahu kalimat Alden sangat panjang. Tapi dari sekian rangkaian kata, hanya dua saja yang terekam dalam memorinya dan membuat Niara tertegun.
“Berjalanlah bersamaku.”
Alden memandang wanita itu, kemudian memiringkan kepalanya. Hearing aid itu terpasang dan dalam keadaan ‘on’.
“Niara, kamu dengerin nggak sih?”
“I-iya, denger! Aku lagi mencerna dengan baik!” sahut Niara cepat-cepat.
Alden mengangguk lega dan menunggu.
“Apakah ini berarti kita pacaran?” Dengan konyol dan polosnya, dari sekian kata yang jauh lebih bai
Cincin itu melingkar dengan manisnya di jari Niara. Batu berlian lima karat tersebut sangat indah dan pas menghiasi jari manisnya. Niara mengangguk dan tersenyum pada Alden."Aku suka ini," ucapnya dengan pelan.Alden mengatakan pada salesgirl berlian untuk menyiapkan sepasang cincin pilihan mereka dalam waktu dua minggu ke depan."Berlebihan nggak sih? Cincin pernikahan aja harus bernilai milyaran?" bisik Niara saat melihat bandrol harga yang tergantung.Alden tertawa kecil."Jangan diliat harganya dong. Ini kan menjadi lambang penghargaan tertinggiku untukmu," tukas calon suaminya dengan santai."Tapi nggak perlu mahal juga. Ini kayak sia-sia dan mubazir," bantah Niara masih bersikukuh untuk membatalkannya."Niara, ini belum apa-apa. Jangan terlalu mikir. Dibandingkan berlian yang ibuku pilih untuk Indira, cincin kita cuman setengahnya aja!"Niara tertegun. Ini kali kesekian Alden membawa nama Indira
Makan malam itu berakhir dengan baik. Niara lega karena dirinya tidak perlu lagi berada dalam situasi yang kurang nyaman baginya. Alden melihat dan tahu dari sikap Niara yang seperti baru terbebas dari pengawasan.Berkali-kali, dalam perbincangan malam itu, masing-masing keluarga Alden membicarakan mengenai Indira. Setelah sadar bahwa ada Niara, mereka seperti segan dan kikuk.Niara bukannya terganggu dan tidak suka. Namun berada dalam posisi saat ini, Niara seperti menjadi wanita pengganti dan tidak sedikit pun kualitasnya yang mampu menggantikan Indira.Wanita itu merasa kecil hati. Begitu terkesannya semua orang akan Indira yang tidak lagi menjadi bagian keluarga mereka. kehadirannya terasa tidak berarti.“Semua keluargamu menyukai Indira teramat sangat,” gumam Niara ketika Alden mengantarnya kembali ke hotel.Alden terdiam dan melirik ke arah Niara. Ingin rasanya membantah, tapi dia pun menyadari hal tersebut. Ibunya, Menik, bahkan
Alden tidak bisa mendapatkan kedamaian dalam benaknya hingga beberapa hari mendatang. Semua kalimat hiburan yang pernah ia lontarkan pada Niara, terkesan penuh kebohongan karena hatinya mengingkari semua.Namun begitu rapatnya ia menutup semuanya, Alden menjadi pandai bersandiwara dan bertingkah seakan-akan tidak ada yang terjadi dan khawatirkan selama ini.Sementara Menik dan calon besannya sibuk mempersiapkan pesta pernikahan mereka, Alden justru tenggelam dalam pekerjaan dan meminta Niara untuk mengerti jika banyak ketertinggalan yang harus ia kejar.“Akan ada dua keluarga yang harus aku nafkahi sekrang. Kita berdua dan Renzo,” ungkap Alden mencoba meminta pengertian dari calon istrinya.Niara tidak keberatan dan justru mendukung keputusan tersebut.Tidak ada yang melihat serta menyadari gejolak Alden yang memang tersimpan rapat. Pria itu meredam dengan sekuatnya.Menik meminta pada Shana dan Siwi untuk datang membantunya. Pes
Pesan beruntun yang Indira terima pagi itu cukup membuatnya tidak nyaman dan merasa ingin menolak tanpa menimbang.Menik memintanya untuk hadir bersama Renzo, seminggu sebelum pernikahan Alden dan Niara. Tapi akal sehatnya mendominasi kali ini.Mantan suaminya tersebut memberikan dukungan yang dulu tidak ia butuhkan pada saat pernikahannya dengan Jantayu.Meski pada waktu itu Indira justru merasa tersiksa, tapi Alden membuktikan bahwa dia berusaha ada pada waktu Indira melewati momen pentingnya.Jarinya akhirnya mengetik balasan dengan singkat.“Ya, Indi datang dengan En, Ma.”Indira segera menyingkirkan ponselnya dan melanjutkan pekerjaannya yang masih setumpuk. Ia tahu jika Siwi dan Shana sudah terlebih dulu pergi ke Bali tiga hari yang lalu.Indira cukup lega mengetahui jika ada keluarganya yang bisa menghilangkan rasa sungkan nantinya.**“Papa akan menikah dengan tante Niara. En akan datang sama ma
Dua hari menjelang pernikahan, Niara menerima kabar dari Alden bahwa mereka akan tinggal di apartemen untuk sementara.“Aku nggak masalah sih. Lagian jauh lebih simpel, kan?” sambut Niara tanpa keberatan sedikit pun.Alden tampak lega karena tidak perlu menghadapi konflik yang ia takutkan.“Tapi, kenapa kita nggak jadi nempatin villa?” tanya Niara mendadak tergelitik ingin tahu.Alden mendadak gugup dan tergagap menjawab.“Sebenernya vi-villa itu masih mi-milik aku dan Indira. Kupikir dia tidak keberatan, tapi ternyata dia mengatakan untuk tidak menempatinya.”Mata Niara membesar dan ia menoleh dengan ekspresi tersinggung.“Jangan marah, Nia. Memang tidak seharusnya villa itu aku tempati. Waktu Indira dengan Jantayu juga dia nggak mengutak atik,” kelit Alden memberi alasan yang mendasari keputusannya.“Tapi dia seperti tidak mempunyai simpati sedikit pun, Al! Mengirimkan sem
Entah apa yang ada di pikiran keluarga Niara, tapi saat melihat Indira duduk bersama keluarga Alden, cibiran pun terlihat dari mereka.Indira dengan jelas melihat semua perlakuan mereka dari kursi seberang. Sesekali mereka berbisik dan melirik ke arah Indira dengan sinis. Suara mereka cukup jelas.“Mereka bahkan tidak mencoba mengucapkan dengan nada pelan. Maaf, Ndi, mama nggak bermaksud buat bikin kamu dalam posisi tersiksa kayak sekarang,” sesal Menik yang duduk di sampingnya.“Sudah terbiasa kok, Ma. Ini mungkin yang kesekian ratus kalinya,” sahut Indira dengan tenang.Menik merasakan hatinya berkedut dan tidak menduga akan mendengar hal itu.“Resiko pahit sebagai janda ya?” tanggap Menik dengan getir.“Tepat banget, Ma. Resiko yang paling pahit.” Senyum Indira terukir dan tidak terlihat tersinggung, justru malah geli.Kedua wanita beda generasi itu terkekeh dan mengundang pandangan j
Seto dan Keenan kembali dengan tangan kosong. Keduanya mulai panik dan berniat untuk memberitahu mengenai situasi saat ini pada kedua keluarga mempelai.Belum sempat mereka melangkah, Niara muncul.Wanita dengan baju pengantin putih itu tampak cantik dan menawan. Tanpa mempedulikan pandangan heran semuanya, Niara melangkah menuju altar dengan langkah tegap.Indira terhenyak dan menatap wanita itu dengan hati berdebar. Ada yang tidak beres!Niara meraih mikrofon dan naik ke atas podium di altar.“Terima kasih atas kedatangan kalian semua. Mohon maaf atas kejadian saat ini yang pasti menimbulkan banyak pertanyaan yang simpang siur. Dengan sangat menyesal, pernikahan ini dibatalkan.”Keluarga Niara berteriak memprotes dan semua mengeluarkan keberatan masing-masing.“Bukan atas andil atau kehendak Alden atau saya saja, tapi ini atas kesepakatan kami berdua!” seruan Niara membungkam semua yang masih berteriak.
Lima belas tahun kemudian ….Satu persatu baju yang sudah Renzo persiapkan, ia masukkan ke dalam koper. Hari ini ia akan kembali ke Jakarta untuk mengambil gelar keduanya di salah satu universitas negeri.Pemuda yang telah berusia enam puluh empat tahun tersebut tampak gagah dan dewasa. Indira menatap putranya di pintu dengan pandangan sendu.Menyadari jika ibunya sedang berdiri di belakangnya, Renzo tertawa kecil.“Ma, aku nggak akan lama. Tiap ada kesempatan akan pulang ke Bali kok,” ucap Renzo sembari menata baju dengan rapi di koper.Indira tersenyum tipis. Wanita yang masih cantik walau hampir mencapai setengah abad usianya.“Seingatku, selama kau menjadi anak mama, nggak pernah nyusahin dan selalu mandiri. Rasanya baru kemarin mama jemput kamu les matematika, sekarang udah gede dan nggak butuh mama nemenin buat ngelakuin banyak hal.”Renzo berhenti sejenak dan menoleh. Ia menatap ibunya yang kemudi