Ya, saking emosinya mereka lupa, jika masih ada Elang di situ. Seth..! Elang pun berkelebat cepat menangkap kaki Peter Lee, dan juga pergelangan tangan Storm sekaligus. Taphh..!! Klagh..! Krakhh..!! Terdengar dua kali suara tulang patah, saat Elang menyentak keras tulang kaki dan tangan mereka berdua. “Aarrgghkks...!!” dua teriakkan syahdu kesakitan 11 oktaf pun bergema di area rumah Aditya. Sungguh padu dan saling mengisi. Storm langsung terloncat-loncat kesakitan, dan Peter Lee langsung bergulingan memegangi pergelangan kaki kanannya yang patah. Semua mata yang melihat pun terbelalak ngeri. Schafer langsung menjatuhkan diri berlutut di tempat. Brugh.! Dirinya sungguh takut dan bergidik melihat pemuda itu. Dia tak mau mendapat nasib sama, seperti kedua pengawalnya. “Ampun Tuan, saya tak melakukan apa-apa..!” Schafer berseru sambil menundukkan kepalanya pada Elang. Drap, drap, drap..! "Hihh..!" Prakkhh..! Bi Wati berlari sambil memegang sapu lidi mendekati Schafer, lalu
“Duh Gusti..! Ya ampunn..! Iya Bu..!” bi Wati lepaskan sapu lidinya jatuh begitu saja, dan ikut berlari ke dapur. Elang dan Aditya hanya tersenyum geli, melihat kehebohan ibu-ibu itu. ‘Biarlah, paling ganti menu atau beli saja nanti’, pikir Aditya, sambil mengusap matanya yang masih agak basah. “Elang mari kita duduk dulu di teras. Bapak ingin bicara,” ajak Aditya sambil merangkul bahu Elang. Sementara Devi masih memandangi sosok Elang dengan mata basah. Tertulis sudah nama Elang kini di lubuk hati terdalamnya. Ya, Devi sudah jatuh cinta penuh tanpa bisa ditawar lagi, pada pemuda gagah dan berkemampuan itu. “Devi, tolong buatkan minuman ya,” Aditya memerintahkan Devi, saat dia melihat putrinya masih terpana menatap Elang. Aditya pun tersenyum memakluminya. “Ahh..ehh..! Iya Ayah,” sahut Devi gugup. ‘Untung mas Elang membelakangiku’, bathin Devi tersipu malu. “Nah ya, Ka Devi ketahuan,” Made berbisik di sebelahnya dengan senyum meledek. “Apa sih..?” balas Devi berbisik keki.
“Elang.! Entah apa yang bisa mengungkapkan rasa terima kasih bapak. Atas kebaikkanmu yang bagaikan air mengalir ini. Terimakasih Elang..! Terimakasih atas uluran tanganmu pada kami,” begitu tulus dan dalam sekali, ungkapan terimakasih Aditya pada Elang. “Sudahlah Pak Aditya, sudah sewajarnya kita saling menolong sebatas yang kita mampu. Pak Aditya orang baik, walau Pak Aditya tak bertemu saya. Pasti akan ada saja orang lain yang membantu keluarga Bapak. Ini hanya kebetulan saja Pak,” Elang berkata pelan. “Minuman dan kuenya Mas Elang, Ayah,” ucap Devi datang tersenyum, namun matanya nampak agak sembab. Dia sebenarnya sudah agak lama berada di balik teras rumah. Devi ikut mendengarkan pembicaraan Elang dengan pak Bambang, dan Devi pun menjadi paham. Ya, sekali lagi Elang telah membantu sang ayah dalam bisnisnya. Dan Devi ikut menangis, saat ayahnya menangis berterimakasih pada Elang. “Terimakasih Devi,” Elang tersenyum. “Silahkan Mas Elang, Ayah,” Devi segera beranjak kembali
“Serahkan tasmu atau kau mati disini..!!” hardik seorang berpakaian ala preman kampung. Pada seorang ibu muda cantik berkacamata hitam. Wanita itu sedang hendak naik ke mercusuar bersama putranya, yang masih berusia 5 tahun lebih. Dan di belakang si preman kampung itu, ikut serta dua orang temannya. Seorang berbadan cukup kekar, seorang lagi beranting sebelah. Ketiga preman itu memakai kaos buntung, seolah memamerkan tato di lengan kiri mereka masing-masing. Yang sedang mengeksekusi si ibu muda bertato Kalajengking. Sementara dua temannya bertato ‘ular kobra’ dan ‘jarum suntik’. Ketiganya berambut gondrong. “T-tidak..! Jangann..! Toll.... mmphhf..!” ibu muda berseru gugup ketakutan. Namun belum sempat dia berteriak minta tolong, sebuah tangan kasar dan bau rokok telah membekap mulutnya. Rupanya si ‘Jarum suntik’ cepat tanggap, akan apa yang akan di teriakkan si ibu muda. Dia segera maju dan membekap ibu muda itu. Sedangkan si bocah yang mulai ikut berteriak menangis, langsung
"Tubuhmu indah sekali Wanti,” Permadi berkata tenang memuji. “Hahh..! Mas Permadi..! Tolonglah segera keluar dari kamar Wanti..!” Wanti langsung menoleh ke arah pintu dan terkejut, saat mendapati Permadi telah berada di dalam kamarnya. Tentu saja Wanti merasa malu dengan kondisinya, yang nyaris polos itu. Permadi berjalan perlahan mendekati Wanti, sambil membuka pakaiannya sendiri. Dia tersenyum dingin, saat melihat Wanti berusaha menutupi dada dan bagian bawah tubuhnya dengan wajah panik. Wanti mau berteriak tapi takut namanya malah akan buruk dan tercemar. Karena memang dialah yang mengundang Permadi ke rumahnya. “Mas, tolong jangan lakukan ini padaku..!” seru Wanti tertahan. “Saya akan melakukannya dengan lembut Wanti,” ujar Permadi tersenyum, sambil melepaskan celana dalamnya. Degh..! Jantung dan hati Wanti berdebar keras, matanya terbelalak ngeri, saat melihat sesuatu yang tegak mengarah ke atas dari pangkal paha Permadi. ‘Ohh..! Be..besar dan keras sekali nampaknya’, ba
“Aihh..! Mas Permadi..! K-kenapa dilepas..?” protes Wanti dengan nafas tersengal. 'Ihhh..! Padahal aku sudah mau melayang tadi’, bahin Wanti kesal dan gemas. “Sabar Wanti,” Permadi berucap tenang, sambil membuka kembali paha Wanti dan menempatkan ‘milik’nya di mulut ‘belahan surga’ milik Wanti. ‘Ahh..Rupanya dia hendak memasukiku sekarang’, bathin Wanti berdebar. Wanti memejamkan kedua matanya. Dia ingin meresapi saat-saat bersejarah dalam permainan ranjangnya, bersama lelaki yang bukan suaminya itu. Permadi memulai dengan menggesekkan lebih dulu kepala ‘miliknya’, di sekitar ‘belahan surga’ Wanti. Sambil memejamkan mata, pinggang Wanti berputar agak terangkat, memburu ‘milik’ Permadi yang menggoda di sekitar ‘belahan’ miliknya agar segera masuk. Ya, hasrat Wanti sudah melenting tinggi bukan main, di permainkan oleh gesekkan ‘milik’ Permadi di sekitar ‘belahannya. Akhirnya..."Ahgshs..!” Diiringi desahan tersentak. Akhirnya seluruh batang milik Permadi pun amblas, ke dalam bel
"Bagus..! Mari kita laporkan pada pos-pos di depan ke arah Jogja..!” sahut rekannya. Mereka pun sibuk menginfokan data tersebut ke pos rekan-rekan mereka. Ngguuenngg.....!! Permadi makin menggila dan menggaspoll motornya, melesat dan meliuk gesit melewati mobil atau pun motor di depannya. Melewati jalan raya Wates, Permadi menoleh ke belakang dan melihat sudah ada 3 orang polisi yang mengejarnya. Satu dengan motor trail dan dua dengan motor KLX 150L, ketiganya juga gesit dan lincah berusaha mengejarnya. ‘Hhh..! Sepertinya sudah saatnya ku lepaskan motor ini’, bathin Permadi memutuskan. Dia terus melihat spion motornya, untuk memastikan posisi ketiga motor polisi yang mengejarnya. Melintasi jalan raya Sedayu, Permadi agak mengurangi kecepatannya. Hingga jarak dengan ketiga motor polisi yang mengejarnya semakin dekat, hanya sekitar 300 meteran saja. Cittt.tt.!! Ngungg.....!! Permadi berbalik arah dan langsung menggaspoll motornya. "Gila..! Dia nekat..!" seru terkejut seorang
“A-apa Elang..?! Kau hendak pergi besok..?!” seru Aditya terkejut, dia sama sekali tak menduga Elang akan pergi secepat itu. Wajahnya nampak langsung muram, dia sudah menganggap Elang sebagai bagian dari keluarganya sendiri. Tentu saja dia merasa kehilangan jika Elang pergi. “Benar Pak Aditya, Elang masih harus melanjutkan perjalanan panjang ini. Mungkin ada yang sedikit bisa Elang lakukan untuk orang lain, dan juga pelajaran untuk diri Elang sendiri di luar sana pak,” sahut Elang tersenyum, meminta pemakluman Aditya. “Ahh..! Baiklah Elang, jika itu sudah jadi keputusanmu. Tidak ada sama sekali sikapmu yang kurang berkenan di hati kami sekeluarga. Justru sikap kamilah yang mungkin kurang pantas, dalam menyenangkan hatimu selama di sini Elang. Kami mohon maaf untuk itu Elang,” Aditya berkata dengan pelan dan sepenuh hati. “Pak Aditya dan keluarga sudah menerima Elang dengan sangat baik. Elang senang berada di rumah ini. Jika suatu saat Elang lewat daerah ini, Elang pasti mampir
'Luar biasa..! Bahkan Bos sudah berpikir jauh ke depan', bathin Rodent. Dalam kesendiriannya, Rodent kadang juga bertanya-tanya. Akan sampai kapan mereka menjadi buronan aparat..? Ternyata pertanyaan itu kini sudah terjawab, dengan ucapan Permadi barusan. Dan hatinya pun menjadi makin mantap, untuk bersetia pada Permadi hingga akhir hayatnya. "Siap Boss..!” seru Rodent bersemangat. Klik.! Suara adzan magribh berkumandang, Permadi pun beranjak masuk ke dalam rumahnya. Dari wajahnya nampak Permadi sedang memikirkan sesuatu hal, yang begitu mengganjal di hati dan benaknya. Entah hal apa gerangan. "Mas Permadi sayang, sebenarnya apa yang sedang Mas pikirkan..?" tanya Shara, saat dia melihat Permadi masuk ke kamar dan hanya diam duduk di tepi ranjang. "Tidak ada apa-apa Shara. Aku hanya lelah saja," sahut Permadi. "Apakah Mas Permadi mau Shara pijat badannya..? Biar rasa lelahnya hilang," tanya Shara lagi. Walau dia tak terlalu bisa memijat, tapi demi pria kesayangannya ini, dia
"Baiklah Elang. Nanti tante akan kirimkan nomor rekeningnya. Tapi tante tak akan memakai uang kiriman dari Elang, selain hanya untuk simpanan ...... 'anak kita'," Halimah berkata terputus. Ya, Halimah agak bingung menyebut apa pada anak yang di kandungnya. Akhirnya dia menyebutkan 'anak kita' pada Elang. Wajahnya langsung 'merah merona', saat dia mengatakan itu. Halimah terbayang kembali, saat-saat 'penuh madu' bersama Elang dulu dikamarnya. Wanita yang tetap cantik di usia matangnya itu. Dia 'sejujurnya' sangat merindukan saat-saat manis itu, bisa terulang kembali dalam hidupnya. "Baik Tante, tolong dikirim ya. Salam buat Om Baskoro." Klik.! Elang menutup panggilannya pada Halimah. Dia berniat memasukkan saldo 10 miliar rupiah, pada rekening Halimah nanti. Elang kembali melihat-lihat kontaknya, dia mencari nomor Sekar di list kontaknya. Lalu... Tuttt.... Tuttt... Tuutttt.! "Halo. Kang Elang..?!" sapa suara merdu Sekar, yang sedang berada di kamarnya. "Halo Mbak Sekar. Baga
"Pak Daisuke, Pak Matsuki. Ayo temani saya makan bersama. Saya tak bisa makan sendirian. Anggap saja sebagai ucapan terimakasih saya pada Bapak berdua, yang sudah 'bekerja' mengantar saya ke sini," ajak Elang hangat. Ya, Elang mengatakan 'bekerja' bukan membantu. Itu karena Elang sangat paham, dengan 'budaya malu' yang mengakar kuat di negeri ini. Sehina-hinanya kaum miskin negeri ini. Mereka sangat jarang meminta-minta, bahkan hampir tak terlihat pengemis di negeri ini. Mereka juga tak akan mau menerima sesuatu tanpa 'bekerja'. Walaupun hanya sebagai pemulung atau buruh serabutan sekalipun. Rata-rata mereka merasa malu, bila menerima sesuatu dari rasa belas kasihan. Itulah moral yang masih dipegang erat masyarakat negeri ini, budaya malu.!"Ahhh. Bagaimana Matsuki..?" tanya Daisuke menatap Matsuki temannya. Agak lama akhirnya Matsuki menganggukkan kepalanya. Akhirnya mereka bertiga makan siang di rumah makan itu. Tampak kedua lelaki itu tersenyum gembira. Elang sengaja menga
Tuttt.... Tuttt..! 'Pak Yutaka memanggil' tertera di layar ponsel Elang. Klik.! "Ya Pak Yutaka," sahut Elang. "Halo Elang. Di mana posisimu sekarang..?" tanya Yutaka. "Saya di Kobe sekarang Pak Yutaka. Berjalan-jalan dulu sebelum kembali ke Indonesia," sahut Elang. "Wahh, pantas kemarin aku tanya Pak Hiroshi, kamu belum datang katanya. Hahaa!" Yutaka memaklumi keinginan Elang berjalan-jalan seorang diri, sebelum dia pulang ke Indonesia. Tentunya pemuda ini ingin bebas lepas, melihat apa yang belum dilihatnya di Jepang, pikir Yutaka. "O iya Elang. Aku menitip sedikit di saldo rekeningmu ya. Sebagai tanda terimakasih keluarga Kobayashi atas pertolonganmu. Sepertinya sampai mati pun, kami tak akan sanggup kami membalasnya Elang. Terimalah pemberian kami yang sedikit itu ya." Ungkap Yutaka, dengan rasa terimakasih yang tulus pada Elang. "Pak Yutaka. Sungguh hati saya sudah senang, melihat 'kemelut' di keluarga Bapak sudah berlalu. Melihat keluarga Bapak bisa tenang dan bahagi
Sorot pandang matanya terasa sangat menyejukkan hati. Tiada emosi sedikit pun di dalamnya. Orang biasa yang memandangnya pastilah akan langsung merasa tenggelam, dan seperti berada di suatu ruang luas tak berbatas. Inilah pandangan sosok yang telah mencapai tingkat 'Langit Tanpa Batas'. "Maafkan kelalaianku dalam menjaga 'turunnya Tombak Samudera', pada keturunanku, Ki Prahasta. Namun sekuat daya aku telah memberi 'pagar' pada Kitab Jagad Samudera. Agar tak mampu dipelajari oleh orang yang tak berhak, walaupun dia masih keturunanku. Andai 'pagar' yang kuterapkan pada kitab itu tetap terbuka, dan dipelajari oleh keturunan yang salah. Maka aku hanya bisa mengatakan itu adalah 'takdir' dari Yang Maha Kuasa, Ki Prahasta," sahut Ki Bogananta, dengan wajah penuh sesal, walau bibirnya tetap menyunggingkan senyum. Pandang mata Ki Bogananta juga nampak sangat dalam. Kedalaman yang tak mampu di selami, jika orang biasa beradu pandang dengannya. Inilah pandangan dari sosok yang telah men
Nadya segera beranjak turun dari ranjangnya, dan mengambil segelas air minum dari dispenser di kamarnya. Glk, glek..! Rasa segar memenuhi kerongkongannya, namun rasa resah dalam dirinya tak jua menghilang. Ingin rasanya dia menelepon Elang saat itu juga. Namun sudah 2 minggu lebih ponselnya tak bisa menghubungi nomor Elang. Karena operator selalu memberi pesan nomor Elang berada di luar jangkauan. Ya, Nadya memang tak mengetahui keberadaan Elang di mana saat ini. Nadya ingat terakhir kali dia menghubungi Elang, pada saat Elang berada di Bali. Maka 'kecemasan luar biasa' kini melanda hati Nadya. Kecemasan akan keselamatan Elang. Pemuda yang sudah menjadi kekasih di hatinya. Nadya merasa tak ingin tidur kembali. Dia hanya memanjatkan do'a dalam hatinya, berharap keselamatan selalu bersama kekasih hatinya itu, saat...Tuttt. Tuuttt..! Nadya yang masih terduduk di tepi ranjangnya bangkit, dan melangkah menuju ponselnya yang terletak di atas meja kamarnya. 'Siapa sih yang pagi-pa
Braghh...!!Permadi yang tak bisa menahan rasa penasarannya, dia reflek memukul lantai di samping tubuhnya, yang masih dalam kondisi bersila. Sedikit saja tenaga dalamnya mengalir. Namun itu saja cukup, untuk membuat lantai di sisi tubuhnya ambyar berlubang. 'Lusa besok aku berangkat ke Osaka. Namun kenapa mimpi brengsek itu selalu datang mengganggu konsentrasiku..?! Siapa kau sebenarnya Kakek Tua..?!' bathin Permadi berseru, penuh rasa marah dan penasaran. Tok, tok, tokk..! "Mas Permadi.." suara merdu Shara terdengar, di depan pintu kamar khususnya. Permadi bangkit dari bersilanya dan beranjak membukakan pintu bagi Shara. Klek.! "Ya Shara.." ucap Permadi, sambil membuka setengah pintu kamarnya. "Mas Permadi tak apa-apa kah..? Tadi Shara mendengar suara keras dari dalam kamar Mas," tanya Shara, dengan wajah agak cemas. "Tak apa-apa Shara. Aku hanya sedang sedikit kesal dengan sesuatu," sahut Permadi datar. "Tapi bukan sedang kesal sama Shara kan Mas..?" tanya Shara agak pan
Ingin rasanya Elang bertemu kembali, dan bertanya pada 'Ki Buyut Sandaka'. 'Apakah ada suatu tanda atau petunjuk, jika dia telah menemukan cinta sejatinya alias jodohnya..? Adakah sesuatu yang belum diketahuinya mengenai kutukkan Naga Asmara..? Atau ke arah mana Elang harus mencari cinta sejatinya di dunia yang luas ini..? Apakah kutukkan Naga Asmara ini akan terus menempel padanya hingga dia mati, jika tak jua menemukan jodohnya..?'Seribu tanya terlintas di benak Elang, namun satu jawab pun tak terungkap..?! Akhirnya dengan di iringi suasana haru dan sedih, dari Yukata dan keluarganya. Dan juga mata beriak basah dari Nanako. Elang pun langsung melesat lenyap, menerapkan puncak dari ilmu 'Pintas Bumi'nya. Elang menolak untuk di antarkan ke stasiun Tokyo, oleh Nanako. Dia lebih memilih ke stasiun seorang diri sambil berjalan-jalan. "Mas Elang. Aku pasti datang ke Indonesia, setelah semua urusan pengadilan selesai," begitu ucapan terakhir Nanako serak, saat Elang pamit tadi. El
"Tak penting darimana aku tahu hal itu. Yang penting sekarang, cepatlah kau pergi tinggalkan negeri ini..! Keluargamu menanti di sana," ucap Elang tegas dan tenang. "Baik..! Terimakasih semuanya..!" Sethh...! Hong Li langsung melesat dengan 'ginkang'nya yang lumayan tinggi. Perlahan sosoknya lenyap di rerimbunan pohon. "Sekarang kalian..! Siapa nama kalian..?" seru Elang. "S-saya Dong Min.." "S-sya Gunadi..' "Kalian berdua harus mau menjadi saksi bagi kami di pengadilan. Katakan, bahwa kalian disuruh oleh Kairi dan Hitoshi, untuk mencelakai keluarga pak Yutaka..! Kami tak akan menuntut kalian. Kami hanya ingin dalang dari semua ini 'divonis bersalah dan dihukum'..! Namun jika kalian menolak. Maka kami jamin kalian akan kami tuntut dan ikut mendekam di penjara bersama Kairi..! Kalian mengerti..?!" sentak Elang tegas. "Ba..baikk..!! Kami mengerti..!" sahut mereka berdua hampir bersamaan. "Gunadi..! Untuk apa kau ikut-ikutan kelompok ini..? Kamu di mana di Indonesia..?" tanya E