Seth..! Elang reflek melesat ke depan dengan sangat cepat. Lalu dia menoleh ke arah suara klakson tadi. Dan betapa gemasnya Elang, saat mengetahui yang mengagetkannya dengan klakson adalah dua gadis yang tadi. Reva agak geli melihat kekagetan Elang. Namun disisi lain dia juga sangat terkejut, melihat daya lesat yang di tunjukkan oleh Elang. Reva hanya melihat kelebatan bayangan Elang, lalu tiba-tiba Elang sudah sekitar 200 meter di depannya. ‘Masih manusiakah pemuda bernama Elang ini..?!’ bathin Reva agak bergidik. Ternyata bukan hanya Reva saja yang ngeri dan kaget. Julia juga berpikir hal yang sama seperti Reva. 'Apakah dia hantu..?!' bathin Julia ngeri. Wajah Julia nampak pucat, saat mobil Reva akhirnya tiba di dekat Elang, yang seperti gemas menunggu mereka. “Kalian ini mengagetkan orang saja..!” seru Elang kesal. “M-maaf Mas Elang, kami tak sengaja. Kami cuma mau mengucapkan terimakasih,” ucap Reva agak tak enak hati, melihat wajah kesal Elang. “Kalian kan sudah berter
"Saya cuma teman ketemu di jalan sama Reva, Bii,” ucap Elang tersenyum ramah. Wajah Bi Rina pun tersenyum membalas senyuman Elang, ‘Pemuda yang baik’, bathin bi Rina. Ya, dia sudah banyak melihat watak dan karakter orang selama masa hidupnya. Dan matanya tak bisa di tipu dengan kepura-puraan. Dan dia pun langsung bisa mengambil kesimpulan, beberapa saat setelah melihat prilaku Elang yang apa adanya. Dia pun beranjak ke dapur untuk membuat minuman. Reva agak terkejut melihat senyum Bi Rina pada Elang. Karena sangat jarang tamu di rumahnya yang mendapat senyum dari bibinya itu. Bahkan Dean yang beberapa kali ke rumahnya, tak pernah dia sekali pun mendapat senyumnya. ‘Bahkan Bi Rina pun tersenyum padamu Elang’, bathin Reva, semakin penasaran pada sosok Elang. “Mas Elang, bolehkah aku bertanya pada Mas?” Reva berucap. “Tanya soal apa Reva?” sahut Elang bertanya.“Mas Elang sebenarnya berasal dari Bogor daerah mana ya? Apakah keluarga Mas Elang tak merasa kehilangan dengan kepergi
Sementara itu terjadi kehebohan di Hotel MoonLight. Kehebohan terjadi saat Elang menarik aji ‘Sirep Megantara’nya, setelah ia tiba di X Club semalam. Yang pertamakali terdengar adalah lengkingan indah 11 oktav dari Dean, “Aaarrhhks...!!!” Sedemikian menyayat hatinya suara jeritan Dean, dari kamar khusus yang pintunya terbuka lebar itu. Akibat pintunya terganjal tubuh dua orang temannya, yang terkapar dan juga mulai sadarkan diri itu. “Bos Muda..! Wajahmu penuh darah..! Siapa yang melakukan ini padamu Bos..?!” teriak kedua orang bayarannya panik, dengan wajah pucat. ‘Bisa celaka kita, kalau Bos Besar marah melihat kondisi anaknya ini..!’ benak kedua orang bayaran itu, otomatis berpikir hal yang sama. Klek, klekh, ... Klekh!Beberapa pintu kamar hotel, di lorong yang sama dengan kamar khusus itu terbuka sedikit. Dan semua mata di celah pintu memandang ke arah yang sama, ke arah kamar khusus di pojok lorong. Hingga saat muncul 3 sosok tubuh dari kamar khusus itu, Klakh..! Brak
“Siapp Bos!” mereka berdua pun maju menghampiri Roni dan Kasim, yang wajahnya sudah pucat pasi itu. Namun Roni dan Kasim sudah pasrah saja, menerima nasib mereka. ‘Dimana lagi mereka bisa bekerja dengan gaji besar, tanpa harus menguras pikiran? Ya, hanya di sini’, bathin Roni dan Kasim. Baghh..! Bughh..! ... Plaghh..!! Terdengar hantaman bertubi-tubi dari Joko dan Markus, yang deras melanda wajah Roni dan Kasim. Ya, keduanya hanya bisa berteriak kesakitan, menerima hantaman demi hantaman di wajah mereka. Mungkin ini juga sebuah karma, atas perbuatan mereka sendiri, yang juga kerap melakukan kekerasan pada orang lain. “Hari..! Tanto..! Bondan..! Kalian harus cari tahu, siapa yang membuat putraku Dean babak belur begitu..?! Sekarang kalian pergi ke Hotel MoonLight..! Teliti dan periksa rekaman CCTV hotel malam tadi..!! Cepatt..!” bentak Dibyo. Ya, darah di kepalanya serasa meluap dan mendidih. Mengingat kejadian pembantaian putranya itu, terjadi di salah satu hotel miliknya sen
"Katakan saja ada apa Dibyo..! Kau tentu meneleponku, bukan karena hanya ingin mengucapkan selamat pagi bukan?” ucap Ki Sentanu. “Benar Ki. Ada sesuatu yang ingin kumintakan tolong pada Aki. Ini soal orang yang mencelakai putraku Ki Sentanu,” ucap Dibyo akhirnya. “Hmm. Sebentar Dibyo,” Ki Sentanu memejamkan matanya. Ya, aji Raga Sukma di terapkannya, untuk menelisik keadaan di kediaman Dibyo. Splash..!Sukma Ki Sentanu lepas dari raganya, yang kala itu tengah memegang ponsel dari kamarnya. Slaph..! Sukma Ki Sentanu telah masuk ke kediaman Dibyo. Tampak olehnya Dibyo sedang mendekatkan ponsel ke telinganya, menunggu jawaban darinya. Sukma Ki Sentanu masuk menembusi ruang-ruang di kediaman Dibyo. Hingga akhirnya dia melihat Dean yang sedang terbaring di kamarnya. Di amatinya wajah Dean yang tampak masih membengkak di sana sini, dan beberapa jahitan tampak di bagian pelipis, bibir, dan pipinya. Slaphh..! Sukma Ki Sentanu melesat kembali ke raganya, di sebuah rumah cukup mewah d
“Bibi asli dari Jogjakarta, Mas Elang,” sahut bi Rina, yang juga sambil sibuk memasukkan sesuatu ke microwave. “Wahh, Nenek Elang juga di sana Bi Rina. Di daerah Sedayu-Bantul,” Elang berkata santai, sambil tetap mencuci piring. Keduanya sudah bagai rekan kerja yang sedang ngobrol di dapur, sama-sama cekatan. “Lho, kenapa Mas Elang nggak tinggal saja sama Nenek? Daripada tinggal di panti asuhan,” tanya bi Rina. “Mereka tak tahu keberadaan Elang, Bi Rina, karena kami kecelakaan di jurang. Ayah ibu meninggal saat umur Elang baru 3 tahun. Elang baru saja bertemu Nenek semingguan yang lalu Bi,” ucap Elang biasa saja. Namun bi Rina yang mendengar kisah itu, dia langsung terdiam dari kesibukkannya memarut jahe. Dia menatap sosok Elang, yang masih asyik mencuci piring dengan wajah iba. ‘Kasihan kau Elang, baru tiga tahun sudah di tinggal orangtua’, bathin bi Rina. “Selesai Bi Rina, ada lagi yang bisa Elang bantu Bi?” tanya Elang yang sudah selesai mencuci piring. “Wah, wahh.! Rupany
“Ok Reva, terimakasih. Silahkan lanjut renangnya,” Elang kembali melangkah ke kursi teras, dan langsung mengirimkan alamat Reva pada Keina. Nomor kontak Keina memang telah tersimpan di kontak Elang, dengan kode negara Jepang terlebih dahulu yaitu (+81). Klik.! Pesan Elang pun terkirim. Tak lama Julia muncul dari dalam rumah. Dia baru saja mandi dan menghubungi ibunya, mengabarkan bahwa dia masih di rumah Reva. “Wah, asik ya..! Kalian sudah berjemur di halaman dan kolam renang,” seru Julia sambil tersenyum lebar mendekati Elang. Dia bermaksud ikut duduk di kursi teras. Baru saja bokong Julia singgah di kursi teras. Saat bi Rina muncul dari dalam, dan mengajak mereka semua untuk sarapan dulu. “Ayo Non Reva, Mas Elang, Non Julia, sarapan dulu sekarang ya!” seru bi Rina, bagai guru yang mengingatkan jam istirahat sudah selesai paa para muridnya. Hehe. “Mas Elang..! Tolong pinjam tangannya dong,” seru Reva. Dia malas untuk berenang ke sisi kolam, tempat tangga naik ke atas berada.
“Mas Elanngg..mmpfhh.!” Reva langsung memeluk dan memagut bibir Elang. Hasrat dalam dirinya benar-benar sudah tak terbendung lagi. Elang merasakan bibir dingin Reva kini sudah menghangat, dan perlahan memanas dalam lumatan penuh hasrat. Sejenak lumatan panjang bibir Reva terlepas, terdengar nafas Reva tersengal-sengal. “Maafkan Reva mas, Reva tak sanggup menahan hasrat ini,” ucap Reva pelan, sambil tertunduk malu. Rambut hitam Reva lurus sebatas bahu, hidung mancung meruncingnya juga terlihat sangat indah. Bibir merahnya nampak masih basah dan bergetar, setelah melumat bibir Elang agak lama barusan. “Tak apa Reva, kita ke kamar saja yuk,” ajak Elang lembut, sambil merangkul pundak Reva. Klek.! Reva membuka kamar pribadinya. Nampaklah isi perlengkapan kamarnya, yang tak kalah dengan suite room hotel. Bahkan lebih elegant dan artistik. Aroma therapy lembut bernuansa chamomile menguar, saat saklarnya di ‘on’kan oleh Reva. Reva perlahan mulai membuka pakaiannya sendiri satu demi
Padahal jika Elang mau, maka dia bisa membawa beberapa 'barang antik', dari peradaban dalam dimensi itu. Seperti halnya 'cincin mustika Nagandini', yang berhasil ditariknya dulu untuk Nadya. Akhirnya setelah merasa cukup puas melihat-lihat. Elang memutuskan untuk kembali ke hotelnya, yang berjarak sekitar 25 menit dari kuil itu. Elang pun naik bus umum yang melintas di sekitar area kuil itu. *** Permadi baru saja usai makan malam, dan kini dirinya tengah memandangi gemerlap lampu kota Osaka di malam hari, dari jendela kamar hotelnya. Ya, tak lama lagi dia akan mulai mendeteksi keberadaan energi Elang dari kamarnya itu. Jujur saja hati Permadi berdebar-debar. Karena dia bisa merasakan, jika energi Elang adalah energi terbesar, yang pernah dirasakannya dimiliki seseorang. 'Aku tak boleh mundur lagi. Sekarang atau tidak selamanya..!' seru bathin Permadi menguatkan tekadnya. Teringat dia kenangan masa lalunya. Kenangan saat dia ditinggal mati oleh kedua orangtuanya. Betapa dia
"Tapi tak apa Mas Elang jalan-jalan saja dulu. Daripada buru-buru bertemu Keina," ucap Nanako merasa senang. 'Aneh memang pola pikir dua wanita Jepang ini. Keina senang aku cepat keluar dari rumah Nanako. Sedangkan Nanako senang, kalau aku nggak buru-buru ke rumah Keina. Sungguh memusingkan..!' gerutu bathin Elang. "Mas Elang pasti sekarang sedang kelaparan ya..? Hihii," tebak Nanako tepat ke sasaran. Nanako memang paham, dia memperhatikan pola makan Elang selama berada di rumahnya. Dia tahu saat jam-jam pagi, biasanya Elang suka melintasi meja makan rumahnya saat bangun tidur. "Ahh..! Nanako tahu saja kamu. Hahaa," Elang tak bisa ngeles lagi. Karena sambil bicara, dia juga sambil mengunyah pelan-pelan rotinya. Tapi tetap saja ketahuan oleh Nanako, jika dia sedang makan sesuatu. Jujur saja, Elang lebih senang menganggap Nanako bagai adiknya sendiri. Nanako ini paling bisa meledek dan bermanja-manja padanya, saat Elang di rumahnya. "Ya sudah. Mas Elang lanjut makannya ya. Nanak
Tuttt.. Tuttt.. Tuutttt..!Kini di layar ponsel Elang tertera, 'Keina Yoshida memanggil'. Klik.! "Ya Keina," sahut Elang. "Mas Elang di mana sekarang..? Kok belum datang ke rumah..?" "Saya masih di Awaji Island Keina. Mau menikmati pemandangan dulu," sahut Elang jujur. Dia khawatir Keina ngambek, karena tidak langsung ke rumahnya setelah dia keluar dari Tokyo. "Hmm. Nggak ngajak-ngajak ya, hihi..! Ya tak apa-apa Mas Elang, daripada menghabiskan waktu di Tokyo bersama Nanako. Keina boleh nyusul nggak mas Elang..?" tanya Keina. "Lebih baik tak usah Keina, dua hari lagi juga saya ke rumah," sahut Elang. Ya, dia sedang benar-benar ingin sendiri, untuk menikmati akhir perjalanannya di negeri Sakura ini. "Baiklah, selamat bersenang-senang Mas Elang." Klik.! *** "Selamat jalan Mas Permadi, cepatlah kembali sayank. Mmmhh," Shara mengucapkan salam, seraya mencium pipi Permadi. Saat Permadi hendak memasuki pesawat. "Terimakasih Shara," ucap Permadi, sambil menatap Shara. Hidup bers
Tidak heran, 'Samara Embankment' adalah tempat wisata alam yang tidak hanya gratis, tapi juga wisata unggulan. Di sungai Volga, kita bisa melihat pemandangan alam yang sangat cantik, kendati pada siang hari dan suhu cukup tinggi. Namun, kita bisa berteduh di bar dan restoran yang tersedia, tidak jauh dari pedestrian. Dan di sanalah kini seorang wanita cantik duduk termenung, memandangi keindahan alam yang terhampar dihadapannya. Tapi tunggu dulu, mata sang wanita memang mengarah ke hamparan sungai indah di depannya, namun tidak dengan 'pikiran'nya. Sesosok pemuda tak pernah lepas dari 'benaknya', sejak kepulangannya dari Bali. Sosok pemuda itu terus membayangi kemanapun dia berada. Sosok pemuda yang telah menerima 'cincin' kenangan darinya. Ya, sosok itu adalah Mila..! Sejak kepulangannya ke Samara, hatinya bagai tertinggal di Bali bersama Elang. Dan akibat kerinduannya yang mendalam, selama seminggu ini dia terus melakukan panggilan terhadap Elang. Namun tiada pernah ada nada
Bip..! Nadya :"Sudah tidur belum Mas Elang..?" Balas : "Belum Nadya." Nadya :"O iya Mas Elang, minggu depan Nadya ujian Sripsi. Doa'in ujiannya lancar ya Mas." Balas : "Pasti Nadya. Mas percaya Nadya pasti lulus dengan gemilang." Nadya:"Minggu depan mudah-mudahan Mas Elang sudah di Jogja ya. Biar bisa merayakan kelulusan Nadya." Balas :"Mudah-mudahan Nadya. O iya, sekarang Mas menginap di 'Yumekaiyu Awajishima Hotel'. Mas baru saja masuk malam ini." Nadya :"Wah, asyiknya bisa travelan terus. Besok-besok Nadya ikut lho Mas." emot senyum plus ketawa. Balas : "Boleh-boleh saja, kalau nggak ada yang marah Nadya." emot kedip mata satu. Nadya:"Ihh. Siapa yang berani marahin Nadya, wee.." emot ngeledek. Nadya:"Nanti lanjut ya Mas. Nadya dipanggil Mamah, paling di suruh dinner." Balas : "Ok." emot jempol. Elang beranjak dari ranjang dan memandang keluar kamar, melalui jendela kamar yang cukup luas. Belum lama Elang meresapi keindahan pemandangan malam, dari jendela kamarnya, Tiba
'Luar biasa..! Bahkan Bos sudah berpikir jauh ke depan', bathin Rodent. Dalam kesendiriannya, Rodent kadang juga bertanya-tanya. Akan sampai kapan mereka menjadi buronan aparat..? Ternyata pertanyaan itu kini sudah terjawab, dengan ucapan Permadi barusan. Dan hatinya pun menjadi makin mantap, untuk bersetia pada Permadi hingga akhir hayatnya. "Siap Boss..!” seru Rodent bersemangat. Klik.! Suara adzan magribh berkumandang, Permadi pun beranjak masuk ke dalam rumahnya. Dari wajahnya nampak Permadi sedang memikirkan sesuatu hal, yang begitu mengganjal di hati dan benaknya. Entah hal apa gerangan. "Mas Permadi sayang, sebenarnya apa yang sedang Mas pikirkan..?" tanya Shara, saat dia melihat Permadi masuk ke kamar dan hanya diam duduk di tepi ranjang. "Tidak ada apa-apa Shara. Aku hanya lelah saja," sahut Permadi. "Apakah Mas Permadi mau Shara pijat badannya..? Biar rasa lelahnya hilang," tanya Shara lagi. Walau dia tak terlalu bisa memijat, tapi demi pria kesayangannya ini, dia
"Baiklah Elang. Nanti tante akan kirimkan nomor rekeningnya. Tapi tante tak akan memakai uang kiriman dari Elang, selain hanya untuk simpanan ...... 'anak kita'," Halimah berkata terputus. Ya, Halimah agak bingung menyebut apa pada anak yang di kandungnya. Akhirnya dia menyebutkan 'anak kita' pada Elang. Wajahnya langsung 'merah merona', saat dia mengatakan itu. Halimah terbayang kembali, saat-saat 'penuh madu' bersama Elang dulu dikamarnya. Wanita yang tetap cantik di usia matangnya itu. Dia 'sejujurnya' sangat merindukan saat-saat manis itu, bisa terulang kembali dalam hidupnya. "Baik Tante, tolong dikirim ya. Salam buat Om Baskoro." Klik.! Elang menutup panggilannya pada Halimah. Dia berniat memasukkan saldo 10 miliar rupiah, pada rekening Halimah nanti. Elang kembali melihat-lihat kontaknya, dia mencari nomor Sekar di list kontaknya. Lalu... Tuttt.... Tuttt... Tuutttt.! "Halo. Kang Elang..?!" sapa suara merdu Sekar, yang sedang berada di kamarnya. "Halo Mbak Sekar. Baga
"Pak Daisuke, Pak Matsuki. Ayo temani saya makan bersama. Saya tak bisa makan sendirian. Anggap saja sebagai ucapan terimakasih saya pada Bapak berdua, yang sudah 'bekerja' mengantar saya ke sini," ajak Elang hangat. Ya, Elang mengatakan 'bekerja' bukan membantu. Itu karena Elang sangat paham, dengan 'budaya malu' yang mengakar kuat di negeri ini. Sehina-hinanya kaum miskin negeri ini. Mereka sangat jarang meminta-minta, bahkan hampir tak terlihat pengemis di negeri ini. Mereka juga tak akan mau menerima sesuatu tanpa 'bekerja'. Walaupun hanya sebagai pemulung atau buruh serabutan sekalipun. Rata-rata mereka merasa malu, bila menerima sesuatu dari rasa belas kasihan. Itulah moral yang masih dipegang erat masyarakat negeri ini, budaya malu.!"Ahhh. Bagaimana Matsuki..?" tanya Daisuke menatap Matsuki temannya. Agak lama akhirnya Matsuki menganggukkan kepalanya. Akhirnya mereka bertiga makan siang di rumah makan itu. Tampak kedua lelaki itu tersenyum gembira. Elang sengaja menga
Tuttt.... Tuttt..! 'Pak Yutaka memanggil' tertera di layar ponsel Elang. Klik.! "Ya Pak Yutaka," sahut Elang. "Halo Elang. Di mana posisimu sekarang..?" tanya Yutaka. "Saya di Kobe sekarang Pak Yutaka. Berjalan-jalan dulu sebelum kembali ke Indonesia," sahut Elang. "Wahh, pantas kemarin aku tanya Pak Hiroshi, kamu belum datang katanya. Hahaa!" Yutaka memaklumi keinginan Elang berjalan-jalan seorang diri, sebelum dia pulang ke Indonesia. Tentunya pemuda ini ingin bebas lepas, melihat apa yang belum dilihatnya di Jepang, pikir Yutaka. "O iya Elang. Aku menitip sedikit di saldo rekeningmu ya. Sebagai tanda terimakasih keluarga Kobayashi atas pertolonganmu. Sepertinya sampai mati pun, kami tak akan sanggup kami membalasnya Elang. Terimalah pemberian kami yang sedikit itu ya." Ungkap Yutaka, dengan rasa terimakasih yang tulus pada Elang. "Pak Yutaka. Sungguh hati saya sudah senang, melihat 'kemelut' di keluarga Bapak sudah berlalu. Melihat keluarga Bapak bisa tenang dan bahagi