Splash..! Sukma Elang kini berdiri berhadapan dengan sukma Ki Pragola, di tengah-tengah halaman rumah Wahyu. Wahyu, Rustam, dan Bernard hanya bisa melihat tubuh Elang yang sedang bersila, di halaman seolah tak bernafas. Hati mereka merasa sangat cemas terhadap Elang. Namun mereka tak mau gegabah bertindak dan kesalahan tangan. “Kau benar-benar cari mati pemuda keparat..!” teriak sukma Ki Pragola murka. “Mati nggak usah dicari juga datang sendiri Pak Tua,” sahut sukma Elang kalem. Karuan sukma Ki Pragola tambah meledak, mendengar ucapan Elang yang dianggapnya meremehkan dirinya. “Keparat kau pemuda bau kunyit..! Sebentar lagi sukmamu akan terkoyak dengan aji macan silumanku ini..!” Ki Pragola berseru murka, sambil menerapkan aji macan siluman yang dimilikinya. Sukmanya tiba-tiba berubah menjadi macan hitam yang besar, dengan cakar dan gigi taring yang panjangnya melebihi leak Bali. Elang diam-diam menerapkan aji Lindu Sukma tingkat ke 4, dari 7 tingkatan pamungkas ilmu itu. S
“Baiklah Elang. Bapak tak bisa memaksamu. Biarlah nanti bapak, yang akan coba mengurusnya untuk kamu. O iya Elang, nama panti asuhan kamu apa namanya..? Bapak mungkin akan pergi ke sana, dan bicara dengan pengelola panti asuhan tersebut,” tanya pak Bernard. “Panti asuhan ‘Harapan Bangsa’ namanya Pak Bernard, dan nama pengelolanya adalah Bu Nunik,” sahut Elang. Bernard mencatat baik-baik nama panti asuhan dan juga nama pengelolanya itu, dalam memo ponselnya. “O iya Elang. Dalam prosesnya nanti, mungkin bapak memerlukan nomor KTP dan juga nomor rekening bank kamu. Bisakah kau memberikannya pada bapak..?” tanya pak Bernard, dalam hatinya dia merencanakan sesuatu. “Bisa Pak Bernard,” sahut Elang, lalu ia menyebutkan data yang diminta oleh pak Bernard. Bernard pun lalu kembali mencatat data yang di sebutkan oleh Elang itu.Karena malam sudah terlalu larut, akhirnya Bernard memutuskan untuk pulang dan beristirahat di rumahnya. Sementara Elang tetap di rumah pak Wahyu, dan memilih ke
“Asyik..! Terimakasih Mas Elang. Mas tunggu di sini ya. Biar Frisca ambil mobil dulu,” ucap Frisca riang. Mobil yaris berwarna merah meluncur keluar dari garasi, dan langsung menjemput Elang yang menunggu di posko satpam. Mereka pun langsung meluncur menuju ke daerah Petogogan, yang masih berada di wilayah Jakarta Selatan. Tak sampai 30 menit kemudian. Mobil Frisca masuk ke halaman parkir sebuah cafe, bernama ‘Kopi Kalyan’ di jalan Cikajang. Suasana cafe tak begitu ramai, saat Frisca dan Elang masuk ke dalamnya. Mereka mengambil meja yang berada di sudut ruang. Elang memesan kopi kalyan rasa pisang, sedangkan Frisca memesan Cafe latte, roti bakar, dan spaghetti carbonara, untuk mereka berdua. “Mas Elang. Apakah menurut Mas Elang hubungan Frisca dan Aldi bisa di teruskan..? Sejak semalam, Aldi terus menghubungi dan menchat Frisca. Dia merasa sangat menyesal dan meminta maaf pada Frisca,” tanya Frisca memulai percakapan. “Frisca, pertanyaanmu sudah masuk dalam ranah yang paling
'Hmm. Istriku ini memang wanita yang rajin di dapur, senang sekali dia memasak. Sungguh beruntung aku mendapatkannya’, bathin Wahyu bersyukur, sambil memandangi sosok istrinya. Ratna merasa ada yang memperhatikannya, maka ia pun menoleh ke arah suaminya, yang sedang menatap kagum padanya itu, “Aih, Ayah bikin kaget saja, tahu-tahu sudah di pintu dapur,” ucap bu Ratna. “Aroma masakanmu yang membuat ayah terbang kesini Bu,” puji pak Wahyu sambil tersenyum. “Selesai. Silahkan Ayah menunggu di meja makan. Sebentar lagi masakkan akan di hidangkan,” ucap sang istri, yang merasa puas masakannya telah matang sempurna. “Iya sayank,” ucap Wahyu sambil mengecup kening istrinya, sebagai tanda terimakasih. Tinn ! Tiinn ! Suara klakson mobil Frisca terdengar di depan teras rumah. Elang turun dari mobil tersebut, dan Frisca langsung memasukkan mobilnya ke garasi. Frisca segera turun menyusul Elang, yang sudah berada di teras rumah. Frisca langsung mengajak Elang masuk ke rumahnya, “Assalam
“Semua sikapmu sangat baik Elang, bahkan sikap kamilah yang mungkin kurang berkenan di hatimu. Untuk itu kami mohon maaf,” ucap pak Wahyu. “Mas Elang, jangan sungkan untuk mampir ke sini lagi ya. Rumah ini adalah rumahmu juga Mas,” ucap Frisca serak. Ya, Frisca sangat sedih melihat Elang akan pergi dari kehidupannya. Karena jasa dan budi baik Elang, sangat besar bagi diri dan keluarganya. “Elang, biar nanti bapak urus semuanya. Kalau sudah beres nanti akan bapak kabari kamu,” ucap pak Bernard pelan, sambil memeluk sosok Elang. “Elang. Nanti kabari keberadaanmu seminggu dari sekarang ya. Biar bapak paketkan ke alamatmu berada, soal plat motor dan STNK mu,” ucap pak Wahyu, mengingatkan Elang. “Elang, bila sudah ketemu pacar bilang-bilang ibu ya. Hihihi..!” ucap bu Ratna sambil tertawa kecil menggoda Elang. “Terimakasih semuanya. Kalian semua adalah orang-orang yang baik. Elang mohon pamit, Assalamualaikum,” pamit Elang mengucap salam. “Wa’alaikumsalam... Elang, hati-hati di jalan
Bruaghh !! "Sekarang sebaiknya kamu pergi dari rumah ini Sekar..! Aku tak mau calon anakku menjadi cacad di dalam kandungan, akibat ulah-ulahmu..!” bentak Marini. Ya, Marini datang dan melemparkan pakaian Sekar, beserta sebuah tas besar. Untuk wadah barang-barang Sekar. “Kang Barja..?!” seru Sekar, sambil menatap suaminya memohon pembelaan. Alih-alih mendapat pembelaan dari suaminya, malah...“Benar Marini sayang. Memang lebih baik perempuan ini pulang saja ke rumahnya. Dan mengurus ibunya yang sakit-sakitan itu !” ujar Barja membenarkan prilaku Marini. Hal yang sangat terasa pedas dan menyakitkan sekali di hati Sekar. “Cepat kemasi barang-barangmu Sekar..! Aku sudah muak dikerjai olehmu..! Calon anakku bisa mati sebelum dilahirkan karenamu..!” bentak Marini, yang kata-katanya tentu saja membuat Barja juga cemas, akan nasib kandungan istri mudanya itu. Sungguh licin dan keji memang, wanita bernama Marini ini. “Tunggu apalagi Sekar..?! Cepat keluarr..!” bentak keras Barja. “
“Sstt. Tenanglah Mbak Sekar. Kasihan Ibu kalau Mbak tinggalkan begitu saja. Mbak tega melihat Ibu sakit sendirian, dan tak ada yang mengurusnya,” ucap Elang, berusaha menenangkan Sekar yang terus meronta. Akhirnya rontaan Sekar melemah, mendengar ucapan Elang yang mengingatkannya akan kondisi ibunya. Tinggallah kini isak tangis Sekar, yang terdengar memilukan di tengah hujan deras. Sungguh hal yang membuat Elang ikut kasihan melihatnya. Akhirnya tak lama kemudian hujan pun reda.“Sebaiknya kita ke rumah Ibu Mbak dulu sekarang. Pakaian Mbak Sekar basah, nanti bisa masuk angin lho,” ucap Elang. Lalu Elang bergegas mengambil tas yang di bawa Sekar tadi. Tas itu masih tergeletak begitu saja, di pinggir jembatan gantung. “Ayolah Mbak, mumpung hujan sudah reda,” ucap Elang.Perlahan Sekar bangkit dan mengikuti Elang menuju ke motornya, yang terparkir di sisi saung itu. “Tolong beri tahu arah ke rumah Ibu Mbak Sekar ya,” ucap Elang. “Iya Kang,” sahut Sekar pelan, menandakan Sekar kin
“Baiklah, tapi saya tunggu hujan reda saja dulu ya Mbak Sekar,” ucap Elang, sambil menuju ruang tamu dan duduk di sana. Elang berpikir, apakah dia harus membantu masalah yang di hadapi Sekar..? Atau dia tinggalkan saja tempat ini, dan melanjutkan perjalanannya kembali. Namun hati kecil Elang seolah berat, untuk meninggalkan Sekar sendirian, dalam menghadapi masalah yang dihadapinya. Sekitar sejam kemudian. Sekar keluar dari kamar sang Ibu dan menghampiri Elang, yang nampak masih termenung di ruang tamu sendirian. Hujan di luar masih saja terdengar deras mengguyur bumi. “Kang Elang,” panggil Sekar, sambil duduk di kursi yang berhadapan dengan Elang. “Ehh, ya Mbak Sekar,” sahut Elang tersentak dari lamunannya. “Sekar mau tanya sesuatu pada Kang Elang. Boleh kan..?” ucap Sekar. “Silahkan Mbak Sekar,” sahut Elang. “Darimana Kang Elang tahu nama Sekar tadi, saat kita pertama bertemu..?” tanya Sekar. Elang terdiam sejenak, dia merasa agak bingung menjawab pertanyaan Sekar, “Entah
"Sebatas itu pun sudah sangat berarti bagi kami Elang. Semoga kemudahan dan keselamatan selalu menaungi perjalananmu Elang,” Brian menimpali dengan do’anya bagi Elang. “Aamiin, makasih Pak Brian," ucap Elang, seraya meraih ponselnya. Dia pun memanggil sebuah nama dalam kontaknya. Tuttt...Tuttt...! Klik.! "Halo Elang. Sudah sampai mana sekarang..?” tanya suara di sana. “Siang Pak Bambang. Saya tertahan di Surakarta Pak. Ada seorang kenalan baru disini yang terkena masalah Pak Bambang,” sahut Elang. “Wahh, masih di Surakarta rupanya. Masalah apa Elang? Siapa tahu bapak bisa membantu.” “Ini Pak Bambang. Teman baru Elang mengalami masalah, uang perusahaannya di bawa kabur orang kepercayaannya. Namun keberadaan orang yang membawa kabur uang perusahaan itu, sudah Elang ketahui alamatnya Pak Bambang.” “Bagus itu Elang. Apakah perlu bapak hubungi rekanan bapak di kepolisian, untuk mengurus orang itu Elang?” ‘Tepat seperti yang kuharapkan’, bisik hati Elang. “Kalau tidak keberatan P
‘Hmm. Benar-benar ‘ular’ si Doni ini!’ maki murka bathin Elang. Splash..! Sukma Elang segera melesat kembali ke rumah Brian. Dia melihat raganya masih duduk tenang di sofa. Segera sukma Elang menata kembali dalam raganya. Slaphs..! Beberapa saat kemudian, nampak dada Elang mulai bergerak normal. Perlahan kedua matanya kembali terbuka. “Pak Brian. Semoga Bapak tak terkejut, mendengar kabar yang akan saya sampaikan tentang Doni,” ujar Elang, dengan wajah agak geram. “Kabarkan saja Elang. Bapak tak heran, jika dia berbuat hal-hal yang memuakkan,” Brian berkata dengan rasa penasaran. “Saat ini dia sudah mengganti identitasnya dan juga semua anggota keluarganya. Doni mengubah nama menjadi Dani. Akun rekening banknya juga sudah di tutup, dan dia membuat akun rekening baru. Dia sekarang tinggal di sebuah rumah mewah di wilayah Guci-Tegal, Pak Brian,” urai Elang berhenti sejenak, untuk melihat reaksi Brian. “Ahh..! B-benarkah itu Elang..?! Pantas saja pihak kepolisian hingga kini b
"Begitulah hal yang sebenarnya terjadi Elang,” Brian menutup kisahnya. Brian tak merasa perlu menceritakan nasib istrinya, yang dipaksa melayani Kamal. Karena hanya akan membuat aib pribadi keluarganya di hadapan Elang. Namun Elang yang menerapkan aji ‘wisik sukma’ nya selama mendengarkan keterangan Brian. Dia dapat menangkap siratan bathin Brian soal istrinya itu. Elang pun hanya tersenyum maklum, bathinnya membenarkan semua keterangan Brian adalah benar, dan tak di buat-buat. Karenanya Elang pun berniat membantu Brian dan keluarganya, yang pada dasarnya adalah orang-orang yang baik dan jujur. “Baik Pak Brian, apakah saya di ijinkan masuk dalam masalah Bapak? Saya bermaksud membantu sekedar yang saya bisa Pak Brian,” Elang berkata dengan senyum tenang. “Tentu saja boleh Elang, saya sangat berterimakasih atas kesediaanmu membantu masalah kami. Namun saya berharap itu tidak menyusahkanmu Elang,” Brian berkata dengan rasa haru. ‘Baru saja kita saling kenal, namun kau sudah ingin
“Mas tunggu..! Baiklah, saya akan menceritakan masalah saya pada Mas. Tapi Mas tak harus membantu saya,” Ayu akhirnya memutuskan, untuk menceritakan saja masalah keluarganya pada pemuda itu. Ya, Ayu bisa menilai Elang cukup bisa di percaya, kendati namanya saja dia belum kenal. “Kenalkan nama saya Elang,” Elang mengulurkan tangannya, sambil tersenyum pada Ayu. “Ayu,” sambut Ayu, wajahnya masih terlihat sedih dan bingung. “Begini Mas Elang. Ayahku kedatangan tamu yang menagih hutang 2 hari yang lalu. Dan kini penagih itu datang lagi ke rumah. Saat Ayu pulang kuliah tadi, Ayah sudah di ikat dan pintu rumah dalam keadaan terkunci. Dua orang di antara mereka memegang senjata api Mas Elang, Ayu takut dan berlari menjauh dari rumah. Entah bagaimana nasib Ayah dan Ibu Ayu sekarang. Tsk, tskk..!” Ayu kembali terisak, setelah menceritakan masalah yang menimpa keluarganya. Elang mendengarkan dengan seksama cerita Ayu, dan memutuskan mengantar Ayu pulang ke rumahnya saat itu. Dia takut
"Gadis kancil.! Entah bersembunyi di mana dia’, bathinnya bingung. Mereka berdua pun akhirnya kembali ke rumah Brian dengan tangan hampa. “Bagaimana..?! Kenapa gadis itu tak bersamamu..?!" Plakk..! Plakh..! Tamparan Kamal mendarat di pipi kedua pengawalnya itu. “Dia menghilang bos. Saya tak berhasil mengejarnya,” sahut salah satu pengawalnya, sambil mengusap pipinya yang terasa pedih akibat tamparan Kamal. “Bodoh..!...Harusnya aku bisa membawanya ke rumahku, untuk bersenang-senang dengannya malam ini..!" maki Kamal, menyesali kebodohan pengawalnya itu. “Dengar Brian..! Aku cukup puas dengan layanan istrimu. Aku anggap kekurangan satu angsuran sudah tertutup hari ini..!” Kamal berseru, seraya membawa uang yang tadi diserahkan Brian padanya.“Namun ingat Brian, 5 hari lagi adalah jatuh tempo pembayaran bulan ini. Jika kau masih gagal bayar, maka putrimu harus bersedia menjadi istri ke tiga ku.! Dan rumahmu ini akan jadi milikku..!" ancam Kamal. Nama Kamal memang terkenal sebagai
“Ahks..” lenguh kegelian Meta mulai terdengar. Ini hal yang menggembirakan bagi Kamal. Langsung saja dia menarik lepas bra krem milik Meta dengan lembut, ‘Ahh! Kenapa bajingan tua ini lembut sekali permainannya? Aku takkan tergoda!’ bathin Meta, memaki perlakuan lembut Kamal pada tubuhnya. Kamal mulai mencucupi kedua ‘puncak’ buah kembar Meta bergantian, dengan hisapan lembut dan sapuan-sapuan lidahnya di sana. Sementara tangan kanan Kamal mulai bergerilya, ke arah pusat lembah di pangkal paha Meta. Tangan Kamal lincah menyusup ke dalam celana dalam Meta. Jari Kamal pun mulai beraksi, menelusuri lembut di sekitar ‘belahan surga' milik Meta. Sekuat-kuat pertahanan wanita ‘dipastikan’ akan jebol..! Jika dirinya dijelajahi dan dimainkan dengan lembut dan penuh perasaan. Hal yang kini sedang dilakoni oleh Kamal, ‘si tuyul beruban’ itu. Secara perlahan, tubuh Meta memberikan reaksi yang berlawanan dengan nalarnya. Karena nalarnya memaki, namun tubuhnya menghendaki..! Inilah miste
‘Degghh!’ Jantung Brian sontak berdetak kencang. Karena uang yang dikumpulkannya masih kurang separuh, dari angsuran yang harus di bayarnya. Bergegas Brian menuju kamarnya, dan mengambil sejumlah uang yang masih kurang itu, untuk membayar tagihan Kamal. Dia pun melangkah menuju ke ruang tamu, dan menemui Kamal. Nampak saat itu Kamal sudah duduk angker di sana, dengan dikawal oleh 2 penjaga di belakangnya. “Bagaimana Pak Brian, sudah kamu siapkan uang angsurannya?” Kamal bertanya serius. Sesungguhnya dia tak berharap Brian bisa membayar angsurannya. Karena dia mengharapkan ‘sesuatu’ yang lain, sebagai kompensasinya. Dia sudah menenggak satu setengah sloki ‘madu lanang’ sebelum berangkat ke rumah Brian ini. Sungguh ‘niat’ buaya bangkotan berusia 55 tahun ini. “Mohon maaf sebelumnya Pak Kamal. Saya baru bisa membayar separuh dulu, dari angsuran hari ini. Sisanya akan saya bayarkan dua hari lagi Pak,” Brian berkata sambil menyerahkan uang sebesar 1,25 miliar rupiah dalam koper, ya
Tatapan mata Kamal pun sontak “berubah ‘hijau’. Saat dia melihat wajah cantik, serta tubuh ramping padat milik Ayu. Ayu yang saat itu kebetulan menggunakan kaos lengan panjang krem muda ketat, serta celana legging sebatas betis, cukup membuat mata Kamal nanar. Ayu, gadis berusia 19 tahun lebih, dan memasuki semester 4 kuliahnya di UNS. Gadis itu memang terhitung sebagai salah satu ‘primadona’ di kampusnya. Maka tak heran jika mata Kamal menjadi berminyak dan liar, menyusuri lekuk tubuh putri Brian ini. “Siapa namamu cah ayu?” tanya Kamal menyeringai. Nampak mata liarnya bergantian melirik ke arah bokong padat, dan buah kembar mencuat di tubuh Ayu. “Saya Ayu, Pak,” Ayu menyahut singkat. Ya, hati Ayu merasa muak bukan main, melihat pandangan ‘liar’ dari tamu ayahnya itu. Bahkan tamu itu terlihat lebih tua dari ayahnya sendiri. “Hmm. Cah ayu yang Ayu,” gumam Kamal, dengan mata menyeringai penuh hasrat. Ayu bergegas kembali ke belakang. Dia enggan menanggapi gumaman tamu ayahnya
“Wahh! cincin ini bagus sekali Mas Elang. Nadya suka sekali Mas,” seru Nadya dengan mata berbinar gembira. Ya, Nadya merasa bahagia sekali, menerima pemberian teromantis dari seorang pria, sebuah cincin! Elang memandang tercengang ke wajah Nadya, yang auranya kini nampak hijau ke emasan bagai seorang ratu. ‘Jelita sekali kau Nadya, rupanya kharisma cincin Mustika Nagandini itu memang berjodoh denganmu’, bathin Elang. Nagandini adalah nama Ratu dari sekalian ratu para naga di tanah Jawa berabad lampau. “Kamu cantik sekali Nadya. Jaga dirimu baik-baik ya," Elang berkata sambil meremas lembut tangan Nadya. “Terimakasih Mas Elang. Mmfh,” tak disangka oleh Elang, Nadya mengucap terimakasih sambil berjinjit mencium pipinya. Lalu langsung beranjak menuju kamar ibunya. Elang meneruskan langkahnya ke teras rumah. Dilihatnya Bambang sudah duduk di sana seolah menunggunya. “Sudah mau berangkat Elang?” tanya Bambang tersenyum. “Iya Pak, saya hendak menuju ke arah Surabaya Pak Bambang,” s