Share

22. Ruangan Penggemar

Author: Rednis
last update Last Updated: 2024-02-06 23:45:42

Aku sudah mendengar semua kronologi dari Marvin selama aku tak sadarkan diri di kampus setelah mendengar kabar kematian anak tengahku, Nathan. Setelah mendengarnya, aku justru tidak bisa tidur. Aku keluar dari kamarku dengan sebuah kunci di kantung pakaian tidur dan jaket tebal yang sedang aku kenakan.

“Kamu mau ke mana? Besok kamu harus berangkat pagi ke kampus karena ada kelas Miss Yuli.”

Aku tidak menggubris arwah itu dan tetap melangkahkan kaki menuruni tangga dengan langkah cukup cepat. Marvin hanya mengikutiku, dia tidak berkomentar apa-apa dan melihat saja ke mana aku menuju.

Dari lantai empat ke lantai satu, aku tidak melihat pelayan sama sekali yang berlalu-lalang di rumah mewah ini. Besar kemungkinan mereka sudah terlelap di kamar khusus pelayan, atau kembali ke rumah masing-masing di saat pekerjaan mereka telah diselesaikan.

“Tunjukkan padaku ruang kerja Papamu.” Akhirnya aku buka suara ketika kami ada di lantai dasar. “Sampai sekarang aku tidak tahu siapa nama papamu.”

“Oh
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   23. Koran Petunjuk

    “Jangan panik, Jovian! Jangan panik! Kita pasti bisa keluar dari sini! Aku akan cari caranya!” Aku melihat wujud transparan Marvin yang memancarkan aura biru gelap, melayang ke sana dan ke mari dalam ruangan dan menembus berbagai wujud padat yang berada di sekitarnya. Dengan tatapan datar, aku balas, “Aku tidak panik. Kau yang panik, Marvin.” “Bagaimana kau tidak panik saat terkunci di ruangan kedap suara seperti ini?!” Dia berhenti dan berteriak demikian padaku. “Karena ada kau di sini.” “Maksudmu?” “Kau ‘kan bisa menembus pintu itu dan—“ “Memberi tahu Bi Eva kalau kau terjebak di ruangan ini? Tidak bisa! Sampai sekarang aku tidak tahu caranya berinteraksi dengan benda hidup beda dimensi ini untuk memberi kode pada Bi Eva. Dia juga tidak punya indra ke-6 seperti Simon dan ... Mariana ... hmm...” Dia terdiam. Tanda tanya seolah muncul di atas kepalanya. Aku melipat tangan dan tersenyum miring ketika melihatnya sedang mengusap dagu dengan pandangan ke lantai. “Tidak apa. Kau masi

    Last Updated : 2024-02-09
  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   24. Terjebak Masa Lalu

    Victor Albert Ray, aku akui dia berhasil membuat ketiga anakku menjadi seseorang yang sukses di bidang minat dan bakatnya masing-masing. Aku tahu itu setelah menemukan sebuah majalah yang terselip di tumpukan dokumen dalam laci meja. Majalah tersebut menjadikan wajah Victor sebagai sampul utama majalah di edisi tertentu tahun 1997—majalah terakhir yang menceritakan tentang Victor di usianya yang sudah menginjak 62 tahun dan berhasil menjadikan tiga keponakannya orang yang sukses. Bahkan masa tua dia juga memiliki karismanya tersendiri. Rambut yang tetap terawat meski sudah memunculkan uban yang hampir memenuhi rambut cokelatnya. Kerutan di ujung mata dan mulut juga tidak terlalu terlihat ketika tersenyum. Rupanya itu tampak seperti pria 10 tahun lebih muda dari umur seharunya. Di majalah yang lebih lama ketika Victor tampak lebih muda, rambut cokelat gelap lurus sering disisir rapi ke belakang dan iris mata hitam mengikuti ayahku. Sorot mata lembut penuh kehangatan dan senyum tulus y

    Last Updated : 2024-02-10
  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   25. Pintu Rahasia

    “Ugh, aku lapar sekali.”Perutku seperti mengeluarkan gonggongan anjing yang menuntut makanan. Aku juga mulai merasakan sakit di sekitar perut. Apa mungkin asam lambungku naik? Ah, tidak. Aku tidak yakin pernah memiliki penyakit itu. Mungkin saja penyakit itu muncul dari tubuh Marvin? Ah, sepertinya tidak juga. Sekarang, tubuh ini milikku. Sudah seharusnya mengikuti kondisi semasa aku hidup dahulu. Seperti mengenakan kacamata ini misalnya.Tidak ingin berpikir terlalu berat, aku segera mengikat tali plastik yang aku temukan ini mengitari perut. Meski masih terasa lapar, setidaknya suara gemuruh itu tidak sering terdengar lagi.“Tadi Marvin bilang, papanya suka semua ceritaku. Dia juga punya beberapa ruang rahasia di rumah ini. Cerita-cerita awal J.T Ray mengenai detektif. Aku yakin pasti ada beberapa trik yang Philip gunakan di kehidupan sehari-harinya. Seperti ...” Aku bergumam sambil meradarkan mataku mengelilingi ruangan itu terutama di sekitar rak-rak buku. “Menjadikan buku sebuah

    Last Updated : 2024-02-12
  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   26. Respons Marvin

    Ada konflik batin dalam diri Marvin ketika dia mendengar semua pikiran Jovian.Mungkin ada sekitar ratusan buku hanya di satu ruangan ini. Apakah aku akan mencoba satu per satu buku itu? Tentu tidak. Begitu pikirku.Aku tidak mungkin mencoba satu per satu yang pasti memakan waktu sampai pagi. Masih mending jika dugaanku itu benar, kalau tidak? Aku merutuki pemikiran sok tahuku yang sederhana itu.Tetapi setidaknya aku mencoba beberapa buku saja yang tampak mencurigakan atau yang posisinya terlihat berbeda dari barisan buku lainnya. Aku menarik beberapa buku bersampul tebal, bersampul tipis, hingga buku kecil yang terselip di antara buku-buku lainnya. Tidak ada yang berpengaruh.Marvin ingin sekali kembali ke tempat Jovian berada. Ingin sekali membantunya menemukan pintu rahasia yang dimaksud. Namun, ia sudah melewati gerbang luar wastu keluarga Alexander. Baru beberapa menit ia melayang, ia sudah mendengar berbagai pikiran Jovian.“Ayolah Jovian, jangan terlalu banyak berpikir. Kau is

    Last Updated : 2024-02-13
  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   27. Bantuan dari Pendahulu

    “Marvin? Apa yang kau lakukan selarut ini di rumah Mariana?”Sosok transparan yang memiliki surai kelabu panjang hingga sebetis dan mata sebelah kirinya ditutup oleh sebagian rambutnya, menyisakan mata kanannya yang hanya diisi oleh bola mata putih tanpa pupil dan iris. Ia tidak menampakkan kaki, hanya pakaian putih panjang terjuntai. Ia muncul tepat di hadapan Marvin yang baru saja menembus pintu rumah depan.Seorang arwah wanita dari era 17-an bernama Rebeca Reynes, yang katanya membuat kutukan atau sumpah untuk dirinya sendiri agar bisa menjaga keturunan pertamanya hingga berhenti saat garis keturunannya selesai. Mariana adalah keturunan terakhirnya. Jika dia meninggal sebelum sempat menghasilkan keturunan, maka tugasnya telah selesai. Setidaknya itu yang Marvin tahu sekilas mengenai Rebeca yang katanya mati dibunuh karena dituduh sebagai penyihir oleh penduduk desanya ketika itu.“Hai, Rebeca. Maaf mengganggu waktumu. Aku ke sini untuk minta bantuan.”“Bantuan apa?”“Jovian dikunc

    Last Updated : 2024-02-17
  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   28. Kemampuan Terpendam

    “Bagaimana? Apa kamu sudah bicara dengan Jovian untuk mengusut kematianmu?”Mariana bertanya setelah ia mendapatkan lampu hijau dari sepupunya agar mereka berdua nanti pagi akan ke rumah Marvin.“Aku rencananya ingin mendiskusikan itu pagi ini.” Marvin berpindah posisi ke hadapan Mariana yang sedang duduk di sofa panjang. “Tetapi dia tidak bisa tidur dan isi pikirannya tentang Nathan terus. Nathan itu anak tengahnya yang meninggal. Katanya dia ingin mencari petunjuk lainnya tentang Ethan, Nathan, Ryan.”“Hmm... Begitu ya.” Mariana menangguk paham.“Perihal tentangku dibahas nanti saja. Aku tidak punya kendali atas tubuhku lagi. Jika Jovian sudah kelar dengan prioritasnya, aku baru minta bantuannya untuk mencari kebenaran tentangku,” ucap Marvin penuh keyakinan.Mariana sedikit memiringkan kepala. “Apa tidak apa-apa bagimu?”“Maksud kamu?” tanyaku balik.“Kamu sudah mati pun masih memprioritaskan orang lain. Apa itu tidak apa-apa? Apakah kamu tidak merasa sedikit berat di jiwamu saat k

    Last Updated : 2024-02-18
  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   29. Keinginan Tertunda

    Keberhasilan beberapa detik saja tidak membuat Marvin semakin berkembang lebih baik untuk bisa memusatkan pikirannya pada hal yang sederhana. Yaitu menangkap sebuah buku kecil yang dijatuhkan beberapa senti dari tangan Rebeca. Ia bahkan kesulitan kembali untuk menggunakan telekinesisnya. Pegang buku saja tidak bisa, apalagi menggerakkan barang tanpa disentuh.Alasan pikiran Marvin jadi terpecah karena ia baru terpikirkan tentang Jovian. Ia sama sekali tidak mendengar isi pikiran Jovian.Kapan terakhir aku tidak mendengarnya? Pikir Marvin. Oh, ya. Saat aku baru tiba di rumah Mariana dan bertemu Rebeca. Aku tidak ingat lagi ... Atau mungkin tidak dengar? Karena pikiranku beralih ke Rebeca dan Mariana? Entahlah.Marvin sedikit mempercepat laju layangnya di jalan yang lengang. Di perempatan depan, belok kiri ke arah jalan menuju rumah Simon. Sedangkan belok kanan, ke arah jalan pulang. Ada keinginan ke rumah Simon untuk sekedar bertemu atau mencura

    Last Updated : 2024-02-19
  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   30. Memahami Perasaan

    Aku dapat simpulkan bahwa Marvin sudah melakukan perannya dengan sangat baik dan semasa hidupnya dia memiliki kemampuan telekinesis yang dia sadari ada dalam dirinya. Aku mengira diriku bisa menggerakkan benda tanpa disentuh pula, nyatanya tidak sama sekali. Kemampuan itu seperti melekat pada jiwa pemiliknya, terus mengalir hingga pemiliknya tak memiliki tubuh lagi.“Rebeca benar-benar seperti saksi sejarah. Dia pasti melewati banyak masa selama 200 tahun itu,” komentarku.“Rebeca juga pernah bilang,” lanjut Marvin, “Arwah yang ada di acara paranormal di TV atau penampakan-penampakan di tempat angker itu bisa hilang jika keinginan terdalam yang tak kesampaian selama hidup, bisa diraih.”Aku menatap bingung. “Keinginan terdalam? Bagaimana kita bisa tahu keinginan terdalam mereka?”“Bertanya langsung ke mereka atau mencari petunjuk jika mereka kesulitan berkomunikasi.” Marvin menunjukkan jari telunjuk. “Aku kasih satu contoh. Misalnya ada mati karena dibunuh. Dia bergentayangan dalam wu

    Last Updated : 2024-02-21

Latest chapter

  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   59. Kepergian Mendadak

    Alat navigasi mengarahkanku pada sebuah rumah bercat kuning terang dan berlantai satu. Di depan rumah, terdapat area berumput yang rapi dan terawat dengan baik. Beberapa tanaman hias berwarna-warni diletakkan di sekitar area ini, menambah keindahan dan keceriaan taman. Sebuah jalur setapak kecil yang tersusun dari batu mengarah menuju pintu masuk utama rumah yang diapit oleh dua jendela. Di sekitar pintu masuk, terdapat beberapa pot tanaman yang dipajang dengan apik, memberikan kesan ramah dan menyambut bagi tamu yang datang. Cahaya lampu kecil yang terpasang di dinding atau tiang penyangga atap memberikan penerangan yang cukup pada malam hari.Aku mengirim pesan pada Mariana bahwa aku sudah sampai. Tidak berselang lama, aku melihat sosok wanita dengan pakaian tertutup berupa gaun panjang polos berwarna biru gelap keluar dari pintu. Dia juga tidak menunjukkan wajahnya ketika keluar dari rumah. Dia membuka pintu bagasi yang terletak tepat di samping rumah itu. Aku pun melajukan mobil u

  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   58. Satu Opsi yang Terpilih

    “Tuan dan Nyonya Ray.”Aku melangkah ke keluarga kecil itu. Meskipun sebagian diriku berteriak untuk menghampiri Simon dulu, tidak bisa aku mungkiri bahwa keinginan terbesarku dalam menemui Ethan jauh lebih besar mengambil alih tubuhku.“Iya?” Ethan menoleh padaku. Seketika aku terpaku dengan manik biru lautnya dan matanya yang tampak begitu mengingatkanku akan mata Lindsey. Juga tahi lalat di dekat mata kiri yang menjadi tanda lahirnya. Ini benar Ethan, anak sulungku.“Oh, ya, sayang. Dia juniormu. Mau mewawancaraiku untuk tugas dia,” ucap Beatrice, yang membantuku tersadar dari lamunan singkat.“Benarkah?” Ethan menyunggingkan senyum. “Siapa namamu? Masuk angkatan tahun berapa?”“Marvin Alexander.” Aku ikut tersenyum, sambil mengingat-ingat tahun berapa Marvin baru masuk kuliah. “Saya angkatan tahun 2022.”“Oh, berarti sudah mau tingkat akhir ya,” kata Ethan dengan senyum sedikit memudar. “Silakan, wawancara istri saya,” lanjutnya sambil menggendong putri kecilnya dari pangkuan ibun

  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   57. Pilihan Sulit

    Sangat sulit bagiku untuk menyembunyikan senyum di wajah ketika mendengar dari mulut wanita ini bahwa suaminya bernama Ethan Ray, juga mengira bahwa aku adalah junior dari jurusan yang sama dengannya. Meskipun sama-sama dari bidang pendidikan, tetapi materi yang kami ajari pastinya berbeda. Kimia dan Keolahragaan, jauh berbeda.“Oh, Ethan Ray? Saya pernah mendengar namanya,” ujarku seolah aku mengenalnya—meski aku memang mengenalnya, tetapi aku tidak tahu sosoknya ketika lulus dari universitas dan memiliki keluarga kecil.“Benarkah? Ah, ternyata ucapannya kalau dia terkenal selama di kampus bukanlah bualan,” kata Beatrice sambil tertawa pelan.Aku coba menanggapinya lagi, dengan sedikit kebohongan, “Ya. Namanya pernah saya baca di majalah dinding. Dia pernah berpartisipasi dalam lomba olahraga nasional, kalau tidak salah?”Beatrice mengangguk. “Iya. Dia pernah mewakili universitas di bidang panahan. Tetapi ya ... dia kalah saing dengan Nova of Arts University. Setidaknya dia dapat jua

  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   56. Cucu dan Menantu

    Sebuah gedung satu lantai bercat putih. Kaca besar terpasang di sepanjang dinding sehingga dapat melihat aktivitas di dalamnya. Sebuah papan reklame bergambar kacamata yang di bawahnya terdapat tulisan ‘The Visionary’. Nama yang bagiku unik untuk sebuah toko kacamata.Ini kali kedua aku berkunjung, sedangkan Simon baru pertama kali, sehingga dia berkomentar, “Oh, toko kacamata biasa. Aku kira kau akan diarahkan ke toko kacamata eksklusif khusus keluarga orang kaya.” Begitu katanya ketika kami bertemu di depan pintu masuk setelah memarkirkan mobil masing-masing.“Ini rekomendasi dari Will,” jawabku sambil mengangkat bahu.Simon sedikit memiringkan kepala, untuk melihat ke mobil sedan hitam terparkir tak jauh di belakangku. “Will tidak ikut?”Aku menggeleng sambil melangkah masuk melewati pintu. “Sepertinya dia masih kesal. Selama di perjalanan tadi, kami diam saja. Dia juga menjawab singkat pertanyaanku. Seperti masih segan untuk mengobrol denganku.”Simon yang berjalan di sampingku cu

  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   55. Rencana B

    Aku mendapat izin untuk menginap di ruangan Philip. Dalam keheningan malam yang terhampar di ruang rawat inap VIP ini, sentuhan musim gugur menyelimuti udara dengan kelembutan yang menenangkan. Cahaya bulan temaram memancar masuk melalui jendela besar, memperlihatkan bayangan lembut yang menari-nari di dinding kamar. Udara dingin musim gugur memeluk setiap sudut ruangan, menciptakan suasana yang cocok untuk merenung atau bersantai.Di pojok ruangan, lampu meja yang redup memancarkan cahaya keemasan, menyoroti kertas-kertas yang tersebar di atas meja kayu yang elegan. Aroma wangi dari lilin aroma terapi bergaung di udara, menciptakan suasana relaksasi yang sempurna. Di sofa panjang yang empuk, aku bergumam sendiri, membiarkan pikiranku melayang-layang ke tempat-tempat yang disebutkan oleh Philip dalam ceritanya. Dengan mata yang terpejam, aku merenungkan betapa jauh perjalanan hidupku telah membawaku, sambil menikmati kedamaian malam yang penuh inspirasi.Sekali lagi aku menjabarkan ru

  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   54. Eksploitasi

    “Habis dari mana, Nak? Kok lama sekali?” Philip langsung bertanya padaku ketika aku baru saja membuka pintu ruangan tempatnya dirawat. Aku menutup pintu dulu sambil berpikir cepat alasan yang tepat dan logis untuk menjawabnya. Jawaban ke toilet tidak mungkin—meski memang itu kenyataannya—karena akan membuatnya semakin heran. Ada toilet di ruangan itu, tetapi aku memilih toilet umum di luar untuk apa? “Bertemu teman.” Hanya itu jawaban yang aku lontarkan ketika aku duduk di kursi sebelah tempat tidurnya. Philip menyunggingkan senyum. “Teman? Siapa? Simon? Avery? Khari? Laura? Oh bukan. Laura ‘kan calon istri masa depanmu.” Dia tertawa pelan di akhir. “Betapa inginnya Papa melihatmu menikahi perempuan idamanmu itu sebelum waktu Papa habis.” Pernyataan tersebut cukup buatku tertawa miris, mengingat aku bukanlah Marvin yang menyimpan rasa pada Laura. Sejujurnya, aku sendiri juga belum tahu akan menikah lagi atau tidak di kehidupan kedua ini. Pasalnya, belum ada yang aku suka—ralat. Ad

  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   53. Perpisahan Sementara

    Aku harus berada di sisi Philip lebih lama. Sekali lagi aku katakan, Philip seperti harta karun segala informasi yang aku butuhkan. Aku hanya perlu mencatat tempat-tempat penting yang akan menjadi petunjuk besar dalam mencari keberadaan keluargaku. Minimal keberadaan Victor, mengingat ayahnya Philip pernah bekerja sama dengan kakakku. Aku sampai memohon-mohon pada Marvin untuk membiarkanku menginap di tempat dirawatnya Philip. Karena aku tidak mungkin bicara dengannya di depan Philip atau orang lain, aku sampai menggunakan toilet umum yang sepi di bangunan yang sama untuk bicara pada Marvin. “Kau bilang kau mau mengikuti semua yang aku perintahkan. Ternyata kau memang sulit diatur.” Marvin tidak menunjukkan tatapan ramahnya lagi, melainkan tatapan tajam dengan alis bertaut ke bawah, sambil meletakkan dua tangan di pinggang. “Maaf, Marvin. Aku mohon untuk hari ini saja aku menginap di ruangan Papamu. Aku ingin mengobrol banyak. Minimal, aku perlu tahu di mana Victor sekarang,” jawab

  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   52. Bertemu Penggemar Berat

    Akhirnya Eva Holland dipecat dari pekerjaannya sebagai pelayan pribadi yang sudah dijalaninya selama bertahun-tahun. Marvin bilang padaku bahwa dia melihat ekspresi terkejut Lucy, Vina, dan Viona ketika aku memeluk Eva. Mereka bertiga—terutama Lucy—tampak menahan atas tindakanku itu.Kalau bukan di hadapan kamera yang terus merekam semua kejadian, sudah pasti dia akan menunjukkan warna aslinya.Saat Eva keluar dari ruangan tersebut, pengambilan gambar untuk hari ini berakhir.Aku melihat Lucy mengajak Eric keluar dari ruangan tersebut. Aku ingin mendengar apa yang mereka perbincangkan, namun akan terlihat mencurigakan jika aku tiba-tiba menimbrung.“Biar aku saja yang mengikuti mereka,” tawar Marvin.Baiklah. Aku mengandalkanmu, balasku dalam pikiran. Lalu, arwah itu menembus pintu dan menghilang seketika dari pandangan. Tinggallah beberapa staf yang sedang membereskan peralatan shooting, dua kakak kembarnya Marvin yang sibuk dengan gawai masing-masing, juga aku dan Philip.Setelah be

  • Sang Legenda dalam Takdir Tuan Muda   51. Drama dalam Drama

    Ruangan VIP ini terbilang luas, sehingga dapat memuat tiga kameramen beserta perangkat-perangkat lainnya yang tidak aku mengerti. Seperti sebuah pengeras suara yang memiliki tongkat panjang dan ada orang yang mengangkatnya. Marvin sendiri juga sepertinya ogah untuk menjelaskanku lebih detail tentang perlengkapan itu.Intinya, ruang VIP yang tampak luas, kini sedikit terlihat sesak oleh kehadiran beberapa staf termasuk Eric beserta perangkat-perangkat pengambilan gambar The Family Fame.Sambil menunggu kehadiran Eva di ruangan ini, aku memperhatikan sekitar dulu. Vina dan Viona membaca naskah—Ya, naskah untuk sebuah acara reality show yang secara logika harus menampilkan realitasnya tanpa naskah. Lucy sibuk merias diri, memastikan bubuhan bedaknya yang tebal itu menutupi keriputnya dan mungkin sekaligus aibnya. Eric memberi arahan pada bawahannya untuk mengambil gambar-gambar yang bagus.Hanya aku yang duduk di samping tempat Philip berbaring. Aku menatapi wajah pria tua itu dengan nan

DMCA.com Protection Status