Keberhasilan beberapa detik saja tidak membuat Marvin semakin berkembang lebih baik untuk bisa memusatkan pikirannya pada hal yang sederhana. Yaitu menangkap sebuah buku kecil yang dijatuhkan beberapa senti dari tangan Rebeca. Ia bahkan kesulitan kembali untuk menggunakan telekinesisnya. Pegang buku saja tidak bisa, apalagi menggerakkan barang tanpa disentuh.Alasan pikiran Marvin jadi terpecah karena ia baru terpikirkan tentang Jovian. Ia sama sekali tidak mendengar isi pikiran Jovian.Kapan terakhir aku tidak mendengarnya? Pikir Marvin. Oh, ya. Saat aku baru tiba di rumah Mariana dan bertemu Rebeca. Aku tidak ingat lagi ... Atau mungkin tidak dengar? Karena pikiranku beralih ke Rebeca dan Mariana? Entahlah.Marvin sedikit mempercepat laju layangnya di jalan yang lengang. Di perempatan depan, belok kiri ke arah jalan menuju rumah Simon. Sedangkan belok kanan, ke arah jalan pulang. Ada keinginan ke rumah Simon untuk sekedar bertemu atau mencura
Aku dapat simpulkan bahwa Marvin sudah melakukan perannya dengan sangat baik dan semasa hidupnya dia memiliki kemampuan telekinesis yang dia sadari ada dalam dirinya. Aku mengira diriku bisa menggerakkan benda tanpa disentuh pula, nyatanya tidak sama sekali. Kemampuan itu seperti melekat pada jiwa pemiliknya, terus mengalir hingga pemiliknya tak memiliki tubuh lagi.“Rebeca benar-benar seperti saksi sejarah. Dia pasti melewati banyak masa selama 200 tahun itu,” komentarku.“Rebeca juga pernah bilang,” lanjut Marvin, “Arwah yang ada di acara paranormal di TV atau penampakan-penampakan di tempat angker itu bisa hilang jika keinginan terdalam yang tak kesampaian selama hidup, bisa diraih.”Aku menatap bingung. “Keinginan terdalam? Bagaimana kita bisa tahu keinginan terdalam mereka?”“Bertanya langsung ke mereka atau mencari petunjuk jika mereka kesulitan berkomunikasi.” Marvin menunjukkan jari telunjuk. “Aku kasih satu contoh. Misalnya ada mati karena dibunuh. Dia bergentayangan dalam wu
“Aku minta maaf.”Ucapan Marvin tiba-tiba ketika aku baru keluar dari ruang rahasia itu, cukup membuatku tertegun. “Minta maaf karena...?”“Aku membuatmu merasa bersalah dan menganggapmu tidak punya empati.” Marvin semakin menundukkan kepala, tak sanggup untuk menatapku sejenak.“Oh. Tidak apa.” Aku menggerakkan dua tanganku. “Jangan minta maaf. Sepertinya aku memang perlu belajar satu dua hal darimu terutama tentang memahami perasaan orang lain. Mungkin sebelumnya kamu sudah baca pikiranku—““Bukan mungkin. Aku memang membaca pikiranmu setiap menit dan detik,” potong Marvin. “Itu sebabnya aku minta maaf. Jika aku berkomentar seperti tadi, itu sama saja aku tidak memahami apa isi pikiranmu. Padahal aku yang bilang untuk memahami orang lain, tetapi aku sendiri tidak memahamimu. Jadi ... tolong jangan berubah menjadi orang lain hanya untuk membuat mereka nyaman.”Lagi-lagi aku dibuat tidak bisa berkata-kata dengan tindakan Marvin. Sikap kedewasaannya yang ditunjukkannya itu mungkin suda
“Kau tidak seharusnya ada di sini! Kau bilang kau mau di luar saja. Memang kau sudah punya izin?!”Bentakan dari Viona memutuskan kontak mataku dengan Mariana.“Mohon maaf. Aku buru-buru ke sini karena kami sudah telat—oh? Apa itu Lucy Alexander? Astaga! Aku penggemar beratmu!” Tepat ketika pandangan matanya mengarah ke Lucy, wajah Mariana berubah menjadi berseri. Begitu pun Lucy. Yang awalnya curiga, bahkan sinis pada Mariana, kini juga memunculkan senyuman di wajahnya. Dia dapat memasang topeng ramah, manis, dan lembut ketika Mariana mengaku dirinya sebagai penggemar beratnya.“Oh, benarkah?” ucap Lucy.“Iya.” Sambil mengeluarkan sebuah buku tulis dan pulpen dari dalam tas selempangnya, dia melanjutkan, “Aku menonton serial telenovelamu dari Teresa, Amores Verdaderos, sampai yang terbaru ini Amar a Muerte. Aku juga suka reality show keluarga Alexander berjudul The Family Fame. Oh, betapa harmonisnya keluarga kalian itu,” ungkap Mariana dengan sedikit melompat-lompat kecil di a
Jangankan mandi, berganti pakaian dari piama menjadi pakaian yang lebih baik seperti kemeja dan celana panjang pun aku tidak sempat. Respons yang diberikan Mariana ketika dia baru keluar dari kamar Philip dan menarik tanganku juga sepupunya keluar dari pintu rumah depan, cukup untuk membuat kami berpikir seolah tempat wastu Alexander sedang tidak aman untuk disinggahinya. Sebelum kami melewati pintu keluar, Simon kembali menarik maskernya menutupi setengah wajah dan mengenakan kacamata hitamnya, juga tudung jaket parka yang menutup rambut putihnya. Begitu pun Mariana yang mengenakan kembali penutup kepala yang panjang hingga menutupi wajahnya. Sempat bertanya-tanya bagaimana caranya gadis itu dapat melihat, sampai Marvin langsung menjawab bahwa kain bagian sekitar mata memiliki bahan tipis dan tembus pandang, sehingga dia dapat melihat. “Aku tahu itu dari Rebeca. Dia menjawab pertanyaanku tentang pertanyaanmu.” Begitu ucap Marvin lagi. Rebeca. Aku tidak bisa melihatnya. Tetapi aku p
Aku memandang pantulan bayangan setengah badanku di cermin toilet dekat tempat parkir mobil Universitas Lexicon. Piama cokelat terang yang dipenuhi oleh gambar bola basket, rambut berantakan, wajah pucat dan masih ada sedikit memar di dekat rahang, sekarang ditambah ada tiga garis biru kemerahan mengitari leher akibat perbuatan Rebeca yang tiba-tiba menyerangku.“Ugh... Benar-benar hari sial.”Aku melepas kacamata dan menyalakan kran air wastafel. Air aku tampung di tangan dulu, sebelum aku basuh ke wajah. Di sekitar memar sudah tidak terasa sakit, namun warna khasnya ini sungguh mengganggu.Marvin, kalau kamu masih mendengarku, aku harap kamu membawakanku syal dan jaket, ucapku dalam hati. Namun, kalau kamu tidak bisa ... Ya... Tidak apa-apa. Setidaknya dengan kalimat terakhir itu membuatku tidak merasa begitu bersalah setelah mendapat label egois dari orang lain.Entah mengapa aku jadi mudah terpikir sebutan dari orang lain padaku. Padahal sebelumnya, aku selalu cuek.Dari pantulan
Sebastian membuka sebuah laporan di sebuah gawai seukuran tablet, namun tampaknya bukan seperti tablet pada umumnya. Bentuknya berkilau dan tembus pandang layaknya dia sedang mengoperasikan sebuah kaca. Jarinya lincah di atas tablet kaca itu, sebelum muncul sebuah sinar dari permukaan tablet dan memunculkan layar yang menampilkan foto ketiga pemuda yang tidak aku sangka memiliki wajah yang sama persis. Selain foto, ada pula tulisan-tulisan lain di bawahnya yang tidak bisa aku lihat dari jarak aku bersembunyi di dalam mobil.Simon bilang, layar yang muncul keluar dari tablet tersebut adalah hologram. “Sebastian Bennet. Dia senior 2 tingkat di atasku di jurusan yang sama denganku. Tablet hologram itu adalah proyek yang sedang dikembangkannya sebagai tugas akhir untuk kelulusannya,” tambah Simon.“Hm ... begitu.” Aku kembali melihat ke balik jendela mobil, sambil berusaha lebih fokus pada mereka bertiga dibanding hal lainnya. Memikirkan rencana, penyelamatan, jalan keluar, serta risiko s
“Aku akan mengarahkanmu. Tendang pisau lipat itu sejauh mungkin saat aba-abaku.” Begitu kata Rebeca, beberapa detik sebelum dia melanjutkan, “Ada satu laki-laki di belakang, berjalan diam-diam mendekatimu. Ada balok kayu di tangannya. Hitungan ke tiga, kau tendang pisau lipat itu, lalu segera menangkis laki-laki itu.” Aku bersiap diri. “Benarkah? Kau akan memberitahuku jika kau berhasil ditangkap?” Dominic tersenyum menantangku, meski posisinya masih terduduk di bawah juluran kepala kunci pas. “Dia ingin mengalihkan perhatianmu. Tetap fokus. Dia akan mengayunkan balok kayu dari arah atas,” ucap Rebeca. Ya, aku harus fokus pada suara Rebeca. “Hitungan ketiga dimulai. Satu ... Dua ... Tiga. Tendang sekarang!” Pisau lipat itu berseluncur di lantai beton dan berhenti di kolong mobil setelah aku tendang sembarang. Tanganku bergerak cepat menangkis ayunan balok kayu dari arah atas. Tugh! Suaranya tidak senyaring antara sesama logam, tapi cukup untuk menimbulkan sedikit gema di lanta
Alat navigasi mengarahkanku pada sebuah rumah bercat kuning terang dan berlantai satu. Di depan rumah, terdapat area berumput yang rapi dan terawat dengan baik. Beberapa tanaman hias berwarna-warni diletakkan di sekitar area ini, menambah keindahan dan keceriaan taman. Sebuah jalur setapak kecil yang tersusun dari batu mengarah menuju pintu masuk utama rumah yang diapit oleh dua jendela. Di sekitar pintu masuk, terdapat beberapa pot tanaman yang dipajang dengan apik, memberikan kesan ramah dan menyambut bagi tamu yang datang. Cahaya lampu kecil yang terpasang di dinding atau tiang penyangga atap memberikan penerangan yang cukup pada malam hari.Aku mengirim pesan pada Mariana bahwa aku sudah sampai. Tidak berselang lama, aku melihat sosok wanita dengan pakaian tertutup berupa gaun panjang polos berwarna biru gelap keluar dari pintu. Dia juga tidak menunjukkan wajahnya ketika keluar dari rumah. Dia membuka pintu bagasi yang terletak tepat di samping rumah itu. Aku pun melajukan mobil u
“Tuan dan Nyonya Ray.”Aku melangkah ke keluarga kecil itu. Meskipun sebagian diriku berteriak untuk menghampiri Simon dulu, tidak bisa aku mungkiri bahwa keinginan terbesarku dalam menemui Ethan jauh lebih besar mengambil alih tubuhku.“Iya?” Ethan menoleh padaku. Seketika aku terpaku dengan manik biru lautnya dan matanya yang tampak begitu mengingatkanku akan mata Lindsey. Juga tahi lalat di dekat mata kiri yang menjadi tanda lahirnya. Ini benar Ethan, anak sulungku.“Oh, ya, sayang. Dia juniormu. Mau mewawancaraiku untuk tugas dia,” ucap Beatrice, yang membantuku tersadar dari lamunan singkat.“Benarkah?” Ethan menyunggingkan senyum. “Siapa namamu? Masuk angkatan tahun berapa?”“Marvin Alexander.” Aku ikut tersenyum, sambil mengingat-ingat tahun berapa Marvin baru masuk kuliah. “Saya angkatan tahun 2022.”“Oh, berarti sudah mau tingkat akhir ya,” kata Ethan dengan senyum sedikit memudar. “Silakan, wawancara istri saya,” lanjutnya sambil menggendong putri kecilnya dari pangkuan ibun
Sangat sulit bagiku untuk menyembunyikan senyum di wajah ketika mendengar dari mulut wanita ini bahwa suaminya bernama Ethan Ray, juga mengira bahwa aku adalah junior dari jurusan yang sama dengannya. Meskipun sama-sama dari bidang pendidikan, tetapi materi yang kami ajari pastinya berbeda. Kimia dan Keolahragaan, jauh berbeda.“Oh, Ethan Ray? Saya pernah mendengar namanya,” ujarku seolah aku mengenalnya—meski aku memang mengenalnya, tetapi aku tidak tahu sosoknya ketika lulus dari universitas dan memiliki keluarga kecil.“Benarkah? Ah, ternyata ucapannya kalau dia terkenal selama di kampus bukanlah bualan,” kata Beatrice sambil tertawa pelan.Aku coba menanggapinya lagi, dengan sedikit kebohongan, “Ya. Namanya pernah saya baca di majalah dinding. Dia pernah berpartisipasi dalam lomba olahraga nasional, kalau tidak salah?”Beatrice mengangguk. “Iya. Dia pernah mewakili universitas di bidang panahan. Tetapi ya ... dia kalah saing dengan Nova of Arts University. Setidaknya dia dapat jua
Sebuah gedung satu lantai bercat putih. Kaca besar terpasang di sepanjang dinding sehingga dapat melihat aktivitas di dalamnya. Sebuah papan reklame bergambar kacamata yang di bawahnya terdapat tulisan ‘The Visionary’. Nama yang bagiku unik untuk sebuah toko kacamata.Ini kali kedua aku berkunjung, sedangkan Simon baru pertama kali, sehingga dia berkomentar, “Oh, toko kacamata biasa. Aku kira kau akan diarahkan ke toko kacamata eksklusif khusus keluarga orang kaya.” Begitu katanya ketika kami bertemu di depan pintu masuk setelah memarkirkan mobil masing-masing.“Ini rekomendasi dari Will,” jawabku sambil mengangkat bahu.Simon sedikit memiringkan kepala, untuk melihat ke mobil sedan hitam terparkir tak jauh di belakangku. “Will tidak ikut?”Aku menggeleng sambil melangkah masuk melewati pintu. “Sepertinya dia masih kesal. Selama di perjalanan tadi, kami diam saja. Dia juga menjawab singkat pertanyaanku. Seperti masih segan untuk mengobrol denganku.”Simon yang berjalan di sampingku cu
Aku mendapat izin untuk menginap di ruangan Philip. Dalam keheningan malam yang terhampar di ruang rawat inap VIP ini, sentuhan musim gugur menyelimuti udara dengan kelembutan yang menenangkan. Cahaya bulan temaram memancar masuk melalui jendela besar, memperlihatkan bayangan lembut yang menari-nari di dinding kamar. Udara dingin musim gugur memeluk setiap sudut ruangan, menciptakan suasana yang cocok untuk merenung atau bersantai.Di pojok ruangan, lampu meja yang redup memancarkan cahaya keemasan, menyoroti kertas-kertas yang tersebar di atas meja kayu yang elegan. Aroma wangi dari lilin aroma terapi bergaung di udara, menciptakan suasana relaksasi yang sempurna. Di sofa panjang yang empuk, aku bergumam sendiri, membiarkan pikiranku melayang-layang ke tempat-tempat yang disebutkan oleh Philip dalam ceritanya. Dengan mata yang terpejam, aku merenungkan betapa jauh perjalanan hidupku telah membawaku, sambil menikmati kedamaian malam yang penuh inspirasi.Sekali lagi aku menjabarkan ru
“Habis dari mana, Nak? Kok lama sekali?” Philip langsung bertanya padaku ketika aku baru saja membuka pintu ruangan tempatnya dirawat. Aku menutup pintu dulu sambil berpikir cepat alasan yang tepat dan logis untuk menjawabnya. Jawaban ke toilet tidak mungkin—meski memang itu kenyataannya—karena akan membuatnya semakin heran. Ada toilet di ruangan itu, tetapi aku memilih toilet umum di luar untuk apa? “Bertemu teman.” Hanya itu jawaban yang aku lontarkan ketika aku duduk di kursi sebelah tempat tidurnya. Philip menyunggingkan senyum. “Teman? Siapa? Simon? Avery? Khari? Laura? Oh bukan. Laura ‘kan calon istri masa depanmu.” Dia tertawa pelan di akhir. “Betapa inginnya Papa melihatmu menikahi perempuan idamanmu itu sebelum waktu Papa habis.” Pernyataan tersebut cukup buatku tertawa miris, mengingat aku bukanlah Marvin yang menyimpan rasa pada Laura. Sejujurnya, aku sendiri juga belum tahu akan menikah lagi atau tidak di kehidupan kedua ini. Pasalnya, belum ada yang aku suka—ralat. Ad
Aku harus berada di sisi Philip lebih lama. Sekali lagi aku katakan, Philip seperti harta karun segala informasi yang aku butuhkan. Aku hanya perlu mencatat tempat-tempat penting yang akan menjadi petunjuk besar dalam mencari keberadaan keluargaku. Minimal keberadaan Victor, mengingat ayahnya Philip pernah bekerja sama dengan kakakku. Aku sampai memohon-mohon pada Marvin untuk membiarkanku menginap di tempat dirawatnya Philip. Karena aku tidak mungkin bicara dengannya di depan Philip atau orang lain, aku sampai menggunakan toilet umum yang sepi di bangunan yang sama untuk bicara pada Marvin. “Kau bilang kau mau mengikuti semua yang aku perintahkan. Ternyata kau memang sulit diatur.” Marvin tidak menunjukkan tatapan ramahnya lagi, melainkan tatapan tajam dengan alis bertaut ke bawah, sambil meletakkan dua tangan di pinggang. “Maaf, Marvin. Aku mohon untuk hari ini saja aku menginap di ruangan Papamu. Aku ingin mengobrol banyak. Minimal, aku perlu tahu di mana Victor sekarang,” jawab
Akhirnya Eva Holland dipecat dari pekerjaannya sebagai pelayan pribadi yang sudah dijalaninya selama bertahun-tahun. Marvin bilang padaku bahwa dia melihat ekspresi terkejut Lucy, Vina, dan Viona ketika aku memeluk Eva. Mereka bertiga—terutama Lucy—tampak menahan atas tindakanku itu.Kalau bukan di hadapan kamera yang terus merekam semua kejadian, sudah pasti dia akan menunjukkan warna aslinya.Saat Eva keluar dari ruangan tersebut, pengambilan gambar untuk hari ini berakhir.Aku melihat Lucy mengajak Eric keluar dari ruangan tersebut. Aku ingin mendengar apa yang mereka perbincangkan, namun akan terlihat mencurigakan jika aku tiba-tiba menimbrung.“Biar aku saja yang mengikuti mereka,” tawar Marvin.Baiklah. Aku mengandalkanmu, balasku dalam pikiran. Lalu, arwah itu menembus pintu dan menghilang seketika dari pandangan. Tinggallah beberapa staf yang sedang membereskan peralatan shooting, dua kakak kembarnya Marvin yang sibuk dengan gawai masing-masing, juga aku dan Philip.Setelah be
Ruangan VIP ini terbilang luas, sehingga dapat memuat tiga kameramen beserta perangkat-perangkat lainnya yang tidak aku mengerti. Seperti sebuah pengeras suara yang memiliki tongkat panjang dan ada orang yang mengangkatnya. Marvin sendiri juga sepertinya ogah untuk menjelaskanku lebih detail tentang perlengkapan itu.Intinya, ruang VIP yang tampak luas, kini sedikit terlihat sesak oleh kehadiran beberapa staf termasuk Eric beserta perangkat-perangkat pengambilan gambar The Family Fame.Sambil menunggu kehadiran Eva di ruangan ini, aku memperhatikan sekitar dulu. Vina dan Viona membaca naskah—Ya, naskah untuk sebuah acara reality show yang secara logika harus menampilkan realitasnya tanpa naskah. Lucy sibuk merias diri, memastikan bubuhan bedaknya yang tebal itu menutupi keriputnya dan mungkin sekaligus aibnya. Eric memberi arahan pada bawahannya untuk mengambil gambar-gambar yang bagus.Hanya aku yang duduk di samping tempat Philip berbaring. Aku menatapi wajah pria tua itu dengan nan