Ada konflik batin dalam diri Marvin ketika dia mendengar semua pikiran Jovian.Mungkin ada sekitar ratusan buku hanya di satu ruangan ini. Apakah aku akan mencoba satu per satu buku itu? Tentu tidak. Begitu pikirku.Aku tidak mungkin mencoba satu per satu yang pasti memakan waktu sampai pagi. Masih mending jika dugaanku itu benar, kalau tidak? Aku merutuki pemikiran sok tahuku yang sederhana itu.Tetapi setidaknya aku mencoba beberapa buku saja yang tampak mencurigakan atau yang posisinya terlihat berbeda dari barisan buku lainnya. Aku menarik beberapa buku bersampul tebal, bersampul tipis, hingga buku kecil yang terselip di antara buku-buku lainnya. Tidak ada yang berpengaruh.Marvin ingin sekali kembali ke tempat Jovian berada. Ingin sekali membantunya menemukan pintu rahasia yang dimaksud. Namun, ia sudah melewati gerbang luar wastu keluarga Alexander. Baru beberapa menit ia melayang, ia sudah mendengar berbagai pikiran Jovian.“Ayolah Jovian, jangan terlalu banyak berpikir. Kau is
“Marvin? Apa yang kau lakukan selarut ini di rumah Mariana?”Sosok transparan yang memiliki surai kelabu panjang hingga sebetis dan mata sebelah kirinya ditutup oleh sebagian rambutnya, menyisakan mata kanannya yang hanya diisi oleh bola mata putih tanpa pupil dan iris. Ia tidak menampakkan kaki, hanya pakaian putih panjang terjuntai. Ia muncul tepat di hadapan Marvin yang baru saja menembus pintu rumah depan.Seorang arwah wanita dari era 17-an bernama Rebeca Reynes, yang katanya membuat kutukan atau sumpah untuk dirinya sendiri agar bisa menjaga keturunan pertamanya hingga berhenti saat garis keturunannya selesai. Mariana adalah keturunan terakhirnya. Jika dia meninggal sebelum sempat menghasilkan keturunan, maka tugasnya telah selesai. Setidaknya itu yang Marvin tahu sekilas mengenai Rebeca yang katanya mati dibunuh karena dituduh sebagai penyihir oleh penduduk desanya ketika itu.“Hai, Rebeca. Maaf mengganggu waktumu. Aku ke sini untuk minta bantuan.”“Bantuan apa?”“Jovian dikunc
“Bagaimana? Apa kamu sudah bicara dengan Jovian untuk mengusut kematianmu?”Mariana bertanya setelah ia mendapatkan lampu hijau dari sepupunya agar mereka berdua nanti pagi akan ke rumah Marvin.“Aku rencananya ingin mendiskusikan itu pagi ini.” Marvin berpindah posisi ke hadapan Mariana yang sedang duduk di sofa panjang. “Tetapi dia tidak bisa tidur dan isi pikirannya tentang Nathan terus. Nathan itu anak tengahnya yang meninggal. Katanya dia ingin mencari petunjuk lainnya tentang Ethan, Nathan, Ryan.”“Hmm... Begitu ya.” Mariana menangguk paham.“Perihal tentangku dibahas nanti saja. Aku tidak punya kendali atas tubuhku lagi. Jika Jovian sudah kelar dengan prioritasnya, aku baru minta bantuannya untuk mencari kebenaran tentangku,” ucap Marvin penuh keyakinan.Mariana sedikit memiringkan kepala. “Apa tidak apa-apa bagimu?”“Maksud kamu?” tanyaku balik.“Kamu sudah mati pun masih memprioritaskan orang lain. Apa itu tidak apa-apa? Apakah kamu tidak merasa sedikit berat di jiwamu saat k
Keberhasilan beberapa detik saja tidak membuat Marvin semakin berkembang lebih baik untuk bisa memusatkan pikirannya pada hal yang sederhana. Yaitu menangkap sebuah buku kecil yang dijatuhkan beberapa senti dari tangan Rebeca. Ia bahkan kesulitan kembali untuk menggunakan telekinesisnya. Pegang buku saja tidak bisa, apalagi menggerakkan barang tanpa disentuh.Alasan pikiran Marvin jadi terpecah karena ia baru terpikirkan tentang Jovian. Ia sama sekali tidak mendengar isi pikiran Jovian.Kapan terakhir aku tidak mendengarnya? Pikir Marvin. Oh, ya. Saat aku baru tiba di rumah Mariana dan bertemu Rebeca. Aku tidak ingat lagi ... Atau mungkin tidak dengar? Karena pikiranku beralih ke Rebeca dan Mariana? Entahlah.Marvin sedikit mempercepat laju layangnya di jalan yang lengang. Di perempatan depan, belok kiri ke arah jalan menuju rumah Simon. Sedangkan belok kanan, ke arah jalan pulang. Ada keinginan ke rumah Simon untuk sekedar bertemu atau mencura
Aku dapat simpulkan bahwa Marvin sudah melakukan perannya dengan sangat baik dan semasa hidupnya dia memiliki kemampuan telekinesis yang dia sadari ada dalam dirinya. Aku mengira diriku bisa menggerakkan benda tanpa disentuh pula, nyatanya tidak sama sekali. Kemampuan itu seperti melekat pada jiwa pemiliknya, terus mengalir hingga pemiliknya tak memiliki tubuh lagi.“Rebeca benar-benar seperti saksi sejarah. Dia pasti melewati banyak masa selama 200 tahun itu,” komentarku.“Rebeca juga pernah bilang,” lanjut Marvin, “Arwah yang ada di acara paranormal di TV atau penampakan-penampakan di tempat angker itu bisa hilang jika keinginan terdalam yang tak kesampaian selama hidup, bisa diraih.”Aku menatap bingung. “Keinginan terdalam? Bagaimana kita bisa tahu keinginan terdalam mereka?”“Bertanya langsung ke mereka atau mencari petunjuk jika mereka kesulitan berkomunikasi.” Marvin menunjukkan jari telunjuk. “Aku kasih satu contoh. Misalnya ada mati karena dibunuh. Dia bergentayangan dalam wu
“Aku minta maaf.”Ucapan Marvin tiba-tiba ketika aku baru keluar dari ruang rahasia itu, cukup membuatku tertegun. “Minta maaf karena...?”“Aku membuatmu merasa bersalah dan menganggapmu tidak punya empati.” Marvin semakin menundukkan kepala, tak sanggup untuk menatapku sejenak.“Oh. Tidak apa.” Aku menggerakkan dua tanganku. “Jangan minta maaf. Sepertinya aku memang perlu belajar satu dua hal darimu terutama tentang memahami perasaan orang lain. Mungkin sebelumnya kamu sudah baca pikiranku—““Bukan mungkin. Aku memang membaca pikiranmu setiap menit dan detik,” potong Marvin. “Itu sebabnya aku minta maaf. Jika aku berkomentar seperti tadi, itu sama saja aku tidak memahami apa isi pikiranmu. Padahal aku yang bilang untuk memahami orang lain, tetapi aku sendiri tidak memahamimu. Jadi ... tolong jangan berubah menjadi orang lain hanya untuk membuat mereka nyaman.”Lagi-lagi aku dibuat tidak bisa berkata-kata dengan tindakan Marvin. Sikap kedewasaannya yang ditunjukkannya itu mungkin suda
“Kau tidak seharusnya ada di sini! Kau bilang kau mau di luar saja. Memang kau sudah punya izin?!”Bentakan dari Viona memutuskan kontak mataku dengan Mariana.“Mohon maaf. Aku buru-buru ke sini karena kami sudah telat—oh? Apa itu Lucy Alexander? Astaga! Aku penggemar beratmu!” Tepat ketika pandangan matanya mengarah ke Lucy, wajah Mariana berubah menjadi berseri. Begitu pun Lucy. Yang awalnya curiga, bahkan sinis pada Mariana, kini juga memunculkan senyuman di wajahnya. Dia dapat memasang topeng ramah, manis, dan lembut ketika Mariana mengaku dirinya sebagai penggemar beratnya.“Oh, benarkah?” ucap Lucy.“Iya.” Sambil mengeluarkan sebuah buku tulis dan pulpen dari dalam tas selempangnya, dia melanjutkan, “Aku menonton serial telenovelamu dari Teresa, Amores Verdaderos, sampai yang terbaru ini Amar a Muerte. Aku juga suka reality show keluarga Alexander berjudul The Family Fame. Oh, betapa harmonisnya keluarga kalian itu,” ungkap Mariana dengan sedikit melompat-lompat kecil di a
Jangankan mandi, berganti pakaian dari piama menjadi pakaian yang lebih baik seperti kemeja dan celana panjang pun aku tidak sempat. Respons yang diberikan Mariana ketika dia baru keluar dari kamar Philip dan menarik tanganku juga sepupunya keluar dari pintu rumah depan, cukup untuk membuat kami berpikir seolah tempat wastu Alexander sedang tidak aman untuk disinggahinya. Sebelum kami melewati pintu keluar, Simon kembali menarik maskernya menutupi setengah wajah dan mengenakan kacamata hitamnya, juga tudung jaket parka yang menutup rambut putihnya. Begitu pun Mariana yang mengenakan kembali penutup kepala yang panjang hingga menutupi wajahnya. Sempat bertanya-tanya bagaimana caranya gadis itu dapat melihat, sampai Marvin langsung menjawab bahwa kain bagian sekitar mata memiliki bahan tipis dan tembus pandang, sehingga dia dapat melihat. “Aku tahu itu dari Rebeca. Dia menjawab pertanyaanku tentang pertanyaanmu.” Begitu ucap Marvin lagi. Rebeca. Aku tidak bisa melihatnya. Tetapi aku p