"Sudahlah guru, jika guru menjadi sedih karena menceritakan masa lalu kelam yang guru alami. Sebaiknya guru tidak usah menceritakannya," ujar Bajulgeni."Apa yang dikatakan oleh kakang Bajulgeni itu benar guru. Lebih baik bahwasanya guru beristirahat sekarang ini daripada harus menceritakan masa lalu guru kepada kami. Kami tidak bisa melihat guru bersedih karena kami." tambah Bagaskoro."Aku sangat bangga dengan kalian berdua, kalian mempunyai rasa solidaritas yang tinggi antar sesama. Bajulgeni maupun Bagaskoro, kalian sama-sama hebat. Namun perlu kalian ketahui aku bercerita seperti itu, karena aku curiga, bahwasanya dalang dibalik penyerangan yang terjadi di desa maupun di padepokan dilakukan oleh orang yang sama dalam penyerangan kota Bandarmojo dulu." Tegas Guru Mada.Bagaskoro yang baru bertemu dengan Guru Mada merasa takjub dengan pemikiran Guru Mada. Ia tidak menyangka kalau sang guru sudah berpikir sangat jauh ketika menghadapi suatu masalah. Bagaskoro sontak memantapkan niat
Mendengar cerita dari Guru Mada, Bagaskoro tertegun. Ia tidak habis pikir, diluar sana banyak orang yang rela mengorbankan rasa nasionalisme yang telah tertanam di dalam tubuhnya hanya untuk balas dendam."Mungkin cukup sampai sini dulu, hal yang perlu ku sampaikan kepada kalian. Selebihnya akan aku jelaskan kepada kalian ketika sudah sampai di Padepokan saja," Tutur Guru Mada dengan napas terengah-engah."Baiklah guru!" jawab Bagaskoro dan Bajulgeni hampir bersamaan.Mereka bertiga mulai berkemas dan membersihkan lingkungan sekitar pedesaan. Guru Mada dan kedua muridnya juga tak lupa untuk mencari beberapa tanaman pangan dan obat-obatan untuk dibawa kembali ke lereng bukit."Kita harus membersihkan apa yang perlu, semampu kita saja," Tegas Guru Mada. "Seberapa jauh padepokan guru dari puncak bukit ini?" tanya Bagaskoro. "Mungkin sekitar 2 jam kita akan sampai," jawab Guru Mada.Setelah mempersiapkan semuanya, mereka pun meninggalkan desa dan pergi menuju lereng bukit. Di tengah perja
Setalah Gubuk pertama selesai dibangun mereka segera menata barang-barang yang dibawa ke dalam gubuk. Bagaskoro benar-benar takjub dengan yang dilihatnya, tak pernah ia sangka butuh waktu cukup singkat untuk membangun Gubuk tersebut. Gubuk tersebut terdiri atas 2 kamar berukuran sedang, 1 untuk Guru Mada dan 1 kamar lagi untuk Bagaskoro dan Bajulgeni serta ada ruang pertemuan kecil dan teras."Ohhhh... akhirnya selesai. Kurasa aku akan istirahat dulu," seru Bajulgeni sembari menguap. "Apakah kau juga letih Bagaskoro?" tanya Guru Mada. "Kurasa aku tidak begitu letih Guru, mungkin karena aku cuma mencari bahan-bahan saja, hehehe," ujar Bagaskoro."Baguslah kalau begitu, aku akan menceritakan sedikit kepadamu tentang pencak silat," Ucap Guru Mada. "Apakah ini nanti hanya sebatas teori saja, atau akan ada prakteknya langsung Guru?" tanya Bagaskoro. "Untuk kali ini, aku hanya akan memberimu teori saja, selayang pandang tentang apa itu pencak silat dan beberapa gerakan dasarnya. Mungkin bar
Satu hari pun telah berlalu. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Bagaskoro sudah bersiap diri. Ia keluar ke halaman padepokan. Ia sudah mandi, berpakaian bersih dan ia siap untuk melanjutkan pembelajaran kemarin."Aku telah siap untuk latihan hari ini guru!" Ucap Bagaskoro dengan semangat paginya. "Nampaknya kau sangat bersemangat, mimpi apa kau semalam? Hahaha," ucap Bajulgeni. "Hmmmm, mimpi apa ya? Mungkin ini dikarenakan semangat juang anak muda, hehehe," jawab Bagaskoro dengan tertawa renyah.Tak berselang lama, Guru Mada pun keluar. Sang Guru pun nampak semangat tak kalah dari kedua muridnya. Selain itu Guru Mada juga membawa beberapa persenjataan untuk latihan."Ada apa ini, masih pagi sudah ribut?" tanya Guru Mada dengan nada pelan. "Hmm, tidak ada apa-apa Guru, hanya saja aku terlalu semangat hari ini. Aku tidak sabar dengan pelajaran yang guru berikan," seru Bagaskoro.Mata Bagaskoro nampak memperhatikan benda-benda yang dibawa gurunya. Ia melihat dengan seksama setiap alat yan
"Huwaaaaa... jam berapa sekarang? Mengapa sudah tidak panas?" tanya Bagaskoro sembari menutupi uapannya. "Sekarang sudah sore, kelihatannya kita lanjutkan besok saja untuk latihan jatuhannya," saut Bajulgeni."Hah... apa? Sudah sore?" Bagaskoro bertanya-tanya dengan terkejut. "Ya, kau tidur pulas sekali tadi, aku mau membangunkanmu namun dilarang oleh Guru. Guru bilang untuk membiarkanmu tidur saja, karena sekilas nampak kau sangat lelah. Tetapi anehnya kau tidur sembari tersenyum bahagia," jelas Bajulgeni.***"Aku tidak pernah menyangka bisa bertemu dengan anak yang punya semangat sangat tinggi seperti Bagaskoro," gumam Guru Mada sembari memasak. "Semangatnya bagaikan nafasnya. Selama dia masih bisa menghirup dan menghembuskan udara dia terus bergerak. Baru kali ini aku bertemu dengan remaja seperti itu. Mungkin dia kelak bisa mendamaikan kembali dunia yang tengah berada dalam tanduk kehancuran ini,"Di saat Guru Mada sibuk melamun, panci yang ia taruh di atas tungku tiba-tiba berbu
Keesokan harinya, sebelum matahari menyingsir dari arah timur Bagaskoro sudah terbangun dari tidur nyenyaknya. Kemudian diikuti dengan bangunnya Bajulgeni. Namun sebelum mereka berdua bangun, Guru Mada sudah terlebih dahulu bangun, beliau sedang melakukan pemanasan di lapangan."Kalian sudah bangun, bagaimana kondisi tubuh kalian? Kalian sudah siap untuk berlatih?" tanya Guru Mada dengan semangat paginya. "Ooooo... entahlah Guru, aku merasa masih sangat mengantuk. Namun aku tadi mencoba untuk tidur kembali namun tidak bisa," jawab Bagaskoro dengan terbata-bata. "Itu terjadi karena kemarin kau memfokuskan diri untuk terus membaca. Ya memang, membaca itu tidaklah salah. Akan tetapi, tubuhmu juga punya hak untuk memperoleh istirahat yang cukup," ucap Bajulgeni."Memangnya kemarin malam kalian tidur jam berapa?" tanya Guru Mada. "Seingatku kemarin aku tidur sekitar jam 10 guru, tetapi entah dengan Bagaskoro," jawab Bajulgeni. "Kemarin kalau tidak salah aku tidur di atas jam 12, mungkin se
Bagaskoro pun memutuskan untuk membuat jadwal latihan, agar latihan yang ia mendapatkan hasil yang maksimal. Sebelum mulai menulis ia bertanya-tanya apa saja bentuk latihan yang perlu ia jalani. Serta bagaimana ia menyusun jadwalnya agar efektif."Kak Bajulgeni, apakah kau sedang ada urusan?" tanya Bagaskoro dengan nada pelan. "Tidak, aku sedang tidak mempunyai urusan apa-apa, memangnya kenapa?" tanya Bajulgeni kembali. "Hmmm, jadi begini, aku berencana untuk membuat sebuah jadwal latihan rutin. Ya, hitung-hitung sebagai bentuk penempaan diri. Supaya fisik ku tetap energik dan daya tahanku menambah," jawab Bagaskoro dengan bahagia.Bajulgeni dapat menangkap dengan baik apa yang dimaksudkan Bagaskoro. Bajulgeni merasa sangat senang, karena Bagaskoro yang baru aja mengenal tentang bela diri langsung punya ketertarikan yang tinggi terhadap ilmu bela diri."Kalau begitu begini, sebelumnya aku akan bertanya tentang aktivitas sehari-hari mu di luar latihan dan aku kan memberitahumu tentang
Keesokan harinya, sebelum Guru Mada bangun dari tidurnya, Bagaskoro sudah mempersiapkan diri, sedangkan Bajulgeni masih tertidur lelap di atas ranjang. Bagaskoro tidak sabar ingin segera menanyakan tentang peperangan beruntun yang terjadi saat ini kepada Guru Mada. Seketika Guru Mada keluar dari pondok, Bagaskoro yang sedang pemanasan langsung berhenti dan berjalan menuju Guru Mada."Selamat pagi guru!" sapa Bagaskoro dengan lantang. "Oh.. Pagi juga nak, tak kusangka kau sudah bangun, apakah tidurmu nyenyak semalam?" sapa Guru Mada kembali dilanjut dengan pertanyaan. "Ya, tentu saja, tidurku kemarin cukup nyenyak guru," jawab Bagaskoro."Hal apakah gerangan yang membuatmu menemuiku, apakah kau sudah siap untuk meneruskan pelatihan mu? Atau malahan kau ingin memberitahu ku kalau kau sudah mahir?" tebak Guru Mada. "Kurasa tebakan Guru meleset semua, aku kesini karena aku ingin tahu lebih lanjut tentang apa yang terjadi sebenarnya. Seperti yang pernah guru katakan, aku benar-benar ingin
*** Malam hari di ibukota Kahn sunyi tidak seperti biasanya. Hiruk pikuk kota yang terdengar selama dua puluh empat jam penuh seperti lenyap. Hanya suara angin yang berhembus tiada ada hentinya. Di tengah-tengah hembusan angin malam yang amat dingin sekali itu, Irman baru saja pulang kerja. Irman terkejut, akhir-akhir ini suasana di ibukota Kahn yang umumnya selalu ramai menjadi sepi. Irman mulai mengetuk pintu apartemennya, dilihatnya penjaga di depan hanya termenung. Penjaga itu seperti seorang ibu yang baru saja kehilangan seluruh anak-anaknya. "Permisi pak," sapa Irman. Penjaga itu masih saja termenung. "Permisi pak," sapa Irman untuk yang kedua kalinya. Akan tetapi, si penjaga masih saja terdiam seribu bahasa. Irman pun menarik napasnya dalam-dalam. "Permisi bapak!" Irman berteriak sekencang mungkin di dekat di penjaga. "Eh, silahkan, silahkan, silahkan," si penjaga menimpali sambil terjungkir ke belakang karena kaget. Dengan cekatan, Irman segera menolong si penjaga. "Saya m
"Tolong jelaskan secara pasti siapa sebenarnya dirimu?" tanya Arkan geram. "Tenanglah nak, aku benar-benar tidak punya niat yang buruk terhadapmu," jawab si pemilik restoran. Perlahan Arkan bisa meredam amarahnya. Ia menarik nafas dalam-dalam untuk mengendalikan dirinya. "Nah, begitu kan lebih baik," ucap si pemilik restoran."Sekarang aku minta penjelasan dari anda tuan," ujar Arkan. "Sebelum menjawab pertanyaanmu itu, aku ingin menanyakan satu hal. Ini bukan hal yang berat. Ini sesuatu yang santai tapi, aku harap kau serius," ucap si pemilik restoran. "Apa yang ingin kau tanyakan?" tanya Arkan keheranan. "Kira-kira berapa umurku saat ini?" ucap si pemilik restoran. Mendengar pertanyaan yang dilontarkan oleh si pemilik restoran membuat Arkan seketika tertawa terpingkal-pingkal."Eh! Hahahaha, hahahahaha, apa kau tidak salah bertanya?" sahut Arkan sembari tertawa. "Seperti yang ku katakan sebelumnya, ini adalah pertanyaan yang santai dan terkesan sepele. Akan tetapi, kau tadi sudah me
*** Seiring berjalannya waktu, Arkan dan Singh mulai menjadi teman akrab. Hanya beberapa hari berpatroli bersama, kedua bocah itu sudah dekat seperti keluarga. Tidak ada tanda-tanda Singh yang curiga dengan penyamaran yang dilakukan oleh Arkan. Singh hanya tau, teman patroli barunya bernama Raka yang sebenarnya adalah seorang penyusup bernama Arkan. "Singh, kita hendak ke mana lagi sekarang?" tanya Arkan. "Hmmm, sepertinya aku lupa menjelaskan di awal. Jadi, selain kita harus bergantian berpatroli sama seperti murid lainnya, ada tugas lainnya yang dikhususkan untuk kita berdua. Nanti, aku akan menjelaskan lebih lanjut tentang tugas yang harus kau emban," jawab Singh. "Aku ada satu pertanyaan lagi," ucap Arkan. "Silahkan, tanyakan saja. Selagi aku mampu menjawab, aku akan menjawabnya," balas Singh mempersilahkan. "Beberapa waktu lalu ketika aku sedang berjaga dan kau tertidur, ada beberapa orang memakai setelan berwarna hitam legam menemui Joe. Kelihatannya mereka sedang berbicara
Setelah berbicara cukup panjang, Wei Fang mengalami sesak nafas yang luar biasa. Seluruh prajurit Bayangan Singa yang ada di sekelilingnya hanya bisa terpana, sambil tak sadar meneteskan air mata. Begitu pula dengan prajurit Naga Langit yang ada, mereka mulai merasa iba terhadap keadaan yang menimpa pasukan Bayangan Singa. Dari kejauhan nampak Batakhu yang meronta-ronta menahan sakit menghampiri Wei Fang. "Master! Master! Anda tidak apa-apa kan?" ucap Batakhu dengan penuh gelisah. "Batakhu, nak. Kau masih selamat, syukurlah. Aku punya satu permintaan kepadamu, uhuk... uhuk...," ucap Wei Fang sambil menahan tekanan darah yang terus keluar. "Permintaan! Apa maksudmu Master!? Aku yakin kau akan baik-baik saja. Perang telah usai! Biarkan kami Pasukan Bayangan Singa sebagai pihak yang kalah untuk mundur! Atau kalian bisa menawan kami sebagai budak!" teriak Batakhu. "Nak, uhuk... uhuk..., sudahlah. Aku ingin kau membeberkan seluruh rencana kita. Aku sudah tidak bisa banyak bicara. Ku harap
"Xi Zhang, apa kau berpikir bahwa Qing Ho melakukan semua ini dengan terpaksa?" tanya si prajurit. "Aku tidak dapat menyimpulkan seperti itu. Intinya, dia tidak akan pernah menyesali apapun yang telah diperbuatnya. Satu hal lagi, sebenarnya, Qing Ho juga telah memberi ku sebuah isyarat. Dia seperti memberiku aba-aba kalau dia adalah seorang penyusup. Mungkin, ini agak aneh, tapi itulah yang kurasakan," ujar Xi Zhang. "Dia memberimu aba-aba seperti itu. Berarti secara tidak langsung, dia memang berniat untuk mencegah ayahnya, agar gagal menaklukkan Padepokan Naga Langit?" tanya si prajurit. "Kemungkinan seperti itu, aku juga baru sadar kalau dia punya kedekatan seperti itu dengan Wei Fang yang keparat. Jadi, seperti ini ya takdir berjalan. Huuu," ucap Xi Zhang sembari menghembuskan nafas pelan. Di saat si prajurit dan Xi Zhang sedang enak mengobrol dan bersembunyi. Tiba-tiba, terdengar sebuah hantaman keras dan udara menjadi penuh dengan bumbungan asap. Master Li Mo dan Wei Fang yang
"Sudahlah Wei Fang, hentikan semua ini! Aku tidak ingin menelan lebih banyak lagi korban jiwa. Lihatlah sekelilingmu, sudah banyak jiwa-jiwa yang tak berdosa tumbang sia-sia. Lagipula, kita bisa membicarakan ini baik-baik," tutur Master Li Mo. "Hahahaha, bisa diselesaikan baik-baik katamu?" ejek Wei Fang. "Aku mohon Wei Fang, aku mohon sekali. Aku tau bagaimana perasaanmu ketika kehilangan anakmu. Satu hal yang kau ingat, yang namanya penghianat merupakan penyakit bagi setiap kelompok, bangsa, negara. Jika bukan karena kelalaianmu dalam mendidiknya ini tidak akan berakhir seperti ini," ujar Master Li Mo. "Memang apa yang kau tahu tentang cara mendidik seorang anak? Apa yang kau tau tentang keadilan? Apa yang kau tahu tentang dosa-dosa? Apa kau pikir kau bisa menangani semuanya sekaligus ha!?" bentak Wei Fang. Suasana di sekitar yang semula kacau dengan perang mulai reda. Seluruh prajurit yang saling baku hantam mulai mendengar dengan seksama percakapan antara Master Li Mo dengan Wei
"Itu dia! Master Wei Fang! Rasakan kalian Naga Langit, kalian akan hancur berkeping-keping karena berani mencari masalah dengan Padepokan Bayangan Singa! Hancurlah kalian!" teriak salah seorang prajurit Bayangan Singa. "Apa-apaan dengan tubuhnya Wei Fang itu?" gumam Master Su Tzu dengan terkejut. "Apakah itu salah satu jurus kutukan?" sambung Master Tung. "Ya, itu adalah salah satu jurus kutukan. Ditambah itu bukanlah jurus kutukan biasa," jelas Master Lee. "Apa maksudmu Master Lee? Pasti yang namanya jurus kutukan itu berbahaya. Kenapa kau berkata itu bukan jurus kutukan biasa? Memang apa yang istimewa dengan jurus kutukan itu?" tanya Master Su Tzu dengan penasaran. "Maksudku dengan bukan jurus kutukan biasa. Karena itu adalah jurus kutukan kuno. Aku tidak salah melihatnya, karena di kitab seni bela diri hitam yang ada di perpustakaan pusat negara jurus itu dijelaskan. Tapi tidak ada seseorang yang diketahui bisa membangkitkan jurus itu. Tidak lain, karena jurus itu memang berbahaya,
Pertarungan sengit antara Batakhu dengan Santoso pun tidak terelakkan lagi. Santoso bertarung layaknya ninja menggunakan dua buah belati. Dengan gerakan lincahnya, Santoso berhasil memojokkan Batakhu. "uhhh, uhhh, uhhh, siapa kau sebenarnya?" tanya Batakhu dengan napas terengah-engah. "Kurasa, kau harusnya memikirkan bagaimana nasibmu, daripada ingin mengetahui tentang siapa diriku. Aku tidak akan menahan diri untuk melawan mu, majulah, Jenderal Batakhu!" bentak Santoso. "hahahaha, kurasa kau memang tidak berasal dari padepokan Naga Langit, aku akan menebasmu, sama seperti aku menghilangkan kaki bocah itu," ujar Batakhu. "Cobalah kawan," tantang Santoso. Gerbang padepokan Naga Langit telah dibuka lebar-lebar, seluruh pasukan bertempur antara hidup dan mati di luar benteng. Bala bantuan dari Naga Langit pun segera menghampiri Bajulgeni. Bajulgeni yang nampak sekarat, segera dibawa masuk ke dalam benteng."Anda hendak ke mana Master Li Mo?" tanya Master Su Tzu. "Ada urusan yang harus
"Tidakkkk!" teriak Wei Fang mengguncang seluruh kancah peperangan. Salah satu petinggi Padepokan Bayangan Singa, General Batakhu pun maju untuk mencoba menenangkan Wei Fang. "Tuan, mohon anda bersabar dengan apa yang menimpa tuan muda. Yang harus kita lakukan adalah membalaskan dendam apa yang telah terjadi dengan tuan muda, bukan malah meratapinya, seakan-akan kematiannya sia-sia. Mata dengan mata, telinga dengan telinga, tangan dibalas tangan, begitu juga dengan nyawa, nyawa harus dibalas dengan nyawa. Sadarlah tuan," tutur Batakhu. "Keyyyy Fangggg! Kenapa harus kau yang pergi duluan! Kenapa!" teriak Wei Fang histeris. Ucapan Batakhu seperti sebuah hembusan angin di hadapan Wei Fang yang sedang berada dalam ruang antara hidup dan mati. Wei Fang tidak mempedulikan apa yang ada di sekitarnya. Wei Fang hanya meratapi penuh pada penggalan kepala Key Fang. Air terus mengalir membasahi wajah Wei Fang sampai menggenang airnya di bawah. "Sekarang apa yang harus kita lakukan jenderal?" t