"Hmm. Apakah Bara sudah kembali..?" tanya Drajat, yang tiba-tiba saja sudah berada di antara mereka. "Sudah Pa-paman Drajat..?! Apakah Paman sudah pulih..?!" tanya Gatot terkejut dan merasa heran. Karena melihat begitu cepatnya Drajat pulih. Menurut perhitungan Gatot, paling tidak Drajat membutuhkan waktu seminggu lebih, untuk pulih dari luka dalam parah yang di deritanya. Namun ini baru tiga hari saja..?! "Ada sesuatu di tubuhku, yang mempercepat proses pemulihanku Gatot," ujar Drajat tersenyum penuh arti. "Ahh..! Iya Paman, Gatot paham," Gatot segera berseru maklum. Setelah dia teringat pembicaraannya di teras bersama Drajat dan Bara dulu. 'Pasti ini khasiat dari 'Mustika Naga Salju' di dalam tubuh Paman Drajat', bisik bathinnya. Dimas pun nampak heran, dengan cepatnya proses pemulihan yang terjadi pada Drajat itu. Padahal dia sendiri saja masih merasa belum pulih, dan masih tetasa agak sesak di dadanya. Ya, Dimas memang baru saja tiba di markas tadi, saat helikopter yang m
"Baik Mas Dimas, aku akan ikut bersamamu menengok Dewi. Sepertinya fisikku sudah mulai pulih setelah makan tadi. Aku hanya tinggal menghimpun kembali energi dan tenaga dalamku saja," Bara berkata menyatakan keinginannya, untuk ikut ke rumah sakit menengok Dewi. Di masukkannya ponselnya ke dalam tas selempang kulit yang di bawanya. "Baiklah Mas Bara, Resti akan ikut menemani ya," ucap Resti, sebenarnya dia masih merasa cemas akan kondisi kekasihnya itu. Akhirnya Bara dan Resti ikut bersama Dimas, meluncur ke rumah sakit. *** Sementara di ruang rawat inap Dewi di rumah sakit. Nampak duduk di sebelah ranjang Dewi, wanita paruh baya yang masih terlihat jelas garis-garis kecantikkan di masa mudanya. Ya, dialah Pusparini ibu dari Dewinda. Dia langsung datang saat di kabarkan oleh Retno, tentang kondisi putri tercintanya. Yang di rawat di rumah sakit akibat luka tembak. Mereka berdua memang pernah saling bertemu dan berbincang, saat Dewi mengajak sang ibu berkunjung ke rumah Dimas.
"Tidak Ayah..! Evi juga sayang Ayah..! Huhuhuu..!" sang anak pun menjadi pilu sendiri, mendengar ucapan ayahnya yang penuh keputus asaan itu. Luluh sudah hati Bara, mendengar percakapan memilukan ayah dan anak yang seperti itu. Segera dia menuliskan kembali sebuah nilai di buku cek, yang tadinya hendak dimasukkan ke tas slempangnya. Dan cek atas unjuk sebesar 500 juta telah tertera, di selembar cek yang diterbitkannya. 'Akan ku konfirmasi hal ini pada David nanti', bathin Bara. Segera Bara beranjak menghampiri ayah dan anak itu, yang kini tengah saling berpelukkan dengan mata sembab dan basah. Dalam rasa kepasrahan, atas nasib istri dan ibu mereka. "Maaf Bapak, Adik. Maukah kalian menerima pemberian saya untuk kalian ini," ucap Bara, seraya mengangsurkan selembar cek, yang telah disiapkannya untuk mereka. "A-apa maksudnya ini Mas..?!" seru sang ayah yang kaget. Karena melihat tiba-tiba ada seorang pemuda datang, dan mengangsurkan selembar kertas padanya. "Itu cek untuk membaya
"Siapa dia Mas Bara..?" tanya Resti ingin tahu. "Dia orang yang sedang bingung memikirkan biaya operasi istrinya, Resti. Syukurlah Mas ada dana untuk membantunya. Kami bertemu tadi di taman rumah sakit ini," sahut Bara menjelaskan, seraya mereka berjalan menuju ke area parkir rumah sakit. "Wah, Mas Bara memang orang baik," ucap Resti seraya memeluk lengan Bara, dia makin merapatkan tubuhnya pada kekasihnya itu. Entah kenapa, hati Resti selalu merasa damai, jika dia sedang berada di dekat Bara. Dengan mengendarai mobil Dimas, akhirnya mereka berdua tiba kembali di markas. Di ruang teras markas, nampak Drajat, Gatot, dan Sandi, yang tengah ngobrol santai. "Wah asik ya yang lagi ngobrol santai. Yang lainnya ke mana..?" sapa Resti, sekaligus bertanya pada mereka. "Revina dan Katrin ada di dalam, David dan Brian sedang mengawasi latihan pasukan, di halaman belakang Resti," sahut Sandi. "Ok Mas Sandi, aku masuk dulu," ucap Resti seraya masuk ke dalam vila. Dia ingin bergabung bersam
Pagi menjelang siang.Di sebuah lapangan tenis dan badminton yang merupakan fasilitas umum bagi warga kompleks perumahan elit di bilangan Menteng, Jakarta Pusat.Nampak seorang pemuda tengah di kelilingi oleh tiga orang yang berdiri angkuh di sekitarnya. Pemuda itu berpakaian security dan dia baru saja mengundurkan diri dari pekerjaannya, sebagai security di kompleks perumahan elit itu.Hal ini tak lain karena dia ingin pergi sejauh mungkin dari kompleks itu. Kompleks dimana ‘mantan kekasihnya’ tinggal.Baru saja semalam dia ‘memutuskan’ hubungan kasihnya dengan ‘Resti’, dan mengembalikan amplop coklat tebal yang diberikan ayahnya beberapa hari lalu.Ya, Resti adalah putri jelita seorang pengusaha garment yang sukses di bilangan kota Jakarta.Sungguh, menjalin hubungan kasih dengan Resti sama sekali bukan inisiatif Bara. Tapi berawal dari perkenalan mereka di posko masuk area kompleks, yang berlanjut pada rasa saling suka pada kepribadian masing-masing.Sejak munculnya rasa suka itula
Ibu! Kata yang merupakan ‘ajimat’ dan sangat ‘sakral’ bagi Bara. Teringat jelas dalam memorinya, kejadian 15 tahun lalu saat usianya masih 9 tahun. Baru saja Banu Hartadi pulang dari kantornya, dia sudah mendapat laporan tak mengenakkan dari istri mudanya Sisca. Tentang kelakuan kejam istri tuanya Marini dan Bara putra tunggalnya. “Gara-gara mereka mendorong mamah, tadi mamah sampai terjatuh di kamar mandi Pah! Untung saja kandungan anak kita tak apa-apa. Tskk ... tskk,” ungkap Sisca pada Banu, dengan di iringi isak tangis ‘modus’nya. Karuan saja amarah Banu meledak, mendengar laporan Sisca yang terdengar selalu teraniaya, setiap hari dia pulang dari kantor. Kemarin soal Sisca diberi makan sambal terlalu pedas, kemarinnya lagi soal Sisca di suruh jalan ke pasar, dan kemarinnya lagi..lagi..dan lagi. Dan kini soal jatuhnya istri kesayangannya itu di kamar mandi, akibat perbuatan istri pertamanya Marini dan Bara yang juga putranya sendiri. Maka setan pun masuk ke dalam otak dan h
Maka jadilah sejak saat itu Bara tinggal dan bersekolah di sana. Pada saat usai subuh hingga jam berangkat sekolah dan setelah jam belajar malam, Bara secara khusus di latih ilmu beladiri oleh sang kakek. Sang kakek bagai berubah menjadi ‘monster’ galak bagi Bara, saat dia sedang melatih dirinya bela diri. Sungguh keras dan tak kenal kata kesalahan sedikitpun dalam kamus sang kakek. Namun Bara mengerti dan merasakan, tujuan sang kakek adalah demi kesempurnaan dirinya menyerap ajaran dan ilmu-ilmu sang kakek. Demikianlah 10 tahun lamanya Bara mendapat gemblengan keras dari sang kakek, hingga tak terasa ‘kemampuan’ dirinya saat itu sudah setara dengan sang kakek sendiri. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Demikian kata pepatah, baru saja malamnya Bara menerima wedar aji ‘Sisik Naga Emas’ dari sang kakek. Pada ke esokkan harinya sang kakek menghembuskan nafas terakhirnya di usianya yang 76 tahun. Hanya karena sakit kepala hebat yang menderanya sejak pagi, hingga akhi
Braaghk..! "Kagghh..!"Robert Tanujaya tewas dengan kepala pecah membentur pojokkan dinding tajam di ruang kantornya sendiri. Akibat tendangan deras bertenaga dalam dari kakak sepupunya sendiri, David Tandinata.David Tandinata menyerang dan tak sengaja menewaskan sepupunya itu bukan tanpa alasan, karena ini berkaitan dengan kematian ayahnya Julian Tanuwijaya.Julian Tanuwijaya adalah owner dari 'Kharisma Group', sebuah perusahaan besar yang bergerak di bidang retail dan properti. Perkembangan bisnisnya bahkan merambah hingga ke seluruh kota-kota besar di negeri ini.Bisa dikatakan dia adalah salah seorang triliuner sukses di negeri ini. Namun 6 bulan yang lalu sebuah kecelakaan tragis menimpanya, hal yang mengakibatkan dirinya tewas seketika di jalan raya. Porsche macan hitam yang dikendarainya mengalami tabrakkan beruntun di jalan, tepat sebelum masuk ke jalan tol Cikampek.Mobilnya dihantam oleh sebuah truk berkecepatan tinggi di belakangnya, sedangkan di depannya adalah sebuah tru
"Siapa dia Mas Bara..?" tanya Resti ingin tahu. "Dia orang yang sedang bingung memikirkan biaya operasi istrinya, Resti. Syukurlah Mas ada dana untuk membantunya. Kami bertemu tadi di taman rumah sakit ini," sahut Bara menjelaskan, seraya mereka berjalan menuju ke area parkir rumah sakit. "Wah, Mas Bara memang orang baik," ucap Resti seraya memeluk lengan Bara, dia makin merapatkan tubuhnya pada kekasihnya itu. Entah kenapa, hati Resti selalu merasa damai, jika dia sedang berada di dekat Bara. Dengan mengendarai mobil Dimas, akhirnya mereka berdua tiba kembali di markas. Di ruang teras markas, nampak Drajat, Gatot, dan Sandi, yang tengah ngobrol santai. "Wah asik ya yang lagi ngobrol santai. Yang lainnya ke mana..?" sapa Resti, sekaligus bertanya pada mereka. "Revina dan Katrin ada di dalam, David dan Brian sedang mengawasi latihan pasukan, di halaman belakang Resti," sahut Sandi. "Ok Mas Sandi, aku masuk dulu," ucap Resti seraya masuk ke dalam vila. Dia ingin bergabung bersam
"Tidak Ayah..! Evi juga sayang Ayah..! Huhuhuu..!" sang anak pun menjadi pilu sendiri, mendengar ucapan ayahnya yang penuh keputus asaan itu. Luluh sudah hati Bara, mendengar percakapan memilukan ayah dan anak yang seperti itu. Segera dia menuliskan kembali sebuah nilai di buku cek, yang tadinya hendak dimasukkan ke tas slempangnya. Dan cek atas unjuk sebesar 500 juta telah tertera, di selembar cek yang diterbitkannya. 'Akan ku konfirmasi hal ini pada David nanti', bathin Bara. Segera Bara beranjak menghampiri ayah dan anak itu, yang kini tengah saling berpelukkan dengan mata sembab dan basah. Dalam rasa kepasrahan, atas nasib istri dan ibu mereka. "Maaf Bapak, Adik. Maukah kalian menerima pemberian saya untuk kalian ini," ucap Bara, seraya mengangsurkan selembar cek, yang telah disiapkannya untuk mereka. "A-apa maksudnya ini Mas..?!" seru sang ayah yang kaget. Karena melihat tiba-tiba ada seorang pemuda datang, dan mengangsurkan selembar kertas padanya. "Itu cek untuk membaya
"Baik Mas Dimas, aku akan ikut bersamamu menengok Dewi. Sepertinya fisikku sudah mulai pulih setelah makan tadi. Aku hanya tinggal menghimpun kembali energi dan tenaga dalamku saja," Bara berkata menyatakan keinginannya, untuk ikut ke rumah sakit menengok Dewi. Di masukkannya ponselnya ke dalam tas selempang kulit yang di bawanya. "Baiklah Mas Bara, Resti akan ikut menemani ya," ucap Resti, sebenarnya dia masih merasa cemas akan kondisi kekasihnya itu. Akhirnya Bara dan Resti ikut bersama Dimas, meluncur ke rumah sakit. *** Sementara di ruang rawat inap Dewi di rumah sakit. Nampak duduk di sebelah ranjang Dewi, wanita paruh baya yang masih terlihat jelas garis-garis kecantikkan di masa mudanya. Ya, dialah Pusparini ibu dari Dewinda. Dia langsung datang saat di kabarkan oleh Retno, tentang kondisi putri tercintanya. Yang di rawat di rumah sakit akibat luka tembak. Mereka berdua memang pernah saling bertemu dan berbincang, saat Dewi mengajak sang ibu berkunjung ke rumah Dimas.
"Hmm. Apakah Bara sudah kembali..?" tanya Drajat, yang tiba-tiba saja sudah berada di antara mereka. "Sudah Pa-paman Drajat..?! Apakah Paman sudah pulih..?!" tanya Gatot terkejut dan merasa heran. Karena melihat begitu cepatnya Drajat pulih. Menurut perhitungan Gatot, paling tidak Drajat membutuhkan waktu seminggu lebih, untuk pulih dari luka dalam parah yang di deritanya. Namun ini baru tiga hari saja..?! "Ada sesuatu di tubuhku, yang mempercepat proses pemulihanku Gatot," ujar Drajat tersenyum penuh arti. "Ahh..! Iya Paman, Gatot paham," Gatot segera berseru maklum. Setelah dia teringat pembicaraannya di teras bersama Drajat dan Bara dulu. 'Pasti ini khasiat dari 'Mustika Naga Salju' di dalam tubuh Paman Drajat', bisik bathinnya. Dimas pun nampak heran, dengan cepatnya proses pemulihan yang terjadi pada Drajat itu. Padahal dia sendiri saja masih merasa belum pulih, dan masih tetasa agak sesak di dadanya. Ya, Dimas memang baru saja tiba di markas tadi, saat helikopter yang m
'Maafkan Angga, Pakde...' bathin Angga, berbisik penuh sesal. Angga mendekat ke arah sosok jenasah Haryo. Dengan tangan agak gemetar, Angga menyingkap selimut yang menutupi sekujur tubuh Haryo. Sreth..! Lalu Angga menyingkap kaos dalam, yang masih melekat di tubuh Haryo hingga sebatas dada. Dan mata Angga segera berkilau sejenak, saat menatap bagian pusar Haryo. Nampak menyembul sebuah kristal putih bening, bercampur dengan percikkan-percikkan hitam di dalamnya. Kristal itu bagai terpapas rata di pangkalnya. 'Angga. 'Mustika Taring Singa' akan otomatis muncul keluar melalui pusarku, jika saat ajalku tiba. Jadilah oang pertama yang berada disisiku, saat ajalku nanti tiba Angga. Karena pakde hanya ingin kau yang mewarisinya setelah pakde. Setelah itu kamu tinggal menyelaraskan energi dalam Mustika Taring Singa itu dengan energimu'. Demikianlah pesan yang pernah diucapkan Haryo pada Angga. Saat mereka sedang membahas kunci rahasia level ke 7 dari aji Singa Langit, yaitu aji 'Murk
Tagh..! "Hegh..!" David melesat cepat dan menyarangkan totokkan ke sisi leher Bara, Bara pun langsung terkulai lemas tak sadarkan diri. Ketiga sahabat Bara itu segera melesat kembali, ke apartemen Marsha. Dan orang-orang di sekitar area apartemen pun menjadi tenang kembali. Karena tadinya mereka dicekam rasa ketakutan, dan panik setengah mati. Bahkan ada yang langsung berdo'a dan melakukan ibadah, karena mereka mengira kiamat akan datang. Langit di atas area itu nampak masih dipayungi kabut gelap berwarna hitam, kelabu, dan warna keemasan. Tak bisa dibayangkan, bila Bara mengarahkan pukulan-pukulan jarak jauhnya sejak awal di daratan dan sekitarnya. Pastilah akan terjadi kerusakkan serta kehebohan, yang sangat mengerikkan di area itu..! *** Di kediaman Haryo sang 'Singa Langit'. Nampak Angga baru memasukkan sesuatu dengan diam-diam, ke dalam sebuah mangkuk berisi sop daging. Ya, sop daging adalah menu kesukaan Haryo, yang saat itu sedang berada di kamar mandi. Sop daging i
"A-apa Marsha..?! Bara berada di sana..?!" seru David terkejut, dengan rasa gembira dan cemas berbaur jadi satu. "Benar David. Tapi Mas Bara seperti tak bisa mengendalikan dirinya..! Cepatlah kemari! Sebelum Mas Bara pergi terlalu jauh..!" "Ba-baik Marsha..! Kami akan segera ke sana naik helikopter..!" Klik." Kembali Marsha bersandar di sofa panjang apartemennya. Namun kini samar-samar telinganya menangkap suara gelegar di angkasa, bagaikan suara petir dan gledek yang susul menyusul. Bathin Marsha segera menerka, hal itu pasti ada hubungannya dengan Bara. Segera saja dia berlari ke arah balkon apartemen, dan ... Benar..! Marsha segera mengenali cahaya keemasan itu, yang tak lain pastilah Bara adanya. Cahaya keemasan itu tampak melesat dari atap ke atap bangunan lain, ke pucuk-pucuk pohon tinggi, bahkan kadang melesat dan menapak di atas tanah. Namun yang membuat heboh adalah, seraya melesat cepat ke sana ke mari bagai meteor, Bara juga melepaskan pukulan-pukulan bertenaga dal
"Mas Bara.! Kau kenapa Mas..?" tanya Marsha heran dan terkejut, mendengar seruan dan suara erangan aneh Bara. Bara masih bisa mengendalikan setengah kesadarannya. Di antara bayangan-bayangan erotis menggila, yang berseliweran di benaknya saat itu. "Marsha..! Sepertinya pil yang diberikan Gayatri tadi adalah pil perangsang..! Dia bohong padaku..! Menjauhlah Marsha ini bisa berbahaya..! Akhssks..!" Bara berseru dengan kalimat terpatah-patah. Ya, kepala Bara mulai terasa seperti dirayapi oleh ratusan semut yang berbaris. Kedua tangannya pun mulai memegangi kepalanya. Nyeri..! "Dibohongi kenapa Mas Bara..?! Katakan padaku..! Kau tak apa-apa kan Mas Bara..?!" sentak Marsha panik, melihat keadaan Bara yang nampak sangat tersiksa itu. Bukannya menuruti seruan Bara untuk menjauh. Tapi Marsha malah menghampiri Bara. Marsha memegangi kedua bahu Bara, seraya matanya mencari-cari, di bagian mana pria tersayangnya itu menderita sakit. "Dia meminumkan pil perangsang hebat padaku Marsha..! Me
"Mas Bara, mari kita minum dan bicara. Mas Bara belum lengkap menceritakan apa yang terjadi kemarin," sapa Marsha, seraya meletakkan dua kaleng soft drink itu di meja sofa. Bara pun menoleh ke arah Marsha, dia pun menghampiri sofa dan ikut duduk di sana. "Marsha. Sebetulnya yang terjadi pada diriku dalam dua hari ini, adalah hal yang tak pantas kuceritakan pada siapapun," Bara berkata pelan, seraya meraih kaleng soft drink di atas meja. "Lho, tak pantas kenapa Mas Bara..? Apakah masih perlu ada rahasia di antara kita Mas Bara..?" tanya Marsha, yang kini malah semakin penasaran dengan hal yang di alami Bara. "Hhh, ternyata apa yang terjadi padaku kemarin, kiranya sudah direncanakan oleh Gayatri. Putri Jendral Graito brengsek itu Marsha..!" seru Bara penuh emosi. Ya Bara memang merasa perlu mengungkapkan kisah itu pada seseorang. Agar tekanan di bathinnya tak terlalu membuncah. Dan Bara merasa Marsha cukup bisa dipercaya, untuk mendengar cerita yang sebenarnya. "A-pa..?! Putri Je