"Siapa dia Mas Bara..?" tanya Resti ingin tahu. "Dia orang yang sedang bingung memikirkan biaya operasi istrinya, Resti. Syukurlah Mas ada dana untuk membantunya. Kami bertemu tadi di taman rumah sakit ini," sahut Bara menjelaskan, seraya mereka berjalan menuju ke area parkir rumah sakit. "Wah, Mas Bara memang orang baik," ucap Resti seraya memeluk lengan Bara, dia makin merapatkan tubuhnya pada kekasihnya itu. Entah kenapa, hati Resti selalu merasa damai, jika dia sedang berada di dekat Bara. Dengan mengendarai mobil Dimas, akhirnya mereka berdua tiba kembali di markas. Di ruang teras markas, nampak Drajat, Gatot, dan Sandi, yang tengah ngobrol santai. "Wah asik ya yang lagi ngobrol santai. Yang lainnya ke mana..?" sapa Resti, sekaligus bertanya pada mereka. "Revina dan Katrin ada di dalam, David dan Brian sedang mengawasi latihan pasukan, di halaman belakang Resti," sahut Sandi. "Ok Mas Sandi, aku masuk dulu," ucap Resti seraya masuk ke dalam vila. Dia ingin bergabung bersam
'Degh!' Drajat pun terhenyak, dia tahu bahwa sebenarnya Bara telah mengerti ke mana arah pertanyannya. Dan memang Drajat tak bisa memaksa Bara, untuk 'menerima' Mustika Naga Salju miliknya saat ini. Namun di satu sisi, Drajat juga merasa kagum dengan 'kemuliaan' sikap dan prilaku Bara. Karena hal itu jelas menunjukkan, jika Bara sangat tulus dan jujur dalam memberi sesuatu tanpa pamrih. Andai Drajat tahu, bahkan ada orang yang sampai tega membunuh pakdenya, hanya untuk memenuhi ego dan ambisinya. Pastilah dia akan melihatnya bagai 'bumi dan langit', antara orang itu dan Bara..!*** Tiga hari kemudian. Tuttt ... Tuttt ... Tuttt.! Ponsel Bara berdering, dilihatnya nama pemanggil di layar ponselnya. 'Marsha memanggil'. Klik.! "Ya Marsha," sahut Bara riang. Teringat pada sahabat spesialnya itu, yang hendak melangsungkan pernikahannya ini. "Mas Bara, mungkin sebentar lagi akan ada orang Leonard bernama Jason dan Tommy. Mereka akan datang ke vila dan menjemput kalian. Untuk menuj
"Bara..! Tunggulah saat-saat akhir perjalanan hidupmu..! Nikmatilah hidupmu selagi kau dan teman-temanmu sempat menikmatinya..! Hahahaaa...!' seru bathin sang Jendral, tergelak penuh kegeraman. Ya, walau pada pertarungan Bara yang terakhir dia menangguk keuntungan yang cukup maksimal, karena Bara cs tidak ikut bertaruh pada saat itu. Namun masih terpendam 'dendam dan rasa waswas' di hati Graito terhadap Bara cs. Karena bisa saja Bara cs sewaktu-waktu masuk kembali, ke dalam pertaruhan yang di selenggarakannya itu. Sepeninggal Angga, ponsel sang Jendral berdering, Tuttt ... Tuttt ... Tuttt.! Klikh! "Ya Atri." "Ayah. Untuk sementara waktu masalah pendataan dan neraca keuangan kompetisi, Atri serahkan pada Rika, asisten Atri. Ayah bisa langsung menghubunginya. Atri sedang tak enak badan beberapa hari ini Ayah." "Baik Atri." Klik.! Ya, begitu acuhnya sang Jendral pada putrinya itu. Bahkan mendengar sang putri sakit pun, hatinya sama sekali tak tergerak. Baik untuk menanyakan s
"Marsha, kau ikutlah ibu ke bawah menemui mereka," ajak Shelvia tegas, suatu permintaan yang tak mungkin bia di tolak oleh Marsha. "Tapi Ibu, Marsha belum berdandan," sahut Marsha, menyatakan alasannya. "Tak perlu Marsha, kau sudah sangat cantik tanpa berdandan sekalipun," sahut Shelvia, tersenyum penuh makna. Akhirnya Marsha pun mengikuti langkah Shelvia di belakangnya. Sementara di ruang tamu. Nyonya Edward alias Anna, sedang asik memandangi segala persiapan pernikahan, yang tengah dilakukan oleh pihak 'Wedding Planner'. Tentu saja dengan rasa iri bercampur kesal. 'Seperti apa sih calon menantumu yang bernama Marsha itu Shelvia..? Apakah secantik dan sepintar putriku Felicia..?' bathin Anna, merasa penasaran sekali. "Wah..! Salam Anna, bagaimana kabarmu..? Lama kita tak bertemu," sapa Shelvia tersenyum, seraya memeluk Anna yang balas memeluknya. Namun mata Anna langsung melirik tajam pada Marsha, saat dia tengah berpelukkan dengan Shelvia. 'Huh..! Hanya sebeginikah penampil
"Ok Garry. Tapi ingat! Jangan membuat keributan di pesta itu. Hormatilah Leonard dan Tuan Winston, karena merekalah yang telah memfasilitasi kita selama ini," ujar Colby, mengingatkan petarung andalannya itu. "Aku mengerti Colby." *** Bara cs akhirnya tiba di bandara Seattle, Tacoma(SEA). Telah menanti mereka di sana orang-orang Leonard, yang ditugaskan menjemput mereka dengan 5 buah mobil berkelas. Dan mereka pun langsung menuju ke kediaman Leonard di Medina, Washington. Tak sampai setengah jam perjalanan, mereka pun telah sampai di tujuan. Tampak di depan pagar gerbang masuk area kediaman Winston, kini telah dihiasi dengan rangkaian bunga bernuansa flora. Mobil yang mengantar mereka juga melalui halaman luas dan asri. Halaman itu nampak telah terdekorasi sebagiannya, dengan meja-meja kecil mau pun panjang. Deretan payung-payung besar dan teratak mewah, juga terlihat menaungi meja-meja itu di atasnya. Semuanya bernuansa penuh dengan bunga putih, dan warna-warna lembut yang
"Sssshhhhhhh.....! Hupph...!" Seth..! Angga melepaskan rest dari olah energi di dalam tubuhnya. Lalu dia pun langsung melesat keluar dari ruang berbentuk pendopo itu, dan hinggap di tanah halaman vila. Begitu cepat, begitu ringan, namun juga penuh 'energi'. Begitulah hal yang di rasakan oleh Angga, setelah penyelarasan energinya telah selesai. Kini power Mustika Taring Singa telah 'menyatu' dengan diri Angga. Dan Angga merasakan daya pandang matanya menjadi lebih tajam dan jauh, lesatan ilmu meringankan tubuhnya juga semakin cepat, dan energi tenaga dalamnya juga meningkat dengan pesat. Rasa hangat dan terkadang panas bergantian dirasakan di simpul-simpul energinya. Hal yang menandakan, sedang terjadi penyesuaian dan penyelarasan secara alami di titik-titik itu. Luar biasa..! 'Seperti kata Ayah, sebaiknya nanti malam aku mencoba mempraktekkan aji 'Singa Langit' level pamungkasku', bathin Angga. Angga memang merasa penasaran sekali, dengan kedahsyatan pamungkas dari aji 'Singa L
Sementara itu, acara pernikahan Marsha yang dilaksanakan keesokkan harinya berjalan dengan lancar. Nampak area parkir di halaman depan kediaman Winston, penuh sesak dengan kendaraan para tamu yang hadir. Marsha nampak bagai ratunya para wanita, di hari pernikahannya itu, Marsha tampak begitu anggun dan jelita, dengan mengenakan gaun putih gading yang dipenuhi dengan sulaman-sulaman kecil dan rumit. Desain romantis, dengan applique tangan renda macrame Prancis pada korset hingga lengan, dan rok tulle Italia. Sedangkan Leonard memakai tuksedo klasik Armani, dan melengkapinya dengan kemeja putih dan dasi kupu-kupu. Sungguh pasangan yang serasi, dan menawan mata dan hati siapapun yang memandangnya. Di salah satu sisi taman juga di sediakan sebuah stand layanan, bagi orang atau tamu yang hendak memberikan, atau menyalurkan hadiahnya pada pengantin. Hal itu bukanlah atas permintaan pengantin ataupun keluarga Winston. Di adakannya stand khusus itu, hanya dimaksudkan bagi tamu yang b
"A-apa..?! Park Avenue 740..!" Glkk..! Felicialah sampai tersedak air liurnya sendiri. Karena rasa kaget bukan mainnya, mendengar hadiah yang diberikan oleh teman Marsha itu. Dan dia dan semua yang ada di situ rata-rata paham, berapa harga per unit rumah di kawasan Penthouse kota New York itu. "I-itu sangat gila..!" Jenifer ternganga. "Anna..! Anna..! Kau tak apa-apa kan..?!" Merry terkejut cemas. Melihat Anna yang tiba-tiba terdiam kaku di kursinya, dengan mata terbelalak. "Ibu..?!" Felicia juga jadi ikut cemas. Dia pun lalu mengguncang tubuh ibunya. "Ahh..! Ehh..! A-aku tak apa-apa," suara gugup Anna memberitahukan pada semuanya, bahwa dirinya masih bernafas. "Ini keren sekali Anna..! 35 juta dolar..! Fantastis..!" seru tajam Dorothy, dengan wajah histeris. "Rekeningnya..! Ya, rekeningnya..! Aku harus tahu jumlah rekening wanita itu..!" desis tajam Anna. Dia pun beranjak dari kursinya menuju stand pemberian hadiah. "Anna..! Apa yang akan kau lakukan..!" seru tertahan para r
"Mulai ..!" Seth..! Seiring aba-aba yang diserukannya, Hong Chen melesat dengan tangan menyambar ke arah pusaka langit tersebut. Staaghs.! "Akhhs..!" Seth..! Tangan Hong Chen terasa bergetar dan tersetrum tegangan tinggi. Saat gagang cambuk berkilau keemasan itu terbentur oleh tangannya. Tangkapannya kurang tepat, cambuk terus berputar cepat sekali. Dia pun kembali melesat ke tepi cekungan, untuk mengatur tangkapannya kembali. "Hiahh..!" Swaappsh..!! Biksu Kian Long menghentakkan kedua tangannya, ke arah cambuk pusaka yang tengah berputar cepat itu. Seketika arus putaran cambuk pusaka bagai tertahan, oleh sebuah tenaga luar biasa yang tak kasat mata. Putaran cambuk pusaka itu menjadi lebih lambat, dan jelas sekali terlihat gagangnya. Dan saat sang biksu hendak melesat meraihnya, Seth..! Cepat sekali Chen Sang melesat ke arah cambuk yang nampak jelas itu. Melihat hal itu, biksu Kian Long melepaskan kembali energi penahan lesatan cambuk itu. Wrrrrrhhss...! Krrtz..! Krrtzzs
"Benar Guru. Sesuatu yang berharga pastilah banyak yang mengincarnya," sahut Chen Sang pelan. "Chen Sang, kita bermeditasi disini hingga 'pusaka' itu turun. Apapun yang akan terjadi nanti tetaplah bermeditasi, gunakan perisai tenaga dalammu saat badai datang. Hilangkan ambisi mendapatkan 'pusaka' itu, namun tetaplah berharap pada kemurahan-NYA," ujar sang Guru Tiga Aliran memberikan arahan terakhirnya pada Chen Sang. "Baik Guru..!" sahut Chen Sang patuh. "Dan ingat Chen Sang..! Saat badai mulai mereda, kita harus mengakhiri meditasi kita. Lalu berusahalah menggapai 'Pusaka Langit', yang telah melayang di atas pusat cekungan melingkar ini," sang Guru berbisik dengan suara pelan namun tajam. "Chen Sang paham Guru." Sosok guru dan murid itu akhirnya duduk bersila, lalu bermeditasi dengan posisi teratai. Selama 2 jam lebih sudah ke tiga sosok di tepian cekungan, yang berada di lembah pegunungan Kunlun itu bermeditasi. Hingga ... Scraattzz..! Jlegaarhhss..!! Sebuah kilatan besar
"Lapor Jendral..! Misi sudah dilaksanakan. Enam buah roket telah ditembakkan. Dan satu orang di antara mereka sepertinya sudah tewas Jendral..!" "Bara..?!" seru Graito bertanya."Maaf, bukan Jendral..!" sahut pelapor. "Lalu empat helikopter yang lainnya..?!" tanya sang Jendral, seraya menatap tajam sang pelapor. "Empat helikopter kita meledak hancur oleh pukulan Bara, Jendral..!" "Wesh..!" Praaghk..!! Sang pelapor pun langsung tewas di tempat, dengan kepala pecah. Di hantam pukulan bertenaga dalam sang Jendral. Dua orang lain di samping pelapor otomatis melangkah mundur seketika. Sadis..! "Keparat Bara..!! Kau selalu membuatku rugi..!" teriak kalap sang Jendral. "Mana Pandu..?!" seru sang Jendral, pada dua orang lainnya. Sepasang matanya mendelik berkilat kemerahan. "He-he-helikopternya juga jatuh Jendral." sahut seorang di antara mereka. "Dari sisi mana kalian menyerang..?!" "Da-dari arah depan markas Jendral."Braaghk..!! Kini meja teras yang lagi-lagi hancur oleh sepaka
"Bangsat kau Bara..!" Slaph..! Byaarshk..! Pandu melesat keluar dari helikopter yang hilang kendali tersebut. Bara melihat sosok merah keemasan melesat keluar, dari helikopter yang hendak hancur masuk ke lembah itu. 'Pandu..!' gumam bathin Bara. Namun saat dia hendak melesat mengejarnya, "Gatott..!!" samar-samar terdengar teriakkan keras para sahabatnya, menyeru nama Gatot di bawah sana. Bara pun urung mengejar Pandu, dan melesat kembali ke markasnya dengan secepat mungkin. Slaphh..! Taph..! Bara mendarat tepat di sisi para sahabatnya, yang telah berkerumun cemas pada kondisi Gatot. Nampak jelas kini oleh Bara, sosok Gatot yang tengah terkapar tak sadarkan diri. Dada Gatot nampak membiru, dengan darah mengalir dari mulutnya. 'Luka dalam yang teramat parah..!' bathin Bara sesak dan sedih sekali. "B-bara..! A-apa yang harus kita lakukan..?!" seru gugup bergetar Sandi. Dan semua sahabat pun kini menatap Bara, seolah menanti keputusan cepat dari Bara. Karena mereka semua tak a
"Teh manis opo..? Gundulmu kuwi..! Bikin sendiri sana..!" seru bi Tarni sewot. "Ya Bibi, Gatot kan mau pulang nanti Bi. Bikinin ya, teh bikinan Bibi kan yang paling pas di lidah. Hehe," celetuk Gatot terkekeh. "Huhh..! Gombiall..!" sungut bi Tarni, seraya beranjak kembali ke dapur. Bara cs melanjutkan obrolannya, sambil makan gorengan buatan bi Tarni. Sungguh suasana yang menyenangkan di pagi itu. Namun...Wrrngg..! Wrŕenngg..!! Secara tiba-tiba dari ketinggian, turun dengan cepat 5 buah helikopter ke arah markas Bara. Kumpulan helikopter itu terbang dalam keadaan melintang berbaris. Pada ketinggian sekitar 80 meter di atas tanah, dengan sisi-sisi pintu nya telah terbuka menghadap ke depan vila. Nampak RPG-32 telah disiapkan pada posisi siap meluncur. "Tembak..!!" Pandu yang memimpin langsung penyerangan, langaung memberikan perintah tembak. Swassh..! Swaassh ..! ... Swaassh..!! Enam buah roket langsung melesat cepat ke titik target di markas Bara. "Awass..! Semuanya..!! Han
"Resti..!" Seth..! Tiba-tiba saja sosok Revina melesat masuk, dan memalang di antara tubuh Resti yang tertarik maju. Plakh.! ... Plakh..!!Dan Revina langsung menampar keras pipi Evan bolak-balik 3 kali. "Arrkksgh...!! Kurang ajar kau Rrevina..! Kau selalu menghalangiku..!" Evan berteriak keras kesakitan. Pipinya terasa panas berdenyar, dengan kuping berdenging, dan mulutnya terasa asin berdarah. Warna merah lebam segera menghias kedua pipi Evan, yang nampak mulai membengkak. "Kau yang Bajingan Evan..! Rupanya tempo hari aku kurang keras menghajarmu..!" seru Revina dengan mata membelalak marah, seraya menunjuk ke wajah Evan. "Hei.hei..hei..! Rupanya buruanmu galak juga Evan. Aku jadi ingin mencicipi keganasannya di ranjang..! Hahaaa..!" seru tergelak salah seorang dari teman Evan. Dan serentak kedua teman Evan itu berjalan mendekat ke arah Revina. "Resti..! Kau masuklah ke mobil. Biar kuhajar tiga pecundang ini..!" bisik tajam Revina pada Resti. "Hati-hati Vina..!" bisik Re
"Bara memang brengsek..! Dia berkata dia adalah orang bebas..! Cuih..! Jangan harap..!" seru Freedy, mengungkapkan kekesalan hatinya. "Freedy, apakah benar Bara berkata begitu..?!" seru sang Jendral, yang mendengar seruan marah Freedy. "Benar Jendral." "Hmm. Pemuda licik itu benar-benar tahu posisinya saat ini Freedy..!" seru Graito. "Maksud Jendral..?!" seru Freedy kaget. Setelah mendengar sang Jendral seolah membenarkan ucapan Bara yang telah bebas. "Freedy, buka nalarmu..! Saat ini posisi kita dalam pengintaian pihak kepolisian. Dan aku mencurigai ada kerjasama antara pihak Bara cs dengan kepolisian, untuk menyelidiki serta membekuk kita. Karenanya kita tak mungkin mengajukan laporan pencabutan jaminan kita atas dirinya. Karena telah terjadi pergantian pejabat tinggi di kepolisian saat ini. Jika kita nekat melaporkan juga. Maka kemungkinan pihak kepolisian malah akan memeriksa kita, sehubungan dengan penjaminan yang kita lakukan. Benar-benar 'culas' si Bara ini..!" seru sa
"Haishh..! Dasar wong gemblung.! Lagi bahas Non Marsha malah ngomongin makanan," sentak bi Tarni kesal pada Gatot. Segera ia melepaskan pelukannya dari Gatot, seraya mengusap air matanya. Lalu dia pun berbalik melangkah kembali ke dalam vila, tanpa menoleh lagi. Tentu saja bi Tarni hendak membuatkan masakan terenak, khusus buat 'tuyul dapur'nya itu. "Lho..?! Salah saya di mana Bi Tarni yang cantik..?" protes Gatot, sambil memasang wajah bingung.Ya, dibalik sikap jutek bi Tarni pada Gatot, sesungguhnya dia sudah menganggap Gatot bagai ponakannya sendiri. Para sahabat lainnya hanya tertawa saja, melihat adegan rutin cekcok Gatot dan bi Tarni itu. Mereka pun akhirnya berkumpul dan ngobrol di teras vila dalam suasana yang penuh kekeluargaan. *** Dua hari kemudian. Sang Jendral sedang termenung di 'ruang rahasia'nya. Tampak emas batangan bertumpuk-tumpuk membentuk sebuah gunungan setinggi 3 meteran. Beberapa brankas besi pun tampak berjajar, di sekitar ruangan yang luas tersembun
"Terimakasih Mas Bara, Mas Dimas, Mas Gatot, Mas David, Mas Sandi, Brian, dan semuanya. Kalian memang sahabat-sahabat terbaik seumur hidupku," ucap serak Marsha, penuh perasaan terimakasih dan keharuan mendalam. "Bukan apa-apa Marsha, kau juga kerap membantu kami semua. Istirahatlah, yakinlah hari esok pasti lebih baik Marsha," sahut Bara tersenyum menenangkan. Ditatapnya Marsha dengan pandangan penuh prihatin dan juga sayang, pada sahabat wanitanya ini. Marsha pun tertunduk, dengan buliran air mata mengalir di pipinya. Lalu dia pun beranjak melangkah menuju ke kamarnya, dengan dirangkul oleh Leonard. "Mas Bara, David, dan semuanya. Atas nama keluarga Winston Group, saya mengucapkan banyak terimakasih atas pertolongan dan penghiburan kalian. Di saat keluarga kami mengalami musibah yang menyedihkan dan membingungkan ini. Kalian datang dan memberi titik terang atas masalah kami. Dengan ini, 'Winston group' telah menganggap kalian sebagai bagian dari keluarga besar kami. Kami tak