Di lain tempat, suara ketukan di pintu mengagetkan Adi yang sedang membuat kopi di dapur. Dia melongok jam dinding, waktu menunjukkan pukul sebelas malam.
"Siapakah yang bertamu malam-malam seperti ini?" Terbersit pertanyaan dalam hati Adi.
Baru saja hendak membuka pintu, tiba-tiba angin bertiup kencang hingga pintu terbuka dengan sendirinya. Padahal seingat Adi, dia sudah menguncinya.
"Bang Adi ...." Suara lembut menyapa dari balik pintu yang terbuka lebar.
"Sum! Sayangku ...." Adi terkesiap melihat sosok yang muncul di hadapannya adalah orang yang sangat dia rindukan.
Tampak Sumi menggendong sesuatu dalam kain jarik lusuh. Buru-buru Adi menghampiri, hati kecilnya sebagai ayah juga sangat merindukan anak yang belum pernah disentuhnya. Namun, semakin Adi mendekat, sosok Sumi seakan terbang tertiup angin. Jauh masuk ke dalam kegelapan malam. Adi berlari mengejar Sumi, tetapi hanya
Selesai mengantarkan barang, seperti biasa Adi melapor diri dulu ke bagian administrasi. Mas Gondo sudah sampai terlebih dahulu dan sudah menyelesaikan laporannya, duduk menunggu Adi di depan kasir."Di!" sapa Mas Gondo yang langsung menghampiri Adi. Adi menghentikan langkahnya."Ya, Mas." Kali ini Adi mulai melunak karena merasa tak enak hati Mas Gondo berusaha berdamai dengannya."Nanti senja, kita berangkat. Trukmu taruh saja di parkiran, kita akan melakukan ritual itu seminggu lamanya. Aku siapkan mobilku dulu," ujar Mas Gondo dengan suara pelan."Iya, Mas. Aku nunggu di kantin saja." Adi berkata singkat kemudian berlalu, sedangkan Mas Gondo mengeluarkan dan memanaskan mobil mewahnya yang sengaja diparkirkan di salah satu bangunan di pabrik tersebut."Di, Adi ... kamu masih saja keras hatimu. Pantas Sang Junjungan masih penasaran," gumam Mas Gondo sambil mengelap kaca m
Masing-masing beranjak dari posisinya, menggunakan jubah hitam serta menuju altar. Sesosok pria muda bertubuh tegap, berbaring serta tangannya terikat. Sama persis dengan keadaan Adi dulu.Orang-orang berjubah hitam termasuk Mas Gondo dan Adi mengelilingi pria tersebut yang tampak ketakutan.Tampak Pak Steven memanggil seorang wanita yang mempunyai kekerabatan dengan si pria untuk menggoreskan pisau ke lengannya hingga mengeluarkan darah. Si pria terpaksa meneguk darah yang di berikan kepadanya, walau beberapa dia hampir muntah."Aku mohon, lepaskan!" Isak tangis serta nada permohonan keluar dari bibir pria yang tak pantas diucapkannya, mengingat fisik si pria yang gagah."Sudah, masukkan dia ke dalam patung Sang Junjungan. Kita lihat apakah pantas menjadi generasi penerusmu, Rukmi!" Pak Steven berkata keras kepada wanita yang memberikan darahnya kepada si pria.Pria itu terus berteriak histeris, apa lagi saat tubuhnya dimasukkan ke peti yang
Mas Gondo terus saja memikirkan bagaimana kematiannya nanti, sedangkan Adi bingung tentang siapa penerusnya nanti. Anak yang dilahirkan Sumikah? Pertanyaan itu terus saja mengusik pikiran Adi, mungkin saja karena Adi tak senang mempunyai anak dengan kekurangan fisik."Di, opo kowe tidur neng omahku saja, ya?" Mas Gondo berusaha memecah kesunyian dengan membuka percakapan dengan Adi.Adi menggeleng lemah lalu menjawab, "Pulang saja, Mas. Besok' kan libur kerja, pagi-pagi aku mau mencari Sumi lagi." Mas Gondo langsung terdiam mendengar jawaban sahabatnya itu, dia pun menuruti keinginan Adi."Oh, iya, Mas. Boleh tahu nomor telepon Bu Retno?" tanya Adi. Mas Gondo merasakan panik hingga mengerem mendadak."Mas, hati-hati!" teriak Adi yang kepalanya hampir menghantam kaca depan karena tidak memakai sabuk pengaman."Eeh, maaf, Di. Tadi ada kucing lewat." Mas Gondo menjawab a
Azan Subuh terdengar syahdu, membangunkan kaum muslim untuk beribadah kepadaNya. Demikian pula Adi, dia terbangun. Namun, tubuhnya bagai terikat di atas ranjang, matanya berat seperti ditindih batu besar. Pengaruh iblis yang bernama Sang Junjungan begitu kuat kepadanya, hingga kini Adi bukan sebagai muslim taat lagi hanya status di KTP saja.Adi mampu membuka mata serta menggerakkan tubuhnya saat matahari mulai bersinar. Gegas dia hendak melangkah ke kamar mandi, tetapi kakinya yang terkilir membuatnya susah berjalan sehingga memutuskan berbaring kembali setelah memberi balsam dan mengikat kakinya dengan potongan kain."Lebih nyaman rasanya," gumam Adi. Setelah itu dengan tertatih-tatih Adi menuju kamar mandi.****Jalanan ramai dengan banyak kendaraan, Adi menunggu ojek di tepi jalan, agar bisa leluasa membawanya ke mana saja. Tak lama sebuah sepeda motor berhenti di hadapannya.
Adi pun akhirnya berpamitan kepada Mbah Sarijo setelah memberikan uang serta mengucap terima kasih."Bang, sudah siang nih, kita ke rumah makan Padang dulu, ya, ngisi perut!" ajak Adi yang disambut suka cita oleh si ojek.Sebuah rumah makan Padang yang terkenal enak dimasuki Adi dengan mengajak serta si ojek. Mereka pun menikmati makanan dengan suka cita, sesudahnya Adi meminta si ojek kembali mengantarkan keliling, berharap bertemu Sumi.***Adi tertunduk lesu, melangkah memasuki rumah. Usahanya hari ini mencari Sumi, nihil. Lelah hati, lelah tubuh, membuat Adi menangis tersedu-sedu di sudut kamar. Merenungi semua yang terjadi kepadanya.Setelah merasa lega, Adi membersihkan diri lalu menuju rumah Bu Yayuk, suaminya yang bernama Pak Tejo tujuannya bertemu."Pak Tejo, ada, Bu?" tanya Adi saat melihat Bu Yayuk dan Dita sedang bercengkrama di teras selepas Magr
Sementara di rumahnya yang besar dan mewah, tampak Tini sedang menelepon Mas Gondo. Dia menceritakan bagaimana tadi menghindari Adi yang mengejarnya sampai ke mall.[Untuk beberapa waktu jangan keluar rumah dulu Sayang ... atau pindah rumah ke kawasan yang jauh dari pabrik dan tempat tinggal Adi] Di ujung sana Mas Gondo memberi saran kepada Tini, agar tidak ada kejadian seperti hari ini.[ Iya, Mas. Mungkin aku akan pindah ke dekat rumahnya Sumi agar mudah menjaganya][ Kalau menurutmu itu baik, jalankan saja Sayang]Tini mengakhiri pembicaraan di telepon dengan mengungkapkan rasa rindunya karena tiga hari ke depan tidak bertemu Mas Gondo. Pria yang menjadi kekasihnya pun menjawab dengan perasaan sama. Seperti itulah mereka, bertemu di usia yang tak lagi muda walau penampilan serta fisik jauh di bawah usianya. Bilur-bilur cinta bak remaja.Tini b
Dengan penuh semangat Tini turun dari mobil. Rumah yang masih ada penghuninya itu dimasukinya. Ternyata harga yang ditawarkan sesuai harapan, tanpa berpikir panjang dia pun menyanggupi membayar sesuai permintaan pemilik. Namun, untuk dapat pindah masih membutuhkan waktu semingguan.Ternyata aktivitas Tini dari awal datang ke rumah Sumi sampai transaksi jual beli rumah, diperhatikan dua pasang mata yang menatap penuh kebencian."Lihat, Pak. Wanita itu sangat bersikeras dekat dengan Sumi, kalau begini terus aku khawatir rencana kita gagal.""Tenang saja, Bu. Sepertinya dia tidak bersama Gondo si demit itu, jadi lebih mudah mengalahkannya."Dua orang itu terus bercakap-cakap, memperhatikan Tini. Hingga mobil perempuan tersebut meninggalkan perkampungan.Setelah dirasa aman, dua orang yang ternyata Pak Dodo dan Bu Astuti keluar dari persembunyian. Mereka melanjutkan jalan-jalan
Mirisnya pihak setempat tidak mengusut kejadian itu, malah membakar habis perkampungan dengan dalih khawatir penyakit tersebut menularkannya kepada orang lain. Tawa kemenangan keluar dari mulut Pak Dodo dan Bu Astuti akhirnya malah membangun rumah-rumah kontrakan di atas mayat-mayat yang telah menyatu dengan tanah perkampungan. Namun, keanehan terjadi. Kandungan Bu Astuti yang sudah mencapai bulannya tidak menunjukkan tanda-tanda melahirkan. Membuat tubuh wanita itu semakin kurus dan pucat. "Pak, aku, kok, belum melahirkan, ya?" ucap Bu Astuti yang berbaring lemah di atas ranjang. Pak Dodo terdiam sesaat memikirkan kondisi istrinya. Dia jadi teringat pada patung Sang Junjungan yang terletak di bangunan tua dekat hutan. Sehingga senja berangkatlah dia ke sana, menyembah patung itu lalu tidur di atas altar penuh darah mengering. Antara sadar dan tidak, petunjuk diberikan Sang Junjungan agar ist