Masing-masing beranjak dari posisinya, menggunakan jubah hitam serta menuju altar. Sesosok pria muda bertubuh tegap, berbaring serta tangannya terikat. Sama persis dengan keadaan Adi dulu.
Orang-orang berjubah hitam termasuk Mas Gondo dan Adi mengelilingi pria tersebut yang tampak ketakutan.
Tampak Pak Steven memanggil seorang wanita yang mempunyai kekerabatan dengan si pria untuk menggoreskan pisau ke lengannya hingga mengeluarkan darah. Si pria terpaksa meneguk darah yang di berikan kepadanya, walau beberapa dia hampir muntah.
"Aku mohon, lepaskan!" Isak tangis serta nada permohonan keluar dari bibir pria yang tak pantas diucapkannya, mengingat fisik si pria yang gagah.
"Sudah, masukkan dia ke dalam patung Sang Junjungan. Kita lihat apakah pantas menjadi generasi penerusmu, Rukmi!" Pak Steven berkata keras kepada wanita yang memberikan darahnya kepada si pria.
Pria itu terus berteriak histeris, apa lagi saat tubuhnya dimasukkan ke peti yang
Mas Gondo terus saja memikirkan bagaimana kematiannya nanti, sedangkan Adi bingung tentang siapa penerusnya nanti. Anak yang dilahirkan Sumikah? Pertanyaan itu terus saja mengusik pikiran Adi, mungkin saja karena Adi tak senang mempunyai anak dengan kekurangan fisik."Di, opo kowe tidur neng omahku saja, ya?" Mas Gondo berusaha memecah kesunyian dengan membuka percakapan dengan Adi.Adi menggeleng lemah lalu menjawab, "Pulang saja, Mas. Besok' kan libur kerja, pagi-pagi aku mau mencari Sumi lagi." Mas Gondo langsung terdiam mendengar jawaban sahabatnya itu, dia pun menuruti keinginan Adi."Oh, iya, Mas. Boleh tahu nomor telepon Bu Retno?" tanya Adi. Mas Gondo merasakan panik hingga mengerem mendadak."Mas, hati-hati!" teriak Adi yang kepalanya hampir menghantam kaca depan karena tidak memakai sabuk pengaman."Eeh, maaf, Di. Tadi ada kucing lewat." Mas Gondo menjawab a
Azan Subuh terdengar syahdu, membangunkan kaum muslim untuk beribadah kepadaNya. Demikian pula Adi, dia terbangun. Namun, tubuhnya bagai terikat di atas ranjang, matanya berat seperti ditindih batu besar. Pengaruh iblis yang bernama Sang Junjungan begitu kuat kepadanya, hingga kini Adi bukan sebagai muslim taat lagi hanya status di KTP saja.Adi mampu membuka mata serta menggerakkan tubuhnya saat matahari mulai bersinar. Gegas dia hendak melangkah ke kamar mandi, tetapi kakinya yang terkilir membuatnya susah berjalan sehingga memutuskan berbaring kembali setelah memberi balsam dan mengikat kakinya dengan potongan kain."Lebih nyaman rasanya," gumam Adi. Setelah itu dengan tertatih-tatih Adi menuju kamar mandi.****Jalanan ramai dengan banyak kendaraan, Adi menunggu ojek di tepi jalan, agar bisa leluasa membawanya ke mana saja. Tak lama sebuah sepeda motor berhenti di hadapannya.
Adi pun akhirnya berpamitan kepada Mbah Sarijo setelah memberikan uang serta mengucap terima kasih."Bang, sudah siang nih, kita ke rumah makan Padang dulu, ya, ngisi perut!" ajak Adi yang disambut suka cita oleh si ojek.Sebuah rumah makan Padang yang terkenal enak dimasuki Adi dengan mengajak serta si ojek. Mereka pun menikmati makanan dengan suka cita, sesudahnya Adi meminta si ojek kembali mengantarkan keliling, berharap bertemu Sumi.***Adi tertunduk lesu, melangkah memasuki rumah. Usahanya hari ini mencari Sumi, nihil. Lelah hati, lelah tubuh, membuat Adi menangis tersedu-sedu di sudut kamar. Merenungi semua yang terjadi kepadanya.Setelah merasa lega, Adi membersihkan diri lalu menuju rumah Bu Yayuk, suaminya yang bernama Pak Tejo tujuannya bertemu."Pak Tejo, ada, Bu?" tanya Adi saat melihat Bu Yayuk dan Dita sedang bercengkrama di teras selepas Magr
Sementara di rumahnya yang besar dan mewah, tampak Tini sedang menelepon Mas Gondo. Dia menceritakan bagaimana tadi menghindari Adi yang mengejarnya sampai ke mall.[Untuk beberapa waktu jangan keluar rumah dulu Sayang ... atau pindah rumah ke kawasan yang jauh dari pabrik dan tempat tinggal Adi] Di ujung sana Mas Gondo memberi saran kepada Tini, agar tidak ada kejadian seperti hari ini.[ Iya, Mas. Mungkin aku akan pindah ke dekat rumahnya Sumi agar mudah menjaganya][ Kalau menurutmu itu baik, jalankan saja Sayang]Tini mengakhiri pembicaraan di telepon dengan mengungkapkan rasa rindunya karena tiga hari ke depan tidak bertemu Mas Gondo. Pria yang menjadi kekasihnya pun menjawab dengan perasaan sama. Seperti itulah mereka, bertemu di usia yang tak lagi muda walau penampilan serta fisik jauh di bawah usianya. Bilur-bilur cinta bak remaja.Tini b
Dengan penuh semangat Tini turun dari mobil. Rumah yang masih ada penghuninya itu dimasukinya. Ternyata harga yang ditawarkan sesuai harapan, tanpa berpikir panjang dia pun menyanggupi membayar sesuai permintaan pemilik. Namun, untuk dapat pindah masih membutuhkan waktu semingguan.Ternyata aktivitas Tini dari awal datang ke rumah Sumi sampai transaksi jual beli rumah, diperhatikan dua pasang mata yang menatap penuh kebencian."Lihat, Pak. Wanita itu sangat bersikeras dekat dengan Sumi, kalau begini terus aku khawatir rencana kita gagal.""Tenang saja, Bu. Sepertinya dia tidak bersama Gondo si demit itu, jadi lebih mudah mengalahkannya."Dua orang itu terus bercakap-cakap, memperhatikan Tini. Hingga mobil perempuan tersebut meninggalkan perkampungan.Setelah dirasa aman, dua orang yang ternyata Pak Dodo dan Bu Astuti keluar dari persembunyian. Mereka melanjutkan jalan-jalan
Mirisnya pihak setempat tidak mengusut kejadian itu, malah membakar habis perkampungan dengan dalih khawatir penyakit tersebut menularkannya kepada orang lain. Tawa kemenangan keluar dari mulut Pak Dodo dan Bu Astuti akhirnya malah membangun rumah-rumah kontrakan di atas mayat-mayat yang telah menyatu dengan tanah perkampungan. Namun, keanehan terjadi. Kandungan Bu Astuti yang sudah mencapai bulannya tidak menunjukkan tanda-tanda melahirkan. Membuat tubuh wanita itu semakin kurus dan pucat. "Pak, aku, kok, belum melahirkan, ya?" ucap Bu Astuti yang berbaring lemah di atas ranjang. Pak Dodo terdiam sesaat memikirkan kondisi istrinya. Dia jadi teringat pada patung Sang Junjungan yang terletak di bangunan tua dekat hutan. Sehingga senja berangkatlah dia ke sana, menyembah patung itu lalu tidur di atas altar penuh darah mengering. Antara sadar dan tidak, petunjuk diberikan Sang Junjungan agar ist
"Hahahaha, sudah jangan banyak berpikir, Do. Ikuti saya!" Pria tersebut memberi kode kepada Pak Dodo agar mengikuti langkahnya ke belakang perusahaan. Bagai seorang budak kepada tuannya, Pak Dodo berjalan di belakang pria tersebut. "Masuklah, Do! Jika kamu mampu memberinya kesenangan, kamu akan mendapatkan yang diinginkan, tetapi jika tidak, bersiaplah dengan sesuatu mengerikan." Gegas, pria itu mendorong tubuh Pak Dodo dalam suatu ruangan yang terdapat patung seram serta simbol-simbol aneh. Tiba-tiba ruangan menjadi tampak sangat indah, saat terdengar alunan musik klasik serta aroma bunga. Entah datang dari mana, seorang wanita muda, cantik, serta seksi berpakaian tipis menggoda, menghampiri Pak Dodo yang terpesona. Tampak menunggu lama, Pak Dodo yang haus belaian wanita langsung mencumbu dengan ganas. Rasa cinta pada istrinya sedikit terlupakan. Kali ini hawa nafsu lebih meng
Sampailah Pak Dodo di sebuah rumah mewah, tempat dulu dia bekerja. Kemudian dengan mengandalkan kesaktian yang diberikan Sang Junjungan, Pak Dodo masuk ke rumah tersebut tanpa diketahui dan disadari siapa pun. Dengan gerakan cepat, Pak Dodo membantai habis semua penghuni rumah tersebut. Jenasah mereka diperlakukan bak binatang, bahkan si tuan rumah serta adiknya yang pernah memfitnah Bu Astuti hancur dicincang. Darahnya ditampung Pak Dodo di dalam sebuah wadah, setelah puas menuntaskan semuanya dia pun pulang. Di rumah Bu Astuti menunggu dengan sabar. "Bu, Ibu!" Pak Dodo langsung mencari istrinya sesampainya di rumah. Bu Astuti menyambut dengan pandangan bertanya-tanya. "Itu, apa, Pak?" tanya Bu Astuti penasaran sambil melihat ke wadah yang dibawa Pak Dodo. "Ini pelancar agar kamu cepat melahirkan, Bu. Cepat mandi dengan ini!" Pak D
"Mana Sumi? Aku ingin bertemu dia juga anakku!" Adi menerobos masuk ke dalam rumah diikuti si wanita yang tak lain adalah Tini."Dia tidak ada di sini, Di! Cepat keluar dari rumahku!" Tini menarik tangan Adi yang tak menghiraukan perintahnya.Merasa kesal dengan perlakuan Tini, Adi menepis tangan dan mendorong tubuh perempuan cantik tersebut hingga terjatuh ke lantai, lalu bergegas membuka pintu kamar satu persatu dengan harapan bertemu Sumi. Namun, alangkah terkejutnya pria tersebut saat mendapati kamar kedua yang dibukanya terdapat patung menyerupai Sang Junjungan lengkap dengan altarnya."Gil*! Ternyata kau juga salah satu pemuja setan keparat itu, Tin?! Kau sengaja mendekati Sumi agar bisa ditumbalkan?" Adi berbalik mendekati Tini dengan tatapan tajam, kemarahannya sudah di ubun-ubun."Bukan begitu, Di ... malah sebaliknya, aku ingin melindungi Sumi, dia ...." Belum selesai ucapan Tin
Di tempat lain, Retno sedang bercakap-cakap dengan Adi. "Tidak salah lagi, Di. Kampung belakang komplek ini, Sumi berada. Aku bisa merasakan kehadirannya walau sosok istri dan anakmu tidak terlihat." "Jadi bagaimana, Bik?" Adi mendekatkan dirinya kepada Retno. "Menurutku, coba kau yang lihat ke sana. Aku yakin, perisai dibuat Gondo dan Yudhis hanya berlaku kepadaku." Retno menyakinkan Adi agar menuruti perintahnya, dia tidak mau tenaganya terus terkuras habis akibat menembus benteng yang dibuat rival-rivalnya itu. "Baiklah, Bik. Kebetulan besok aku libur, mudah-mudahan benar apa yang dikatakan Bibik." Meski ada rasa kecewa, Adi berusaha bertemu Sumi dan menyakinkan diri agar mereka bisa bersama lagi. **** Keesokan pagi dengan menyewa sepeda motor, Adi berangkat menuju kampung belakang komplek. Semilir angin sejuk menerpa wajah perseginya, membuat
Setelah dirasakan tenang, Dewi dan Armand pamit pulang dengan pikirannya masing-masing. Terutama Dewi yang berniat akan mengaku kepada Sumi tentang keadaan almarhum orang tuanya serta dirinya---para penyembah Sang Junjungan. Dia ingin bertaubat karena tak ingin kematian mengerikan menjemputnya. Namun, niat baiknya itu ternyata tak mampu terwujud. Keesokan hari, Dewi beserta suaminya mati ditemukan gantung diri di langit-langit ruang tamu."Ya Allah, bagaimana kejadiannya, Dek?" tanya Sumi setelah mendengar kematian Dewi dan Surya kepada Armand yang menangkupkan kedua tangan menutupi wajah lelahnya."Selepas salat Subuh di musala, saya mendengar suara tercekik dari dalam rumah, pintu keadaan setengah terbuka. Saya pikir tumben Teh Dewi dan Mas Surya sudah bangun. Ternyata yang saya temukan tubuh mereka tergantung, Mbak." Armand menahan tangis. Dalam hitungan hari, dia sudah kehilangan semua anggota keluarga, membuat hatinya bertanya-tan
"Mbak, saya juga mau pamit, ya." Setelah ikut merapikan ruangan, Armand beserta ibu-ibu lainnya pulang. Meninggalkan Sumi dan Rizky yang terbangun dari sebelum Magrib."Anak Ibu mau apa?" tanya Sumi kepada Rizky yang menatap ceria ke buah-buahan yang masih banyak tersaji. Rizky menunjuk ke arah jeruk Mandarin. Sumi dengan penuh kasih menyuapkan ke anaknya."Enak Sayang ...."Rizky membalas pertanyaan ibunya dengan tawa riang. Sumi gemas lalu menciuminya berulang kali.Siiir!Suara angin berdesir masuk kedalam jendela nako yang masih terbuka, Sumi lupa menutupnya. Aroma daging terbakar seketika menyeruak, pikir Sumi itu adalah bau asap dari penjual sate yang biasa mangkal di seberang jalan.Namun, terjadi keganjilan saat Sumi hendak menutup jendela. Tampak di depan rumahnya beberapa orang berdiri membelakangi. Dia melirik jam di dinding, ternyata sudah p
Sebelum ke rumah Bu Wid, Dewi bertandang ke rumah Sumi untuk memberitahukan tidak perlu menyiapkan apa-apa karena semua kebutuhan tahlilan dia yang akan mempersiapkannya. Namun, Sumi tidak tinggal diam. Saat Rizky bermain dengan mainannya, dia pun membersihkan rumah, agar terasa nyaman jika para tamu datang."Assalamualaikum ...." Suara salam diiringi riuh terdengar dari depan. Beberapa ibu-ibu tampak membawa penganan serta minuman."Waalaikumsallam, masuk Bu." Sumi menyambut ramah.Mereka menata makanan yang dibawa dengan sesekali menggoda Sumi."Aduh, sebentar lagi Rizky punya Bapak baru, nih.""Cocok, tahu, Mbak dengan Armand. Satunya ganteng, satunya lagi cantik."Panas sebenarnya telinga Sumi mendengarkan celotehan ibu-ibu tersebut, tetapi ditahannya di hati. Dia hanya diam, tidak banyak bicara menimpalinya dengan senyuman karena tahu panjang urusan jika
Tragis, mengerikan? Pasti. Siapa yang bersekutu dengan iblis dan akhir hidupnya belum bertaubat, ruhnya akan penasaran bahkan bisa terpenjara dalam lingkaran si iblis. **** Kampung tempat tinggal Pak Dodo dengan Bu Astuti heboh atas peristiwa terbakarnya rumah juragan kaya di wilayah tersebut. Bagaimana tidak, selain seluruh bangunan beserta harta benda lainnya terbakar habis. Para penghuninya pun tersisa jadi abu. Sepasang suami istri tersebut juga kedua anak serta mantunya juga dua pekerja rumah tewas terbakar, keluarga itu hanya tinggal Dewi serta suaminya dan Armand yang kebetulan berada di luar kota untuk keperluan pekerjaan. "Bapak! Ibu!" Teriakan histeris Dewi membahana, suaminya serta Armand berusaha menenangkan. "Sudah, Teh, tenang ... sekarang kita urus acara pemakaman mereka serta tahlilan." Armand berusaha agar Dewi tidak terus berteriak, benar saja Dewi terdiam. Namun, bukan kare
Semua usaha Retno dan Mas Gondo telah mereka lakukan sebisa mungkin walau dengan tujuan berbeda. Satu iblis yang sama dipuja menyebabkan mereka bagaikan dipermainkan dan Sang Iblis hanya tertawa melihat para pemujanya berebutan menarik perhatian apa pun bentuknya."Tin, aku ke rumah Yudhis dulu, mencari jawaban bagaimana cara membunuh Retno." Mas Gondo pamit kepada kekasihnya setelah merasa baikan. Tini mengangguk sebagai jawaban.Terik matahari tidak menghalangi Tini menuju rumah Sumi, sepeninggal Mas Gondo hatinya merasa tidak tenang. Khawatir terhadap anak serta cucunya.Di bawah naungan payung hitam, Tini mengintip dari balik pohon. Perasaannya lega melihat Sumi serta anaknya dalam kondisi baik-baik saja. Namun, ternyata bukan Sumi yang harus dikhawatirkan keadaannya, tetapi dirinya sendiri karena dua pasang mata menatap tajam ke arahnya yakni Pak Dodo dan Bu Astuti. Benar saja, ketika Tini hendak melangkah pulang, l
Setelah menyantap makanan yang disajikan Adi, Retno menuju kamar mandi, membersihkan diri lalu bersiap menjalankan misinya. Mencari keberadaan Sumi, dia dapat merasakan getaran bahwa orang yang dicarinya tidak jauh dari kontrakan Adi.Setelah menengok kiri kanan, Retno mulai menyusuri jalan menuju perkampungan-perkampungan yang berada di belakang komplek perumahan tempat tinggal Adi, tetapi ada yang aneh dengan penampilan Retno kali ini. Dia menyamar sebagai pengemis, berpakaian lusuh, wajah ditutupi jelaga serta memakai selendang di kepala agar dapat leluasa menjalankan aksinya. Sungguh luar biasa tekad perempuan itu, semua demi kejayaannya.Mulut Retno komat-kamit, matanya terus mencari, berharap apa yang dilihat dengan mata batinnya benar adanya. Bahwa Sumi beserta anaknya berada di sekitaran daerah itu, tetapi dari kampung-kampung sudah dijelajahinya sosok dicari belum ketemu jua. Tubuh Retno mulai terasa lelah hingga dia memutuskan beri
Hampir tengah malam saat Adi sampai di kontrakan dan mendapati Retno masih terbaring lemah di lantai."Bik, Bibik!" Adi berusaha membangunkan Retno. Namun, perempuan itu tidak bergeming. Sehingga Adi memutuskan ingin membawanya ke rumah sakit, tetapi saat tubuhnya hendak diangkat, mata Retno membuka."Ambilkan tas Bibik, Di ...." Adi bergegas mengambilkan tas kecil yang diletakkan Retno di kursi, sebelum dia mencoba menerawang tadi."Ini, Bik!" Adi memberikan tas Retno kepada pemiliknya. Perempuan itu langsung mengeluarkan botol kecil berisi cairan merah pekat yang langsung diteguknya habis. Mata Retno mengerjap, wajahnya pun tampak segar setelah meminum cairan tersebut."Ada apa, kok, Bibik pingsan?" tanya Adi."Aku tadi berusaha mencari tahu keberadaan Sumi karena merasakan getarannya, tetapi saat berusaha lebih jauh lagi, aku diserang. Sepertinya oleh Gondo dan Yudhis,"