Azan Subuh terdengar syahdu, membangunkan kaum muslim untuk beribadah kepadaNya. Demikian pula Adi, dia terbangun. Namun, tubuhnya bagai terikat di atas ranjang, matanya berat seperti ditindih batu besar. Pengaruh iblis yang bernama Sang Junjungan begitu kuat kepadanya, hingga kini Adi bukan sebagai muslim taat lagi hanya status di KTP saja.
Adi mampu membuka mata serta menggerakkan tubuhnya saat matahari mulai bersinar. Gegas dia hendak melangkah ke kamar mandi, tetapi kakinya yang terkilir membuatnya susah berjalan sehingga memutuskan berbaring kembali setelah memberi balsam dan mengikat kakinya dengan potongan kain.
"Lebih nyaman rasanya," gumam Adi. Setelah itu dengan tertatih-tatih Adi menuju kamar mandi.
****
Jalanan ramai dengan banyak kendaraan, Adi menunggu ojek di tepi jalan, agar bisa leluasa membawanya ke mana saja. Tak lama sebuah sepeda motor berhenti di hadapannya.<
Adi pun akhirnya berpamitan kepada Mbah Sarijo setelah memberikan uang serta mengucap terima kasih."Bang, sudah siang nih, kita ke rumah makan Padang dulu, ya, ngisi perut!" ajak Adi yang disambut suka cita oleh si ojek.Sebuah rumah makan Padang yang terkenal enak dimasuki Adi dengan mengajak serta si ojek. Mereka pun menikmati makanan dengan suka cita, sesudahnya Adi meminta si ojek kembali mengantarkan keliling, berharap bertemu Sumi.***Adi tertunduk lesu, melangkah memasuki rumah. Usahanya hari ini mencari Sumi, nihil. Lelah hati, lelah tubuh, membuat Adi menangis tersedu-sedu di sudut kamar. Merenungi semua yang terjadi kepadanya.Setelah merasa lega, Adi membersihkan diri lalu menuju rumah Bu Yayuk, suaminya yang bernama Pak Tejo tujuannya bertemu."Pak Tejo, ada, Bu?" tanya Adi saat melihat Bu Yayuk dan Dita sedang bercengkrama di teras selepas Magr
Sementara di rumahnya yang besar dan mewah, tampak Tini sedang menelepon Mas Gondo. Dia menceritakan bagaimana tadi menghindari Adi yang mengejarnya sampai ke mall.[Untuk beberapa waktu jangan keluar rumah dulu Sayang ... atau pindah rumah ke kawasan yang jauh dari pabrik dan tempat tinggal Adi] Di ujung sana Mas Gondo memberi saran kepada Tini, agar tidak ada kejadian seperti hari ini.[ Iya, Mas. Mungkin aku akan pindah ke dekat rumahnya Sumi agar mudah menjaganya][ Kalau menurutmu itu baik, jalankan saja Sayang]Tini mengakhiri pembicaraan di telepon dengan mengungkapkan rasa rindunya karena tiga hari ke depan tidak bertemu Mas Gondo. Pria yang menjadi kekasihnya pun menjawab dengan perasaan sama. Seperti itulah mereka, bertemu di usia yang tak lagi muda walau penampilan serta fisik jauh di bawah usianya. Bilur-bilur cinta bak remaja.Tini b
Dengan penuh semangat Tini turun dari mobil. Rumah yang masih ada penghuninya itu dimasukinya. Ternyata harga yang ditawarkan sesuai harapan, tanpa berpikir panjang dia pun menyanggupi membayar sesuai permintaan pemilik. Namun, untuk dapat pindah masih membutuhkan waktu semingguan.Ternyata aktivitas Tini dari awal datang ke rumah Sumi sampai transaksi jual beli rumah, diperhatikan dua pasang mata yang menatap penuh kebencian."Lihat, Pak. Wanita itu sangat bersikeras dekat dengan Sumi, kalau begini terus aku khawatir rencana kita gagal.""Tenang saja, Bu. Sepertinya dia tidak bersama Gondo si demit itu, jadi lebih mudah mengalahkannya."Dua orang itu terus bercakap-cakap, memperhatikan Tini. Hingga mobil perempuan tersebut meninggalkan perkampungan.Setelah dirasa aman, dua orang yang ternyata Pak Dodo dan Bu Astuti keluar dari persembunyian. Mereka melanjutkan jalan-jalan
Mirisnya pihak setempat tidak mengusut kejadian itu, malah membakar habis perkampungan dengan dalih khawatir penyakit tersebut menularkannya kepada orang lain. Tawa kemenangan keluar dari mulut Pak Dodo dan Bu Astuti akhirnya malah membangun rumah-rumah kontrakan di atas mayat-mayat yang telah menyatu dengan tanah perkampungan. Namun, keanehan terjadi. Kandungan Bu Astuti yang sudah mencapai bulannya tidak menunjukkan tanda-tanda melahirkan. Membuat tubuh wanita itu semakin kurus dan pucat. "Pak, aku, kok, belum melahirkan, ya?" ucap Bu Astuti yang berbaring lemah di atas ranjang. Pak Dodo terdiam sesaat memikirkan kondisi istrinya. Dia jadi teringat pada patung Sang Junjungan yang terletak di bangunan tua dekat hutan. Sehingga senja berangkatlah dia ke sana, menyembah patung itu lalu tidur di atas altar penuh darah mengering. Antara sadar dan tidak, petunjuk diberikan Sang Junjungan agar ist
"Hahahaha, sudah jangan banyak berpikir, Do. Ikuti saya!" Pria tersebut memberi kode kepada Pak Dodo agar mengikuti langkahnya ke belakang perusahaan. Bagai seorang budak kepada tuannya, Pak Dodo berjalan di belakang pria tersebut. "Masuklah, Do! Jika kamu mampu memberinya kesenangan, kamu akan mendapatkan yang diinginkan, tetapi jika tidak, bersiaplah dengan sesuatu mengerikan." Gegas, pria itu mendorong tubuh Pak Dodo dalam suatu ruangan yang terdapat patung seram serta simbol-simbol aneh. Tiba-tiba ruangan menjadi tampak sangat indah, saat terdengar alunan musik klasik serta aroma bunga. Entah datang dari mana, seorang wanita muda, cantik, serta seksi berpakaian tipis menggoda, menghampiri Pak Dodo yang terpesona. Tampak menunggu lama, Pak Dodo yang haus belaian wanita langsung mencumbu dengan ganas. Rasa cinta pada istrinya sedikit terlupakan. Kali ini hawa nafsu lebih meng
Sampailah Pak Dodo di sebuah rumah mewah, tempat dulu dia bekerja. Kemudian dengan mengandalkan kesaktian yang diberikan Sang Junjungan, Pak Dodo masuk ke rumah tersebut tanpa diketahui dan disadari siapa pun. Dengan gerakan cepat, Pak Dodo membantai habis semua penghuni rumah tersebut. Jenasah mereka diperlakukan bak binatang, bahkan si tuan rumah serta adiknya yang pernah memfitnah Bu Astuti hancur dicincang. Darahnya ditampung Pak Dodo di dalam sebuah wadah, setelah puas menuntaskan semuanya dia pun pulang. Di rumah Bu Astuti menunggu dengan sabar. "Bu, Ibu!" Pak Dodo langsung mencari istrinya sesampainya di rumah. Bu Astuti menyambut dengan pandangan bertanya-tanya. "Itu, apa, Pak?" tanya Bu Astuti penasaran sambil melihat ke wadah yang dibawa Pak Dodo. "Ini pelancar agar kamu cepat melahirkan, Bu. Cepat mandi dengan ini!" Pak D
Di lain tempat Adi terus berusaha mencari petunjuk tentang Sumi. "Mana, Mas? tanya Adi saat bertemu Mas Gondo yang menurutnya sengaja menghindar."Opo, Di?""Ampun, deh! Nomor teleponnya Retno!" Sedikit keras Adi berbicara karena kesal."Oalah, Di. Sebentar." Mas Gondo mengambil secarik kertas bertuliskan nomor telepon."Terima kasih, Mas." Adi berlalu menuju ruang administrasi, di sana karyawan boleh mempergunakan fasilitas telepon sedangkan Mas Gondo segera menuju parkiran.Adi menekan tombol sesuai dengan nomor yang diberikan Mas Gondo, tetapi tak ada jawaban di ujung sana. Hanya nada panggilan, membuatnya berprasangka buruk bahwa Mas Gondo memberi nomor yang salah, walau begitu Adi terus berusaha hingga suara perempuan menyapa.[ Halo, cari siapa?][ Bu Retnonya, ada?][ Bu Retno ke luar negeri, Pak. Ada apa, ya?
Sudah 6 bulan lewat, Adi baru mendapatkan beberapa tumbal. Otaknya pusing memikirkan itu semua. Di lain pihak dia ingin mencari Sumi, memperbaiki hubungan serta lepas dari jerat Sang Junjungan, tetapi di satu sisinya nafsu membunuh sekarang menguasai diri. "Mas Adi!" Baru saja Adi memarkirkan truknya di halaman rumah selepas bekerja, Pak Tejo memanggil. Di belakangnya seorang pria paruh baya serta wanita muda menggendong anaknya yang berusia sekitar lima tahun menuju Adi. "Iya, Pak." Adi menjawab ramah panggilan tersebut. "Ini, loh, Mas. Pak Joko, mau lihat rumah Mas Adi buat anaknya Siti." Pak Tejo menjelaskan perihal kedatangannya. "Oh, silahkan, tapi maaf masih berantakan saya sibuk kerja jadi belum sempat membereskan." Adi membukakan pintu rumah yang terkunci. "Bagus, besar. Tatanan ruangannya juga rapih." Pak Joko menatap ke seluruh ru