"Kakak Ipar, aku mau pulang lagi besok," potong Liam. Ia lega datang di saat yang tepat.Felix mendengus kesal. "Aku pulang dulu, Ren. Pikirkan ucapanku baik-baik, ya.""Hati-hati, Felix. Terima kasih ya vitaminnya."Felix melambaikan tangan tanpa menoleh ke belakang. Rena terkekeh-kekeh mengingat pertemuan pertamanya dengan pria itu. Felix melakukan hal yang serupa."Kakak Ipar suka dengannya?" tanya Liam."Tentu saja, dia teman terbaikku.""Tapi aku nggak melihat orang itu menganggap Kakak sebagai teman.""Apa yang kamu khawatirkan, Liam? Kamu takut kalau aku menerima tawarannya?"Liam mengangguk."Jangan khawatir. Dia bukan pemaksa seperti Billy. Dia hanya ingin menawarkan bantuan.""Tapi Ka-""Sudah, aku akan membantumu berkemas sekarang. Nggak usah mikir macam-macam.""Rio biar aku suruh tinggal di sini untuk menjaga keponakanku kalau kalau si Volker itu menemukan kalian.""Kalau dia nggak keberatan.""Dia pasti akan suka."Rena dan Liam melihat ke luar jendela. Di mana Rio sedan
Joshua menggulir galeri ponsel duplikat adiknya. Tangannya tak berhenti bergetar memandangi satu persatu foto dalam album gambar.Jemarinya berhenti di sebuah gambar yang menunjukkan Rena tengah memeluk buah hati mereka. Ia mengusap foto itu dengan lembut.Ponsel yang lain berbunyi. Anak buah Joshua melapor, "Tuan, baru saja hujan lebat di titik koordinat. Helikopter tidak bisa mengudara malam ini. Jalur laut juga sepertinya akan lebih sulit dilalui.""Segera hubungi aku kalau cuaca di sana sudah membaik.""Baik, Tuan."Joshua membuka pesan baru dari Rena.[Ethan sudah tidur lelap, Liam. Panasnya sedikit turun. Felix baru saja memberinya obat. Jangan khawatir, keponakanmu baik-baik saja.]Rena mengirim pesan lainnya. Video singkat yang menunjukkan Felix tengah menepuk lembut bayi kecilnya, darah daging yang selama ini tidak ia ketahui keberadaannya.Bukan, lebih tepatnya, ia tak mau mendengar penjelasan Rena. Sampai ia tak mengakui darah dagingnya sendiri. Ia termakan bualan Billy Vol
Listrik seluruh pulau mati. Seakan-akan pulau itu tak berpenghuni. Angin semakin kencang, gemuruh bagai genderang perang, tak luput dari kilatan petir yang menyambar.Rena memeluk Ethan agar bayinya tak terbangun. Untung saja Felix tidur di sofa kamarnya. Menjaga mereka berdua.Ethan menangis kecil. Rena menepuk-nepuk bayi itu sampai kembali tidur. Rena lega, demam Ethan sudah menurun drastis. Meskipun masih terasa sedikit hangat dari suhu tubuh normal.Walaupun sudah tengah hari, langit masih gelap. Hujan tak juga reda. Felix pun masih tidur pulas.Rena berjingkit-jingkit agar tak membangunkan Ethan dan Felix. Sebelum ia menyiapkan makanan, Padma yang jarang memasak itu telah membuat hidangan lengkap."Tumben, Kak.""Dibantu Rio, Ren. Dia pintar masak. Selama Ethan belum sembuh, biar kami berdua yang mengurus rumah.""Terima kasih, Kak.""Bangunin Dokter Felix, Ren. Ajak makan bareng sekalian.""Biarin sampai bangun sendiri saja, Kak. Dia begadang semalaman. Kasihan."Padma mengikik
"Gimana? Kamu suka, bukan?"Rena melihat tulisan itu sekali lagi. Kalau kalau ia salah membacanya.Sayangnya tidak! Rena tak salah membacanya!Nama Ethan Samudra di akte kelahiran itu berubah menjadi Ethan Samudra Volker. Dan di bagian nama ayah, telah terisi dengan Billy Volker.Kepala Rena berdenyut-denyut. "Bukankah ini keterlaluan?""Kamu nggak suka?" Billy menghela nafas. "Jangan kekanak-kanakan, Sayang. Kamu nggak boleh memperlihatkan akte orang tua tunggal kepada Ethan. Pikirkan perasaannya nanti!""Itu bukan urusanmu, Bill! Dia anakku!""Dan juga anakku!""Kamu gila, Billy Volker!" pekik Rena.Walaupun tak terlihat, Billy sebenarnya sakit hati, sedih dan marah. Awalnya, ia pikir akan mudah menerima Rena dan bayinya. Tak jadi masalah meskipun Ethan bukan anak kandungnya.Ketika menjemput Rena pun, Billy langsung meraih bayi mungil yang masih terbuai mimpi indah itu. Menjaga Ethan dari percikan air hujan yang masuk dari sela payung.Namun kasih sayang itu tiba-tiba memudar ketik
"Aku mohon, Billy. Jangan melakukan ini padaku." Rena memohon."Dadaku semakin bertambah sakit setiap harinya, Sayang. Aku hanya ingin kamu menyembuhkanku.""Bukan seperti ini caranya. Aku mohon, Bill."Rena memberontak mencari celah. Tapi Billy terlalu kuat. Billy telah bertekad untuk mendapatkannya saat ini juga dan tak bisa dihentikan lagi.Bahkan Billy tak sadar dengan keributan di luar sana. Ketika anak buahnya kewalahan menghadapi bawahan Joshua yang dua kali lipat lebih banyak jumlahnya.Joshua mendobrak pintu depan. Mencari di setiap ruangan. Ia tak mendengar suara-suara yang dibuat Rena dan Billy karena mereka berada di dalam kamar kedap suara.Satu pintu terbuka dengan mudah. Joshua mendekati bayinya. Dengan tangan yang bergetar, ia memberanikan diri untuk menyentuh wajah mungilnya."Ethan," bisiknya.Ethan membuka sedikit mata kemudian mengerjap perlahan. Dua pasang bola mata berwarna sama itu kini saling menatap dalam diam. Ethan lalu tersenyum pada ayah yang baru pertama
Rena merasa hangat di punggungnya. Rasa nyaman yang telah lama tak ia rasakan. Meskipun masih setengah tidur, ia yakin Joshua tengah memeluk dirinya."Maaf, Rena. Aku seharusnya mempercayaimu," bisik Joshua.Joshua membelai rambut dan mengecup bahunya berulang kali. Membangkitkan hasrat yang lama ia pendam. Tapi Rena tetap pura-pura tidur.Rena tak ingin Joshua dengan mudahnya kembali setelah apa yang telah pria itu lakukan di belakangnya. Sementara ia dan Ethan kesusahan sendirian selama ini."Bangun, Rena. Ayo kita bicara sebentar."Joshua membelai perut Rena. Hampir saja membuatnya mengikik geli.Mendadak Joshua berpindah ke depan. Tangan pria itu dengan tak tahu malunya menaikkan kaos Rena. "Kenapa dia selalu berbuat nakal waktu aku tidur!" teriak Rena dalam hati.Rena ingin bangun tapi masih belum mau bicara dengan Joshua. Ia pun terpaksa membuka mata ketika Joshua berusaha membuka kaitan dalamannya."Mau apa kamu?" hardik Rena."Oh, aku pikir kamu masih tidur," jawab Joshua den
"Lita, jangan menggangguku bekerja.""Oh, ayolah, sudah dua minggu Bapak nggak ikut acara karyawan. Kita kangen sama Bapak.""Turun dari mejaku kalau masih mau bekerja di sini, Lita." Joshua mengancam dengan nada lembut.Lita buru-buru berdiri dan mencari tempat duduk di depan Joshua. Ia tahu, semakin pelan dan lembut Joshua bicara maka semakin serius dirinya.Joshua sendiri jengah dengan sikap para karyawan wanita yang semakin kurang ajar. Namun itu semua salahnya sendiri yang menggoda mereka satu persatu di pesta mingguan para karyawan."Aku akan menghapus kegiatan itu segera," batin Joshua.Alexa membuka pintu dengan kasar. Lita pun segera keluar karena tahu Alexa yang posisinya lebih tinggi akan merundungnya kalau ketahuan menggoda Joshua."Nih, berkas dari Papamu!" Alexa melempar tumpukan berkas di atas meja sambil mengerucutkan bibir."Oke, terima kasih."Alexa tetap diam sambil berkacak pinggang. Joshua tak bisa mengusir Alexa seperti Lita
"Seminggu lagi Kakek Oliver mau mengadakan pesta syukuran Ethan, Rena. Kamu sudah menulis semua yang harus dipersiapkan?""Sudah, Ma," jawab Rena lesu, "Aku masuk dulu ya. Selamat malam."Anggota keluarga yang masih di meja makan saling bertanya-tanya. Kebetulan William dan istrinya yang mampir ikut makan malam sudah tahu apa yang dilihat Rena di kantor tadi. Namun mereka tetap bungkam seperti permintaan Rena.Joshua yang tak tahu menahu menyusul Rena ke kamar. "Rena, kamu kenapa? Ada yang sakit?""Jangan berisik, Ethan sudah tidur."Joshua mematikan lampu kamar lalu pergi. Rena semakin kesal dengan sikap Joshua.Akhirnya Rena bangkit lalu menuju kamar Joshua. Tanpa mengetuk, ia membuka pintu lebar-lebar.Joshua tiduran bertelanjang dada dan hanya memakai celana pendek. Pria itu tengah bersantai-santai melihat ponselnya. Entah apa yang dilihat Joshua sampai tersenyum-senyum sendiri."Rena? Ada apa?" tanya Joshua tanpa beranjak dari tempatnya."Sed